Artikel ini adalah jawaban ringkas bagi sebagian orang yang hendak meruntuhkan ijma' salaf dalam permasalahan iman. Diantara syubhat yang mereka bawakan adalah perkataan ulama berikut:
1. Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahullah:
1. Ibnu Jariir Ath-Thabariy rahimahullah:
قالَ بعضُهم :
الإيمانُ معرفةٌ بالقَلبِ ، وإقرارٌ باللِّسَانِ ، وعَمَل بالجَوارِحِ ، فمَن أتى
بمعنيَين مِن هذِه المعاني الثّلاثةِ ولم يأتِ بالثّالثِ فغيرُ جائزٍ أن يُقالَ :
إنّه مؤمنٌ ، ولكنّه يُقالُ له : إنْ كانَ اللّذانِ أتى بهِما المعرفةُ بالقَلبِ
والإقرارُ باللِّسَانِ ، وَهُوَ في العَمَل مفرّطٌ ، فمُسلِم
“Sebagian dari mereka (yaitu : Ahlus-Sunnah) berkata : iman adalah ma’rifat
dengan hati, penetapan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Barangsiapa
yang melakukan dengan dua makna (awal) dari ketiga makna tersebut, namun tidak
mengerjakan yang ketiga (yaitu : amal dengan anggota badan), maka tidak boleh
untuk dikatakan bahwa yang bersangkutan adalah mukmin. Akan tetapi dikatakan
kepadanya : apabila ia mendatangkan pengetahuan dalam hati dan penetapan dengan
lisan, namun ia meninggalkan amal, maka ia muslim” [At-Tabshiir fii
Ma’aalimid-Diin, hal. 188]
Bandingkan dengan nukilan perkataan beliau dalam Kitab Shariih As-Sunnah
berikut,
عن علي بن سهل الرملي حدثنا الوليد بن مسلم قال : (
سمعت الأوزاعي ومالك بن أنس وسعيد بن عبد العزيز رحمهم الله ينكرون قول من يقول:
إن الإيمان إقرار بلا عمل ، ويقولون لا إيمان إلا بعمل ، ولا عمل إلا بإيمان
“Dari Ali bin Sahl Ar-Ramli, ia berkata: menceritakan pada kami Al-Walid
bin Muslim, ia berkata: “Aku mendengar Al-Auza’i, Malik bin Anas dan Sa’id bin
Abdul Aziz rahimahumullah mengingkari sebagian orang yang menyatakan:
“sesungguhnya iman adalah iqraar (syahadat –pen-) tanpa amal. Sedangkan
Al-Auza’i, Anas bin Malik dan Sa’id bin Abdul Aziz menyatakan bahwa tidak
ada iman tanpa amal dan tidak ada amal tanpa iman.”
Menurut saya, antum keliru jika kalimat [مفرّطٌ] diterjemahkan “meninggalkan”. Misalkan ada seorang yang
berkata:
زيد مفرط في صلاته
Apakah mesti diterjemahkan "zaid meninggalkan shalatnya"? Apakah keliru jika
ada yang menerjemahkan “Zaid meremehkan shalatnya” karena ia tidak
menyempurnakan rukun, kewajiban dan sunah-sunah shalat.
Seorang yang [مفرّطٌ] dalam amal
belum tentu ia meninggalkan amal tersebut secara mutlak. Nukilan dari Imam
Ath-Thabari rahimahullah yang saya bawakan lebih jelas dan sharih
bahwa beliau tidak menyelisihi ijma’
para ulama salaf sebelum beliau dalam permasalahan iman.
2. Ibnu Hazm rahimahullah:
وَمَن ضيّعَ
الأعمالَ كلَّها فهُوَ مؤمِنٌ عاصٍ ناقصُ الإيمانِ ، لا يكفُر
“Dan barangsiapa yang menelantarkan seluruh amal, maka ia mukmin
yang bermaksiat lagi kurang imannya. Tidak dikafirkan” [Al-Muhallaa, 1/40-41]
- Ternyata Ibnu Hazm berpendapat kafirnya seorang yang meninggalkan shalat
secara sengaja, bahkan beliau menukil ijma’ para sahabat tentang permasalahan
ini.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
وقد جاء عن عمر وعبد الرحمن بن عوف ومعاذ بن جبل
وأبي هريرة وغيرهم من الصحابة - رضي الله عنهم - أن من ترك صلاة فرض واحدة متعمدا
حتى يخرج وقتها فهو كافر مرتد ، ولا نعلم لهؤلاء من الصحابة مخالف
“Terdapat riwayat dari Umar, Abdurrahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu
Hurairah dan para sahabat yang lain bahwa barangsiapa yang meninggalkan satu
shalat fardhu hingga keluar waktunya secara sengaja, maka ia kafir murtad.
