Pernahkah anda hadir di sisi seseorang yang tengah menghadapi
sakaratul maut, hingga jasadnya dingin, terbujur kaku, tak bergerak,
karena ruhnya telah berpisah dengan badan? Lalu apa perasaan anda saat
itu? Adakah anda mengambil pelajaran darinya? Adakah terpikir bahwa anda
juga pasti akan menghadapi saat-saat seperti itu? Kemudian, pernahkah
terlintas tanya di benak anda, ke mana ruh itu pergi setelah berpisah
dengan jasad?
Hadits yang panjang dari Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di bawah ini memberi ilmu kepada kita tentang hal itu. Simaklah…!
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Bara` bin ‘Azib
radhiyallahu ‘anhu berkisah, “Kami keluar bersama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk mengantar jenazah seorang dari kalangan Anshar.
Kami tiba di pemakaman dan ketika itu lahadnya sedang dipersiapkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk. Kami pun ikut duduk di
sekitar beliau dalam keadaan terdiam, tak bergerak. Seakan-akan di atas
kepala kami ada burung yang kami khawatirkan terbang. Di tangan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu ada sebuah ranting
yang digunakannya untuk mencocok-cocok tanah. Mulailah beliau melihat ke
langit dan melihat ke bumi, mengangkat pandangannya dan menundukkannya
sebanyak tiga kali. Kemudian bersabda, “Hendaklah kalian meminta
perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari adzab kubur,”
diucapkannya sebanyak dua atau tiga kali, lalu beliau berdoa, “Ya Allah,
aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur,” pinta beliau sebanyak tiga
kali.
Setelahnya beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba yang mukmin
apabila akan meninggalkan dunia dan menuju ke alam akhirat, turun
kepadanya para malaikat dari langit. Wajah-wajah mereka putih laksana
mentari. Mereka membawa kain kafan dan wangi-wangian dari surga. Mereka
duduk dekat si mukmin sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat
maut ‘alaihissalam hingga duduk di sisi kepala si mukmin seraya
berkata, “Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan dan keridhaan
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Ruh yang baik itu pun mengalir keluar sebagaimana mengalirnya tetesan
air dari mulut wadah kulit. Malaikat maut mengambilnya. (Dalam satu
riwayat disebutkan: Hingga ketika keluar ruhnya dari jasadnya, seluruh
malaikat di antara langit dan bumi serta seluruh malaikat yang ada di
langit mendoakannya. Lalu dibukakan untuknya pintu-pintu langit. Tidak
ada seorang pun malaikat yang menjaga pintu malaikat kecuali mesti
berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar ruh si mukmin diangkat
melewati mereka). Ketika ruh tersebut telah diambil oleh malaikat maut,
tidak dibiarkan sekejap matapun berada di tangannya melainkan segera
diambil oleh para malaikat yang berwajah putih. Mereka
meletakkan/membungkus ruh tersebut di dalam kafan dan wangi-wangian yang
mereka bawa. Dan keluarlah dari ruh tersebut wangi yang paling semerbak
dari aroma wewangian yang pernah tercium di muka bumi.
Kemudian para
malaikat membawa ruh tersebut naik. Tidaklah mereka melewati sekelompok
malaikat kecuali mesti ditanya, “Siapakah ruh yang baik ini?” Para
malaikat yang membawanya menjawab, “Fulan bin Fulan,” disebut namanya
yang paling bagus yang dulunya ketika di dunia orang-orang menamakannya
dengan nama tersebut. Demikian, hingga rombongan itu sampai ke langit
dunia. Mereka pun meminta dibukakan pintu langit untuk membawa ruh
tersebut. Lalu dibukakanlah pintu langit. Penghuni setiap langit turut
mengantarkan ruh tersebut sampai ke langit berikutnya, hingga mereka
sampai ke langit ke tujuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Tulislah catatan amal hamba-Ku ini di ‘Illiyin dan kembalikanlah ia ke
bumi karena dari tanah mereka Aku ciptakan, ke dalam tanah mereka akan
Aku kembalikan, dan dari dalam tanah mereka akan Aku keluarkan pada kali
yang lain.”
Si ruh pun dikembalikan ke dalam jasadnya yang dikubur dalam
bumi/tanah. Maka sungguh ia mendengar suara sandal orang-orang yang
mengantarnya ke kuburnya ketika mereka pergi meninggalkannya. Lalu ia
didatangi dua orang malaikat yang sangat keras hardikannya, keduanya
menghardiknya, mendudukkannya lalu menanyakan padanya, “Siapakah
Rabbmu?”
Ia menjawab, “Rabbku adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Ditanya lagi, “Apa agamamu?”
“Agamaku Islam,” jawabnya.
“Siapakah lelaki yang diutus di tengah kalian?” tanya dua malaikat lagi.
“Dia adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” jawabnya.
“Apa amalmu?” pertanyaan berikutnya.
