Thursday, March 27, 2014

Meluruskan Pemahaman Terhadap Fatwa Ulama Yang Membolehkan Masuk Parlemen

Diantara dalih sebagian orang yang membolehkan masuk parlemen adalah beberapa fatwa berikut:

Pertama, fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah

Penulis artikel pembolehan masuk parlemen berkata:

Begitu juga dengan Lajnah Daaimah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullahpernah ditanya : "Bolehkah ikut mencoblos dalam Pemilu dan mencalonkan diri dimana di negeri kami ini masih berhukum dengan selain hukum Allah(هل يجوز التصويت في الانتخابات والترشيح لها ؟مع العلم أن بلادنا تحكم بغير ماأنزل الله)

Setelah memaparkan ketidakbolehan mencalonkan diri dalam rangka turut serta dalam aturan yang berhukum dengan selain hukum Allah, dan memilih orang yang akan menyukseskan hukum selain hukum Allah; maka Lajnah berkata:

إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن ينتخبون يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام واتخذوا ذلك وسيلة إلى التغلب على نظام الحكم على ألا يعمل من رشح نفسه تمام الدخول إلى مناصب لا تتنافي مع الشريعة الإسلامية

"Kecuali apabila orang yang mencalonkan dirinya itu dari kaum muslimin dan para pemilih berharap dengan masuknya orang itu ke sistem akan bersuara untuk perubahan agar berhukum dengan syari'at Islam, dan menjadikan hal itu sebagai sarana untuk menguasai sistem/aturan (pemerintahan), (maka hal ini diperbolehkan). Dengan ketentuan, orang yang mencalonkan dirinya tersebut setelah terpilih tidak menerima jabatan kecuali jabatan yang tidak berlawanan dengan syari'at Islam

Tanggapan

Seandainya teks fatwa ditampilkan dan diterjemahkan seluruhnya tentu hal itu lebih sempurna dan lebih baik, agar para pembaca tidak salah dalam memahami fatwa tersebut. Berikut teks lengkap fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah saat menjawab pertanyaan di atas,

Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah berkata:

لا يجوز للمسلم أن يرشح نفسه رجاء أن ينتظم في سلك حكومة تحكم بغير ما أنزل الله، وتعمل بغير شريعة الإسلام، فلا يجوز لمسلم أن ينتخبه أو غيره ممن يعملون في هذه الحكومة،

Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mencalonkan dirinya dalam rangka ikut serta dalam sistem aturan yang berhukum dengan selain hukum Allah dan beramal dengan selain syariat Islam. Tidak diperbolehkan pula bagi seorang muslim untuk memilihnya atau memilih orang-orang yang berpartisipasi dalam sistem hukum tersebut.

إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن ينتخبون يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام، واتخذوا ذلك وسيلة إلى التغلب على نظام الحكم، على ألا يعمل من رشح نفسه بعد تمام الدخول إلا في مناصب لا تتنافى مع الشريعة الإسلامية.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم .

Kecuali apabila kaum muslimin yang mencalonkan dirinya dan keikutsertaan para pemilih dalam pemilu diharapkan dapat sampai pada perubahan hukum yaitu berhukum dengan syari'at Islam, kemudian menjadikan hal itu sebagai sarana untuk menguasai sistem/aturan pemerintah. Dengan ketentuan, orang yang mencalonkan dirinya tersebut setelah terpilih tidak menerima jabatan kecuali jabatan yang tidak berlawanan dengan syari'at Islam” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah no. 4029]

Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah membolehkan seorang muslim untuk masuk parlemen atau mencalonkan diri dalam kancah politik, jika ia dapat memenuhi beberapa syarat berikut:

[Pertama] masuknya dalam parlemen dapat merubah sistem kufur demokrasi menjadi syariat Islam

[Kedua] dapat menguasai parlemen sehingga berwenang membuat aturan-aturan yang tidak bertentangan dengan syariat

[Ketiga] tidak menduduki jabatan yang menyelisihi syariat

Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad rahimahumallah menambahkan syarat [keempat] yaitu tidak memberikan mudharat kepada dirinya

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:

 نحن نفرق بين أن نَنتخِب وبين أن نُنتخَب ؛ لا نرشح أنفسنا لنُنتخَب لأننا سنحترق, أما من أبى إلا أن يحرق نفسه قليلا أو كثيراً ويرشح نفسه في هذه الانتخابات أو تلك، فنحن من باب دفع الشر الأكبر بالشر الأصغر, نختار هذا المسلم على ذاك الكافر أو على ذاك الملحد

“Kami membedakan antara memilih dan mencalonkan diri. Kami tidak mencalonkan diri untuk dipilih, karena kami akan terbakar (terjatuh dalam berbagai penyimpangan –pen). Adapun orang-orang yang lebih memilih untuk membakar dirinya sedikit atau banyak dengan mencalonkan dirinya dalam pemilu atau di sana, maka kami akan memilih mereka daripada memilih orang kafir atau atheis. Hal itu demi menolak keburukan yang lebih besar dengan keburukan yang lebih kecil.” [Silsilah Huda wan Nuur kaset no. 660]

Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad pernah ditanya:

ما حكم الدخول في البرلمان، بل زعم بعضهم أنه يجب على المسلمين الدخول في برلمان إحدى الدول الكافرة؟

“Apa hukum masuk parlemen, bahkan sebagian mereka menyatakan bahwa kaum muslimin wajib masuk parlemen di negara-negara kafir?

Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah menjawab:

الدخول في هذه البرلمانات إذا كان يترتب عليه مضرة لا يجوز أبداً، ولا يجوز للمسلم أن يقدم على شيء فيه مضرة عليه في دينه أو مضرة على المسلمين.

أما إذا كان الدخول فيها لا يلحق الإنسان فيه مضرة، وإنما يحصل فيه جلب خير للمسلمين أو دفع ضرر عن المسلمين فالعبرة بالمصالح والفوائد التي تترتب على ذلك، بشرط أن لا يلحق الإنسان ضرر في ذلك العمل.

Masuk dalam parlemen tidak diperbolehkan selama-lamanya, jika menyebabkan mudharat pada dirinya. Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim menjerumuskan dirinya dalam perkara yang menimbulkan mudharat dalam agamanya atau mudharat bagi kaum muslimin.

Adapun jika masuknya ke dalam parlemen tidak menimbulkan mudharat pada dirinya dan akibat yang ditimbulkan hanyalah kebaikan yang diperoleh bagi kaum muslimin atau menolak kerusakan dari kaum muslimin, timbangan dalam hal ini adalah terdapat maslahat dan manfaat yang diperoleh, dengan syarat tidak menimbulkan mudharat bagi dirinya ketika ia masuk dalam parlemen” [Dengarkan rekaman suara Asy-Syaikh di sini]

Mungkinkah keempat syarat tersebut terpenuhi?

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dengan tegas memastikan bahwa syarat-syarat tersebut tidak mungkin terpenuhi. Asy-Syaikh Al-Albani berkata:

هذه الشروط لا يمكن تحقيق ها؛ ونحن نشاهد كثيرًا من الناس الذين كان لهم منطلق في حياﺗﻬم—على الأقل—في مظهرهم .. في لباسهم .. في لحيتهم .. حينما يدخلون ذلك اﻟﻤﺠلس—أي مجلس البرلمانات—وإذا بظاهرهم تَغيَّر

وتبدَّل! وطبعًا هم يبرِّرون ذلك ويسوِّغونه: وأنّ هذا من باب المسايرة
فرأينا ناسًا دخلوا البرلمان باللباس العربيّ الإسلاميّ، ثم بعد أيام قليلة غيَّروا لباسهم وغيَّروا زيَّهم!! فهذا دليل الفساد أو الصلاح؟!”

Syarat-syarat tersebut tidak mungkin terpenuhi. Banyak kita saksikan orang-orang yang memiliki prinsip hidup yang lurus, kelihatan dari penampilannya, cara berpakaian islami...memelihara jenggot. Namun ketika menjadi anggota parlemen penampilan mereka langsung berubah! Tentu saja mereka mengemukakan alasan dan mencari-cari pembenaran, kata mereka untuk menyesuaikan diri.

Banyak kita lihat orang-orang yang menjadi anggota parlemen dengan mengenakan pakaian tradisional arab yang islami. Selang beberapa hari kemudian mereka merubah pakaian dan penampilan. Apakah ini bukti kebaikan ataukah kerusakan?" [Silsilah Huda wan Nuur kaset no. 352]

Jika syarat-syaratnya tidak mungkin terpenuhi, maka hukum masuk parlemen boleh atau terlarang? Jawablah pertanyaan ini dengan jujur dan ikhlas mencari kebenaran…

Kedua, kekeliruan dalam menerjemahkan perkataan Asy-Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlaan hafizhahullah

Perhatikan teks fatwa dan terjemah berikut,

لابد من التأكد من كون المسألة معلومة من الدين بالضرورة، لأن استقرار رجوح مسألة في الذهن لدى الإنسان يجعله يتحمس لها ويعطيها أكبر من حجمها، ومن ذلك اجتهاد من يرى عدم جواز دخول الانتخابات البرلمانية فقد تشدد ويعتبر هذا الموضوع معلوماً من الدين بالضرورة، ويعادي المخالف، وقد يتأول أن هذا نوع من الولاء لغير المسلم - أي دخول الانتخابات - والمسألة فيها سعة وليست بهذا الضيق الاجتهادي

