Tanya:
Asy-Syaikh yang mulia, apakah suami wajib memberikan nafkah kepada
istrinya yang telah ditalak? Semoga Allah memberikan pahala kepada anda.
Jawab:
الحمد لله والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين وبعد
Nafkah tetap wajib diberikan kepada istri yang sudah ditalak tapi
dengan talak raj’i[1], karena dia masih merupakan istrinya, sehingga dia
masih tercakup dalam nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ
“Maka suami-suami mereka lebih berhak mengembalikan mereka dalam hal itu.”
Maka dalam ayat ini Allah Ta’ala masih menamakan lelaki yang mentalaknya sebagai suaminya.
Ibnu Abdi Al-Barr berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan
ulama umat ini bahwa wanita-wanita (ditalak) yang masih bisa dirujuk
oleh suami-suami mereka, mereka masih berhak mendapatkan pemenuhan
nafkah dan kebutuhan dari suami-suami mereka, baik mereka dalam keadaan
hamil maupun tidak. Karena para wanita ini masih mempunyai hukum sebagai
istri dalam hal nafkah, tempat tinggal, dan warisan selama mereka masih
berada dalam masa iddah.” (Al-Istidzkar 18/69)
Nafkan juga tetap wajib diberikan kepada wanita yang diputuskan
secara al-ba`in[2], baik dengan fasakh (pembatalan nikah) maupun dengan
talak, jika wanita itu diceraikan dalam keadaan hamil. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Jika mereka (wanita-wanita yang ditalak) itu dalam keadaan hamil
maka berikanlah nafkah kepada mereka sampai mereka melahirkan kandungan
mereka.”
Ibnu Abdil Al-Barr berkata, “Jika wanita yang al-mabtutah[3] itu
dalam keadaan hamil, maka dia masih berhak mendapatkan nafkah
berdasarkan ijma’ ulama.” (Al-Istidzkar 18/69)
Yang paling tepat dari dua pendapat di kalangan ulama adalah bahwa
nafkah wajib diberikan kepada wanita yang hamil karena dia tengah
mengandung anak dari laki-laki tersebut (mantan suaminya). Karenanya
nafkah kepada wanita (mantan istrinya) ini sebenarnya merupakan nafkah
bagi anaknya (yang dalam kandungan), bukan bagi dirinya (wanita itu)
dikarenakan dia istrinya. Ini adalah pendapat Malik serta salah satu
dari dua pendapat dalam madzhab Asy-Syafi’i dan Ahmad. Karenanya, nafkah
tetap wajib diberikan kepada wanita (mantan istrinya) yang hamil
walaupun dia adalah durhaka dan membangkang (sebelum diceraikan), juga
tetap wajib diberikan kepada wanita yang hamil akibat pernikahan
syubhat[4], dan juga kepada wanita yang hamil akibat pernikahan yang
fasid (tidak syah). Karena anak yang dikandung itu adalah anaknya
(mantan suaminya), sehingga dia wajib memberikan nafkah kepadanya.
(Lihat: Al-Mughni 11/405-406, Qawa’id Ibni Rajab 3/398, Al-Fatawa
As-Sa’diah hal. 546)
Al-Qur`an telah menunjukkan bahwa nafkah yang diberikan kepada wanita
hamil dan menyusui adalah merupakan bentuk nafkah seorang ayah kepada
anaknya, bukan merupakan bentuk nafkah suami kepada istrinya.
Sebagaimana pada firman Allah Ta’ala:
وإن كنَّ أولات حمل
“Jika mereka (wanita-wanita yang ditalak) itu dalam keadaan hamil.”
Dan Allah Ta’ala berfirman:
وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bagi yang dilahirkan (anak) untuknya, wajib atasnya untuk
memberikan nafkah dan pakaian kepada mereka (istri-istri) dengan cara
yang ma’ruf.”
Wanita yang ditalak ba`in, tidaklah wajib diberikan nafkah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَإِن كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Jika mereka (wanita-wanita yang ditalak) itu dalam keadaan hamil
maka berikanlah nafkah kepada mereka sampai mereka melahirkan kandungan
mereka.”
Pemahaman (kebalikan) dari ayat di atas adalah: Bahwa jika mereka
tidak dalam keadaan hamil maka mereka tidak wajib diberikan nafkah.
Karena seandainya wanita yang ditalak ba`in tidak berhak mendapatkan
nafkah secara mutlak, maka tidak akan dikhususkan penyebutan wanita yang
hamil dalam ayat di atas. Maka ini menunjukkan bahwa wanita yang tidak
sedang hamil tidak berhak mendapatkan nafkah. Hal ini dikuatkan oleh
keterangan yang terdapat dalam hadits Fathimah bintu Qais bahwa Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya:
لا نَفَقَةَ لَكِ إِلا أَنْ تَكُونِي حَامِل
“Tidak ada nafkah untukmu kecuali jika kamu dalam keadaan hamil.” (HR. Muslim no. 1480)
Yang menjadi patokan dalam hal ukuran banyaknya nafkah wajib kepada
istri adalah yang mencukupinya. Yang menjadi patokannya adalah dalam
ukuran yang ma’ruf. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam
kepada Hindun, istri dari Abu Sufyan:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالمَعْرُوفِ
“Ambillah apa yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 1714)
Maksudnya: Dengan ukuran yang disetujui oleh syariat dan ‘urf
(kebiasaan masyarakat). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Yang dimaksud
dengan al-ma’ruf adalah ukuran yang diketahui dengan adat (kebiasaan
masyarakat di situ) bahwa itu sudah mencukupi.” (Fath Al-Bari 9/509)
Wallahu A’lam
[Diterjemahkan dari Fatwa Asy-Syaikh Saleh Al-Fauzan dengan sedikit
perubahan, sumber:
http://www.alfuzan.islamlight.net/index.php?option=com_ftawa&task=view&id=28777]
[1] Yaitu talak 1 dan talak 2, dimana istri masih bisa kembali kepada suaminya, jika suaminya ingin rujuk.
[2] Yaitu perceraian dimana istri sudah tidak bisa kembali kepada suaminya walaupun suaminya ingin rujuk.
[3] Wanita yang diputuskan oleh suaminya baik dengan talak ba`in maupun dengan fasakh (pembatalan) nikah.
[4] Yaitu pernikahan yang diyakini syah oleh mereka padahal sebenarnya menurut syar’i tidaklah syah.
Sumber: http://al-atsariyyah.com/istri-yang-ditalak-masih-berhak-mendapat-nafkah.html
No comments:
Post a Comment