“Aku membaca Kitabullah, lalu aku beriman dan membenarkannya,” jawabnya.
Ini adalah fitnah/ujian yang akhir yang diperhadapkan kepada seorang
mukmin. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengokohkannya sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya:
يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلآخِرَةِ
“Allah menguatkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang
tsabit/kokoh dalam kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat.”
(Ibrahim: 27)
Terdengarlah suara seorang penyeru dari langit yang menyerukan,
“Telah benar hamba-Ku. Maka bentangkanlah untuknya permadani dari surga.
Pakaikanlah ia pakaian dari surga, dan bukakan untuknya sebuah pintu ke
surga!”
Lalu datanglah kepada si mukmin ini wangi dan semerbaknya surga serta
dilapangkan baginya kuburnya sejauh mata memandang. Kemudian ia
didatangi oleh seseorang yang berwajah bagus, berpakaian bagus dan harum
baunya, seraya berkata, “Bergembiralah dengan apa yang
menggembirakanmu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu.”
Si mukmin bertanya dengan heran, “Siapakah engkau? Wajahmu merupakan wajah yang datang dengan kebaikan.”
“Aku adalah amal shalihmu. Demi Allah, aku tidak mengetahui dirimu
melainkan seorang yang bersegera menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
lambat dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala membalasmu dengan kebaikan,” jawab yang ditanya.
Kemudian dibukakan untuknya sebuah pintu surga dan sebuah pintu
neraka, lalu dikatakan, “Ini adalah tempatmu seandainya engkau dulunya
bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu Allah Subhanahu wa
Ta’ala menggantikan bagimu dengan surga ini.” Maka bila si mukmin
melihat apa yang ada dalam surga, ia pun berdoa, “Wahai Rabbku,
segerakanlah datangnya hari kiamat agar aku dapat kembali kepada
keluarga dan hartaku.”
Dikatakan kepadanya, “Tinggallah engkau.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan penuturan beliau tentang perjalanan ruh. Beliau bersabda,
“Sesungguhnya seorang hamba yang kafir (dalam satu riwayat: hamba
yang fajir) apabila akan meninggalkan dunia dan menuju ke alam akhirat,
turun kepadanya dari langit para malaikat yang keras, kaku, dan berwajah
hitam. Mereka membawa kain yang kasar dari neraka. Mereka duduk dekat
si kafir sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut hingga
duduk di sisi kepala si kafir seraya berkata, “Wahai jiwa yang buruk,
keluarlah menuju kemurkaan dan kemarahan dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala.”
Ruh yang buruk itu pun terpisah-pisah/berserakan dalam jasadnya, lalu
ditarik oleh malaikat maut sebagaimana dicabutnya besi yang banyak
cabangnya dari wol yang basah, hingga tercabik-cabik urat dan sarafnya.
Seluruh malaikat di antara langit dan bumi dan seluruh malaikat yang ada
di langit melaknatnya.
Pintu-pintu langit ditutup. Tidak ada seorang
pun malaikat penjaga pintu kecuali berdoa kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala agar ruh si kafir jangan diangkat melewati mereka. Kemudian
malaikat maut mengambil ruh yang telah berpisah dengan jasad tersebut,
namun tidak dibiarkan sekejap mata pun berada di tangan malaikat maut
melainkan segera diambil oleh para malaikat yang berwajah hitam lalu
dibungkus dalam kain yang kasar. Dan keluarlah dari ruh tersebut bau
bangkai yang paling busuk yang pernah didapatkan di muka bumi. Kemudian
para malaikat membawa ruh tersebut naik. Tidaklah mereka melewati
sekelompok malaikat kecuali mesti ditanya, “Siapakah ruh yang buruk
ini?” Para malaikat yang membawanya menjawab, “Fulan bin Fulan,” disebut
namanya yang paling jelek yang dulunya ketika di dunia ia dinamakan
dengannya. Demikian, hingga rombongan itu sampai ke langit dunia, mereka
pun meminta dibukakan pintu langit untuk membawa ruh tersebut, namun
tidak dibukakan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membaca ayat:
لاَ تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلاَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ
“Tidak dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak
akan masuk ke dalam surga sampai unta bisa masuk ke lubang jarum.”
(Al-A’raf: 40)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Tulislah catatan amalnya di
Sijjin, di bumi yang paling bawah.’ Lalu ruhnya dilemparkan begitu
saja.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membaca ayat:
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ
“Dan siapa yang menyekutukan Allah maka seakan-akan ia jatuh
tersungkur dari langit lalu ia disambar oleh burung atau diempaskan oleh
angin ke tempat yang jauh lagi membinasakan.” (Al-Hajj: 31)
Si ruh pun dikembalikan ke dalam jasadnya yang dikubur dalam
bumi/tanah. Lalu ia didatangi dua orang malaikat yang sangat keras
hardikannya. Keduanya menghardiknya, mendudukkannya dan menanyakan
kepadanya, “Siapakah Rabbmu?”
