Tuesday, April 23, 2013

Nukilan Sebagian Perkataan Ulama yang Membatalkan Ijma’ dalam Permasalahan Iman

Artikel ini adalah jawaban ringkas bagi sebagian orang yang hendak meruntuhkan ijma' salaf dalam permasalahan iman. Diantara syubhat yang mereka bawakan adalah perkataan ulama berikut:

1. Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahullah:

قالَ بعضُهم : الإيمانُ معرفةٌ بالقَلبِ ، وإقرارٌ باللِّسَانِ ، وعَمَل بالجَوارِحِ ، فمَن أتى بمعنيَين مِن هذِه المعاني الثّلاثةِ ولم يأتِ بالثّالثِ فغيرُ جائزٍ أن يُقالَ : إنّه مؤمنٌ ، ولكنّه يُقالُ له : إنْ كانَ اللّذانِ أتى بهِما المعرفةُ بالقَلبِ والإقرارُ باللِّسَانِ ، وَهُوَ في العَمَل مفرّطٌ ، فمُسلِم

“Sebagian dari mereka (yaitu : Ahlus-Sunnah) berkata : iman adalah ma’rifat dengan hati, penetapan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Barangsiapa yang melakukan dengan dua makna (awal) dari ketiga makna tersebut, namun tidak mengerjakan yang ketiga (yaitu : amal dengan anggota badan), maka tidak boleh untuk dikatakan bahwa yang bersangkutan adalah mukmin. Akan tetapi dikatakan kepadanya : apabila ia mendatangkan pengetahuan dalam hati dan penetapan dengan lisan, namun ia meninggalkan amal, maka ia muslim” [At-Tabshiir fii Ma’aalimid-Diin, hal. 188]

Bandingkan dengan nukilan perkataan beliau dalam Kitab Shariih As-Sunnah berikut,

Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata:

عن علي بن سهل الرملي حدثنا الوليد بن مسلم قال : ( سمعت الأوزاعي ومالك بن أنس وسعيد بن عبد العزيز رحمهم الله ينكرون قول من يقول: إن الإيمان إقرار بلا عمل ، ويقولون لا إيمان إلا بعمل ، ولا عمل إلا بإيمان

“Dari Ali bin Sahl Ar-Ramli, ia berkata: menceritakan pada kami Al-Walid bin Muslim, ia berkata: “Aku mendengar Al-Auza’i, Malik bin Anas dan Sa’id bin Abdul Aziz rahimahumullah mengingkari sebagian orang yang menyatakan: “sesungguhnya iman adalah iqraar (syahadat –pen-) tanpa amal. Sedangkan Al-Auza’i, Anas bin Malik dan Sa’id bin Abdul Aziz menyatakan bahwa tidak ada iman tanpa amal dan tidak ada amal tanpa iman.”

Menurut saya, antum keliru jika kalimat [مفرّطٌ] diterjemahkan “meninggalkan”. Misalkan ada seorang yang berkata:

زيد مفرط في صلاته

Apakah mesti diterjemahkan "zaid meninggalkan shalatnya"? Apakah keliru jika ada yang menerjemahkan “Zaid meremehkan shalatnya” karena ia tidak menyempurnakan rukun, kewajiban dan sunah-sunah shalat.

Seorang yang [مفرّطٌ] dalam amal belum tentu ia meninggalkan amal tersebut secara mutlak. Nukilan dari Imam Ath-Thabari rahimahullah yang saya bawakan lebih jelas dan sharih bahwa beliau tidak menyelisihi  ijma’ para ulama salaf sebelum beliau dalam permasalahan iman.

