Saturday, June 30, 2012

Kisah Nyata Mimpi Bertemu Bidadari

Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk di majelis, aku telah siap memakai pakaian perang, karena ada komando untuk bersiap-siap sejak Senin pagi. Tiba-tiba ada seorang laki-laki membaca ayat, ‘Sesungguhnya Allah membeli jiwa dan harta orang-orang mukmin dengan surga.’ (At-Taubah: 111). Aku menyambut, “Ya, kekasihku.” Laki-laki itu berkata, “Aku bersaksi kepadamu wahai Abdul Wahid, sesungguhnya aku telah menjual jiwa dan hartaku untuk memperoleh surga.”

Aku menjawab, “Sesungguhnya ketajaman pedang itu melebihi segala-galanya. Hanya engkau orang yang aku sukai, aku khawatir manakala engkau tidak mampu bersabar dan tidak mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.”

Laki-laki itu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku telah berniaga  kepada Allah dengan harapan surga, mana mungkin jual beli yang aku persaksikan kepadamu itu akan melemah.” Dia berkata, “Aku mengkhawatirkankan kemampuan kita,… apabila mereka mampu berbuat, kenapa kita tidak?” 

Kemudian lelaki itu menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah, kecuali seekor kuda, senjata dan sekedar bekal untuk perang. Ketika kami telah berada di medan perang, dialah laki-laki pertama yang tiba di tempat tersebut. Dia berkata, “Assalamu’alaika wahai Abdul Wahid,” Aku menjawab, “Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, alangkah beruntungnya perniagaan ini.”

Kemudian kami berangkat menuju medan perang, lelaki tersebut senantiasa berpuasa di siang hari dan qiyamullail pada malam harinya,  melayani kami dan menggembalakan hewan ternak kami, serta menjaga kami ketika kami tidur, sampai kami tiba di wilayah Romawi.

Ketika kami sedang duduk-duduk pada suatu hari, tiba-tiba dia datang sambil berkata, “Betapa rindunya aku kepada bidadari bermata indah.” Kawan-kawanku berkata, “Sepertinya laki-laki itu sudah mulai linglung.” Dia mendekati kami lalu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku sudah tidak sabar lagi, aku sangat rindu pada bidadari bermata indah.” Aku bertanya, “Wahai saudaraku, siapa yang kamu maksud dengan bidadari bermata indah itu.”

Laki-laki itu menjawab, “Ketika itu aku sedang tidur, tiba-tiba aku bermimpi ada seseorang datang menemuiku, dia berkata, ‘Pergilah kamu menemui bidadari bermata indah.’ Seorang dalam mimpiku itu mendorongku untuk menuju sebuah taman di pinggir sebuah sungai yang berair jernih. Di taman itu ada beberapa pelayan cantik memakai perhiasan sangat indah,  sampai-sampai aku tidak mampu mengungkapkan keindahannya.

Ketika para pelayan cantik itu melihatku, mereka memberi kabar gembira sambil berkata, ‘Demi Allah, suami bidadari bermata indah itu telah tiba.’ Kemudian aku berkata, ‘Assalamu ‘alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata indah?’ Pelayan cantik itu menjawab, ‘Tidak, kami sekedar pelayan dan pembantu bidadari bermata indah. Silahkan terus berjalan !’

Aku pun meneruskan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di sebuah sungai yang mengalir air susu, tidak berubah warna dan rasanya, berada di sebuah taman dengan berbagai perhiasan. Di dalamnya terdapat pelayan bidadari cantik dengan mengenakan berbagai perhiasan.

Begitu melihat mereka, aku terpesona. Ketika melihatku, mereka memberi kabar gembira dan berkata kepadaku, ‘Demi Allah telah datang suami bidadari bermata indah.’ Aku bertanya, ‘Assalamualaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata indah?’ Mereka menjawab, Wa'alaikassalam wahai waliyullah, kami ini sekedar budak dan pelayan bidadari bermata indah, silahkan terus berjalan.’

Aku pun meneruskan maju, ternyata aku berada di sebuah sungai khamr berada di pinggir lembah, di sana terdapat bidadari-bidadari sangat cantik yang membuat aku lupa dengan kecantikan bidadari-bidadari yang telah aku lewati sebelumnya. Aku berkata, ‘Assalamu alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata indah?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, kami sekedar pembantu dan pelayan bidadari bermata indah, silahkan maju ke depan.’

Aku berjalan maju, aku tiba di sebuah sungai yang mengalirkan madu asli di sebuah taman dengan bidadari-bidadari sangat cantik berkilauan wajahnya dan sangat jelita, membuat aku lupa dengan kecantikan para bidadari sebelumnya. Aku bertanya, ‘Assalamu'alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata indah?’ Mereka menjawab, ‘Wahai waliyurrahman, kami ini pembantu dan pelayan bidadari bermata indah, silahkan maju lagi.’

Aku berjalan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di sebuah tenda terbuat dari mutiara yang dilubangi, di depan tenda terdapat seorang bidadari cantik dengan memakai pakaian dan perhiasan yang aku sendiri tidak mampu mengungkapkan keindahannya. Begitu bidadari itu melihatku, dia memberi kabar gembira kepadaku dan memanggil dari arah tenda, ‘Wahai bidadari bermata indah, suamimu datang!’

Kemudian aku mendekati kemah tersebut lalu masuk. Aku mendapati bidadari itu duduk di atas ranjang yang terbuat dari emas, bertahta intan dan berlian. Begitu melihatnya, aku terpesona, sementara itu dia menyambutku dengan berkata, ‘Selamat datang waliyurrahman, telah hampir tiba waktu kita bertemu.’ 

Aku pun maju untuk memeluknya, tiba-tiba ia berkata, ‘Sebentar, belum saatnya engkau memelukku, karena dalam tubuhmu masih ada ruh kehidupan. Tenanglah, engkau akan berbuka puasa bersamaku di kediamanku, insya Allah. ‘Seketika itu aku bangun dari tidurku. "wahai Abdul Wahid, kini aku  sudah tidak sabar lagi, ingin bertemu dengan bidadari bermata indah  itu.”

