Thursday, June 21, 2012

Setelah Bercerai, Apakah Istri Masih Berhak Memperoleh Nafkah dari Suami?

Tanya:

Asy-Syaikh yang mulia, apakah suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya yang telah ditalak? Semoga Allah memberikan pahala kepada anda.

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين وبعد

Nafkah tetap wajib diberikan kepada istri yang sudah ditalak tapi dengan talak raj’i[1], karena dia masih merupakan istrinya, sehingga dia masih tercakup dalam nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ

“Maka suami-suami mereka lebih berhak mengembalikan mereka dalam hal itu.”

Maka dalam ayat ini Allah Ta’ala masih menamakan lelaki yang mentalaknya sebagai suaminya.

Ibnu Abdi Al-Barr berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama umat ini bahwa wanita-wanita (ditalak) yang masih bisa dirujuk oleh suami-suami mereka, mereka masih berhak mendapatkan pemenuhan nafkah dan kebutuhan dari suami-suami mereka, baik mereka dalam keadaan hamil maupun tidak. Karena para wanita ini masih mempunyai hukum sebagai istri dalam hal nafkah, tempat tinggal, dan warisan selama mereka masih berada dalam masa iddah.” (Al-Istidzkar 18/69)

Nafkan juga tetap wajib diberikan kepada wanita yang diputuskan secara al-ba`in[2], baik dengan fasakh (pembatalan nikah) maupun dengan talak, jika wanita itu diceraikan dalam keadaan hamil. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Jika mereka (wanita-wanita yang ditalak) itu dalam keadaan hamil maka berikanlah nafkah kepada mereka sampai mereka melahirkan kandungan mereka.”

Ibnu Abdil Al-Barr berkata, “Jika wanita yang al-mabtutah[3] itu dalam keadaan hamil, maka dia masih berhak mendapatkan nafkah berdasarkan ijma’ ulama.” (Al-Istidzkar 18/69)

Yang paling tepat dari dua pendapat di kalangan ulama adalah bahwa nafkah wajib diberikan kepada wanita yang hamil karena dia tengah mengandung anak dari laki-laki tersebut (mantan suaminya). Karenanya nafkah kepada wanita (mantan istrinya) ini sebenarnya merupakan nafkah bagi anaknya (yang dalam kandungan), bukan bagi dirinya (wanita itu) dikarenakan dia istrinya. Ini adalah pendapat Malik serta salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Asy-Syafi’i dan Ahmad. Karenanya, nafkah tetap wajib diberikan kepada wanita (mantan istrinya) yang hamil walaupun dia adalah durhaka dan membangkang (sebelum diceraikan), juga tetap wajib diberikan kepada wanita yang hamil akibat pernikahan syubhat[4], dan juga kepada wanita yang hamil akibat pernikahan yang fasid (tidak syah). Karena anak yang dikandung itu adalah anaknya (mantan suaminya), sehingga dia wajib memberikan nafkah kepadanya. (Lihat: Al-Mughni 11/405-406, Qawa’id Ibni Rajab 3/398, Al-Fatawa As-Sa’diah hal. 546)

Al-Qur`an telah menunjukkan bahwa nafkah yang diberikan kepada wanita hamil dan menyusui adalah merupakan bentuk nafkah seorang ayah kepada anaknya, bukan merupakan bentuk nafkah suami kepada istrinya. Sebagaimana pada firman Allah Ta’ala:

وإن كنَّ أولات حمل

“Jika mereka (wanita-wanita yang ditalak) itu dalam keadaan hamil.”
Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan bagi yang dilahirkan (anak) untuknya, wajib atasnya untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada mereka (istri-istri) dengan cara yang ma’ruf.”

Wanita yang ditalak ba`in, tidaklah wajib diberikan nafkah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“Jika mereka (wanita-wanita yang ditalak) itu dalam keadaan hamil maka berikanlah nafkah kepada mereka sampai mereka melahirkan kandungan mereka.”

Pemahaman (kebalikan) dari ayat di atas adalah: Bahwa jika mereka tidak dalam keadaan hamil maka mereka tidak wajib diberikan nafkah. Karena seandainya wanita yang ditalak ba`in tidak berhak mendapatkan nafkah secara mutlak, maka tidak akan dikhususkan penyebutan wanita yang hamil dalam ayat di atas. Maka ini menunjukkan bahwa wanita yang tidak sedang hamil tidak berhak mendapatkan nafkah. Hal ini dikuatkan oleh keterangan yang terdapat dalam hadits Fathimah bintu Qais bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya:

لا نَفَقَةَ لَكِ إِلا أَنْ تَكُونِي حَامِل

“Tidak ada nafkah untukmu kecuali jika kamu dalam keadaan hamil.” (HR. Muslim no. 1480)
Yang menjadi patokan dalam hal ukuran banyaknya nafkah wajib kepada istri adalah yang mencukupinya. Yang menjadi patokannya adalah dalam ukuran yang ma’ruf. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Hindun, istri dari Abu Sufyan:

خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالمَعْرُوفِ

“Ambillah apa yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714)

Maksudnya: Dengan ukuran yang disetujui oleh syariat dan ‘urf (kebiasaan masyarakat). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Yang dimaksud dengan al-ma’ruf adalah ukuran yang diketahui dengan adat (kebiasaan masyarakat di situ) bahwa itu sudah mencukupi.” (Fath Al-Bari 9/509)

Wallahu A’lam

[Diterjemahkan dari Fatwa Asy-Syaikh Saleh Al-Fauzan dengan sedikit perubahan, sumber: http://www.alfuzan.islamlight.net/index.php?option=com_ftawa&task=view&id=28777]

[1] Yaitu talak 1 dan talak 2, dimana istri masih bisa kembali kepada suaminya, jika suaminya ingin rujuk.

[2] Yaitu perceraian dimana istri sudah tidak bisa kembali kepada suaminya walaupun suaminya ingin rujuk.

[3] Wanita yang diputuskan oleh suaminya baik dengan talak ba`in maupun dengan fasakh (pembatalan) nikah.

[4] Yaitu pernikahan yang diyakini syah oleh mereka padahal sebenarnya menurut syar’i tidaklah syah.

Sumber: http://al-atsariyyah.com/istri-yang-ditalak-masih-berhak-mendapat-nafkah.html

No comments:

Post a Comment