Monday, April 8, 2013

Antara Ijma' Ulama Salaf dan Hadits Mutasyabih



Jazakumullah khairan atas tanggapan antum, berikut beberapa catatan ringkas dari saya:

[Pertama] Seandainya perselisihan tentang “kekafiran seorang yang meninggalkan jinsul a’maal“ merupakan khilaf yang mu’tabar (teranggap). Bagaimana dengan ijma’ salaf yang dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan para ulama yang lain !!

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وكان الإجماع من الصحابة و التابعين من بعدهم ومن أدركناهم يقولون الإيمان قول وعمل ونية لا يجزئ واحد من الثلاثة إلا بالأخر

“Para sahabat, tabi’in setelah mereka dan para ulama yang aku ketahui, mereka telah bersepakat (ijma’) bahwa iman adalah perkataan, amal dan niat. Tidak sah hanya mencukupkan salah satu dari yang lain (ketiganya harus terkumpul –pen-).” [Kitab Al-Iman hal.197]


Imam Sahl bin Abdillah At-Tustari rahimahullah pernah ditanya tentang definisi iman, lalu beliau menjawab:

هو قول ونية وعمل وسنة ؛ لأن الإيمان إذا كان قولاً بلا عمل فهو كفر ، وإذا كان قولاً وعملاً بلا نية فهو نفاق ، وإذا كان قولاً وعملاً ونية بلا سنة فهو بدعة

“Iman adalah perkataan, niat, amal dan sunah. Jika dalam iman hanya terdapat perkataan (syahadat –pen-) tanpa amal, maka ia kafir. Jika hanya terdapat perkataan, amal tanpa niat, maka ia munafiq. Jika hanya terdapat perkataan, amal, niat tanpa sunah, maka itu bid’ah”

Pernyataan di atas dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 7/171 dan Ibnu Bathah dalam Al-Ibanah, 2/148. Kedua kitab tersebut merupakan kitab ushul aqidah Ahlussunnah.

Apakah Syaikhul Islam dan Ibnu Bathah mengingkari pernyataan di atas??


Jawabnya tidak... Bahkan Syaikhul Islam dalam halaman berikutnya menukil perkataan Imam Abu Thalib Al-Makki untuk menguatkan pernyataan tersebut,

ومن كان عقده الإيمان بالغيب ولا يعمل بأحكام الإيمان وشرائع الإسلام فهو كافر كفراً لا يثبت معه توحيد

‘Barangsiapa yang beriman pada yang ghaib, namun tidak mau beramal dengan ahkamul iman dan tidak pula mengamalkan syariat-syariat Islam, maka ia kafir. Ia tidak memiliki tauhid sedikitpun” [Majmu’ Al-Fatawa, 7/333]

Imam Al-Ajurri rahimahullah berkata:

وكان تركه للعمل تكذيباً منه لإيمانه

“Ketika seorang meninggalkan amal (jinsul a’maal –pen-), itu merupakan bukti bahwa ia mendustakan imannya” [Asy-Syari’ah, 1/275]

ولا تجزئ معرفة بالقلب والنطق باللسان حتى يكون معه عمل بالجوارح

“Tidak sah ma’rifah dalam hati dan perkataan lisan (syahadat –pen-) hingga ia beramal dengan amal jawarih” [Arba’ina Haditsan hal. 137]

Imam Ibnu Bathah rahimahullah berkata:

وأن الله لا يقبل قولاً إلا بعمل

“Allah tidak akan menerima perkataan (syahadat –pen-) kecuali dengan amal” [Al-Ibanah, 2/795]

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:

بل القرآن والسنة مملوءان بما يدل على أن الرجل لا يثبت له حكم الإيمان إلا بالعمل مع التصديق

“Bahkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dipenuhi oleh ayat-ayat yang menunjukkan bahwa seorang tidak tetap padanya hukum keimanan hingga ia beramal disertai pembenaran” [Majmu’ Al-Fatawa, 7/128]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

ولا يجزىء باطن لا ظاهر له إلا إذا تعذّر بعجز أو إكراه وخوف هلاك

Tidak sah (iman –pen-) dalam batin tanpa (iman –pen-) yang zhahir. Kecuali jika ia memiliki udzur karena lemah, terpaksa maupun khawatir akan terbunuh” [Al-Fawa’id hal. 283]