2. Ibnu Hazm rahimahullah:

وَمَن ضيّعَ الأعمالَ كلَّها فهُوَ مؤمِنٌ عاصٍ ناقصُ الإيمانِ ، لا يكفُر

“Dan barangsiapa yang menelantarkan seluruh amal, maka ia mukmin yang bermaksiat lagi kurang imannya. Tidak dikafirkan” [Al-Muhallaa, 1/40-41]

- Ternyata Ibnu Hazm berpendapat kafirnya seorang yang meninggalkan shalat secara sengaja, bahkan beliau menukil ijma’ para sahabat tentang permasalahan ini.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata:

وقد جاء عن عمر وعبد الرحمن بن عوف ومعاذ بن جبل وأبي هريرة وغيرهم من الصحابة - رضي الله عنهم - أن من ترك صلاة فرض واحدة متعمدا حتى يخرج وقتها فهو كافر مرتد ، ولا نعلم لهؤلاء من الصحابة مخالف

“Terdapat riwayat dari Umar, Abdurrahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah dan para sahabat yang lain bahwa barangsiapa yang meninggalkan satu shalat fardhu hingga keluar waktunya secara sengaja, maka ia kafir murtad. Kami tidak mengetahui adanya sahabat yang menyelisihi mereka (dalam permasalahan ini –pen-)” [Al-Muhalla, 2/15]

Terus terang saya heran, meninggalkan satu shalat saja bisa kafir dan murtad menurut Ibnu Hazm, tapi meninggalkan seluruh amal disebut mukmin??

- kalimat [ضيّع] hampir sama maknanya dengan [مفرّطٌ], tidak mesti diterjemahkan “meninggalkan” amal.

3. Ibnu Syihaab Az-Zuhriy:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْرٍ، عَنْ مَعْمَرٍ، قَالَ: وَقَالَ الزُّهْرِيُّ "قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا، قَالَ: نَرَى أَنَّ الْإِسْلَامَ الْكَلِمَةُ وَالْإِيمَانَ الْعَمَلُ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Tsaur, dari Ma’mar, ia berkata : Telah berkata Az-Zuhriy tentang ayat : Akan tetapi katakanlah: ‘Kami telah tunduk’ (QS. Al-Hujuraat : 14), ia berkata : “Kami berpendapat bahwa islam adalah kalimat (syahadat) dan iman adalah amal” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4685; shahih].

Perkataan Az-Zuhri tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan ijma’ ahlussunnah dalam permasalaha iman yang hendak antum runtuhkan.

Para ulama menyatakan jika istilah islam dan iman terdapat dalam satu kalimat, maka islam bermakna amal yang dzahir yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan iman bermakna amalan hati semisal iman pada Allah, para malaikat, kitab-kitab, dst. Dalilnya adalah hadits Jibril yang masyhur.

Namun jika istilah islam dan iman disebutkan secara terpisah, dalam artian menyebutkan istilah islam dan iman secara bersendirian, maka iman adalah islam dan islam bermakna iman. Tanpa dibedakan kedua maknanya. Dalilnya adalah hadits syu’abul iman. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الإيمان بضع وسبعون شعبة ، أعلاها : قول لا إله إلا الله ، وأدناها : إماطة الأذى عن الطريق

“Iman memiliki tujuh puluh sekian cabang . Cabang yang paling tinggi adalah perkataan [لا إله إلا الله] dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan”.

Dalam hadits tersebut, nabi memasukkan syahadat dan amal jawarih dalam iman. Tidak tepat jika antum berusaha memisahkan antara iman dan islam berdalil dengan perkataan Imam Az-Zuhri rahimahullah di atas.

Terlebih Syaikhul Islam rahimahullah menukil perkataan Az-Zuhri tersebut dengan sedikit tambahan dari apa yang antum sebutkan.


Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata:

كنا نقول الإسلام بالإقرار والإيمان بالعمل, والإيمان قول وعمل قرينان لا ينفع أحدهما إلا بالأخر

“Kami menyatakan bahwa Islam adalah iqraar dan iman adalah amal. Iman adalah perkataan dan amal, keduanya sangat dekat. Tidak bermanfaat mencukupkan salah satunya tanpa yang lain.” [Majmu’ Al-Fataawa, 7/295]

Jika antum menyebutkan perkataan Az-Zuhri rahimahullah secara lengkap, justru akan lebih menguatkan ijma’ salaf dalam permasalahan ini. Anehnya, kenapa antum menukil sebagian perkataan Az-Zuhri untuk membatalkan ijma’??

4. Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah:



ويخرُجُ الرّجلُ مِنَ الإيمانِ إِلىَ الإسلامِ ، ولا يخرِجُه مِن الإسلامِ إلاّ الشركُ باللهِ أو بردِّ فريضَةٍ مِن فرائضِ اللهِ عزّ وجلَّ جاحِدا بِها ، فإنْ تركَها تهاوُناً أَو كسَلاً كانَ فِي مَشيئةِ الله


“Seseorang keluar dari iman menuju Islam, dan ia tidak dikeluarkan dari Islam kecuali jika menyekutukan Allah atau menolak kewajiban dari kewajiban-kewajiban yang Allah tetapkan dengan pengingkaran (juhud -ed-). Namun apabila ia meninggalkannya karena meremehkan atau malas, maka ia berada dalam kehendak Allah” [Asy-Syarh wal-Ibaanah, hal. 85]

Lagi-lagi antum menukilkan perkataan ulama yang seolah-olah membatasi kekufuran dalam pengingkaran (juhud) dan takdzib (pendustaan). Jadi, sah-sah saja jika para ulama menuduh mereka hanya membatasi kekufuran hanya dalam i'tiqaad (keyakinan hati).

Bandingkan dengan perkataan Ibnu Bathah rahimahullah berikut,

Ibnu Bathah rahimahullah berkata:

من صدَّق بالقول وترك العمل كان مكذِّباً وخارجاً من الإيمان وأن الله لا يقبل قولاً إلا بعمل ولا عملاً إلا بقول

“Barangsiapa yang membenarkan (imannya –pen-) dengan perkataan (syahadat –pen-) lalu meninggalkan amal, maka cukuplah hal itu sebagai bentuk pendustaannya terhadap iman dan sekaligus mengeluarkannya dari iman. Allah tidak menerima perkataan kecuali dengan amal. Tidak sah amal kecuali dengan perkataan” [Al-Ibanah, 2/795]

Apakah perkataan Ibnu Bathah di atas sedang menukilkan ijma’ salaf atau membatalkan ijma’ ??


5. Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah:



أركان الإسلام الخمسة : أولها الشهادتان، ثم الأركان الأربعة؛ إذا أقر بها وتركها تهاونا؛ فنحن وإن قاتلناه على فعلها، فلا نكفر بتركها. والعلماء اختلفوا في كفر التارك لها كسلا من غير جحود، ولا نكفر إلا ما أجمع عليه العلماء كلهم؛ وهو الشهادتان.



“Rukun Islam yang lima; yang pertama adalah dua kalimat syahadat, kemudian rukun yang empat. Barangsiapa yang mengikrarkannya namun meninggalkannya karena meremehkannya, meskipun kami memeranginya, namun kami kami tidak mengkafirkan orang yang meninggalkannya. Para ulama berbeda pendapat tentang kekufuran orang yang meninggalkan shalat karena malas tanpa pengingkaran. Kami tidak mengkafirkan kecuali apa yang telah disepakati seluruh ulama, yaitu dua kalimat syahadat” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/102]

Bandingkan dengan perkataan beliau berikut,

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:

فإن أقرَّ بالتوحيد , ولم يعمل به فهو : كافر, معاند, كفرعون وإبليس ؛ وإن عَمِلَ بالتوحيد ظاهراً , وهو لا يعتقده باطناً , فهو : منافق خالصاً , أشر من الكافر

“Jika ia mengikrarkan tauhid, namun tidak mau beramal dengannya. Maka ia adalah seorang kafir yang pembangkang seperti Fir’aun dan Iblis. Jika ia beramal dengan tauhid secara dzahir, namun tidak meyakininya dalam batin, maka ia murni seorang munafik yang lebih buruk dari orang kafir.” [Ad-Durar As-Saniyyah, 2/124]

Masih belum jelas??