Kami tidak mengetahui adanya sahabat yang menyelisihi mereka (dalam
permasalahan ini –pen-)” [Al-Muhalla, 2/15]
Terus terang saya heran, meninggalkan satu shalat saja bisa kafir dan
murtad menurut Ibnu Hazm, tapi meninggalkan seluruh amal disebut mukmin??
- kalimat [ضيّع] hampir sama
maknanya dengan [مفرّطٌ], tidak mesti
diterjemahkan “meninggalkan” amal.
3. Ibnu Syihaab Az-Zuhriy:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْرٍ، عَنْ مَعْمَرٍ، قَالَ: وَقَالَ
الزُّهْرِيُّ "قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا، قَالَ:
نَرَى أَنَّ الْإِسْلَامَ الْكَلِمَةُ وَالْإِيمَانَ الْعَمَلُ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid : Telah menceritakan
kepada kami Ibnu Tsaur, dari Ma’mar, ia berkata : Telah berkata Az-Zuhriy
tentang ayat : Akan tetapi katakanlah: ‘Kami telah tunduk’ (QS. Al-Hujuraat :
14), ia berkata : “Kami berpendapat bahwa islam adalah kalimat (syahadat)
dan iman adalah amal” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4685; shahih].
Perkataan Az-Zuhri tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan ijma’
ahlussunnah dalam permasalaha iman yang hendak antum runtuhkan.
Para ulama menyatakan jika istilah islam dan iman terdapat dalam satu
kalimat, maka islam bermakna amal yang dzahir yaitu syahadat,
shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan iman bermakna amalan hati semisal iman
pada Allah, para malaikat, kitab-kitab, dst. Dalilnya adalah hadits Jibril yang
masyhur.
Namun jika istilah islam dan iman disebutkan secara terpisah, dalam artian
menyebutkan istilah islam dan iman secara bersendirian, maka iman adalah islam
dan islam bermakna iman. Tanpa dibedakan kedua maknanya. Dalilnya adalah hadits
syu’abul iman. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الإيمان بضع وسبعون شعبة ، أعلاها : قول لا إله إلا
الله ، وأدناها : إماطة الأذى عن الطريق
“Iman memiliki tujuh puluh sekian cabang . Cabang yang paling tinggi adalah
perkataan [لا إله إلا الله] dan cabang
yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan”.
Dalam hadits tersebut, nabi memasukkan syahadat dan amal jawarih dalam iman. Tidak tepat
jika antum berusaha memisahkan antara iman dan islam berdalil dengan perkataan
Imam Az-Zuhri rahimahullah di atas.
Terlebih Syaikhul Islam rahimahullah menukil perkataan Az-Zuhri tersebut dengan sedikit tambahan dari apa yang antum sebutkan.
4. Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah:
ويخرُجُ الرّجلُ مِنَ الإيمانِ إِلىَ الإسلامِ ، ولا يخرِجُه مِن الإسلامِ إلاّ الشركُ باللهِ أو بردِّ فريضَةٍ مِن فرائضِ اللهِ عزّ وجلَّ جاحِدا بِها ، فإنْ تركَها تهاوُناً أَو كسَلاً كانَ فِي مَشيئةِ الله
“Seseorang keluar dari iman menuju Islam, dan ia tidak dikeluarkan dari Islam kecuali jika menyekutukan Allah atau menolak kewajiban dari kewajiban-kewajiban yang Allah tetapkan dengan pengingkaran (juhud -ed-). Namun apabila ia meninggalkannya karena meremehkan atau malas, maka ia berada dalam kehendak Allah” [Asy-Syarh wal-Ibaanah, hal. 85]
Lagi-lagi antum menukilkan perkataan ulama yang seolah-olah membatasi kekufuran dalam pengingkaran (juhud) dan takdzib (pendustaan). Jadi, sah-sah saja jika para ulama menuduh mereka hanya membatasi kekufuran hanya dalam i'tiqaad (keyakinan hati).