Harus benar-benar dipastikan apakah permasalahannya adalah termasuk perkara agama yang wajib diketahui secara pasti. Karena terkadang keyakinan terhadap perkara yang rajih (kuat) dalam diri seseorang membuatnya sangat ‘militan’ dalam mempertahankannya hingga berlebihan dalam memposisikannya. Contohnya adalah ijtihad orang yang tidak membolehkan ikut dalam pemilihan umum dan duduk di parlemen. Terkadang mereka bersikap ekstrim dan memasukkan masalah ini sebagai perkara pokok agama yang wajib diketahui dengan pasti, lalu dengan serta-merta dia memusuhi orang yang menyelisihinya, dan terkadang juga dia menerjemahkan berpartisipasi dalam pemilihan umum sebagai suatu bentuk loyalitas terhadap non-muslim. Padahal sebenarnya permasalahan ini sangat lapang, tidak sesempit ijtihad seperti ini (yang tidak membuka ruang perbedaan pendapat” [Al-I’tilaaf wal-Ikhtilaaf : Asasuhu wa Dlawabithuhu oleh Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan hal. 83; Daar Balansiyyah, Cet. Thn. 1417 H, Riyaadl]

Tanggapan

Setelah saya mencermati perkataan Asy-Syaikh As-Sadlaan di atas, Asy-Syaikh hanya membahas point keikutsertaan dalam pemilu, beliau sama sekali tidak menyinggung pembahasan “masuk parlemen”. Kata “duduk” yang saya cetak bold di atas adalah terjemah tambahan dari penulis artikel yang keliru. Asy-Syaikh As-Sadlaan hanya menyatakan:

ومن ذلك اجتهاد من يرى عدم جواز دخول الانتخابات البرلمانية

“Diantaranya adalah ijtihad orang yang tidak membolehkan ikut-serta dalam pemilu di parlemen

Saya heran kenapa penulis artikel sampai berbuat demikian untuk membela keyakinannya yang jelas-jelas menyelisihi bimbingan ulama kibar. Lebih dari itu, penulis artikel juga berani berijtihad membolehkan pembentukan partai Islam. Allahulmusta’an.

Penulis artikel berkata:

Kalau kita memakai kaedah fiqhiyyah, maka partai adalah far' (cabang) dari kebolehan mengikuti Pemilu dan berparlemen yang merupakan ashl (pokok). Maksudnya begini,.... seandainya ulama membolehkan nyoblos dan membolehkan seseorang bergabung di parlemen; bukankah itu artinya ulama membolehkan memilih dan bergabung  pada partai tertentu?. Jika demikian, apa bedanya antara partai lama dan partai baru, sementara yang ditimbang adalah partai yang paling dekat dengan kebenaran. Dan 'illat fatwa tadi adalah pertimbangan maslahat dan mafsadat bagi Islam dan kaum muslimin?

Kembali  pada pertanyaan antum : "Mungkinkah Salafiy membentuk partai?". Jawab saya : "Mungkin"
.”

Demi Allah, pernyataan penulis artikel itu akan dimintai pertanggung-jawabannya kelak di sisi Allah, karena menyatakan suatu hukum permasalahan besar di tengah umat tanpa ilmu. Saya berharap agar beliau mau rujuk dan menarik kembali perkataannya, demi kebaikan dirinya sendiri sekaligus untuk meluruskan pemahaman keliru para pembaca. Nas’alullahat taufiiq

Di sini saya ingin mengingatkan beliau tentang bahayanya berbicara dalam permasalahan agama tanpa didasari ilmu, apalagi dalam permasalahan besar di tengah umat.

"1. Hal itu merupakan perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah.

Allah ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

"Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” [QS. Al-A’raf: 33]

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah berkata:

“Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Allah mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

Dan berbicara tentang Allah tanpa ilmu meliputi berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukum-Nya, syari’at-Nya, dan agama-Nya. Termasuk berbicara tentang nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’at-Nya, dan agama-Nya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit: Dar Ibnil Qayyim]

2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.

Allah ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung". [QS. An-Nahl: 116]

3. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

"Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hamba-Nya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ulama pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain." [HR. Al-Bukhari no. 100, Muslim dan lainnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa “barangsiapa tidak memiliki ilmu lalu menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya tanpa ilmu dengan mengqiyaskan (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Allah halalkan dengan kebodohan dan menghalalkan apa yang Allah haramkan tanpa ia sadari, maka inilah orang yang mengqiyaskan dengan akalnya, ia sesat dan menyesatkan. [Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syaikh Abul Asybal Az-Zuhairi]

4. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.

Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya. Allah telah berfirman:

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ

"Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun" (QS. Al-Qashshash: 50)” [Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 393]

5. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan Rasul-Nya.

Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [QS. Al-Hujuraat: 1]

Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: 

“Ayat ini memuat adab terhadap Allah dan Rasul-Nya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Allah telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Allah berkata dan janganlah mereka memberikan perintah, sampai Allah memberikan perintah”. [Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat: 1]

6. Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.

Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

"Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun". [HR. Muslim no. 2674, dari Abu Hurairah]

7. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai pertanggung-jawaban

Allah ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya." [QS. Al-Isra’: 36]

Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Allah ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” [Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’: 36]

8. Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.

Asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Pasal Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." [QS. Al-Maidah: 44]

9. Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 393]

10. Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan

Allah berfirman:

إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

"Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui." [QS. Al-Baqarah: 169]

Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat, barangsiapa yang ingin berbicara masalah agama hendaklah ia belajar lebih dahulu, kemudian hendaklah ia hanya berbicara berdasarkan ilmu” [artikel www.muslim.or.id]

Adapun fatwa sebagian ulama yang membolehkan ikut-serta dalam pemilu, hal itu tidak melazimkan kebolehan masuk parlemen. Justru para ulama menganggap bahwa masuk dalam parlemen adalah suatu keburukan dan bentuk penyimpangan agama yang harus diwaspadai.

Asy-Syaikh Abdullah Al-Ubailan rahimahullah menganggap masalah “masuk dalam parlemen” termasuk penyimpangan yang menjadikan sebab jarh bagi pelakunya. Simak penilaian beliau terhadap Asy-Syaikh Muhammad Hassan pasca revolusi Mesir,

Asy-Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Ubailan pernah ditanya,

فضيلة شيخنا سبق وأن سُئلتم عن الداعية محمد حسان , وأجبتم السائل أنه لا حرج من الاستماع إليه والاستفادة من وعظه , وكما نقل عنكم بعض الناس ثائكم على القرضاوي , وبعض الدعاة , نأمل منكم توضيح ذلك ؟

“Syaikh kami yang mulia. Dahulu Anda pernah ditanya tentang seorang dai yang bernama Muhammad Hassân, lalu Anda memberi jawaban kepada sang penanya bahwa tidak mengapa mendengarkan dan mengambil manfaat dari ceramahnya (Muh. Hassân). Demikian pula ada sebagian orang yang menukil dari Anda tentang pujian Anda kepada al-Qaradhâwî, dan sebagian duat. Kami mengharapkan sudi kiranya Anda memberikan penjelasan tentang hal ini.”

Jawaban Asy-Syaikh Al-Ubailan rahimahullah:

الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين وبــعد :
أما سؤالك عن محمد حسان , فإن هذا كان قبل الثورات والتي بسببها تغير جملة من المنتسبين للعلم عما كنا نعرفهم عليه , وليس الأمر مقتصراً على محمد حسان , وعـليه فإن القـاعـدة عندي :

أن من تساهل في العقيدة أو الالتزام بالسنة وبفهم السلف الصالح للنصوص بسبب العمل السياسي أو غيره , فـلا يجـوز أن يكون إماماً في الدين أو يؤخذ عـنه العلم , قال تعالى:[ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا] {الكهف:28} , وقد كان عمر رضي الله عنه وهو الملهم , قد أثنى على ابن ملجم قاتل علي رضي الله عنه , فالقلوب بين اصبعين من اصابع الرحمن يقلبها كيف يشاء , ولو كان عمر رضي الله عنه يعلم انه سيفعل ذلك ما اثنى عليه.
وعلـيـه فالـذي أنصح بـه :

عـدم الأخذ عن محمد حسان وأمثاله , ممن افسدهم العمل في السياسية.
وأمـا نقل من نقل عني وهو مخطئ فيما نقل , اعـني : الأخ أسامة بن عطايا العتيبي الفلسطيني , بأني اثني على القرضاوي وأقول العلامة العودة , فقد اعتذر عن ذلك واعترف أنه لم يتثبت فيما نقل.
وعلى كل حـال :

فإن النصيحة للأخ محمد حسان وأمثاله واجبة لمن قدر عليها , قال عليه الصلاة والسلام:[ الدين النصيحة - ثلاثاً – قلنا: لمن يا رسول الله ؟ قال:[ لله ولكتابه ولرسوله وأئمة المسلمين وعامتهم ] رواه مسلم.
كـما أود أن انبه الأخوة الذين يبتغون وجه الله تعالى فيما يقولون ويكتبون بالتأني وعدم العجلة في جرح المنتسبين للعلم , وليكن رجـوعهمفي ذلك الراسخين في العلم والذين جمعوا بين العلم والعدل , كما قال تعالى:[وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ] {الأعراف:181} , والجرح نوع من الشهادة , وقد قال تعالى:[ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ] {الزُّخرف:19
}.

