Diantara dalih sebagian orang yang membolehkan masuk parlemen adalah
beberapa fatwa berikut:
Pertama, fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah
Penulis artikel pembolehan masuk parlemen berkata:
“Begitu juga dengan Lajnah Daaimah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu
Baaz rahimahullahpernah ditanya : "Bolehkah ikut mencoblos dalam Pemilu
dan mencalonkan diri dimana di negeri kami ini masih berhukum dengan selain
hukum Allah ? (هل يجوز التصويت في الانتخابات والترشيح لها ؟مع العلم أن بلادنا تحكم
بغير ماأنزل الله)
Setelah memaparkan
ketidakbolehan mencalonkan diri dalam rangka turut serta dalam aturan yang
berhukum dengan selain hukum Allah, dan memilih orang yang akan menyukseskan
hukum selain hukum Allah; maka Lajnah berkata:
إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن
ينتخبون يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة
الإسلام واتخذوا ذلك وسيلة إلى التغلب على نظام الحكم على ألا يعمل من رشح نفسه
تمام الدخول إلى مناصب لا تتنافي مع الشريعة الإسلامية
"Kecuali apabila
orang yang mencalonkan dirinya itu dari kaum muslimin dan para pemilih berharap
dengan masuknya orang itu ke sistem akan bersuara untuk perubahan agar berhukum
dengan syari'at Islam, dan menjadikan hal itu sebagai sarana untuk menguasai
sistem/aturan (pemerintahan), (maka hal ini diperbolehkan). Dengan ketentuan,
orang yang mencalonkan dirinya tersebut setelah terpilih tidak menerima jabatan
kecuali jabatan yang tidak berlawanan dengan syari'at Islam”
Tanggapan
Seandainya teks fatwa
ditampilkan dan diterjemahkan seluruhnya tentu hal itu lebih sempurna dan lebih
baik, agar para pembaca tidak salah dalam memahami fatwa tersebut. Berikut teks
lengkap fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah saat menjawab pertanyaan di atas,
لا يجوز للمسلم أن يرشح نفسه رجاء أن
ينتظم في سلك حكومة تحكم بغير ما أنزل الله، وتعمل بغير شريعة الإسلام، فلا يجوز
لمسلم أن ينتخبه أو غيره ممن يعملون في هذه الحكومة،
“Tidak diperbolehkan
bagi seorang muslim untuk mencalonkan dirinya dalam rangka ikut serta dalam
sistem aturan yang berhukum dengan selain hukum Allah dan beramal dengan
selain syariat Islam. Tidak diperbolehkan pula bagi seorang muslim untuk
memilihnya atau memilih orang-orang yang berpartisipasi dalam sistem hukum
tersebut.
إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن
ينتخبون يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة
الإسلام، واتخذوا ذلك وسيلة إلى التغلب على نظام الحكم، على ألا يعمل من رشح نفسه
بعد تمام الدخول إلا في مناصب لا تتنافى مع الشريعة الإسلامية.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد
وآله وصحبه وسلم .