6. ‘Abdul-Lathiif bin ‘Abdirrahmaan bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah:
Kemudian nukilan-nukilan perkataan ulama yang lain masih memiliki dua kemungkinan. Bisa jadi yang dimaksud adalah meninggalkan sebagian amal atau meninggalkan seluruh amal, jadi bukan pada mahallun niza’. Sebagai contoh dari nukilan antum:
Yang patut dipertanyakan, seorang yang tidak
mau beramal sedikitpun seumur hidupnya tanpa udzur, apakah ia memiliki ashlul-iman
dalam hatinya?? Syaikhul Islam rahimahullah telah menyatakan bahwa
ia adalah seorang yang kafir lagi munafiq. Sebenarnya permasalahan ini sangat
sederhana untuk dijawab, jika kita mau menggunakan akal sehat dan meninggalkan
sikap ta’ashub terselubung
Tentu kita telah sepakat bahwa para ulama berbeda dalam menghukumi kekafiran seorang yang meninggalkan shalat dan seorang yang meninggalkan zakat atau puasa. Kenapa antum sewot, ketika para ulama membedakan hukum seorang yang meninggalkan “seluruh amal” dengan seorang yang hanya meninggalkan sebagian amal seperti shalat, zakat, puasa, dsb. Bukankah hukum meninggalkan shalat dan meninggalkan jinsul a’mal adalah dua permasalahan yang jelas-jelas berbeda??
Terlebih Syaikhul Islam rahimahullah menukil perkataan Az-Zuhri tersebut dengan sedikit tambahan dari apa yang antum sebutkan.
Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata:
كنا نقول الإسلام بالإقرار والإيمان بالعمل,
والإيمان قول وعمل قرينان لا ينفع أحدهما إلا بالأخر
“Kami menyatakan bahwa Islam adalah iqraar dan iman adalah amal. Iman
adalah perkataan dan amal, keduanya sangat dekat. Tidak bermanfaat
mencukupkan salah satunya tanpa yang lain.” [Majmu’ Al-Fataawa, 7/295]
Jika antum menyebutkan perkataan Az-Zuhri rahimahullah secara
lengkap, justru akan lebih menguatkan ijma’ salaf dalam permasalahan ini. Anehnya,
kenapa antum menukil sebagian perkataan Az-Zuhri untuk membatalkan ijma’??
4. Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah:
ويخرُجُ الرّجلُ مِنَ الإيمانِ إِلىَ الإسلامِ ، ولا يخرِجُه مِن الإسلامِ إلاّ الشركُ باللهِ أو بردِّ فريضَةٍ مِن فرائضِ اللهِ عزّ وجلَّ جاحِدا بِها ، فإنْ تركَها تهاوُناً أَو كسَلاً كانَ فِي مَشيئةِ الله
“Seseorang keluar dari iman menuju Islam, dan ia tidak dikeluarkan dari Islam kecuali jika menyekutukan Allah atau menolak kewajiban dari kewajiban-kewajiban yang Allah tetapkan dengan pengingkaran (juhud -ed-). Namun apabila ia meninggalkannya karena meremehkan atau malas, maka ia berada dalam kehendak Allah” [Asy-Syarh wal-Ibaanah, hal. 85]
Lagi-lagi antum menukilkan perkataan ulama yang seolah-olah membatasi kekufuran dalam pengingkaran (juhud) dan takdzib (pendustaan). Jadi, sah-sah saja jika para ulama menuduh mereka hanya membatasi kekufuran hanya dalam i'tiqaad (keyakinan hati).
Bandingkan dengan
perkataan Ibnu Bathah rahimahullah berikut,
Ibnu Bathah rahimahullah
berkata:
من صدَّق بالقول وترك العمل كان مكذِّباً وخارجاً من الإيمان وأن الله لا
يقبل قولاً إلا بعمل ولا عملاً إلا بقول
“Barangsiapa yang membenarkan
(imannya –pen-) dengan perkataan (syahadat –pen-) lalu meninggalkan amal, maka cukuplah
hal itu sebagai bentuk pendustaannya terhadap iman dan sekaligus
mengeluarkannya dari iman. Allah tidak menerima perkataan kecuali dengan
amal. Tidak sah amal kecuali dengan perkataan” [Al-Ibanah, 2/795]
Apakah perkataan Ibnu
Bathah di atas sedang menukilkan ijma’ salaf atau membatalkan ijma’ ??
5. Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab
rahimahullah:
أركان الإسلام الخمسة : أولها الشهادتان،
ثم الأركان الأربعة؛ إذا أقر بها وتركها تهاونا؛ فنحن وإن قاتلناه على فعلها، فلا
نكفر بتركها. والعلماء اختلفوا في كفر التارك لها كسلا من غير جحود، ولا نكفر إلا
ما أجمع عليه العلماء كلهم؛ وهو الشهادتان.
“Rukun Islam yang lima; yang
pertama adalah dua kalimat syahadat, kemudian rukun yang empat. Barangsiapa
yang mengikrarkannya namun meninggalkannya karena meremehkannya, meskipun kami
memeranginya, namun kami kami tidak mengkafirkan orang yang meninggalkannya. Para
ulama berbeda pendapat tentang kekufuran orang yang meninggalkan shalat karena
malas tanpa pengingkaran. Kami tidak mengkafirkan kecuali apa yang telah
disepakati seluruh ulama, yaitu dua kalimat syahadat” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/102]
Bandingkan dengan
perkataan beliau berikut,
Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullah berkata:
فإن أقرَّ بالتوحيد , ولم يعمل به فهو : كافر, معاند, كفرعون وإبليس ؛
وإن عَمِلَ بالتوحيد ظاهراً , وهو لا يعتقده باطناً , فهو : منافق خالصاً , أشر من
الكافر
“Jika ia mengikrarkan
tauhid, namun tidak mau beramal dengannya. Maka ia adalah seorang kafir yang
pembangkang seperti Fir’aun dan Iblis. Jika ia beramal dengan tauhid secara
dzahir, namun tidak meyakininya dalam batin, maka ia murni seorang munafik yang
lebih buruk dari orang kafir.” [Ad-Durar As-Saniyyah, 2/124]
Masih belum jelas??
6. ‘Abdul-Lathiif bin ‘Abdirrahmaan bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumullah:
والخلاصة؛ أن الخلاف في أعمال الجوارح : هل
يكفر ؟ أو : لا يكفر : واقع بين أهل السنة......
“Dan kesimpulannya, bahwasannya
dalam permasalahan amal-amal anggota badan (a’maalul-jawaarih) : apakah
mengkafirkan atau tidak mengkafirkan (bagi orang yang meninggalkannya); merupakan
perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Ahlus-Sunnah” [Ad-Durarus-Saniyyah,
1/479]
Ternyata perkataan
Syaikh Abdul-Lathif rahimahullah yang antum bawakan terpotong. Nukilan
lengkapnya adalah sebagai berikut:
فأهل السنَة : مجمعون على أنَه لا بدَ من
عمل القلب الذي هو : محبَته , ورضاه , و انقياده , و المرجئة تقول يكفي التصديق , فقط
, ويكون به مؤمنا , و الخلاف في أعمال الجوارح هل يكفر أو لا يكفر واقع بين أهل
السنَة و المعروف عند السلف : تكفير من ترك أحد المباني الإسلامية , كالصلاة , والزكاة
, و الصيام , و الحجَ و القول الثاني : أنَه لا يكفر إلاَ من جحدها , و الثالث : الفرق
بين الصلاة و غيرها و هذه الأقوال معروفة
“[Maka Ahlus-Sunnah
bersepakat harus terdapat amalan hati (dalam iman –pen-) semisal kecintaan, ridha
dan inqiyad (kepatuhan). Adapun Murji’ah menyatakan cukup seorang tashdiq (membenarkan
iman dalam hati –pen-) maka ia telah teranggap beriman]. Perbedaan pendapat
dalam a’mal jawarih apakah mengkafirkan atau tidak, terjadi dalam lingkup Ahlus-Sunnah.
[Yang ma’ruf di kalangan salaf adalah mengkafirkan seorang yang meninggalkan
salah satu dari rukun Islam (yang empat –pen) seperti shalat, zakat, puasa dan
haji. Adapun pendapat kedua menyatakan tidak kafir kecuali jika disertai juhud (pengingkaran).