والله ولي التوفيق

والحمد لله رب العالمين
وكتب : عبدالله بن صالح العبيلان
يوم الثلاثاء الموافق 9 / 4 / 1434هـ

“Segala puji hanyalah milik Allâh pemelihara alam semesta, shalâwat dan salâm semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullâh, keluarga beliau dan seluruh sahabatnya. Wa ba’du:

Adapun pertanyaan Anda mengenai Muhammad Hassân, maka sesungguhnya (jawaban saya terdahulu) adalah sebelum terjadinya revolusi (di Mesir) yang menyebabkan sejumlah ahli ilmu (di sana) berubah dari yang kami kenal sebelumnya. Perkara ini tidak hanya terbatas pada Muhammad Hassân saja.

Untuk itulah, prinsip saya dalam hal ini adalah: siapa saja yang bermudah-mudah di dalam masalah aqidah atau bermudah-mudah di dalam berpegang dengan sunnah menurut pemahaman As-Salaf As-Shâlih terhadap nash-nash (syariat), lantaran aktivitas politik atau semisalnya, maka tidak boleh dijadikan sebagai pemimpin di dalam agama atau diambil ilmunya. Allâh ta’âlâ berfirman:

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

Dan janganlah kamu mengikuti orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya, dan keadaannya itu melewati batas.” [QS. Al-Kahfi : 28].

Bahkan ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu -dan beliau (disebut sebagai) orang yang diberi ilham- pernah memuji Ibnu Muljam, orang yang membunuh ‘Alî radhiyallâhu ‘anhu. Karena hati itu berada di antara dua jari dari jari jemari Allâh yang Maha Pemurah, Dia membolak-baliknya sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Sekiranya ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu mengetahui bahwa dia (Ibnu Muljam) akan melakukan hal itu (yaitu membunuh ‘Alî radhiyallâhu ‘anhu), niscaya beliau tidak akan mau memujinya.

Karena itulah saya menasehatkan untuk tidak mengambil (ilmu) dari Muhammad Hassân dan orang-orang semisal dia, yang merusak amalannya di dalam politik (praktis).

Adapun penukilan yang dinukil dari saya, yaitu yang dinukil oleh saudara Usâmah bin ‘Athâyâ al-‘Utaibî al-Filisthînî, bahwa saya memuji al-Qaradhâwî atau menyebut “al-‘Allâmah” kepada (Salmân) al-Audah, adalah penukilan yang salah. Tapi saya memaafkan dia dan dia mengakui bahwa dia tidak melakukan tatsabbut (verifikasi) terlebih dahulu tentang apa yang dinukilnya.

Walau demikian, sesungguhnya wajib bagi yang mampu untuk menasehati saudara Muhammad Hassân dan orang-orang yang serupa dengannya. Nabi ‘alaihi ash-sholâtu wassalâm bersabda:

الدين النصيحة – ثلاثاً – قلنا: لمن يا رسول الله ؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله وأئمة المسلمين وعامتهم

“Agama itu adalah nasehat” (sebanyak tiga kali)”. Kami (para sahabat) bertanya: “Bagi siapa wahai Rasulullâh?” Beliau menjawab: “Bagi Allâh, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan seluruh masyarakatnya.” [HR Muslim]

Saya juga mengingatkan kepada para ikhwah -yang (ikhlas) hanya mengharapkan wajah Allâh ta’âlâ- ketika berkata dan menulis agar berhati-hati (ta`annî) dan tidak tergesa-gesa di dalam men-jarh orang yang dianggap berilmu. Hendaknya mereka mengembalikan hal ini kepada para ulama yang mendalam keilmuannya, yang menggabungkan antara ilmu dan keadilan, sebagaimana firman Allâh ta’âlâ:

وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ

Dan diantara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberikan petunjuk dengan kebenaran dan dengan kebenaran itu mereka bersikap adil.” [QS. Al-A’râf : 181]

Jarh  merupakan salah satu bentuk persaksian (syahâdah), Allâh ta’âlâ berfirman:

سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ

Persaksian mereka akan dicatat dan akan dipertanyakan” [QS. Az-Zukhruf: 19]

Hanya Allâh semata yang memberikan taufiq. Segala puji hanyalah milik Allâh.”

