Memang benar, ternukil dari perkataan Syaikh Rabi’ hafidzahullah
bahwa beliau mengingkari istilah “jinsul a’maal” dalam permasalahan
iman. Sebagaimana tokoh-tokoh penyebar pemikiran Murji’ah akhir-akhir ini juga
mengingkari istilah tersebut.
Berikut pengingkaran dari perkataan Syaikh Rabi’ hafidzahullah terhadap
istilah ini, Syaikh Rabi’ hafidzahullah berkata:
إن تارك
العمل بالكلية كافر زنديق، لكني نهيت عن التعلق بلفظ جنس لما فيه من الإجمال
والاشتباه المؤدي إلى الفتن، وبينتُ أنه لا وجود له في الكتاب والسنة ولا وجود له
في كلام الصحابة الكرام-رضي الله عنهم-ولا أدلة أهل السنة والجماعة في قضايا
الإيمان، وبينت غرابته على اللغة العربية واضطراب أقوال أهل اللغة في معناه
“Seorang yang meninggalkan seluruh amal (jawarih –pen-) maka ia kafir zindiq.
Namun aku telah melarang kalian untuk menggunakan lafadz “jins” karena
istilah tersebut terlalu global dan memiliki kesamaran yang dapat menimbulkan
fitnah. Aku telah menjelaskan bahwa istilah tersebut tidak terdapat dalam
Al-Kitab, As-Sunnah dan tidak pula dalam perkataan para sahabat yang mulia –radhiyallahu
‘anhum-. Istilah tersebut tidak pula ternukil dari dalil-dalil Ahlussunnah
wal Jama’ah tentang permasalahan iman. Aku pun telah menjelaskan bahwa istilah
tersebut gharib jika ditinjau secara bahasa. Terdapat bermacam-macam
ungkapan para ahli bahasa yang bertentangan tentang makna istilah tersebut.”
Lalu apa bedanya pemahaman Syaikh Rabi’ dan mereka tentang permasalahan
iman?
Bedanya, Syaikh Rabi’ berpendapat kafirnya seorang yang meninggalkan “jinsul a’maal”, sedangkan mereka tidak mengkafirkannya.
1. Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah berkata:
أرى أن تارك كل العمل كافر زنديق
“Aku berpendapat bahwa seorang meninggalkan seluruh amal (jawarih –pen-) maka ia kafir zindiq”
Jika diterjemahkan dengan istilah “jinsul a’maal” maka makna
perkataan beliau,
“Aku berpendapat bahwa seorang yang meninggalkan “jinsul a’maal”
(jawarih –pen-) maka ia kafir zindiq”.
2. Syaikh Rabi’ hafidzahullah berkata:
ولقد صرحت مرارًا بأني أوافق أهل السنة
فيما حكموا به على تارك العمل بالكلية
“Sungguh aku telah menegaskan berulang kali bahwa aku menyepakati
Ahlussunnah dalam permasalahan “hukum seorang yang meninggalkan amal secara
total”..”
Jika diterjemahkan dengan istilah “jinsul a’maal”, maka makna
perkataan beliau,
“Sungguh aku telah menegaskan berulang kali bahwa aku menyepakati Ahlussunnah
dalam permasalahan “hukum seorang yang meninggalkan jinsul a’maal”
3. Syaikh Rabi’ hafidzahullah berkata:
ويقول عني إنِّي خالفت السلف في جنس
العمل وفي قضايا الإيمان وهو الكذوب, وإذا رجع المسلم المنصف إلى كلامي يجده
مطابقاً لمنهج السلف ولما قرَّرُوه ويجد في كلامي التصريح بأنَّ تارك العمل
بالكلية كافر زنديق
“Ia menyatakan bahwa aku menyelisihi salaf tentang istilah “jinsul
a’maal” dalam permasalahan iman. Sungguh ia telah berdusta. Jika seorang
muslim yang bersikap inshaf (adil) mau membaca perkataanku, tentu ia
akan mengetahui bahwa pendapatku sesuai dengan manhaj Salaf. Jika mereka mau
menelaah perkataanku, maka mereka akan mendapatkan pernyataan tegas dariku
bahwa seorang yang meninggalkan amal secara total maka ia kafir zindiq.”