Pendapat ketiga membedakan antara shalat dan rukun-rukun Islam yang lain, pendapat
ini juga ma’ruf].[Ad-Durar Ats-Tsaniyyah, 1/479-480]
Syaikh Abdul-Lathif
rahimahullah menyebutkan kesepakatan Ahlus-Sunnah tentang amalan hati yang
harus ada dalam iman seorang muslim, yaitu kecintaan, ridha dan inqiyad (kepatuhan).
Ketika seorang hanya bersyahadat, namun tidak mau beramal shalih,
- Mana bukti kecintaannya
pada Allah?? Bukankah dalam hatinya terdapat ashlul-iman menurut mereka.
- Apakah ia telah ridha
pada agama Islam, kenapa ia tidak mau mengamalkan syariat-syariat Islam
sedikitpun?
- Apakah ia memiliki
inqiyad (kepatuhan) dalam hatinya, ketika Allah mewajibkan padanya shalat, zakat,
puasa namun ia enggan melaksanakan perintah Allah?Bukankah dalam hatinya
terdapat ashlul-iman menurut mereka??
- Apakah ashlul-iman
terwujud dalam hati, hanya sekedar ia membenarkan agama Islam dalam hatinya? Bukankah
Abu Thalib membenarkan agama yang dibawa Rasulullah? Bukankah Fir’aun meyakini
kebenaran agama yang dibawa Musa?
Apakah Syaikh Abdul-Lathif
rahimahullah dalam perkataannya sedang membahas “hukum seorang yang
meninggalkan SELURUH a’mal jawarih” atau sedang membahas “hukum meninggalkan
SEBAGIAN a’mal jawarih dalam rukun Islam yang empat (shalat, puasa. zakat dan
haji)”?
Kemudian nukilan-nukilan perkataan ulama yang lain masih memiliki dua kemungkinan. Bisa jadi yang dimaksud adalah meninggalkan sebagian amal atau meninggalkan seluruh amal, jadi bukan pada mahallun niza’. Sebagai contoh dari nukilan antum:
Asy-Syaikh Ibnu Baaz
rahimahullah pernah ditanya sebagai berikut:
العُلماءُ الذينَ قَلوا بعدم كُفْرِ مَنْ تَرَكَ
أَعمالَ الْجوارح - مع تَلَفُّظِهِ
بالشهادتين، ووجودِ أصلِ الْإيمان القلبي؛ هل هم من المُرجئة ؟!
“Ulama yang berpendapat
tidak kafirnya orang yang meninggalkan amal-amal jawaarih (anggota badan) yang
bersamaan dengan pengucapan dua kalimat syahadat dari orang tersebut dan keberadaan
ashlul-iimaan di hatinya; apakah mereka (ulama tersebut) termasuk
golongan Murji’ah?”.
Beliau menjawab:
هذا من أهل السنة والجماعة؛ فمن ترك
الصيام، أو الزكاة، أو الحج : لا شك أڽَّ ذلك كبيرة عند العلماء؛ ولكن على الصواب :
لا يكفر كفرا أكبر.
أما تركُ الصلاة : فالراجح : أنه كافر
كفرا أكبر إذا تعمد تركها.
وأما تركُ الزكاة والصيام والحج : فإنه
كفر دون كفر.
“Mereka ini termasuk Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah. Barangsiapa yang meninggalkan puasa, zakat, atau haji; maka tidak
diragukan bahwa hal itu termasuk dosa besar menurut para ulama. Akan tetapi
yang benar dalam permasalahan ini : Tidak dikafirkan dengan kufur akbar (murtad).
Adapun permasalahan
meninggalkan shalat, yang raajih : Ia dihukumi kafir akbar apabila sengaja
meninggalkannya. Sedangkan meninggalkan zakat, puasa, dan haji; maka ia adalah
kufrun duuna kufrin (kufur ashghar)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/144-145]
Jika dalam hati seorang
hamba terdapat ashlul-iman, maka tidak ada lagi yang perlu dipertanyakan.
Ia adalah seorang muslim meskipun masih meninggalkan sebagian amal jawarih yang
wajib.
Tentu kita telah sepakat bahwa para ulama berbeda dalam menghukumi kekafiran seorang yang meninggalkan shalat dan seorang yang meninggalkan zakat atau puasa. Kenapa antum sewot, ketika para ulama membedakan hukum seorang yang meninggalkan “seluruh amal” dengan seorang yang hanya meninggalkan sebagian amal seperti shalat, zakat, puasa, dsb. Bukankah hukum meninggalkan shalat dan meninggalkan jinsul a’mal adalah dua permasalahan yang jelas-jelas berbeda??