Ditulis oleh : ‘Abdullâh bin Shâlih al-‘Ubailân pada hari Selasa, 9/4/1434 H.” [Dinukil dari website Abu Salma]

Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya,

هذا شخص من مصر يقول : لا يخفى عليكم الأحداث القائمة في مصر من مسارعة بعض الشيوخ المعروفين لدي الكثير من الناس من إنشاء حزب سموه حزب النور السلفي من أجل مقاومة التيارات اللبرالية والعلمانية فهل يجوز للمسلم أن ينضم إلى هذه الأحزاب أو يعطيها صوتها في الإنتخابات , أتمنى أن تبسطوا الجواب لحاجتنا لذلك بارك الله في اعمالك ؟

“Salah seorang penanya dari Mesir berkata: “Tidak asing lagi bagi Anda tentang berbagai peristiwa yang terjadi di Mesir, sebagian masyayikh yang telah kita kenal mendirikan sebuah partai yang dinamakan Partai An-Nuur As-Salafy. Hal ini bertujuan untuk mengimbangi paham sosialis, liberal dan sekuler. Apakah seorang muslim diperbolehkan bergabung dalam partai ini atau setidaknya menyumbangkan suaranya untuk partai ini dalam pemilu. Aku berharap agar Anda berkenan memberikan perincian jawaban karena kebutuhan kami yang sangat mendesak dalam hal ini, semoga Allah memberikan barakah pada amal-amal Anda”
  
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:

الواجب على المسلم في وقت الفتن أن يتجنبها وأن يبتعد عنها إلى أن تهدأ، ولا يدخل فيها، هذا الواجب على المسلم.
والأحزاب هذه والتكتلات قد تجر إلى شر وإلى فتنة وإلى اقتتال فيما بينها،
 فالمسلم يتجنب الفتن مهما استطاع،

 يسأل الله العافية ويدعو للمسلمين بأن يفرج الله عنهم؛ ويزيل عنهم هذه الفتنة وهذه الشدة، نعم .اهـ

“Yang wajib bagi seorang muslim dalam masa-masa fitnah adalah menjauhi fitnah tersebut, ia menjauh darinya hingga keadaannya berubah menjadi tenang, janganlah ia masuk di dalamnya. Ini yang wajib bagi setiap muslim.

Partai-partai dan perkumpulan massa semacam ini terkadang dapat menjerumuskan ke dalam keburukan, menimbulkan fitnah, permusuhan dan peperangan diantara mereka. Oleh karena itu, seorang muslim hendaklah menjauhi fitnah-fitnah tersebut selagi ia mampu. Hendaklah ia memohon keselamatan pada Allah, mendoakan kaum muslimin agar Allah memberikan jalan keluar bagi mereka, serta melenyapkan masa-masa sulit dan fitnah ini dari mereka, iya.”

Sumber: kitab (البيان لبعض أخطاء الكُتَّاب) jilid 2 hal. 153-154, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Su’udiyyah
Allahua'lam


Dikutip oleh Abul-Harits di Madinah, 26 Jumadil Ulaa 1435

6 comments:

  1. Assalaamu'alaykum warahmatullah ustadz al fadhil yang semoga dirahmati oleh Allah Ta'ala. langsung saja... terkait kemungkinan ahlu sunnah masuk ke dalam parlemen dengan membentuk partai. di atas ustadz secara eksplisit mengatakan bahwa orang yang mengatakan bahwa mungkin salafy membentuk partai sebagai orang yang berbicara tanpa ilmu (saya tahu siapa yang empunya kalam yg ustadz maksud), saya heran... bukankah ustadz sendiri mengakui adanya khilaf ulama dalam masalah ini, sebagaimana disini http://abul-harits.blogspot.com/2014/03/dialog-ringkas-mempertimbangkan.html ,wa bil khusus "Adapun Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan lain-lainnya, mungkin ada sebagian dari mereka yang membolehkan" walaupun di sana ustadz memberikan penjelasan syaikh rabi' hafizahullah, namun bukan berarti kita seolah2 meniadakan fatwa para ulama yang membolehkan, dalam arti lain, tetap ada kemungkinan ruang bagi salafy untuk membentuk partai meskipun sangat kecil sekali. (berdasar fatwa syaikh ibn baaz, syaikh ibnu utsaimin, dan lajnah (tanpa tambahan dari fatwa syaikh al-albani dan syaikh abdul muhsin) hafizhahumullah. maka saya rasa mengatakan orang yang beranggapan bahwa mungkin saja salafy membentuk partai sebagai orang yang berkata tanpa ilmu merupakan perkataan yang tidak tepat. wallahu a'lam

    ReplyDelete
  2. Saya meminta bukti fatwa dari perkataan antum bahwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin membolehkan pembentukan partai politik… ingat, fatwa syaikh yang membolehkan pembentukan partai politik, bukan fatwa pembolehan pemilu. Dua masalah tersebut jauh berbeda. Mana akhi? Justru sebaliknya, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin tidak setuju dengan cara-cara dakwah semacam itu. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

    أنا لا أقر ولا أوافق على التكتل الديني، بمعنى: أن كل حزب يرى نفسَه أنه منفرد عن الآخرين؛ لأن هذا يدخل في قوله تعالى: " إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعاً لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوايَفْعَلُونَ" [الأنعام:159]