Abdul Wahid menuturkan, “Belum lagi pembicaraan kami (tentang mimpi) selesai, kami mendengar pasukan musuh telah menyerang, kami pun bergegas mengangkat senjata, begitu juga lelaki itu.

Setelah peperangan berakhir, kami menghitung jumlah para korban, kami menemukan 9 orang musuh tewas dibunuh oleh lelaki itu, dan ia adalah orang kesepuluh yang terbunuh. Ketika melintas di dekat jenazahnya,  aku melihat tubuhnya berlumuran darah, sementara bibirnya tersenyum yang mengantarkan pada akhir hidupnya.”

Sungguh benar firman Allah ta'ala:

وَحُورٌ عِينٌ كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ

Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari bermata indah, laksana mutiara yang tersimpan.” [QS. Al-Waqi’ah: 22–23]


Sumber: Tanbihul Ghafilin hal. 395 (99 Kisah Orang Shalih, Penerbit Darul Haq)

Friday, June 22, 2012

12 Kesyirikan Yang Dianggap Tradisi

Ketahuilah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati anda, di tengah-tengah masyarakat kita masih banyak sekali praktek kesyirikan yang merusak bahkan membatalkan tauhid. 


Perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan oleh sebagian orang dengan dalih bahwa amalan tersebut adalah tradisi dan adat-istiadat peninggalan leluhur. Padahal perbuatan tersebut adalah bentuk kesyirikan yang membahayakan agama mereka. Di antara perbuatan-perbuatan tersebut adalah:




 1. Tathayyur



Tathayyur adalah beranggapan sial dengan waktu tertentu, tempat tertentu, atau sesuatu yang dilihat, didengar, atau diketahui. (Al-Qaulul Mufid)



Di sebagian daerah, penduduk membangun rumah menghadap arah tertentu. Mereka juga memulai membangun dan menempatinya di hari tertentu, dengan keyakinan akan mendatangkan keberuntungan dan menjauhkan kesialan. Ada pula yang tidak mau berdagang di hari tertentu dan melarang pernikahan di bulan tertentu. Semua ini adalah bentuk tathayyur syirik, harus dijauhi oleh seorang muslim. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:



“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik.” (HR. Abu Dawud no. 3910, lihat al-Qaulul Mufid)



2. Tamimah



Tamimah adalah sesuatu yang digantungkan pada seorang anak untuk menolak ‘ain atau musibah.

Sering kita melihat benda-benda yang digantungkan di rumah, mobil, toko, atau dipakaikan pada anak dengan niat menolak bala. Semua ini termasuk jenis tamimah yang syirik. Orang yang melakukannya terjatuh dalam kesyirikan. (Lihat al-Qaulul Mufid)

3. Tiwalah


Ia adalah sesuatu yang dibuat untuk membuat suami/seorang lelaki mencintai istrinya/seorang wanita atau sebaliknya.



Adapun dublah (cincin yang dipakai oleh seseorang setelah menikah) dengan keyakinan bahwa selama cincin emas tersebut dipakai maka pernikahannya akan tetap langgeng, ini adalah keyakinan yang syirik, karena tidak ada yang bisa membolak-balikkan hati manusia selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.



Memakai cincin seperti ini minimal tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, haram hukumnya. Bisa juga terjatuh dalam kesyirikan, jika dia berkeyakinan bahwa cincin itu bisa menjadi sebab langgengnya pernikahan. (Lihat al-Qaulul Mufid Syarah Kitabut Tauhid)



4. Jampi-jampi/mantra



Yang dimaksud adalah ruqyah (bacaan-bacaan) yang syirik, yang mengandung permintaan bantuan kepada jin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang tiga hal di atas dalam hadits beliau:

“Sesungguhnya jampi-jampi, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)


Adapun ruqyah yang dibenarkan oleh syariat adalah yang memenuhi tiga syarat berikut: – Bacaan dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan doa-doa yang baik.



- Menggunakan bahasa Arab dan dimengerti maknanya.

- Diyakini hanya semata-mata sebagai sebab, tidak bisa berpengaruh selain dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat Fathul Majid)


5. Perdukunan



Ini adalah musibah yang melanda banyak kaum muslimin. Banyak orang menjadi pelanggan dukun dalam keadaan senang ataupun susah, padahal ancaman bagi dukun dan yang mendatanginya sangat besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:



“Barangsiapa mendatangi dukun dan bertanya sesuatu, tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh malam.” (HR. Muslim)



Dalam hadits lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:



“Barangsiapa mendatangi dukun dan bertanya sesuatu kemudian membenarkannya, dia telah mengkufuri apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.”



Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menegaskan bahwa mendatangi dukun ada beberapa rincian hukum,



1. Datang dan bertanya kepadanya, maka tidak diterima shalatnya empat puluh hari.



2. Datang, bertanya kepadanya, dan membenarkan ucapannya, maka ia telah ingkar kepada apa yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.



3. Datang untuk membongkar kesesatannya, diperbolehkan. (Lihat al-Qaulul Mufid)



Adapun tentang kafirnya dukun, asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami rahimahullah menyebutkan sembilan alasan kafirnya dukun. Di antara yang beliau sebutkan adalah bahwa seorang dukun telah menjadi wali setan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya….” (Al-An’am: 121)



Padahal setan tidak akan menjadikam seorang menjadi wali selain seorang yang kafir. (Lihat Ma’arijul Qabul hlm. 423-424)



6. Sembelihan untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan bahwa termasuk orang yang dilaknat adalah seorang yang melakukan sembelihan untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.



Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:



“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang melaknat (mencerca) dua orang tuanya. Allah melaknat orang yang melindungi pelaku pelanggaran syar’i. Dan Allah melaknat orang yang mengubah-ubah batas tanah.” (HR. Muslim)



Di antara sembelihan yang dipersembahkan untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah berbagai bentuk sembelihan untuk jin.



a. Larung (sedekah laut)



Di antara sembelihan syirik adalah sembelihan tahunan yang dipersembahkan untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik untuk laut (sedekah laut), sungai, gunung, maupun yang lainnya.



b. Sembelihan untuk pengantin



Di sebagian tempat ada sebuah tradisi penyembelihan ketika ada pernikahan. Kedua mempelai diperintahkan untuk menginjakkan kedua kaki mereka di darah sembelihan tersebut sebelum memasuki rumahnya.



c. Sembelihan untuk rumah baru



Di sebagian daerah, ketika telah selesai membangun rumah, mereka menyembelih seekor hewan. Sebagian mereka bahkan menanam kepala hewan tersebut di rumah barunya. Ini juga termasuk sembelihan yang syirik.



d. Memenuhi keinginan jin yang masuk pada tubuh seseorang



Ketika ada orang kerasukan jin kemudian diruqyah, jin terkadang minta disembelihkan hewan untuk dirinya. Jika terjadi hal demikian, permintaan jin itu tidak boleh ditunaikan, karena hal tersebut adalah sembelihan untuk jin. (Lihat al-Qaulul Mufid, asy-Syaikh Muhammad al-Wushabi)



7. Kesyirikan di kuburan



Di antara perbuatan syirik yang dianggap biasa adalah perbuatan-perbuatan di pekuburan sebagai berikut:



a. Berdoa kepada penghuni kubur

b. Nadzar untuk penghuni kubur
c. Isti’anah, meminta tolong kepada penghuni kubur
d. Isti’adzah, meminta perlindungan kepada penghuni kubur
e. Istighatsah, meminta dihilangkan bencana kepada penghuni kubur


Ketahuilah, semua hal di atas adalah kemungkaran yang harus diingkari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:



“Barangsiapa melihat kemungkaran hendaknya dia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu juga maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim) (Lihat Ma’ariful Qabul, Ighatsatul Lahafan, Tahdzirul Muslimin)



8. Mencari berkah dari benda-benda tertentu



Sebagian orang mencari berkah kepada pohon, kuburan, atau benda-benda yang mereka miliki, seperti keris dan cincin.



Faedah



Tidak boleh bertabarruk (mencari berkah) dari diri sereorang, dengan tubuh atau bagian tubuh seseorang tertentu, selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.



Seorang muslim tidak boleh mencari berkah dengan diri seseorang yang dianggap shalih, baik ludah, rambut maupun bagian tubuh lainnya. Hal ini berdasarkan beberapa alasan.



a. Hal tersebut kekhususan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.



b. Tidak ada seorang pun setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat yang meminta berkah dengan bagian tubuh Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib, dan sahabat lainnya. Seandainya hal tersebut dibolehkan, niscaya akan dilakukan oleh orang-orang di zaman mereka.



c. Akan menyebabkan fitnah dan ujub (bangga diri) dari orang yang dimintai berkah. (Lihat Taisir al-’Azizil Hamid, hlm. 144-145)



9. Sihir



Sihir adalah satu amalan kufur yang harus dijauhi oleh seorang muslim. Seseorang yang belajar dan mengajarkan sihir telah terjatuh dalam kekufuran.



Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir). Hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manuria.” (Al-Baqarah: 102) (Lihat Ma’arijul Qabul hlm. 407-411)



10. Sedekah bumi



Sedekah bumi yaitu memberikan sesuguh/sesaji ketika hendak panen padi dan lainnya. Menurut mereka, sesaji itu dipersembahkan untuk Dewi Sri. Ini pun termasuk bentuk kesyirikan.



11. Sesajen



Yakni memberikan sesuguh untuk karuhun ketika hendak melaksanakan acara tertentu.



12. Memberikan penghormatan dengan membungkuk



Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Membungkuk ketika memberikan penghormatan adalah perbuatan yang dilarang. Hal ini sebagaimana dalam riwayat at-Tirmidzi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa mereka bertanya tentang seseorang yang berjumpa dengan temannya lalu membungkuk kepadanya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Tidak boleh.”



Juga karena ruku dan sujud tidak boleh dilakukan selain untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun hal ini menjadi bentuk penghormatan pada syariat sebelum kita, sebagaimana dalam kisah Yusuf ‘alaihis salam:



Dan ia menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Yusuf pun berkata, “Wahai ayahku, inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu.” (Yusuf: 100)



Adapun dalam syariat kita, bersujud tidak diperbolehkan selain untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat Majmu’ al-Fatawa, 1/259)



Ketahuilah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati anda, apa yang kami sampaikan hanyalah sebagian amalan syirik yang ada di tengah-tengah masyarakat kita. Semuanya harus kita jauhi. Kita juga harus memperingatkan umat Islam untuk menjauhi amalan-amalan syirik.



Ketahuilah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati anda, segala adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat harus tunduk kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.



Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa: 65)



Janganlah kita seperti orang-orang jahiliyah yang tidak mau beriman kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dengan alasan mengikuti nenek moyang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang keadaan kaum musyrikin:



Apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak mendapat petunjuk?" (al-Baqarah: 170)



Seorang muslim harus mendahulukan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas segala hal. Dia harus mengutamakan syariat daripada hawa nafsu, adat-istiadat, dan pendapat akalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mencela orang yang lebih mendahulukan hawa nafsunya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutupan atas penglihatannya? Siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (al-Jatsiyah: 23)



Mudah-mudahan tulisan yang ringkas ini bisa menjadi nasihat dan menjadi salah satu sebab musnahnya praktik-praktik kesyirikan yang telah menyebar di negeri kita ini.



[Faidah ini diambil dari tulisan Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak hafidzahullah yang berjudul "Penyimpangan Akidah di Sekitar Kita" dalam majalah Asy Syariah no. 67/VI/1432 H/2010, hal. 48-53]



sumber : fadhlihsan.wordpress.com

Dimanakah Ya'juj dan Ma'juj Sekarang Berada ?