Syaikh Zaid bin Muhammad
Al-Madkhali hafidzahullah (Mufti Wilayah Jazan, Saudi Arabia) berkata:
الصنف الخامس:عموم المرجئة الذين أخرجوا
العمل عن مسمى الإيمان ,وادعوا أن من حصل له مجردا لتصديق فتصديقه
هذا باق على حاله لا يتغير سواء أتى بشيء
من الطاعات أم لا,وسواء اجتنب المعاصي أوارتكبها,فهم لم يفرقوا بين جنس العمل -والذي
يعد شرطاً في صحة الإيمان عند أهل السنة- وبين آحاد العمل وأفراده والذي يعد تاركه
غير مستكمل الإيمان
“Kelompok kelima: Kebanyakan
Murji’ah yang mengeluarkan amal dari iman. Mereka menyangka bahwa ketika
seorang tashdiq (membenarkan syahadat dalam hatinya –pen-), maka tashdiq
tersebut akan senantiasa ada dalam hatinya dan tidak mungkin berubah meskipun
ia melakukan amal ketaatan ataupun tidak. Dan meskipun ia terjatuh dalam
maksiat ataupun tidak. Mereka tidak membedakan antara jinsul ‘amal –yang
merupakan syarat sahnya iman menurut Ahlus-Sunnah- dan sebagian amal yang jika
ditinggalkan hanya mengurangi kesempurnaan iman” [Al-Ajwibah As-Sadidah
‘alal As’ilah Ar-Rasyidah: 7 cetakan Daar Al-Minhaaj Al-Mishriyyah]
Sehingga terlalu memaksakan diri jika antum menyatakan “Dari sini kita menjadi
paham dasar perkataan Syaikhul-Islaam rahimahullah tentang kafirnya orang
yang meninggalkan amal secara keseluruhan, yaitu dibangun oleh pendapat
beliau yang lain kafirnya orang yang meninggalkan shalat.”
Lalu bagaimana dengan kontradiksi perkataan Ibnu Hazm? Jika memang benar
bahwa pendapat beliau berkebalikan dengan Ibnu Taimiyyah. Ibnu Hazm
terbukti mengkafirkan seorang
yang hanya meninggalkan satu shalat fardhu, namun tidak mengkafirkan seorang yang meninggalkan
seluruh amal??
Kemudian perkataan antum yang lain yang menurut saya sedikit aneh adalah “Adapun
sebagian ulama, ada yang memasukkan sebagian amal jawaarih dalam ashlul-iimaan
(pokok keimanan), seperti shalat, zakat, puasa, dan/atau haji – karena mereka
berpendapat meninggalkannya dihukumi kafir. Barangsiapa yang menghukumi sebuah
amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kekafiran pelakunya, maka amalan
tersebut baginya merupakan bagian dari ashlul-iimaan.”
Sejak kapan mereka menganggap amal jawarih termasuk dalam ashlul
iman?? Bukankah ashlul iman hanyalah i’tiqad menurut Ibnu Taimiyyah
versi mereka??
كما قال أهل
السنة: إن من ترك فروع الإيمان لا يكون كافرًا، حتى يترك أصل الإيمان. وهو
الاعتقاد
“Sebagaimana dikatakan Ahlus-Sunnah : Sesungguhnya barangsiapa yang
meninggalkan cabang-cabang iman tidaklah menjadi kafir, hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan,
yaitu i’tiqaad...” [Al-‘Uquudud-Durriyyah, hal. 96]
Adapun nukilan antum dari perkataan Asy-Syafi’i di bawah,
Asy-Syaafi’iy rahimahullah (w. 204 H).
الإيمان هو التصديق
والإقرار والعمل، فالمخلُّ بالأول وحده منافق، وبالثاني وحده كافر، وبالثالث وحده فاسق
ينجو من الخلود النار ويدخل في الجنة
“Iman itu adalah tashdiiq, iqraar, dan amal. Ketiadaan hal pertama saja,
maka ia munafik. Ketiadaan hal kedua saja, maka ia kafir. Dan ketiadaan hal
ketiga saja, maka ia fasik yang selamat dari kekekalan neraka dan (kemudian)
masuk ke dalam surga” [Dinukil Asy-Syiiraaziy dalam ‘Umdatul-Qaari’, 1/175].