6. ‘Abdul-Lathiif bin ‘Abdirrahmaan bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah:



والخلاصة؛ أن الخلاف في أعمال الجوارح : هل يكفر ؟ أو : لا يكفر : واقع بين أهل السنة......



“Dan kesimpulannya, bahwasannya dalam permasalahan amal-amal anggota badan (a’maalul-jawaarih) : apakah mengkafirkan atau tidak mengkafirkan (bagi orang yang meninggalkannya); merupakan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Ahlus-Sunnah” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/479]

Ternyata perkataan Syaikh Abdul-Lathif rahimahullah yang antum bawakan terpotong. Nukilan lengkapnya adalah sebagai berikut:

فأهل السنَة : مجمعون على أنَه لا بدَ من عمل القلب الذي هو : محبَته , ورضاه , و انقياده , و المرجئة تقول يكفي التصديق , فقط , ويكون به مؤمنا , و الخلاف في أعمال الجوارح هل يكفر أو لا يكفر واقع بين أهل السنَة و المعروف عند السلف : تكفير من ترك أحد المباني الإسلامية , كالصلاة , والزكاة , و الصيام , و الحجَ و القول الثاني : أنَه لا يكفر إلاَ من جحدها , و الثالث : الفرق بين الصلاة و غيرها و هذه الأقوال معروفة

“[Maka Ahlus-Sunnah bersepakat harus terdapat amalan hati (dalam iman –pen-) semisal kecintaan, ridha dan inqiyad (kepatuhan). Adapun Murji’ah menyatakan cukup seorang tashdiq (membenarkan iman dalam hati –pen-) maka ia telah teranggap beriman]. Perbedaan pendapat dalam a’mal jawarih apakah mengkafirkan atau tidak, terjadi dalam lingkup Ahlus-Sunnah. [Yang ma’ruf di kalangan salaf adalah mengkafirkan seorang yang meninggalkan salah satu dari rukun Islam (yang empat –pen) seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Adapun pendapat kedua menyatakan tidak kafir kecuali jika disertai juhud (pengingkaran). Pendapat ketiga membedakan antara shalat dan rukun-rukun Islam yang lain, pendapat ini juga ma’ruf].[Ad-Durar Ats-Tsaniyyah, 1/479-480]

Syaikh Abdul-Lathif rahimahullah menyebutkan kesepakatan Ahlus-Sunnah tentang amalan hati yang harus ada dalam iman seorang muslim, yaitu kecintaan, ridha dan inqiyad (kepatuhan). Ketika seorang hanya bersyahadat, namun tidak mau beramal shalih,

- Mana bukti kecintaannya pada Allah?? Bukankah dalam hatinya terdapat ashlul-iman menurut mereka.

- Apakah ia telah ridha pada agama Islam, kenapa ia tidak mau mengamalkan syariat-syariat Islam sedikitpun?

- Apakah ia memiliki inqiyad (kepatuhan) dalam hatinya, ketika Allah mewajibkan padanya shalat, zakat, puasa namun ia enggan melaksanakan perintah Allah?Bukankah dalam hatinya terdapat ashlul-iman menurut mereka??

- Apakah ashlul-iman terwujud dalam hati, hanya sekedar ia membenarkan agama Islam dalam hatinya? Bukankah Abu Thalib membenarkan agama yang dibawa Rasulullah? Bukankah Fir’aun meyakini kebenaran agama yang dibawa Musa?

Apakah Syaikh Abdul-Lathif rahimahullah dalam perkataannya sedang membahas “hukum seorang yang meninggalkan SELURUH a’mal jawarih” atau sedang membahas “hukum meninggalkan SEBAGIAN a’mal jawarih dalam rukun Islam yang empat (shalat, puasa. zakat dan haji)”?