Jika diterjemahkan dengan istilah “jinsul a’maal”, maka makna
perkataan beliau,
“....Jika mereka mau menelaah perkataanku, maka mereka akan mendapatkan
pernyataan tegas dariku bahwa seorang yang meninggalkan “jinsul a’maal”
maka ia kafir zindiq”
4. Syaikh Rabi’ hafidzahullah berkata:
فقد صرحت مرارًا بتكفير تارك العمل ولكن
الحدادية لهم أصل خبيث، وهو أنهم إذا ألصقوا بإنسان قولاً هو بريء منه ويعلن
براءته منه
“Sungguh aku telah menegaskan berulang kali tentang kafirnya seorang yang
meninggalkan amal, namun Al-Haddadiyyah memiliki prinsip yang buruk. Mereka menyandarkan
pada seseorang suatu perkataan (yang tidak yakininya –pen-), meskipun orang
yang dituduh secara terang-terangan telah berlepas diri dari perkataan tersebut.”
Sumber: Ithaaf Ahlis Shidq wal Irfaan bi Kalami Asy-Syaikh Rabi’ fi Masa’ilil
Iman hal. 219-234
Syaikh Rabi’ hanya mengingkari pemakaian istilah “jinsul a’maal”,
namun beliau tidak mengingkari essensi dan konsekuensi dari istilah tersebut. Terbukti dari nukilan perkataan beliau dalam permasalahan iman di atas.
Sedangkan mereka mengingkari istilah “jinsul a’maal” untuk
mengingkari ijma’ Ahlussunnah tentang permasalahan iman. Mereka menyatakan
bahwa iman sah hanya dengan keyakinan hati dan ucapan lisan, meskipun ia tidak mau
beramal sedikitpun. Berbeda bukan?
Sebenarnya pemakaian istilah "jinsul a'maal" tidaklah asing di sisi para ulama kita. Silahkan baca artikel Istilah "Jinsul A'maal" Bukan Bid'ah untuk mengetahui siapakah ulama salaf yang menggunakan istilah ini.
Para ulama terkadang menggunakan istilah "jinsul a'maal", "syarat keshahihan iman" atau "rukun", untuk menjelaskan bahwa amal jawarih merupakan suatu keharusan dalam iman seorang muslim. Pada hakikatnya istilah-istilah tersebut mengarah pada satu kesimpulan yaitu dalam iman seorang muslim haruslah terkumpul keyakinan hati, ungkapan lisan dan amal jawarih. Ketiadaan salah satu dari tiga komponen tersebut merupakan bukti kekafiran dan kemunafikan dalam imannya. Kenapa istilah-istilah tersebut mesti dipermasalahkan?? Apakah karena Rasulullah dan para sahabat tidak pernah menggunakan istilah tersebut??
Pola pikir semacam ini tentu akan meruntuhkan istilah-istilah tauhid dan ushul fiqh yang telah disepakati oleh para ulama. Misalkan dalam bab Tauhid terdapat istilah Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma' wa Shifat. Dalam bidang Ushul Fiqh terdapat istilah syarat, rukun, hal-hal yang wajib atau sunah dalam suatu ibadah. Para ulama membuat istilah tersebut untuk memudahkan kaum muslimin memahami permasalahan agama. Apakah Rasulullah dan para sahabat menggunakan istilah-istilah tersebut? Bid'ahkah istilah-istilah tersebut??
Ketika para ulama menggunakan istilah "amal merupakan syarat keshahihan iman" bukan berarti para ulama mengeluarkan amal dari iman, karena syarat dalam suatu ibadah terletak di luar ibadah tersebut sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Ushul Fiqh.