Ada yang mengatakan bahwa Ya’juj dan Ma’juj berasal dari keturunan Adam, bukan dari Hawa. Sebab tatkala Adam dalam keadaan junub, air maninya bercampur dengan tanah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Ya’juj dan Ma’juj darinya. Namun pendapat ini tidak dibangun di atas hujjah yang shahih. Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Kami tidak melihat pendapat ini dari seorang pun dari kalangan salaf, kecuali dari Ka’b Al-Ahbar. Dan hal ini terbantahkan dengan hadits yang marfu’ bahwa mereka berasal dari keturunan Nuh ‘alaihi salam. Dan telah dipastikan bahwa Nuh berasal dari keturunan Hawa.” (Fathul Bari, 13/107)

Ibnu Katsir rahimahullah juga berkata: “Ini adalah pendapat yang sangat aneh terlebih tidak disertai dengan dalil. Baik secara ‘aqli (rasio) maupun naqli (riwayat). Dan apa-apa yang dinukilkan sebagian ahlul kitab tidak bisa dijadikan sandaran di sini, dimana diketahui bahwa mereka meriwayatkan hadits-hadits palsu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/105)

Hal ini juga dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai Adam.” Ia menjawab: “Aku penuhi panggilan-Mu dan kebaikan seluruhnya pada kedua tangan-Nu.” Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Keluarkanlah pasukan penghuni neraka.” Adam bertanya: “Berapa banyak utusan (penghuni) neraka?” (Allah Subhanahu wa Ta’ala) berfirman: “Dari setiap seribu keluarkan 999 (dan satu ke dalam surga).” Maka di saat itu anak kecil beruban dan setiap wanita hamil akan menggugurkan kandungannya, dan engkau melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal mereka tidak mabuk, akan tetapi adzab Allah yang demikian pedih.” (Para sahabat) bertanya: “Lalu bagaimana kami dari satu (yang selamat) tersebut?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Bergembiralah, karena sesungguhnya satu orang dari kalian dan seribu orang dari Ya’juj dan Ma’juj.” (HR. Al-Bukhari no. 3170)

Al-Lajnah Ad-Da’inah (Komisi Tetap untuk Fatwa, Kerajaan Saudi Arabia) ditanya: “Siapakah Ya’juj dan Ma’juj? Dan di negeri manakah mereka? Apakah mereka ada di muka bumi?”

Sepenggal Kisah Perjalanan Ruh Ketika Sakaratul Maut

Pernahkah anda hadir di sisi seseorang yang tengah menghadapi sakaratul maut, hingga jasadnya dingin, terbujur kaku, tak bergerak, karena ruhnya telah berpisah dengan badan? Lalu apa perasaan anda saat itu? Adakah anda mengambil pelajaran darinya? Adakah terpikir bahwa anda juga pasti akan menghadapi saat-saat seperti itu? Kemudian, pernahkah terlintas tanya di benak anda, ke mana ruh itu pergi setelah berpisah dengan jasad?


Hadits yang panjang dari Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah ini memberi ilmu kepada kita tentang hal itu. Simaklah…!



Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu berkisah, “Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengantar jenazah seorang dari kalangan Anshar. Kami tiba di pemakaman dan ketika itu lahadnya sedang dipersiapkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk. Kami pun ikut duduk di sekitar beliau dalam keadaan terdiam, tak bergerak. Seakan-akan di atas kepala kami ada burung yang kami khawatirkan terbang. Di tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu ada sebuah ranting yang digunakannya untuk mencocok-cocok tanah. Mulailah beliau melihat ke langit dan melihat ke bumi, mengangkat pandangannya dan menundukkannya sebanyak tiga kali. Kemudian bersabda, “Hendaklah kalian meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari adzab kubur,” diucapkannya sebanyak dua atau tiga kali, lalu beliau berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur,” pinta beliau sebanyak tiga kali.



Setelahnya beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba yang mukmin apabila akan meninggalkan dunia dan menuju ke alam akhirat, turun kepadanya para malaikat dari langit. Wajah-wajah mereka putih laksana mentari. Mereka membawa kain kafan dan wangi-wangian dari surga. Mereka duduk dekat si mukmin sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut ‘alaihissalam hingga duduk di sisi kepala si mukmin seraya berkata, “Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan dan keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.”


Ruh yang baik itu pun mengalir keluar sebagaimana mengalirnya tetesan air dari mulut wadah kulit. Malaikat maut mengambilnya. (Dalam satu riwayat disebutkan: Hingga ketika keluar ruhnya dari jasadnya, seluruh malaikat di antara langit dan bumi serta seluruh malaikat yang ada di langit mendoakannya. Lalu dibukakan untuknya pintu-pintu langit. Tidak ada seorang pun malaikat yang menjaga pintu malaikat kecuali mesti berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar ruh si mukmin diangkat melewati mereka). Ketika ruh tersebut telah diambil oleh malaikat maut, tidak dibiarkan sekejap matapun berada di tangannya melainkan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah putih. Mereka meletakkan/membungkus ruh tersebut di dalam kafan dan wangi-wangian yang mereka bawa. Dan keluarlah dari ruh tersebut wangi yang paling semerbak dari aroma wewangian yang pernah tercium di muka bumi.


Kemudian para malaikat membawa ruh tersebut naik. Tidaklah mereka melewati sekelompok malaikat kecuali mesti ditanya, “Siapakah ruh yang baik ini?” Para malaikat yang membawanya menjawab, “Fulan bin Fulan,” disebut namanya yang paling bagus yang dulunya ketika di dunia orang-orang menamakannya dengan nama tersebut. Demikian, hingga rombongan itu sampai ke langit dunia. Mereka pun meminta dibukakan pintu langit untuk membawa ruh tersebut. Lalu dibukakanlah pintu langit. Penghuni setiap langit turut mengantarkan ruh tersebut sampai ke langit berikutnya, hingga mereka sampai ke langit ke tujuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Tulislah catatan amal hamba-Ku ini di ‘Illiyin dan kembalikanlah ia ke bumi karena dari tanah mereka Aku ciptakan, ke dalam tanah mereka akan Aku kembalikan, dan dari dalam tanah mereka akan Aku keluarkan pada kali yang lain.”