Kemudian nukilan-nukilan perkataan ulama yang lain masih memiliki dua kemungkinan. Bisa jadi yang dimaksud adalah meninggalkan sebagian amal atau meninggalkan seluruh amal, jadi bukan pada mahallun niza’. Sebagai contoh dari nukilan antum:



Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya sebagai berikut:



العُلماءُ الذينَ قَلوا بعدم كُفْرِ مَنْ تَرَكَ أَعمالَ الْجوارح - مع تَلَفُّظِهِ  بالشهادتين، ووجودِ أصلِ الْإيمان القلبي؛ هل هم من المُرجئة ؟!



“Ulama yang berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan amal-amal jawaarih (anggota badan) yang bersamaan dengan pengucapan dua kalimat syahadat dari orang tersebut dan keberadaan ashlul-iimaan di hatinya; apakah mereka (ulama tersebut) termasuk golongan Murji’ah?”.



Beliau menjawab:



هذا من أهل السنة والجماعة؛ فمن ترك الصيام، أو الزكاة، أو الحج : لا شك أڽَّ ذلك كبيرة عند العلماء؛ ولكن على الصواب : لا يكفر كفرا أكبر.

أما تركُ الصلاة : فالراجح : أنه كافر كفرا أكبر إذا تعمد تركها.

وأما تركُ الزكاة والصيام والحج : فإنه كفر دون كفر.



“Mereka ini termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Barangsiapa yang meninggalkan puasa, zakat, atau haji; maka tidak diragukan bahwa hal itu termasuk dosa besar menurut para ulama. Akan tetapi yang benar dalam permasalahan ini : Tidak dikafirkan dengan kufur akbar (murtad).



Adapun permasalahan meninggalkan shalat, yang raajih : Ia dihukumi kafir akbar apabila sengaja meninggalkannya. Sedangkan meninggalkan zakat, puasa, dan haji; maka ia adalah kufrun duuna kufrin (kufur ashghar)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/144-145]

Jika dalam hati seorang hamba terdapat ashlul-iman, maka tidak ada lagi yang perlu dipertanyakan. Ia adalah seorang muslim meskipun masih meninggalkan sebagian amal jawarih yang wajib.

Yang patut dipertanyakan, seorang yang tidak mau beramal sedikitpun seumur hidupnya tanpa udzur, apakah ia memiliki ashlul-iman dalam hatinya?? Syaikhul Islam rahimahullah telah menyatakan bahwa ia adalah seorang yang kafir lagi munafiq. Sebenarnya permasalahan ini sangat sederhana untuk dijawab, jika kita mau menggunakan akal sehat dan meninggalkan sikap ta’ashub terselubung 

Tentu kita telah sepakat bahwa para ulama berbeda dalam menghukumi kekafiran seorang yang meninggalkan shalat dan seorang yang meninggalkan zakat atau puasa. Kenapa antum sewot, ketika para ulama membedakan hukum seorang yang meninggalkan “seluruh amal” dengan seorang yang hanya meninggalkan sebagian amal seperti shalat, zakat, puasa, dsb. Bukankah hukum meninggalkan shalat dan meninggalkan jinsul a’mal adalah dua permasalahan yang jelas-jelas berbeda??


Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkhali hafidzahullah (Mufti Wilayah Jazan, Saudi Arabia) berkata:

الصنف الخامس:عموم المرجئة الذين أخرجوا العمل عن مسمى الإيمان ,وادعوا أن من حصل له مجردا لتصديق فتصديقه
هذا باق على حاله لا يتغير سواء أتى بشيء من الطاعات أم لا,وسواء اجتنب المعاصي أوارتكبها,فهم لم يفرقوا بين جنس العمل -والذي يعد شرطاً في صحة الإيمان عند أهل السنة- وبين آحاد العمل وأفراده والذي يعد تاركه غير مستكمل الإيمان