Ia menjawab, “Hah… hah… Aku tidak tahu.”
Ditanya lagi, “Apa agamamu?”
“Hah… hah… Aku tidak tahu,” jawabnya.
“Siapakah lelaki yang diutus di tengah kalian?” tanya dua malaikat lagi.
Kembali ia menjawab, “Hah… hah… aku tidak tahu.”
Terdengarlah suara seorang penyeru dari langit yang menyerukan,
“Telah dusta orang itu. Maka bentangkanlah untuknya hamparan dari neraka
dan bukakan untuknya sebuah pintu ke neraka!”
Lalu datanglah kepadanya hawa panasnya neraka dan disempitkan
kuburnya hingga bertumpuk-tumpuk/tumpang tindih tulang rusuknya (karena
sesaknya kuburnya). Kemudian seorang yang buruk rupa, berpakaian jelek
dan berbau busuk mendatanginya seraya berkata, “Bergembiralah dengan apa
yang menjelekkanmu. Inilah harimu yang pernah dijanjikan kepadamu.”
Si kafir bertanya dengan heran, “Siapakah engkau? Wajahmu merupakan wajah yang datang dengan kejelekan.”
“Aku adalah amalmu yang jelek. Demi Allah, aku tidak mengetahui
dirimu ini melainkan sebagai orang yang lambat untuk menaati Allah
Subhanahu wa Ta’ala, namun sangat bersegera dalam bermaksiat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalasmu
dengan kejelekan,” jawab yang ditanya.
Kemudian didatangkan kepadanya seorang yang buta, bisu lagi tuli. Di
tangannya ada sebuah tongkat dari besi yang bila dipukulkan ke sebuah
gunung niscaya gunung itu akan hancur menjadi debu. Lalu orang yang
buta, bisu dan tuli itu memukul si kafir dengan satu pukulan hingga ia
menjadi debu. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan jasadnya
sebagaimana semula, lalu ia dipukul lagi dengan pukulan berikutnya. Ia
pun menjerit dengan jeritan yang dapat didengar oleh seluruh makhluk,
kecuali jin dan manusia. Kemudian dibukakan untuknya sebuah pintu neraka
dan dibentangkan hamparan neraka, maka ia pun berdoa, “Wahai Rabbku!
Janganlah engkau datangkan hari kiamat.” (HR. Ahmad 4/287, 288, 295,
296, Abu Dawud no. 3212, 4753, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud dan Ahkamul Jana`iz hal. 202)
Pembaca yang mulia, berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti benar adanya karena:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوحَى
“Tidaklah beliau berbicara dari hawa nafsunya, hanyalah yang beliau
sampaikan adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3-4)
Maka setelah membaca pengabaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
di atas, masihkah tersisa angan yang panjang dalam kehidupan dunia ini?
Adakah jiwa masih berani bermaksiat kepada Rabbul ‘Izzah dan enggan
untuk taat kepada-Nya? Manakah yang menjadi pilihan saat harus
menghadapi kenyataan datangnya maut menjemput: ruh diangkat dengan penuh
kemuliaan ke atas langit lalu beroleh kenikmatan kekal, ataukah
diempaskan dengan hina-dina lalu beroleh adzab yang pedih?
Bagi hati yang lalai, bangkit dan berbenah dirilah untuk menghadapi
“hari esok” yang pasti datangnya. Adapun hati yang ingat, istiqamah-lah
sampai akhir…
Sungguh hati seorang mukmin akan dicekam rasa takut disertai harap
dengan berita di atas, air mata mengalir tak terasa, tangan pun tengadah
memohon kepada Dzat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, “Ya Allah,
berilah kami taufik kepada kebaikan dan istiqamah di atasnya sampai
akhir hidup kami. Jangan jadikan kami silau dan tertipu dengan kehidupan
dunia yang fana hingga melupakan pertemuan dengan-Mu. Wafatkanlah kami
dalam keadaan husnul khatimah. Lindungi kami dari adzab kubur dan dari
siksa neraka yang amat pedih. Ya Arhamar Rahimin, berilah nikmat kepada
kami dengan surga-Mu yang seluas langit dan bumi. Amin… Ya Rabbal
‘Alamin.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Hendaknya biasakan lah untuk selalu mengingat bahwa datangnya ajal adalah satu hal yang pasti, namun tidak pernah seorang manusiapun yang tahu kapan waktunya dan dimana tempatnya serta dengan cara bagaimana melainkan hanya Allah SWT. Untuk itu cara terbaik yang harus senantiasa kita lakukan adalah ingatlah Allah dalam hal apapun di sepanjang hidup kita. Pasrahkan segala sesuatu kepadaNya, karena Allah pasti akan memberikan yang terbaik.
ReplyDelete