Si ruh pun dikembalikan ke dalam jasadnya yang dikubur dalam bumi/tanah. Maka sungguh ia mendengar suara sandal orang-orang yang mengantarnya ke kuburnya ketika mereka pergi meninggalkannya. Lalu ia didatangi dua orang malaikat yang sangat keras hardikannya, keduanya menghardiknya, mendudukkannya lalu menanyakan padanya, “Siapakah Rabbmu?”



Ia menjawab, “Rabbku adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.”



Ditanya lagi, “Apa agamamu?”

“Agamaku Islam,” jawabnya.


“Siapakah lelaki yang diutus di tengah kalian?” tanya dua malaikat lagi.

 “Dia adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” jawabnya.


“Apa amalmu?” pertanyaan berikutnya.

“Aku membaca Kitabullah, lalu aku beriman dan membenarkannya,” jawabnya.


Ini adalah fitnah/ujian yang akhir yang diperhadapkan kepada seorang mukmin. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengokohkannya sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:



يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلآخِرَةِ



Allah menguatkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang tsabit/kokoh dalam kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat.” (Ibrahim: 27)



Terdengarlah suara seorang penyeru dari langit yang menyerukan, “Telah benar hamba-Ku. Maka bentangkanlah untuknya permadani dari surga. Pakaikanlah ia pakaian dari surga, dan bukakan untuknya sebuah pintu ke surga!”



Lalu datanglah kepada si mukmin ini wangi dan semerbaknya surga serta dilapangkan baginya kuburnya sejauh mata memandang. Kemudian ia didatangi oleh seseorang yang berwajah bagus, berpakaian bagus dan harum baunya, seraya berkata, “Bergembiralah dengan apa yang menggembirakanmu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu.”



Si mukmin bertanya dengan heran, “Siapakah engkau? Wajahmu merupakan wajah yang datang dengan kebaikan.”



“Aku adalah amal shalihmu. Demi Allah, aku tidak mengetahui dirimu melainkan seorang yang bersegera menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan lambat dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasmu dengan kebaikan,” jawab yang ditanya.

Kemudian dibukakan untuknya sebuah pintu surga dan sebuah pintu neraka, lalu dikatakan, “Ini adalah tempatmu seandainya engkau dulunya bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantikan bagimu dengan surga ini.” Maka bila si mukmin melihat apa yang ada dalam surga, ia pun berdoa, “Wahai Rabbku, segerakanlah datangnya hari kiamat agar aku dapat kembali kepada keluarga dan hartaku.”


Dikatakan kepadanya, “Tinggallah engkau.”



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan penuturan beliau tentang perjalanan ruh. Beliau bersabda,



“Sesungguhnya seorang hamba yang kafir (dalam satu riwayat: hamba yang fajir) apabila akan meninggalkan dunia dan menuju ke alam akhirat, turun kepadanya dari langit para malaikat yang keras, kaku, dan berwajah hitam. Mereka membawa kain yang kasar dari neraka. Mereka duduk dekat si kafir sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut hingga duduk di sisi kepala si kafir seraya berkata, “Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju kemurkaan dan kemarahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.”



Ruh yang buruk itu pun terpisah-pisah/berserakan dalam jasadnya, lalu ditarik oleh malaikat maut sebagaimana dicabutnya besi yang banyak cabangnya dari wol yang basah, hingga tercabik-cabik urat dan sarafnya. Seluruh malaikat di antara langit dan bumi dan seluruh malaikat yang ada di langit melaknatnya.



Pintu-pintu langit ditutup. Tidak ada seorang pun malaikat penjaga pintu kecuali berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar ruh si kafir jangan diangkat melewati mereka. Kemudian malaikat maut mengambil ruh yang telah berpisah dengan jasad tersebut, namun tidak dibiarkan sekejap mata pun berada di tangan malaikat maut melainkan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah hitam lalu dibungkus dalam kain yang kasar. Dan keluarlah dari ruh tersebut bau bangkai yang paling busuk yang pernah didapatkan di muka bumi. Kemudian para malaikat membawa ruh tersebut naik. Tidaklah mereka melewati sekelompok malaikat kecuali mesti ditanya, “Siapakah ruh yang buruk ini?” Para malaikat yang membawanya menjawab, “Fulan bin Fulan,” disebut namanya yang paling jelek yang dulunya ketika di dunia ia dinamakan dengannya. Demikian, hingga rombongan itu sampai ke langit dunia, mereka pun meminta dibukakan pintu langit untuk membawa ruh tersebut, namun tidak dibukakan.”



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membaca ayat:



لاَ تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلاَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ



Tidak dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk ke dalam surga sampai unta bisa masuk ke lubang jarum.” (Al-A’raf: 40)



Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Tulislah catatan amalnya di Sijjin, di bumi yang paling bawah.’ Lalu ruhnya dilemparkan begitu saja.”



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membaca ayat:



وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ



Dan siapa yang menyekutukan Allah maka seakan-akan ia jatuh tersungkur dari langit lalu ia disambar oleh burung atau diempaskan oleh angin ke tempat yang jauh lagi membinasakan.” (Al-Hajj: 31)



Si ruh pun dikembalikan ke dalam jasadnya yang dikubur dalam bumi/tanah. Lalu ia didatangi dua orang malaikat yang sangat keras hardikannya. Keduanya menghardiknya, mendudukkannya dan menanyakan kepadanya, “Siapakah Rabbmu?”



Ia menjawab, “Hah… hah… Aku tidak tahu.”



Ditanya lagi, “Apa agamamu?”

“Hah… hah… Aku tidak tahu,” jawabnya.


“Siapakah lelaki yang diutus di tengah kalian?” tanya dua malaikat lagi.

Kembali ia menjawab, “Hah… hah… aku tidak tahu.”


Terdengarlah suara seorang penyeru dari langit yang menyerukan, “Telah dusta orang itu. Maka bentangkanlah untuknya hamparan dari neraka dan bukakan untuknya sebuah pintu ke neraka!”

Lalu datanglah kepadanya hawa panasnya neraka dan disempitkan kuburnya hingga bertumpuk-tumpuk/tumpang tindih tulang rusuknya (karena sesaknya kuburnya). Kemudian seorang yang buruk rupa, berpakaian jelek dan berbau busuk mendatanginya seraya berkata, “Bergembiralah dengan apa yang menjelekkanmu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu.”