Insya Allah akan dibahas dalam artikel berikutnya, wabillahittaufiq..
Pengingkaran Istilah Jinsul A’mal
Tidak masalah menurut saya, jika antum mau menggunakan istilah ushul
dan furu’ iman, lalu menolak mentah-mentah istilah jinsul a’mal karena mengikuti ijtihad sebagian ulama. Jika kita
memang memahami nash-nash perkataan ulama sesuai dengan pemahaman salaf, saya
yakin kesimpulannya pun akan sama.
Saya akan mengalah demi mengikuti istilah antum bahwa ashlul iman
adalah i’tiqad dan amal adalah far’ (cabang). Seorang hanya
dikafirkan jika meninggalkan ashlul iman yaitu i’tiqad (keyakinan
hati).
Para ulama menyatakan bahwa i’tiqad yang menjadi ashlul-iman dan harus ada dalam iman seorang muslim adalah amalan hati semisal kecintaan, tashdiiq (pembenaran), dan inqiyaad (kepatuhan).
Hal ini telah disepakati oleh ulama ahlussunnah.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
فأهل السنة مجمعون
على زوال الإيمان ، وأنه لا ينفع التصديق ، مع انتفاء عمل القلب ومحبته وانقياده
“Ahlus-Sunnah bersepakat tentang ketiadaan iman bagi seorang yang tidak
memiliki amalan hati, kecintaan dan inqiyad (kepatuhan). Keberadaan tashdiq
(pembenaran) tidaklah bermanfaat.”[Kitabus Shalah hal. 54]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata :
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata :
الإيمان له ظاهر وباطن ، وظاهره قول اللسان وعمل الجوارح وباطنه تصديق القلب وانقياده ومحبته ، فلا ينفع ظاهر لا باطن له... ولا يجزىء باطن لا ظاهر له إلا إذا تعذّر بعجز أو إكراه وخوف هلاك. فتخلف العمل ظاهراً مع عدم المانع دليل على فساد الباطن وخلوه من الإيمان.
“Iman mencakup dhahir dan batin, dhahirnya adalah perkataan lisan dan amal jawarih, sedangkan batinnya adalah tashdiq (pembenaran) dalam hati, inqiyad (kepatuhan) dan mahabbah (cinta) kepada-Nya. Tidak bermanfaat dhahir tanpa batin…tidak sah batin tanpa dhahir kecuali jika ia memiliki udzur dikarenakan lemah, terpaksa atau dalam kondisi ketakutan yang dapat membinasakannya. Tidak adanya amal dhahir tanpa udzur merupakan dalil rusaknya batin dan kosongnya hati dari iman.” [Al-Fawaid hal. 283]
Syaikh Hafidz Al-Hakami rahimahullah berkata:
ومحال أن ينتفي انقياد الجوارح بالأعمال الظاهرة مع
ثبوت عمل القلب، قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً
إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ أَلا وَهِيَ الْقَلْبُ)) .
ومن هنا يتبين لك أن من قال من أهل السنة في
الإيمان هو التصديق على ظاهر اللغة؛ أنهم إنما عنوا التصديق الإذعاني المستلزم
للانقياد ظاهراً وباطناً، لم يعنوا مجرد التصديق
“Mustahil terdapat amalan hati (dalam diri seorang hamba –pen) tanpa
adanya inqiyad yang nampak dalam amal jawarihnya. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda “sesungguhnya dalam tubuh ini terdapat segumpal
daging, jika baik maka baiklah seluruh jasadnya. Jika rusak, maka rusaklah
seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa organ itu adalah hati”
Dari sini nampaklah bagimu bahwa sebagian ulama ahlusunnah yang menyatakan
iman adalah tashdiiq (pembenaran), maka hal itu jika ditinjau dari segi
bahasa. Mereka hanyalah memaksudkan tashdiiq jika disertai kepatuhan
yang diwujudkan dalam dzahir dan batin. Tidak hanya mencukupkan tashdiiiq
(dalam hati –pen-).” [Ma’arijul Qabuul]
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
لابد أن يكون الإنسان موحدا بقلبه، وقوله، وعمله،
فإن كان موحدا بقلبه، ولكنه لم يوحد بقوله أو بعمله فإنه غير صادق في دعواه؛ لأن توحيد القلب