Kecuali apabila kaum
muslimin yang mencalonkan dirinya dan keikutsertaan para pemilih dalam pemilu diharapkan
dapat sampai pada perubahan hukum yaitu berhukum dengan syari'at Islam,
kemudian menjadikan hal itu sebagai sarana untuk menguasai sistem/aturan
pemerintah. Dengan ketentuan, orang yang mencalonkan dirinya tersebut setelah
terpilih tidak menerima jabatan kecuali jabatan yang tidak berlawanan dengan
syari'at Islam” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah no. 4029]
Para ulama Al-Lajnah
Ad-Da’imah membolehkan seorang muslim untuk masuk parlemen atau mencalonkan
diri dalam kancah politik, jika ia dapat memenuhi beberapa syarat berikut:
[Pertama] masuknya dalam parlemen dapat merubah sistem
kufur demokrasi menjadi syariat Islam
[Kedua] dapat menguasai parlemen sehingga berwenang
membuat aturan-aturan yang tidak bertentangan dengan syariat
[Ketiga] tidak menduduki jabatan yang menyelisihi syariat
Asy-Syaikh Al-Albani dan
Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad rahimahumallah menambahkan syarat [keempat]
yaitu tidak memberikan mudharat kepada dirinya
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah
berkata:
نحن نفرق بين أن نَنتخِب وبين أن نُنتخَب ؛ لا نرشح أنفسنا لنُنتخَب
لأننا سنحترق, أما من أبى إلا أن يحرق نفسه قليلا أو كثيراً ويرشح نفسه في هذه
الانتخابات أو تلك، فنحن من باب دفع الشر الأكبر بالشر الأصغر, نختار هذا المسلم
على ذاك الكافر أو على ذاك الملحد
“Kami membedakan antara
memilih dan mencalonkan diri. Kami tidak mencalonkan diri untuk dipilih, karena
kami akan terbakar (terjatuh dalam berbagai penyimpangan –pen). Adapun
orang-orang yang lebih memilih untuk membakar dirinya sedikit atau banyak
dengan mencalonkan dirinya dalam pemilu atau di sana, maka kami akan
memilih mereka daripada memilih orang kafir atau atheis. Hal itu demi menolak
keburukan yang lebih besar dengan keburukan yang lebih kecil.” [Silsilah
Huda wan Nuur kaset no. 660]
Asy-Syaikh Abdul Muhsin
Al-Abbad pernah ditanya:
ما حكم الدخول في البرلمان، بل زعم بعضهم
أنه يجب على المسلمين الدخول في برلمان إحدى الدول الكافرة؟
“Apa hukum masuk parlemen, bahkan sebagian mereka menyatakan bahwa kaum muslimin wajib masuk parlemen di negara-negara kafir?
Asy-Syaikh Abdul Muhsin
Al-Abbad hafizhahullah menjawab:
الدخول في هذه البرلمانات إذا كان يترتب
عليه مضرة لا يجوز أبداً، ولا يجوز للمسلم أن يقدم على شيء فيه مضرة عليه في دينه
أو مضرة على المسلمين.
أما إذا كان الدخول فيها لا يلحق الإنسان فيه مضرة، وإنما يحصل فيه جلب خير للمسلمين أو دفع ضرر عن المسلمين فالعبرة بالمصالح والفوائد التي تترتب على ذلك، بشرط أن لا يلحق الإنسان ضرر في ذلك العمل.
أما إذا كان الدخول فيها لا يلحق الإنسان فيه مضرة، وإنما يحصل فيه جلب خير للمسلمين أو دفع ضرر عن المسلمين فالعبرة بالمصالح والفوائد التي تترتب على ذلك، بشرط أن لا يلحق الإنسان ضرر في ذلك العمل.
“Masuk dalam parlemen
tidak diperbolehkan selama-lamanya, jika menyebabkan mudharat pada dirinya.
Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim menjerumuskan dirinya dalam perkara
yang menimbulkan mudharat dalam agamanya atau mudharat bagi kaum muslimin.
Adapun jika masuknya ke
dalam parlemen tidak menimbulkan mudharat pada dirinya dan akibat yang
ditimbulkan hanyalah kebaikan yang diperoleh bagi kaum muslimin atau menolak
kerusakan dari kaum muslimin, timbangan dalam hal ini adalah terdapat maslahat
dan manfaat yang diperoleh, dengan syarat tidak menimbulkan mudharat bagi
dirinya ketika ia masuk dalam parlemen” [Dengarkan rekaman suara Asy-Syaikh di
sini]
Mungkinkah keempat syarat
tersebut terpenuhi?
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah
dengan tegas memastikan bahwa syarat-syarat tersebut tidak mungkin terpenuhi.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata:
هذه الشروط لا يمكن تحقيق ها؛ ونحن نشاهد
كثيرًا من الناس الذين كان لهم منطلق في حياﺗﻬم—على الأقل—في مظهرهم .. في لباسهم
.. في لحيتهم .. حينما يدخلون ذلك اﻟﻤﺠلس—أي مجلس البرلمانات—وإذا بظاهرهم تَغيَّر
وتبدَّل! وطبعًا هم يبرِّرون ذلك
ويسوِّغونه: وأنّ هذا من باب المسايرة …
فرأينا ناسًا دخلوا البرلمان باللباس
العربيّ الإسلاميّ، ثم بعد أيام قليلة غيَّروا لباسهم وغيَّروا زيَّهم!! فهذا دليل
الفساد أو الصلاح؟!”