    “Aku tidak setuju, tidak pula sepakat dengan perkumpulan-perkumpulan massa yang mengatasnamakan agama, maksudnya setiap partai memandang dirinya memiliki keistimewaan tersendiri dari partai lain. Sebab perbuatan ini termasuk dalam firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan berkelompok-kelompok, engkau bukanlah termasuk dari mereka sedikitpun. Urusan mereka hanyalah kembali kepada Allah, kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka perbuat” [QS. Al-An’am: 159]…” [Liqa Al-Bab Al-Maftuuh, 15/45]

    Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya,

    هذا شخص من مصر يقول : لا يخفى عليكم الأحداث القائمة في مصر من مسارعة بعض الشيوخ المعروفين لدي الكثير من الناس من إنشاء حزب سموه حزب النور السلفي من أجل مقاومة التيارات اللبرالية والعلمانية فهل يجوز للمسلم أن ينضم إلى هذه الأحزاب أو يعطيها صوتها في الإنتخابات , أتمنى أن تبسطوا الجواب لحاجتنا لذلك بارك الله في اعمالك ؟

    “Salah seorang penanya dari Mesir berkata: “Tidak asing lagi bagi Anda tentang berbagai peristiwa yang terjadi di Mesir, sebagian masyayikh yang telah kita kenal mendirikan sebuah partai yang dinamakan Partai An-Nuur As-Salafy. Hal ini bertujuan untuk mengimbangi paham sosialis, liberal dan sekuler. Apakah seorang muslim diperbolehkan bergabung dalam partai ini atau setidaknya menyumbangkan suaranya untuk partai ini dalam pemilu. Aku berharap agar Anda berkenan memberikan perincian jawaban karena kebutuhan kami yang sangat mendesak dalam hal ini, semoga Allah memberikan barakah pada amal-amal Anda”

    Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:

    الواجب على المسلم في وقت الفتن أن يتجنبها وأن يبتعد عنها إلى أن تهدأ، ولا يدخل فيها، هذا الواجب على المسلم.
    والأحزاب هذه والتكتلات قد تجر إلى شر وإلى فتنة وإلى اقتتال فيما بينها،
    فالمسلم يتجنب الفتن مهما استطاع،
    يسأل الله العافية ويدعو للمسلمين بأن يفرج الله عنهم؛ ويزيل عنهم هذه الفتنة وهذه الشدة، نعم .اهـ

    “Yang wajib bagi seorang muslim dalam masa-masa fitnah adalah menjauhi fitnah tersebut, ia menjauh darinya hingga keadaannya berubah menjadi tenang, janganlah ia masuk di dalamnya. Ini yang wajib bagi setiap muslim.
    Partai-partai dan perkumpulan massa semacam ini terkadang dapat menjerumuskan ke dalam keburukan, menimbulkan fitnah, permusuhan dan peperangan diantara mereka. Oleh karena itu, seorang muslim hendaklah menjauhi fitnah-fitnah tersebut selagi ia mampu. Hendaklah ia memohon keselamatan pada Allah, mendoakan kaum muslimin agar Allah memberikan jalan keluar bagi mereka, serta melenyapkan masa-masa sulit dan fitnah ini dari mereka, iya.” [kitab (البيان لبعض أخطاء الكُتَّاب) jilid 2 hal. 153-154, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Su’udiyyah]

    ReplyDelete
  3. Kalo antum belum legawa dengan fatwa para ulama di atas, saya akan nukilkan fatwa dari syaikh antum sendiri, Asy-Syaikh Ali Hasan Al-Halabi. Ada seorang yang bertanya kepada Asy-Syaikh Ali Hasan berkaitan dengan sebagian teman-temannya yang membentuk partai politik di parlemen.

    Teks pertanyaan:

    هل ما نراه من توجه بعض إخواننا إلى تأسيس أحزاب

    “Apakah sikap kita terhadap sebagian sebagian ikhwan-ikhwan kita yang membentuk partai-partai…?”

    Asy-Syaikh Ali Hasan Al-Halabi menjawab:

    أنا لا أشك أن التحزُّب باب فتنة و باب محنة كبرى ، و باب انحراف و سقوط ، و لكن لا أقول هذا مما اقتضته المرحلة . أقول من ابتُلوا بذلك فليس لنا إلا ان ننكر عليهم و أن ندعوَ لهم ، لا أن نكون سيفا مصلتا عليهم ، نترك الجميع لنطعن بهم و نتفرغ لهم ، نحن نبيِّن ما عندنا من حقٍّ و ننصح و نخطِّئ لكن لا نجعل _ يعني _ المهمة الأساسية لنا الطعن فيهم و التشكيك بهم و التضليل لهم مع التذكير _ من قبل و من بعد _ أنّهم مخطئون و أنّنا لا نوافق على هذه الحزبية ، و أقول المعافى يحمد الله