Ijma' dalam permasalahan ini juga dinukilkan oleh Al-Humaidi dalam Kitab As-Sunnah, 3/586 karya Al-Khallal dan Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam dalam Kitabul Iman hal. 18-19


[Kedua] Saya pun sepakat untuk berpegang pada dzahir hadits “tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun”. Memang ada suatu kaum yang masuk surga tanpa amal sedikitpun yang mereka perbuat, semata-mata karena kemurnian rahmat Allah. Apakah antum menganggap saya mengingkari dzahir hadits tersebut?

Permasalahan yang diperselisihkan, siapakah suatu kaum yang dimaksud dalam hadits tersebut? Para ulama menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki udzur dan terhalang dalam beramal.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :



الإيمان له ظاهر وباطن ، وظاهره قول اللسان وعمل الجوارح وباطنه تصديق القلب وانقياده ومحبته ، فلا ينفع ظاهر لا باطن له... ولا يجزىء باطن لا ظاهر له إلا إذا تعذّر بعجز أو إكراه وخوف هلاك. فتخلف العمل ظاهراً مع عدم المانع دليل على فساد الباطن وخلوه من الإيمان.



 “Iman mencakup dhahir dan batin, dhahirnya adalah perkataan lisan dan amal jawarih, sedangkan batinnya adalah tashdiq (pembenaran) dalam hati, inqiyad (kepatuhan) dan mahabbah (cinta) kepada-Nya. Tidak bermanfaat dhahir tanpa batintidak sah batin tanpa dhahir kecuali jika ia memiliki udzur dikarenakan lemah, terpaksa atau dalam kondisi ketakutan yang dapat membinasakannya. Tidak adanya amal dhahir tanpa udzur merupakan dalil rusaknya batin dan kosongnya hati dari iman.” [Al-Fawaid hal. 283]

Diantara bentuk udzur meninggalkan jinsul a'maal yang pelakunya dimaafkan oleh syariat adalah:

- Seorang kafir yang bersyahadat di detik-detik menjelang sakaratul maut. Tentu ia belum sempat beramal sedikitpun, namun telah memiliki iman dalam hatinya. Hingga Allah memasukkannya ke dalam surga karena kemurnian rahmat-Nya. Berbeda dengan kaum muslimin yang lain, untuk menggapai surga mereka harus berletih-letih dalam beramal.

- Berita nabi dalam sebuah hadits tentang dicabutnya ilmu pada akhir zaman, hingga seorang muslim tidak mengetahui ajaran Islam sedikitpun kecuali kalimat “Lailaha illallah” yang mereka warisi dari nenek moyangnya. Mereka meninggalkan amal ketika itu karena kebodohan.

Ini merupakan thariqah menjamak antara dzahir hadits dan ijma’ ulama salaf dalam permasalahan iman yang seolah-olah bertentangan. Tepatkah jika dzahir hadits nabi dipahami dengan pemahaman yang menyelisihi ijma’ salaf? Adapun Murji’ah, mereka berpegang pada dzahir hadits yang mutasyabih lalu meninggalkan ijma’ salaf dalam permasalahan ini.

Mereka mengambil dalil yang mutasyabih dan meninggalkan dalil yang muhkam. Bukankah dalil-dalil yang mutasyabih harus dikembalikan pada dalil-dalil yang muhkam?

Artikel antum yang berjudul “hadits tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun menurut perspektif Ahlussunnah” telah saya jawab di artikel “Menjawab Syubhat Tentang  Hadits Belum Pernah Beramal Kebaikan Sedikitpun"

[Ketiga] Jika memang Syaikh Rabi’ dan Syaikh Ubaid sepemahaman dengan Syaikh Ali dalam permasalahan iman, kenapa para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah semisal Syaikh Abdul Aziz Alus-Syaikh, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Shalih Al-Luhaidan, dan para ulama kibar yang lain hanya mentahdzir Syaikh Ali? Apakah hanya karena Syaikh Ali yang menyatakannya? Bukankah ini tidak adil?