Syarat-syarat tersebut
tidak mungkin terpenuhi. Banyak kita saksikan orang-orang yang
memiliki prinsip hidup yang lurus, kelihatan dari penampilannya, cara
berpakaian islami...memelihara jenggot. Namun ketika menjadi anggota parlemen
penampilan mereka langsung berubah! Tentu saja mereka mengemukakan alasan dan
mencari-cari pembenaran, kata mereka untuk menyesuaikan diri.
Banyak kita lihat
orang-orang yang menjadi anggota parlemen dengan mengenakan pakaian tradisional
arab yang islami. Selang beberapa hari kemudian mereka merubah pakaian dan
penampilan. Apakah ini bukti kebaikan ataukah kerusakan?" [Silsilah
Huda wan Nuur kaset no. 352]
Jika syarat-syaratnya
tidak mungkin terpenuhi, maka hukum masuk parlemen boleh atau terlarang?
Jawablah pertanyaan ini dengan jujur dan ikhlas mencari kebenaran…
Kedua, kekeliruan dalam menerjemahkan perkataan Asy-Syaikh Shalih bin Ghanim
As-Sadlaan hafizhahullah
Perhatikan teks fatwa dan terjemah berikut,
لابد من التأكد من كون المسألة معلومة من
الدين بالضرورة، لأن استقرار رجوح مسألة في الذهن لدى الإنسان يجعله يتحمس لها
ويعطيها أكبر من حجمها، ومن ذلك اجتهاد من يرى عدم جواز دخول الانتخابات
البرلمانية فقد تشدد ويعتبر هذا الموضوع معلوماً من الدين بالضرورة، ويعادي
المخالف، وقد يتأول أن هذا نوع من الولاء لغير المسلم - أي دخول الانتخابات -
والمسألة فيها سعة وليست بهذا الضيق الاجتهادي
“Harus benar-benar
dipastikan apakah permasalahannya adalah termasuk perkara agama yang wajib
diketahui secara pasti. Karena terkadang keyakinan terhadap perkara yang rajih
(kuat) dalam diri seseorang membuatnya sangat ‘militan’ dalam mempertahankannya
hingga berlebihan dalam memposisikannya. Contohnya adalah ijtihad orang yang tidak
membolehkan ikut dalam pemilihan umum dan duduk di parlemen. Terkadang
mereka bersikap ekstrim dan memasukkan masalah ini sebagai perkara pokok agama
yang wajib diketahui dengan pasti, lalu dengan serta-merta dia memusuhi orang
yang menyelisihinya, dan terkadang juga dia menerjemahkan berpartisipasi dalam
pemilihan umum sebagai suatu bentuk loyalitas terhadap non-muslim. Padahal
sebenarnya permasalahan ini sangat lapang, tidak sesempit ijtihad seperti ini
(yang tidak membuka ruang perbedaan pendapat” [Al-I’tilaaf wal-Ikhtilaaf :
Asasuhu wa Dlawabithuhu oleh Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan hal. 83; Daar
Balansiyyah, Cet. Thn. 1417 H, Riyaadl]
Tanggapan
Setelah saya mencermati
perkataan Asy-Syaikh As-Sadlaan di atas, Asy-Syaikh hanya membahas point
keikutsertaan dalam pemilu, beliau sama sekali tidak menyinggung pembahasan “masuk
parlemen”. Kata “duduk” yang saya cetak bold di atas adalah terjemah tambahan
dari penulis artikel yang keliru. Asy-Syaikh As-Sadlaan hanya
menyatakan:
ومن ذلك اجتهاد من يرى عدم جواز دخول
الانتخابات البرلمانية
“Diantaranya adalah ijtihad
orang yang tidak membolehkan ikut-serta dalam pemilu di parlemen”
Saya heran kenapa penulis
artikel sampai berbuat demikian untuk membela keyakinannya yang jelas-jelas
menyelisihi bimbingan ulama kibar. Lebih dari itu, penulis artikel juga berani
berijtihad membolehkan pembentukan partai Islam. Allahulmusta’an.