“Kelompok kelima: Kebanyakan Murji’ah yang mengeluarkan amal dari iman. Mereka menyangka bahwa ketika seorang tashdiq (membenarkan syahadat dalam hatinya –pen-), maka tashdiq tersebut akan senantiasa ada dalam hatinya dan tidak mungkin berubah meskipun ia melakukan amal ketaatan ataupun tidak. Dan meskipun ia terjatuh dalam maksiat ataupun tidak. Mereka tidak membedakan antara jinsul ‘amal –yang merupakan syarat sahnya iman menurut Ahlus-Sunnah- dan sebagian amal yang jika ditinggalkan hanya mengurangi kesempurnaan iman” [Al-Ajwibah As-Sadidah ‘alal As’ilah Ar-Rasyidah: 7 cetakan Daar Al-Minhaaj Al-Mishriyyah]

Sehingga terlalu memaksakan diri jika antum menyatakan “Dari sini kita menjadi paham dasar perkataan Syaikhul-Islaam rahimahullah tentang kafirnya orang yang meninggalkan amal secara keseluruhan, yaitu dibangun oleh pendapat beliau yang lain kafirnya orang yang meninggalkan shalat.

Lalu bagaimana dengan kontradiksi perkataan Ibnu Hazm? Jika memang benar bahwa pendapat beliau berkebalikan dengan Ibnu Taimiyyah. Ibnu Hazm terbukti mengkafirkan seorang yang hanya meninggalkan satu shalat fardhu, namun tidak mengkafirkan seorang yang meninggalkan seluruh amal??

Kemudian perkataan antum yang lain yang menurut saya sedikit aneh adalah “Adapun sebagian ulama, ada yang memasukkan sebagian amal jawaarih dalam ashlul-iimaan (pokok keimanan), seperti shalat, zakat, puasa, dan/atau haji – karena mereka berpendapat meninggalkannya dihukumi kafir. Barangsiapa yang menghukumi sebuah amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran pelakunya, maka amalan tersebut baginya merupakan bagian dari ashlul-iimaan.”

Sejak kapan mereka menganggap amal jawarih termasuk dalam ashlul iman?? Bukankah ashlul iman hanyalah i’tiqad menurut Ibnu Taimiyyah versi mereka??

كما قال أهل السنة‏:‏ إن من ترك فروع الإيمان لا يكون كافرًا، حتى يترك أصل الإيمان‏.‏ وهو الاعتقاد

“Sebagaimana dikatakan Ahlus-Sunnah : Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan cabang-cabang iman tidaklah menjadi kafir, hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan, yaitu i’tiqaad...” [Al-‘Uquudud-Durriyyah, hal. 96]

Adapun nukilan antum dari perkataan Asy-Syafi’i di bawah,

Asy-Syaafi’iy rahimahullah (w. 204 H).

الإيمان هو التصديق والإقرار والعمل، فالمخلُّ بالأول وحده منافق، وبالثاني وحده كافر، وبالثالث وحده فاسق ينجو من الخلود النار ويدخل في الجنة

“Iman itu adalah tashdiiq, iqraar, dan amal. Ketiadaan hal pertama saja, maka ia munafik. Ketiadaan hal kedua saja, maka ia kafir. Dan ketiadaan hal ketiga saja, maka ia fasik yang selamat dari kekekalan neraka dan (kemudian) masuk ke dalam surga” [Dinukil Asy-Syiiraaziy dalam ‘Umdatul-Qaari’, 1/175].

Insya Allah akan dibahas dalam artikel berikutnya, wabillahittaufiq..

Pengingkaran Istilah Jinsul A’mal

Tidak masalah menurut saya, jika antum mau menggunakan istilah ushul dan furu’ iman, lalu menolak mentah-mentah istilah jinsul a’mal  karena mengikuti ijtihad sebagian ulama. Jika kita memang memahami nash-nash perkataan ulama sesuai dengan pemahaman salaf, saya yakin kesimpulannya pun akan sama.