يتبعه توحيد القول والعمل
“Manusia haruslah menjadi seorang yang bertauhid dalam hati, ucapan dan
perbuatannya. Jika ia hanya bertauhid dalam hatinya, namun tidak diwujudkan
dalam ucapan dan amalnya, maka pengakuannya dusta. Karena tauhid dalam hati
akan diikuti oleh tauhid dalam ucapan dan amal” [Syarh Kasyfus Syubuhat]
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga berkata:
فالحديث واضح الدلالة على شرطية العمل لمن قال لا
إله إلا الله، حيث قال:(يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ)،
ولهذا قال بعض السلف عند قول النبي صلى الله عليه
وسلم:( مفتاح الجنة لا إله إلا الله لكن من أتى بمفتاح لا أسنان له لا يفتح له (
“Hadits ini sangat jelas menunjukkan tentang disyaratkannya amal bagi
seorang yang menyatakan [لا إله إلا الله] yaitu ketika beliau bersabda [يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ]. Oleh karena itu, sebagian salaf berkata
ketika menjelaskan sabda nabi tersebut “kunci surga adalah ucapan [لا إله إلا الله] namun kunci (pastilah memiliki gigi-gigi
–pen-). Jika ia datang dengan membawa kunci tanpa gigi-gigi maka tidak akan
dibukakan pintu surga baginya” [Syarh Hadits Itban]
Ketika menjelaskan keutamaan kalimat Tauhid, Syaikh Shalih Alu Asy-Syaikh hafidzahullah
berkata:
وهذا الفضل العظيم لكلمة التوحيد إنما هو لمن قويت
في قلبه،
ذلك أنها في قلب بعض العباد تكون قوية؛ لأنه مخلص
فيها مُصَدِّق لا ريب عنده فيما دلت عليه، معتقد ما فيها محب لما دلت عليه فيقوى
أثرها في القلب ونورها، وما كان كذلك فإنها تحرق ما يقابلها من الذنوب.
وأما من لم يكن من أهل تمام الإخلاص فيها، فإنه لا
تطيش له سجلات الذنوب،
فإذن يكون هذا الحديث وحديث البطاقة يدل على أن لا
إله إلا الله لا يقابلها ذنب، ولا تقابلها خطيئة، لكن هذا في حق من كملها وحققها
بحيث لم يخالطها في قلبه في معناها ريب، ولا تردد
“Keutamaan besar dari kalimat Tauhid ini hanyalah didapatkan oleh
orang-orang yang memiliki keyakinan yang kuat dalam hatinya. Dalam hati
sebagian hamba-hamba Allah, kalimat Tauhid ini terpatri dengan kuat. Dikarenakan
ia ikhlas dan memiliki pembenaran (tashdiq) tanpa ada keraguan
sedikitpun terhadap apa-apa yang menjadi konsekuensinya. Ia meyakini kalimat
tersebut dan mencintai apa-apa yang menjadi konsekuensinya, hingga bertambah
kuatlah keyakinannya, memberikan pengaruh dalam hati dan meneranginya.
Jika keadaannya memang demikian, maka kalimat Tauhid tersebut dapat
menghapuskan dosa-dosa yang ia lakukan.
Adapun orang-orang yang tidak memiliki kesempurnaan ikhlas, justru
catatan-catatan dosanya lah yang akan merusak kalimat Tauhid. Dengan
demikian, hadits ini dan hadits bithaqah
menunjukkan bahwa (keutamaan –pen-) kalimat Tauhid ini tidak dapat
ditandingi oleh dosa-dosa dan kesalahan apa pun. Namun, ini hanya berlaku bagi
orang-orang yang menyempurnakan dan mewujudkan kalimat Tauhid tersebut, dalam
artian tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan dalam hatinya.”
Jika ada seorang yang seumur hidupnya meninggalkan amal tanpa udzur dan melakukan berbagai macam perbuatan keji ,
kira-kira seberapa kuat keyakinan Tauhid yang ada dalam hatinya ya? Apakah ia
telah ikhlas ketika mengucapkan kalimat syahadat?
Jika antum memahami bahwa i’tiqad yang termasuk dalam ashlul
iman hanyalah tashdiiq, maka kita perlu mengkaji ulang pemahaman kita
dalam bab Tauhid. Allahua’lam
Mudah-mudahan bermanfaat...
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 13 Jumadil Akhir 1434 H
No comments:
Post a Comment