Si kafir bertanya dengan heran, “Siapakah engkau? Wajahmu merupakan wajah yang datang dengan kejelekan.”



“Aku adalah amalmu yang jelek. Demi Allah, aku tidak mengetahui dirimu ini melainkan sebagai orang yang lambat untuk menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun sangat bersegera dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasmu dengan kejelekan,” jawab yang ditanya.



Kemudian didatangkan kepadanya seorang yang buta, bisu lagi tuli. Di tangannya ada sebuah tongkat dari besi yang bila dipukulkan ke sebuah gunung niscaya gunung itu akan hancur menjadi debu. Lalu orang yang buta, bisu dan tuli itu memukul si kafir dengan satu pukulan hingga ia menjadi debu. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan jasadnya sebagaimana semula, lalu ia dipukul lagi dengan pukulan berikutnya. Ia pun menjerit dengan jeritan yang dapat didengar oleh seluruh makhluk, kecuali jin dan manusia. Kemudian dibukakan untuknya sebuah pintu neraka dan dibentangkan hamparan neraka, maka ia pun berdoa, “Wahai Rabbku! Janganlah engkau datangkan hari kiamat.” (HR. Ahmad 4/287, 288, 295, 296, Abu Dawud no. 3212, 4753, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud dan Ahkamul Jana`iz hal. 202)



Pembaca yang mulia, berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti benar adanya karena:



وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى



Tidaklah beliau berbicara dari hawa nafsunya, hanyalah yang beliau sampaikan adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3-4)



Maka setelah membaca pengabaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, masihkah tersisa angan yang panjang dalam kehidupan dunia ini? Adakah jiwa masih berani bermaksiat kepada Rabbul ‘Izzah dan enggan untuk taat kepada-Nya? Manakah yang menjadi pilihan saat harus menghadapi kenyataan datangnya maut menjemput: ruh diangkat dengan penuh kemuliaan ke atas langit lalu beroleh kenikmatan kekal, ataukah diempaskan dengan hina-dina lalu beroleh adzab yang pedih?



Bagi hati yang lalai, bangkit dan berbenah dirilah untuk menghadapi “hari esok” yang pasti datangnya. Adapun hati yang ingat, istiqamah-lah sampai akhir…



Sungguh hati seorang mukmin akan dicekam rasa takut disertai harap dengan berita di atas, air mata mengalir tak terasa, tangan pun tengadah memohon kepada Dzat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, “Ya Allah, berilah kami taufik kepada kebaikan dan istiqamah di atasnya sampai akhir hidup kami. Jangan jadikan kami silau dan tertipu dengan kehidupan dunia yang fana hingga melupakan pertemuan dengan-Mu. Wafatkanlah kami dalam keadaan husnul khatimah. Lindungi kami dari adzab kubur dan dari siksa neraka yang amat pedih. Ya Arhamar Rahimin, berilah nikmat kepada kami dengan surga-Mu yang seluas langit dan bumi. Amin… Ya Rabbal ‘Alamin.”



Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.



Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah



Apakah Mimisan Membatalkan Wudhu?

Tanya :

Apakah darah yang keluar dari hidung membatalkan wudhu?

Jawab:

Keluarnya darah dari hidung tidak membatalkan wudhu. Tidak ada dalil yang menjelaskan bahwa darah dari hidung itu membatalkan wudhu. Terdapat sebuah hadits yang lemah bahwa keluarnya darah dari hidung membatalkan wudhu, akan tetapi tidak benar penisbatannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dahulu para shahabat radhiyallahu ‘anhum melakukan shalat dengan badan yang penuh luka-luka. Jadi, dapat disimpulkan bahwa keluarnya darah dari hidung tidak membatalkan wudhu. Namun jika kita khawatir darah itu akan mengotori masjid, hendaklah ia keluar kemudian mencucinya dan melanjutkan shalatnya.

Wallahul musta’an.


Sumber: Tanya Jawab Bersama Syaikh Muqbil, penerjemah Al-Ustadz Ja’far Shalih Abu Muqbil Ahmad Yuswaji, Lc. Penerbit Pustaka Salafiyah, Banyumas. Hal. 79.


Diambil dari www.fadhlihsan.wordpress.com

Thursday, June 21, 2012

Membantah Ahlul Bid’ah, Sebab Perpecahan?

Banyak orang mengatakan bahwa pihak-pihak yang membantah ahlul bid’ah mereka itu adalah penyebab perpecahan. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan,

"Benar, mereka itu adalah penyebab perpecahan (yakni yang membedakan dan memisahkan, pent) antara yang haq dengan yang batil, ini yang benar.


Kami membedakan/memisahkan antara yang haq dengan yang bathil, antara ahlul haq dengan ahlul bathil. Senantiasa kami akan membantah (kebatilan dan para pelakunya), demikian pula para ulama juga membantah mereka.

Yang seperti ini bukanlah untuk membikin perpecahan, akan tetapi justru ini untuk menyatukan umat di atas al-haq. Karena keberadaan umat manusia di atas kesesatan dan di atas pemikiran-pemikiran yang batil, inilah sesunggguhnya yang menyebabkan perpecahan antar umat Islam.

Adapun upaya untuk menjelaskan al-haq kepada mereka (umat Islam) adalah dalam rangka menyatukan umat di atasnya, maka inilah sesungguhnya dakwah kepada persatuan, bukan dakwah kepada perpecahan.
Dikatakan dakwah kepada perpecahan itu apabila tidak ada upaya untuk membantah ahlul bathil. Inilah sesungguhnya dakwah kepada perpecahan jika mereka memahaminya."

(Dari Ta’liq terhadap kitab Syarhus Sunnah, karya Al-Imam Al-Barbahari)

Diambil dari: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=379463

Sumber: http://www.assalafy.org/mahad/?p=520

Sumur Yang Digali Oleh Malaikat

Siapa yang tak kenal air Zamzam. Rasanya yang segar dan menyejukkan, khasiat yang dikandung, plus keutamaan-keutamaannya yang disebutkan di dalam hadits-hadits merupakan beberapa alasan kenapa air yang dijadikan oleh-oleh haji yang satu ini banyak ditunggu..