    “Aku tidak ragu bahwa berpartai-partai merupakan fitnah dan ujian yang besar. Hal itu membuka pintu penyimpangan dan penyelewengan. Aku tidak menyatakan bahwa pembentukan partai merupakan fase yang dituntut (dalam dakwah –pen). Aku katakan, barangsiapa diantara mereka yang tertimpa musibah ini, tidak ada yang dapat kami lakukan kecuali mengingkari mereka dan mendoakan mereka...Mereka adalah orang-orang yang salah, kami tidak menyetujui mereka dalam sikap hizbiyyah ini… [Min Liqa’at Asy-Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi ‘ala Paltalk, 18/3/2012]

    Semoga antum bisa mengambil pelajaran…

    ReplyDelete
  4. jangan lupa menjawab salam ustadz. barakallahu fiekum.

    @abu muhammad

    ReplyDelete
  5. Maaf sampai terlupa menjawab salam, wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Antum menjawab di luar konteks pertanyaan, saya bertanya pada antum fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin yang membolehkan pembentukan partai. Mana akhi? Fatwa Al-Lajnah tersebut telah saya ketahui sebelumnya.

    Namun apakah fatwa tersebut berlaku mutlak? Artinya boleh membentuk partai Islam untuk berdakwah? Perkataan ustadz antum terlalu global saat menyatakan "mungkinkah salafy membentuk partai? mungkin" jawabnya. Seolah-olah salafiyyun membolehkan pembentukan partai politik secara mutlak. Jika hal itu yang ia maksud, maka ini adalah sebuah kedustaan yang mengtasnamakan ulama Al-Lajnah

    Antum tentu mengetahui kaidah [الضرورة تبيح المحظورة] artinya sesuatu yang darurat membolehkan perkara yang pada asalnya terlarang. Sekarang kita lihat, pembentukan partai politik di parlemen hukum asalnya adalah terlarang. Karena di dalamnya terdapat berbagai macam mafsadah yang besar.

    Diantaranya, anggota perlemen harus berhukum dengan selain hukum Allah, ini termasuk dosa besar, bahkan termasuk kekufuran apabila ia sampai menghalalkannya. Di sana juga terdapat ikhtilath antara laki-laki dan wanita. Para anggota parlemen juga harus bermuamalah dengan para da’i penyeru kesesatan seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), Syiah, dsb yang notabene mereka merupakan ahlul-bid’ah, sementara para ulama salaf telah ijma’ tentang kewajiban menghajr ahlul-bid’ah, hal itu termasuk dalam pokok aqidah ahlus-sunnah. Kitab-kitab aqidah salaf penuh dengan nukilan-nukilan tersebut, dan masih banyak penyimpangan lain yang belum saya sebutkan.

    Jika antum saya tanya satu per satu dari point tadi, Apakah berhukum dengan selain hukum Allah halal? Apakah ikhtilah antara laki-laki dan wanita halal? Apakah bermuamalah dengan ahlul-bid’ah yang nampak jelas kebid’ahannya boleh? Bagaimana jika seluruh point ini terkumpul dalam partai politik di parlemen?

    ReplyDelete
  6. Jika antum telah mengetahui hukum asal dalam permasalahan ini, kemudian kita lihat kenapa para ulama Al-Lajnah berfatwa demikian, jawabnya karena memang ada kebutuhan darurat di negeri kafir. Kembali pada perkataan ustadz antum “mungkinkah salafy membentuk partai? Mungkin” jawabnya. Apakah kata-kata ini tepat dan hikmah (diletakkan pada tempatnya)?

    Jika antum menganggap pernyatan itu tepat dan tidak masalah, maka sah-sah saja jika ada seorang da’i yang menyatakan:

    - “mungkinkah seorang salafy makan daging babi? mungkin”.

    - “mungkinkah seorang salafy membunuh seorang muslim? mungkin”

    - “mungkinkah seorang salafy bergaul dengan ahlul bid’ah dari tokoh –tokoh Islam Liberal dan Syi’ah? mungkin”

    Kemudian setelah dikritik barulah ia berasalan, mungkin saja seorang salafy makan daging babi dalam keadaan darurat. Mungkin saja seorang salafy membunuh seorang muslim, apabila ia termasuk kelompok khawarij yang memberontak. Dan yang terakhir, mungkin saja seorang salafy bergaul dengan tokoh-tokoh Islam Liberal dan Syi’ah, jika memang maslahatnya lebih dominan daripada mafsadahnya. Allahulmusta’an.. Apakah ustadz antum mau mempermainkan akal-akal kaum muslimin??.

    Hendaklah ustadz antum bertakwa kepada Allah, janganlah melontarkan statemen-statemen yang mengundang kontroversi dan membuat kebingungan diantara kaum muslimin, karena setiap perkataan yang terucap ada timbangannya di akhirat kelak. Wabillahittaufiq

    ReplyDelete