[Keempat] Fakta menyatakan bahwa Syaikh Ali Hasan mengakui kekeliruan pemahaman beliau tentang permasalahan iman. Beliau menyatakan ruju’ berselang tiga bulan setelah keluarnya fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah yang dulu masih diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.

Syaikh Ali Al-Halabi berkata:

وإني بحمد الله وتوفيقه بريء من ذلك كله ، قله وجله ، موافق ما عليه علماء الإسلام، والأئمة الأعلام ، وما أكون قد أخطأت فيه أو التبس علي من أمره شيء في هذا الباب وغيره فإني راجع عنه ، آيب إلى الصواب من غير مكابرة ولا ارتياب

“Dengan memuji Allah dan berkat taufiq dari-Nya, sungguh aku telah berlepas diri dari kitab tersebut (Ihkamut Taqrir fi Ahkamit Takfir karya Murad Syukri –pen-) baik secara global maupun terperici. Sebagaimana para ulama Islam yang mulia berada di atas keyakinan tersebut. Aku telah keliru dalam permasalahan ini dan telah tersamarkan bagiku beberapa permasahan dalam bab ini. Maka aku ruju’ dari kekeliruanku dan kembali pada kebenaran, tanpa ada kesombongan dan keraguan.” [Majalah Al-Furqan edisi 101, Jumadil Ula 1419 H]

Jika kita mau menyatakan “Memang Syaikh Ali Hasan Al-Halabi telah keliru dalam beberapa permasalahan iman”, maka saya akan sangat bersyukur pada Allah. Namun jika kita bersikeras menyatakan bahwa Syaikh Ali tidak keliru, bahkan para ulama kibar lah yang keliru dalam permasalahan ini. Lalu menuduh taklid pada orang-orang yang mengikuti para ulama kibar ar-raasikhuun, maka saya hanya bisa berucap lahaula wala quwwata illa billah.

[Kelima] Kapan saya menyatakan bahwa orang-orang yang mengingkari istilah jinsul a’maal maka otomatis berpemahaman Murji’ah??

Perkataan “jinsul a’mal”, “syarat keshahihan” maupun “syarat kesempurnaan” hanyalah istilah, yang menjadi tolak ukur adalah makna dan konsekuensi dari istilah tersebut.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:



وَأَمَّا الْأَلْفَاظُ الَّتِي لَيْسَتْ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَلَا اتَّفَقَ السَّلَفُ عَلَى نَفْيِهَا أَوْ إثْبَاتِهَا فَهَذِهِ لَيْسَ عَلَى أَحَدٍ أَنْ يُوَافِقَ مَنْ نَفَاهَا أَوْ أَثْبَتَهَا حَتَّى يَسْتَفْسِرَ عَنْ مُرَادِهِ فَإِنْ أَرَادَ بِهَا مَعْنًى يُوَافِقُ خَبَرَ الرَّسُولِ أَقَرَّ بِهِ وَإِنْ أَرَادَ بِهَا مَعْنًى يُخَالِفُ خَبَرَ الرَّسُولِ أَنْكَرَهُ . ثُمَّ التَّعْبِيرُ عَنْ تِلْكَ الْمَعَانِي إنْ كَانَ فِي أَلْفَاظِهِ اشْتِبَاهٌ أَوْ إجْمَالٌ عُبِّرَ بِغَيْرِهَا أَوْ بَيَّنَ مُرَادَهُ بِهَا بِحَيْثُ يَحْصُلُ تَعْرِيفُ الْحَقِّ بِالْوَجْهِ الشَّرْعِيِّ

“Adapun istilah-istilah yang tidak terdapat dalam Al-Kitab, As-Sunnah dan tidak pula disepakati oleh Salaf dalam hal nafyu dan itsbat-nya. Maka tidak boleh bagi seorang pun untuk mendukung atau mengingkarinya hingga ia meminta penjelasan tentang maksud istilah tersebut. Jika istilah tersebut mengandung makna yang selaras dengan berita dari Rasul, maka silahkan ia menerimanya. Namun, jika istilah tersebut mengandung makna yang menyelisihi berita dari Rasul, hendaklah ia mengingkarinya, lalu menjelaskan makna-makna (batil –pen-)yang terkandung di dalamnya.