Sumur Zamzam adalah sumur yang digali oleh malaikat. Disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam riwayat Al-Bukhari rahimahullahu bahwasanya tatkala Hajar, istri Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, ditinggalkan sendiri di lembah Mekah, bayi Nabi Ismail menangis kehausan. Hajar pun melihat keadaan sekitar (waktu itu Mekah adalah tempat yang tandus, tidak ada mata air sehingga tidak ada penghuninya).

Dia berbolak-balik dari bukit Shafa dan Marwah, mencari bala bantuan. Hingga, pada kali yang ketujuh dia mendengar suara. Ternyata, itu adalah malaikat yang sedang membuat sebuah mata air.

Mata air inilah yang menjadi cikal bakal kota Mekah. Karena air adalah sesuatu yang sangat berharga di padang pasir, orang pun mulai berdatangan untuk singgah. Ditambah Ka’bah yang merupakan tempat haji bagi penganut agama Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, Kota Mekah pun menjadi sebuah kota penting.

Dahulu, sumur Zamzam sempat terkubur dan tertinggalkan. Hingga, Abdul Muththalib, kakek Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, menggalinya kembali. Disebutkan oleh ahli sejarah Islam, Ibnu Ishaq rahimahullahu (w. 150 H) dalam sebuah riwayat dari Ali bin Thalib radhiyallahu ‘anhu, dia menuturkan bahwa saat Abdul Muththalib sedang tidur di Hijr (yang sekarang lebih dikenal dengan Hijr Ismail), dia bermimpi untuk menggali sumur. Demikianlah, akhirnya dia pun menggali sumur tersebut untuk memberi minum orang-orang yang berhaji (syariat haji sudah ada sejak zaman Nabi Ibrahim ‘alaihis salam).

Sumur Zamzam berada di dalam kompleks Masjidil Haram sekitar 20 m di timur Ka’bah. Dalamnya sekitar 30,5 m dan diameter sekitar 1,8-2,66 m. Dari sisi ilmu hidrologi, sumur Zamzam terletak di lembah Ibrahim yang terbentang di sepanjang kota Mekah Al-Mukarramah. Sumur ini menyerap air tanah pegunungan sekitarnya.

Hukum Donor Organ

Tanya:

Apa hukum transplantasi (pemindahan organ tubuh)? 

Jawab:

Syaikh Yahya Al-Hajuri hafizhahullah menjawab: “Hukum asal masalah ini adalah terlarang. Allah Ta’ala berfirman :

“Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am : 162)

Maka hukum asal memindahkan “kiilah” kepada yang lain adalah dilarang, demikian pula memindahkan liver kepada orang lain dan begitu pula anggota tubuh yang lainnya. Dan perbuatan (transplantasi) ini tidaklah termasuk ke dalam firman Allah Ta’ala :

“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al- Maidah : 32) 

Hal itu karena kemungkinan untuk hidupnya seseorang (pendonor atau penderita-pent.) dalam masalah ini asalnya adalah perkara zhonniyyah (sangkaan). Dan kadang dalam proses pemindahan organ tersebut terjadi kematian.” –Selesai perkataan Syaikh dengan perubahan- 

Dan Syaikh Abdurrahman Al-’Adany hafizhohullah menambahkan : Boleh dilakukan pemindahan organ tubuh apabila terpenuhi 3 syarat:

1. Apabila penderita dalam keadaan terdesak (harus) diberikan organ tubuh kepadanya (darurat). 

2. Apabila proses pemindahan tersebut kemungkinan besar akan berhasil atau telah terbukti dengan uji kedokteran. 

3. Dengan terjadinya donor organ tersebut, tidak membahayakan bagi tubuh pendonor.”
-Selesai perkataan Syaikh dengan perubahan-


Setelah Bercerai, Apakah Istri Masih Berhak Memperoleh Nafkah dari Suami?

Tanya:

Asy-Syaikh yang mulia, apakah suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya yang telah ditalak? Semoga Allah memberikan pahala kepada anda.

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين وبعد

Nafkah tetap wajib diberikan kepada istri yang sudah ditalak tapi dengan talak raj’i[1], karena dia masih merupakan istrinya, sehingga dia masih tercakup dalam nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ

“Maka suami-suami mereka lebih berhak mengembalikan mereka dalam hal itu.”

Maka dalam ayat ini Allah Ta’ala masih menamakan lelaki yang mentalaknya sebagai suaminya.

Ibnu Abdi Al-Barr berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama umat ini bahwa wanita-wanita (ditalak) yang masih bisa dirujuk oleh suami-suami mereka, mereka masih berhak mendapatkan pemenuhan nafkah dan kebutuhan dari suami-suami mereka, baik mereka dalam keadaan hamil maupun tidak. Karena para wanita ini masih mempunyai hukum sebagai istri dalam hal nafkah, tempat tinggal, dan warisan selama mereka masih berada dalam masa iddah.” (Al-Istidzkar 18/69)

Nafkan juga tetap wajib diberikan kepada wanita yang diputuskan secara al-ba`in[2], baik dengan fasakh (pembatalan nikah) maupun dengan talak, jika wanita itu diceraikan dalam keadaan hamil. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Jika mereka (wanita-wanita yang ditalak) itu dalam keadaan hamil maka berikanlah nafkah kepada mereka sampai mereka melahirkan kandungan mereka.”