Saya akan mengalah demi mengikuti istilah antum bahwa ashlul iman adalah i’tiqad dan amal adalah far’ (cabang). Seorang hanya dikafirkan jika meninggalkan ashlul iman yaitu i’tiqad (keyakinan hati).

Para ulama menyatakan bahwa i’tiqad yang menjadi ashlul-iman dan harus ada dalam iman seorang muslim adalah amalan hati semisal kecintaan, tashdiiq (pembenaran), dan inqiyaad (kepatuhan). Hal ini telah disepakati oleh ulama ahlussunnah.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

فأهل السنة مجمعون على زوال الإيمان ، وأنه لا ينفع التصديق ، مع انتفاء عمل القلب ومحبته وانقياده

“Ahlus-Sunnah bersepakat tentang ketiadaan iman bagi seorang yang tidak memiliki amalan hati, kecintaan dan inqiyad (kepatuhan). Keberadaan tashdiq (pembenaran) tidaklah bermanfaat.”[Kitabus Shalah hal. 54]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata :


الإيمان له ظاهر وباطن ، وظاهره قول اللسان وعمل الجوارح وباطنه تصديق القلب وانقياده ومحبته ، فلا ينفع ظاهر لا باطن له... ولا يجزىء باطن لا ظاهر له إلا إذا تعذّر بعجز أو إكراه وخوف هلاك. فتخلف العمل ظاهراً مع عدم المانع دليل على فساد الباطن وخلوه من الإيمان.



 “Iman mencakup dhahir dan batindhahirnya adalah perkataan lisan dan amal jawarih, sedangkan batinnya adalah tashdiq (pembenaran) dalam hati, inqiyad (kepatuhan) dan mahabbah (cinta) kepada-Nya. Tidak bermanfaat dhahir tanpa batin…tidak sah batin tanpa dhahir kecuali jika ia memiliki udzur dikarenakan lemah, terpaksa atau dalam kondisi ketakutan yang dapat membinasakannya. Tidak adanya amal dhahir tanpa udzur merupakan dalil rusaknya batin dan kosongnya hati dari iman.” [Al-Fawaid hal. 283]

Syaikh Hafidz Al-Hakami rahimahullah berkata:

ومحال أن ينتفي انقياد الجوارح بالأعمال الظاهرة مع ثبوت عمل القلب، قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهِيَ الْقَلْبُ)) .

ومن هنا يتبين لك أن من قال من أهل السنة في الإيمان هو التصديق على ظاهر اللغة؛ أنهم إنما عنوا التصديق الإذعاني المستلزم للانقياد ظاهراً وباطناً، لم يعنوا مجرد التصديق

Mustahil terdapat amalan hati (dalam diri seorang hamba –pen) tanpa adanya inqiyad yang nampak dalam amal jawarihnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya dalam tubuh ini terdapat segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruh jasadnya. Jika rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa organ itu adalah hati”

Dari sini nampaklah bagimu bahwa sebagian ulama ahlusunnah yang menyatakan iman adalah tashdiiq (pembenaran), maka hal itu jika ditinjau dari segi bahasa. Mereka hanyalah memaksudkan tashdiiq jika disertai kepatuhan yang diwujudkan dalam dzahir dan batin. Tidak hanya mencukupkan tashdiiiq (dalam hati –pen-).” [Ma’arijul Qabuul]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

لابد أن يكون الإنسان موحدا بقلبه، وقوله، وعمله، فإن كان موحدا بقلبه، ولكنه لم يوحد بقوله أو بعمله فإنه غير صادق في دعواه؛ لأن توحيد القلب يتبعه توحيد القول والعمل

“Manusia haruslah menjadi seorang yang bertauhid dalam hati, ucapan dan perbuatannya. Jika ia hanya bertauhid dalam hatinya, namun tidak diwujudkan dalam ucapan dan amalnya, maka pengakuannya dusta. Karena tauhid dalam hati akan diikuti oleh tauhid dalam ucapan dan amal” [Syarh Kasyfus Syubuhat]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga berkata:

فالحديث واضح الدلالة على شرطية العمل لمن قال لا إله إلا الله، حيث قال:(يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ)،

ولهذا قال بعض السلف عند قول النبي صلى الله عليه وسلم:( مفتاح الجنة لا إله إلا الله لكن من أتى بمفتاح لا أسنان له لا يفتح له (

“Hadits ini sangat jelas menunjukkan tentang disyaratkannya amal bagi seorang yang menyatakan [لا إله إلا الله] yaitu ketika beliau bersabda [يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ]. Oleh karena itu, sebagian salaf berkata ketika menjelaskan sabda nabi tersebut “kunci surga adalah ucapan [لا إله إلا الله] namun kunci (pastilah memiliki gigi-gigi –pen-). Jika ia datang dengan membawa kunci tanpa gigi-gigi maka tidak akan dibukakan pintu surga baginya” [Syarh Hadits Itban]

Ketika menjelaskan keutamaan kalimat Tauhid, Syaikh Shalih Alu Asy-Syaikh hafidzahullah berkata:

وهذا الفضل العظيم لكلمة التوحيد إنما هو لمن قويت في قلبه،

ذلك أنها في قلب بعض العباد تكون قوية؛ لأنه مخلص فيها مُصَدِّق لا ريب عنده فيما دلت عليه، معتقد ما فيها محب لما دلت عليه فيقوى أثرها في القلب ونورها، وما كان كذلك فإنها تحرق ما يقابلها من الذنوب.

وأما من لم يكن من أهل تمام الإخلاص فيها، فإنه لا تطيش له سجلات الذنوب،

فإذن يكون هذا الحديث وحديث البطاقة يدل على أن لا إله إلا الله لا يقابلها ذنب، ولا تقابلها خطيئة، لكن هذا في حق من كملها وحققها بحيث لم يخالطها في قلبه في معناها ريب، ولا تردد

“Keutamaan besar dari kalimat Tauhid ini hanyalah didapatkan oleh orang-orang yang memiliki keyakinan yang kuat dalam hatinya. Dalam hati sebagian hamba-hamba Allah, kalimat Tauhid ini terpatri dengan kuat. Dikarenakan ia ikhlas dan memiliki pembenaran (tashdiq) tanpa ada keraguan sedikitpun terhadap apa-apa yang menjadi konsekuensinya. Ia meyakini kalimat tersebut dan mencintai apa-apa yang menjadi konsekuensinya, hingga bertambah kuatlah keyakinannya, memberikan pengaruh dalam hati dan meneranginya. Jika keadaannya memang demikian, maka kalimat Tauhid tersebut dapat menghapuskan dosa-dosa yang ia lakukan.

Adapun orang-orang yang tidak memiliki kesempurnaan ikhlas, justru catatan-catatan dosanya lah yang akan merusak kalimat Tauhid. Dengan demikian, hadits ini dan hadits bithaqah  menunjukkan bahwa (keutamaan –pen-) kalimat Tauhid ini tidak dapat ditandingi oleh dosa-dosa dan kesalahan apa pun. Namun, ini hanya berlaku bagi orang-orang yang menyempurnakan dan mewujudkan kalimat Tauhid tersebut, dalam artian tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan dalam hatinya.”

Jika ada seorang yang seumur hidupnya meninggalkan amal tanpa udzur dan melakukan berbagai macam perbuatan keji , kira-kira seberapa kuat keyakinan Tauhid yang ada dalam hatinya ya? Apakah ia telah ikhlas ketika mengucapkan kalimat syahadat?

Jika antum memahami bahwa i’tiqad yang termasuk dalam ashlul iman hanyalah tashdiiq, maka kita perlu mengkaji ulang pemahaman kita dalam bab Tauhid. Allahua’lam


Mudah-mudahan bermanfaat...

Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 13 Jumadil Akhir 1434 H

No comments:

Post a Comment