Jika dalam istilah tersebut terdapat kesamaran atau terlalu global, maka hendaknya ia menggunakan istilah lain. Jika tidak, maka ia harus menjelaskan maksud dari istilah global tersebut hingga dipahami sebuah definisi yang benar dan sesuai dengan syariat. [Majmu’ Al-Fatawa, 12/114]

Menggunakan istilah ashlu dan furu’ul iman, lalu menyatakan bahwa ashlul-iman adalah i’tiqad dan seluruh amal jawarih adalah furuu’ul iman. Istilah ini juga sebenarnya diingkari oleh para ulama, semisal Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah dalam tulisan-tulisannya. Penulis sendiri pernah menanyakan istilah ashl dan far' iman versi mereka pada Syaikh Dr. Anis Thahir (Guru Besar Fakultas Hadits, Universitas Islam Madinah dan Pengajar di Masjid Nabawi). Beliau mengingkarinya, lalu saya mengulangi pertanyaan yang serupa dengan menyebutkan sebagian ulama yang menggunakan istilah tersebut, namun beliau tetap mengingkarinya...

Analoginya menurut mereka, seorang yang meninggalkan seluruh amal jawarih yang merupakan furuu’ul iman tentu tidak dapat dikafirkan hingga ia meninggalkan ashlul-iman yaitu i’tiqad. Dari sini nampak keyakinan mereka, bahwa amal jawarih tidak dapat menyebabkan kekafiran, kecuali jika disertai i'tiqad. Ujung-ujungnya kembali pada kaidah "Tidak ada kekafiran kecuali dalam i'tiqad"

Lalu mereka memotong perkataan Syaikhul Islam yang ini,

كما قال أهل السنة‏:‏ إن من ترك فروع الإيمان لا يكون كافرًا، حتى يترك أصل الإيمان‏.‏ وهو الاعتقاد

“Sebagaimana dikatakan Ahlus-Sunnah : Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan cabang-cabang iman tidaklah menjadi kafir, hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan, yaitu i’tiqaad...” [Al-‘Uquudud-Durriyyah, hal. 96]

Semakin jelaslah arah tujuan mereka ketika memahami istilah ashl dan far’ iman. Mereka menggunakan istilah apa pun, saya yakin para ulama kita tidak akan tertipu, karena yang dilihat adalah hakikat dari perkataan mereka yang menyelisihi aqidah Ahlussunnah.

[Keenam] Begitu mudahnya kita memvonis “keimanan” bagi orang-orang yang tidak mau beramal sedikitpun. Dengan istilah lain, orang-orang yang meninggalkan jinsul a’maal, antum menyebut  mereka adalah orang-orang yang bertauhid!!

Masihkah kita meningat pelajaran dasar bab Tauhid, bahwa syahadat “Lailaha illallah” memiliki tujuh syarat yang harus terpenuhi. Ilmu, yakin, ikhlash, kejujuran, kecintaan, kepatuhan dan penerimaan. Apakah seorang yang tidak mau beramal sedikitpun tanpa udzur telah memenuhi seluruh syarat-syarat tersebut? Ataukah syahadat yang ia ucapkan hanya sebatas pada lisannya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah memvonis orang-orang yang meninggalkan jinsul a'mal tanpa udzur sebagai seorang yang munafiq lagi zindiq, beliau berkata:



ومن الممتنع أن يكون الرجل مؤمناً إيماناً ثابتاً في قلبه ؛ بأن الله فرض عليه الصلاة والزكاة والصيام والحج ويعيش دهره لا يسجد لله سجدة ولا يصوم من رمضان ولا يؤدي لله زكاة ولا يحج إلى بيته ، فهذا ممتنع ، ولا يصدر هذا إلا مع نفاق في القلب وزندقته

Seorang tidak dikatakan beriman dengan iman yang tsabit dalam hatinya jika Allah mewajibkan padanya shalat, zakat, puasa, haji lalu seumur hidupnya ia belum pernah sujud kepada Allah sekali pun, tidak berpuasa ramadhan, tidak menunaikan zakat, tidak pula haji ke baitullah. Tidak mungkin dikatakan beriman, perbuatan ini hanyalah ada pada seorang yang terdapat kemunafikan dan kekafiran dalam hatinya" [Majmu' Al-Fatawa, 7/611]


Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:

إن الإيمان بدون عمل لا يفيد ؛ فالله –عز وجل- حينما يذكر الإيمان يذكره مقرونًا بالعمل الصالح ؛ لأننا لا نتصور إيمانًا بدون عمل صالح، إلا أن نتخيله خيالا

“Sesungguhnya iman tanpa amal tidak akan bermanfaat. Ketika Allah ‘azza wajalla menyebutkan iman, Ia menyebutkan amal shalih setelahnya. Tidak terpikirkan oleh kita, adanya iman tanpa amal shalih, kecuali jika kita sedang berkhayal” [Radd ‘ala Al-Ghulat Al-Jafah fil Iman wal Imam]

Syaikh Al-Albani rahimahullah juga berkata:

لكن إنسان يقول: لا إله إلا الله، محمد رسول الله؛ ويعيش دهره – مما شاء الله - ولا يعمل صالحًا !! ؛ فعدم عمله الصالح هو دليل أنه يقولها بلسانه، ولم يدخل الإيمان إلى قلبه

“Namun, ketika seorang mengatakan “Lailahaillah Muhammad Rasulullah” lalu ia seumur hidupnya –sesuai yang Allah kehendaki- tidak melakukan amal shalih!! Ketiadaan amal shalih merupakan dalil bahwa ia hanya mengucapkan syahadat dalam lisannya, sedangkan iman belum masuk dalam hatinya” [Syarh Al-Adab Al-Mufrad kaset keenam side A]

Perhatikan perkataan Syaikh Al-Albani di atas, keyakinan beliau dalam permasalahan “meninggalkan jinsul a’maal” selaras dengan aqidah yang diyakini para ulama salaf dan para ulama kibar mutaakhirin. Namun sangat disayangkan, ketika kita keliru dalam suatu permasalahan, justru kita mencari pembenaran dengan menukil perkataan para ulama yang seolah-olah sepemahaman dengan kita. Padahal para ulama tersebut telah berlepas diri dari perkataan yang disandarkan padanya. Allahua'lam

Saya ingin menutup artikel ini dengan nasehat berharga dari Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, beliau berkata:


"Di dalam kitab salaf terdapat kecukupan, kita tidak lagi membutuhkan tulisan-tulisan baru yang berisi keraguan dan menimbulkan perbincangan dalam permasalahan yang agung iniFitnah (irja’) ini telah mati, maka tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk memunculkannya kembali. Agar tidak menimbulkan celah bagi para tukang fitnah dan perusak untuk (menebar fitnah) di antara Ahlus-Sunnah." [Muqaddimah Raf'ul Laimah]

Mudah-mudahan bermanfaat..


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 27 Jumadil Ula 1434 H

3 comments:

  1. bismillah
    Assalamu'alaikum mas, ini ahmad depok.
    dulu ana sempat ngobrol2 dengan antum sebelum berngkat ke madinah.
    alhamdulillah ana sekarang sudah lulus, ana bisa tanya2 ke antum tidak?

    ReplyDelete
  2. Wa'alaikumussalam warahmatullah..buat antum & teman-teman yang berminat kuliah di Universitas Islam Madinah, Teruslah berusaha dan jangan merasa bosan ikut muqabalah yang diadakan tiap tahun insya Allah. Biasanya bertempat di PonPes Darun-Najah, Jakarta & PonPes Darussalam, Gontor.

    Antum mau tanya apa akh?

    Info lebih detail, kunjungi website SerambiMadinah..

    ReplyDelete
  3. Bismillah
    Ana mau tanya, bagaimana dengan orang yang tidak pernah sholat karena malas, sedangkan dia masih meyakini kewajiban sholat?
    Lalu bagaimana dengan orang yg berhukum dengan hukum selain Allah krn hawa nafsu, tp dia masih meyakini bahwa hukum Allah lebih baik dan wajib ditegakkan?

    Apakah lantas orang tersebut dikatakan kafir?
    Jika tidak, lalu bagaimana dengan amal anggota badan sebagai bagian dari ashlul iman?

    Mohon penjelasannya ustadz
    Terimakasih, jazakallahukhair

    ReplyDelete