Ibnu Abdil Al-Barr berkata, “Jika wanita yang al-mabtutah[3] itu dalam keadaan hamil, maka dia masih berhak mendapatkan nafkah berdasarkan ijma’ ulama.” (Al-Istidzkar 18/69)

Yang paling tepat dari dua pendapat di kalangan ulama adalah bahwa nafkah wajib diberikan kepada wanita yang hamil karena dia tengah mengandung anak dari laki-laki tersebut (mantan suaminya). Karenanya nafkah kepada wanita (mantan istrinya) ini sebenarnya merupakan nafkah bagi anaknya (yang dalam kandungan), bukan bagi dirinya (wanita itu) dikarenakan dia istrinya. Ini adalah pendapat Malik serta salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Asy-Syafi’i dan Ahmad. Karenanya, nafkah tetap wajib diberikan kepada wanita (mantan istrinya) yang hamil walaupun dia adalah durhaka dan membangkang (sebelum diceraikan), juga tetap wajib diberikan kepada wanita yang hamil akibat pernikahan syubhat[4], dan juga kepada wanita yang hamil akibat pernikahan yang fasid (tidak syah). Karena anak yang dikandung itu adalah anaknya (mantan suaminya), sehingga dia wajib memberikan nafkah kepadanya. (Lihat: Al-Mughni 11/405-406, Qawa’id Ibni Rajab 3/398, Al-Fatawa As-Sa’diah hal. 546)

Al-Qur`an telah menunjukkan bahwa nafkah yang diberikan kepada wanita hamil dan menyusui adalah merupakan bentuk nafkah seorang ayah kepada anaknya, bukan merupakan bentuk nafkah suami kepada istrinya. Sebagaimana pada firman Allah Ta’ala:

وإن كنَّ أولات حمل

“Jika mereka (wanita-wanita yang ditalak) itu dalam keadaan hamil.”
Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bagi yang dilahirkan (anak) untuknya, wajib atasnya untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada mereka (istri-istri) dengan cara yang ma’ruf.”

Wanita yang ditalak ba`in, tidaklah wajib diberikan nafkah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Jika mereka (wanita-wanita yang ditalak) itu dalam keadaan hamil maka berikanlah nafkah kepada mereka sampai mereka melahirkan kandungan mereka.”

Pemahaman (kebalikan) dari ayat di atas adalah: Bahwa jika mereka tidak dalam keadaan hamil maka mereka tidak wajib diberikan nafkah. Karena seandainya wanita yang ditalak ba`in tidak berhak mendapatkan nafkah secara mutlak, maka tidak akan dikhususkan penyebutan wanita yang hamil dalam ayat di atas. Maka ini menunjukkan bahwa wanita yang tidak sedang hamil tidak berhak mendapatkan nafkah. Hal ini dikuatkan oleh keterangan yang terdapat dalam hadits Fathimah bintu Qais bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya:

لا نَفَقَةَ لَكِ إِلا أَنْ تَكُونِي حَامِل

“Tidak ada nafkah untukmu kecuali jika kamu dalam keadaan hamil.” (HR. Muslim no. 1480)
Yang menjadi patokan dalam hal ukuran banyaknya nafkah wajib kepada istri adalah yang mencukupinya. Yang menjadi patokannya adalah dalam ukuran yang ma’ruf. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Hindun, istri dari Abu Sufyan:

خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالمَعْرُوفِ

“Ambillah apa yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714)

Maksudnya: Dengan ukuran yang disetujui oleh syariat dan ‘urf (kebiasaan masyarakat). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Yang dimaksud dengan al-ma’ruf adalah ukuran yang diketahui dengan adat (kebiasaan masyarakat di situ) bahwa itu sudah mencukupi.” (Fath Al-Bari 9/509)

Wallahu A’lam

[Diterjemahkan dari Fatwa Asy-Syaikh Saleh Al-Fauzan dengan sedikit perubahan, sumber: http://www.alfuzan.islamlight.net/index.php?option=com_ftawa&task=view&id=28777]

[1] Yaitu talak 1 dan talak 2, dimana istri masih bisa kembali kepada suaminya, jika suaminya ingin rujuk.

[2] Yaitu perceraian dimana istri sudah tidak bisa kembali kepada suaminya walaupun suaminya ingin rujuk.

[3] Wanita yang diputuskan oleh suaminya baik dengan talak ba`in maupun dengan fasakh (pembatalan) nikah.

[4] Yaitu pernikahan yang diyakini syah oleh mereka padahal sebenarnya menurut syar’i tidaklah syah.

Sumber: http://al-atsariyyah.com/istri-yang-ditalak-masih-berhak-mendapat-nafkah.html

Hukum Membunuh Nyamuk Dengan Raket Listrik

Rosululloh shollallhu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُعَذِّبَ بِالنَّارِ إِلَّا رَبُّ النَّارِ

“Sesungguhnya tidak boleh menyiksa dengan api kecuali penguasa api (yakni Alloh, pent).”[HR. Abu Dawud no. 2675, dishohihkan syaikh al-Albani dalam ash-Shohihah no. 487]

Bagaimana dengan raket listrik atau lampu setrum yang biasa digunakan untuk membunuh nyamuk & lalat? Simak jawaban syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin berikut ini:
***
Oleh: Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin rohimahulloh

Pertanyaan:

Apa hukum menggunakan alat listrik yang bisa menyetrum serangga ? 

Jawaban Syaikh:

Tidak mengapa menggunakannya, dikarenakan:

Yang pertama, menyetrumnya tidaklah membakarnya, akan tetapi hal tersebut membuatnya mati, buktinya jika engkau letakkan kertas di atas alat ini, kertas itu tidak terbakar.

Yang kedua, orang yang meletakkan alat ini tidak bermaksud untuk menyiksa lalat dan serangga dengan api, akan tetapi tujuannya adalah untuk menolak gangguannya. Ada hadits yang melarang menyiksa dengan api, sedangkan ini tidaklah untuk menyiksa akan tetapi untuk menolak gangguan.

Yang ketiga, sangat sulit untuk membasmi serangga kecuali dengan menggunakan alat ini atau dengan alat yang menyemprotkan bau tidak enak yang terkadang bisa memudhorotkan badan. Dan Nabi shollallohu alaihi wa sallampernah membakar pohon kurma Bani Nadhir, sedangkan di pohon kurma biasanya terdapat burung, serangga dan yang semisalnya.


Ummushofi.wordpress.com *** Ummushofi.wordpress.com

Diterjemahkan dari: Fatawa Nur ‘ala ad-Darb http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_9081.shtml