Begitu pula istilah "jinsul a'maal", "syarat keshahihan iman", atau "amal merupakan salah satu rukun dalam iman" hanyalah untuk mendekatkan pemahaman, agar kaum muslimin mengetahui hakikat permasalahan iman yang sebenarnya. Namun, tokoh-tokoh penyebar pemikiran Murji'ah tersebut merasa tidak nyaman dengan istilah-istilah tersebut, karena dapat membongkar keyakinan mereka yang menyimpang dalam permasalahan iman. Sebagaimana tokoh-tokoh Quburiyyun, Shufiyyah dan Asy'ariyyah merasa tidak nyaman dengan istilah Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Asma' wa Shifat.
Sebenarnya pemakaian istilah "jinsul a'maal" tidaklah asing di sisi para ulama kita. Silahkan baca artikel Istilah "Jinsul A'maal" Bukan Bid'ah untuk mengetahui siapakah ulama salaf yang menggunakan istilah ini.
Para ulama terkadang menggunakan istilah "jinsul a'maal", "syarat keshahihan iman" atau "rukun", untuk menjelaskan bahwa amal jawarih merupakan suatu keharusan dalam iman seorang muslim. Pada hakikatnya istilah-istilah tersebut mengarah pada satu kesimpulan yaitu dalam iman seorang muslim haruslah terkumpul keyakinan hati, ungkapan lisan dan amal jawarih. Ketiadaan salah satu dari tiga komponen tersebut merupakan bukti kekafiran dan kemunafikan dalam imannya. Kenapa istilah-istilah tersebut mesti dipermasalahkan?? Apakah karena Rasulullah dan para sahabat tidak pernah menggunakan istilah tersebut??
Pola pikir semacam ini tentu akan meruntuhkan istilah-istilah tauhid dan ushul fiqh yang telah disepakati oleh para ulama. Misalkan dalam bab Tauhid terdapat istilah Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma' wa Shifat. Dalam bidang Ushul Fiqh terdapat istilah syarat, rukun, hal-hal yang wajib atau sunah dalam suatu ibadah. Para ulama membuat istilah tersebut untuk memudahkan kaum muslimin memahami permasalahan agama. Apakah Rasulullah dan para sahabat menggunakan istilah-istilah tersebut? Bid'ahkah istilah-istilah tersebut??
Ketika para ulama menggunakan istilah "amal merupakan syarat keshahihan iman" bukan berarti para ulama mengeluarkan amal dari iman, karena syarat dalam suatu ibadah terletak di luar ibadah tersebut sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Ushul Fiqh.
Begitu pula istilah "jinsul a'maal", "syarat keshahihan iman", atau "amal merupakan salah satu rukun dalam iman" hanyalah untuk mendekatkan pemahaman, agar kaum muslimin mengetahui hakikat permasalahan iman yang sebenarnya. Namun, tokoh-tokoh penyebar pemikiran Murji'ah tersebut merasa tidak nyaman dengan istilah-istilah tersebut, karena dapat membongkar keyakinan mereka yang menyimpang dalam permasalahan iman. Sebagaimana tokoh-tokoh Quburiyyun, Shufiyyah dan Asy'ariyyah merasa tidak nyaman dengan istilah Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Asma' wa Shifat.
Mudah-mudahan bermanfaat..
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 4 Jumadil Ula 1434 H.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/04/berdusta-atas-nama-as-syaikh-al.html?showComment=1365227845702#c861891455947089607
ReplyDeleteTanggapan saya di artikel Antara Ijma' Ulama Salaf dan Hadits Mutasyabih
ReplyDeleteArtikel terkait:
ReplyDeleteFatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Tentang Hukum Meninggalkan “Jinsul A’mal”
Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi Mengingkari Nukilan Ijma’ Imam Asy-Syafi’i dalam Permasalahan Iman?
Nukilan Sebagian Perkataan Ulama yang Membatalkan Ijma’ dalam Permasalahan Iman
Menukil Perkataan Imam Asy-Syafi’i untuk Membatalkan Ijma’ Salaf dalam Permasalahan Iman