Penulis artikel berkata:
“Kalau kita memakai kaedah fiqhiyyah, maka partai adalah far'
(cabang) dari kebolehan mengikuti Pemilu dan berparlemen yang merupakan ashl
(pokok). Maksudnya begini,.... seandainya ulama membolehkan nyoblos dan
membolehkan seseorang bergabung di parlemen; bukankah itu artinya ulama
membolehkan memilih dan bergabung pada partai tertentu?. Jika demikian,
apa bedanya antara partai lama dan partai baru, sementara yang ditimbang adalah
partai yang paling dekat dengan kebenaran. Dan 'illat fatwa tadi adalah
pertimbangan maslahat dan mafsadat bagi Islam dan kaum muslimin?
Kembali pada pertanyaan antum : "Mungkinkah Salafiy membentuk partai?". Jawab saya : "Mungkin".”
Kembali pada pertanyaan antum : "Mungkinkah Salafiy membentuk partai?". Jawab saya : "Mungkin".”
Demi Allah, pernyataan penulis artikel itu akan dimintai pertanggung-jawabannya kelak di sisi Allah, karena menyatakan suatu hukum permasalahan besar di
tengah umat tanpa ilmu. Saya berharap agar beliau mau rujuk dan menarik kembali
perkataannya, demi kebaikan dirinya sendiri sekaligus untuk meluruskan
pemahaman keliru para pembaca. Nas’alullahat taufiiq
Di sini saya
ingin mengingatkan beliau tentang bahayanya berbicara dalam permasalahan agama
tanpa didasari ilmu, apalagi dalam permasalahan besar di tengah umat.
"1. Hal itu
merupakan perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah.
Allah ta’ala
berfirman:
قُلْ
إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ
يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
"Katakanlah:
“Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang
tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” [QS. Al-A’raf: 33]
Asy-Syaikh Abdul
Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah berkata:
“Berbicara
tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah,
bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di
dalam ayat tersebut Allah mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang
paling rendah sampai yang paling tinggi.
Dan berbicara tentang Allah tanpa ilmu meliputi berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukum-Nya, syari’at-Nya, dan agama-Nya. Termasuk berbicara tentang nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’at-Nya, dan agama-Nya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit: Dar Ibnil Qayyim]
2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu
termasuk dusta atas (nama) Allah.
Allah ta’ala
berfirman:
وَلاَ
تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ
لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ
الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
“Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap
Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
tiadalah beruntung". [QS. An-Nahl: 116]
3. Berbicara
tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ
انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ
الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا
جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
"Sesungguhnya
Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hamba-Nya sekaligus, tetapi Dia akan
mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak
menyisakan seorang ulama pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang
bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu,
sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain." [HR. Al-Bukhari no. 100, Muslim dan lainnya]
Hadits ini
menunjukkan bahwa “barangsiapa tidak memiliki ilmu lalu menjawab pertanyaan yang
diajukan kepadanya tanpa ilmu dengan mengqiyaskan (membandingkan) dengan
akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Allah halalkan dengan kebodohan dan
menghalalkan apa yang Allah haramkan tanpa ia sadari, maka inilah
orang yang mengqiyaskan dengan akalnya, ia sesat dan menyesatkan. [Shahih
Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas
oleh Syaikh Abul Asybal Az-Zuhairi]
4. Berbicara
tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin
Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang berbicara tanpa ilmu,
maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya. Allah telah
berfirman:
وَمَنْ
أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ
"Dan siapakah
yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak
mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun" (QS. Al-Qashshash: 50)” [Kitab Minhah
Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 393]
5. Berbicara
tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan Rasul-Nya.
Allah
berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا
اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui". [QS.
Al-Hujuraat: 1]
Syeikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:
“Ayat ini memuat adab terhadap Allah dan Rasul-Nya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Allah telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Allah berkata dan janganlah mereka memberikan perintah, sampai Allah memberikan perintah”. [Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat: 1]
“Ayat ini memuat adab terhadap Allah dan Rasul-Nya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Allah telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Allah berkata dan janganlah mereka memberikan perintah, sampai Allah memberikan perintah”. [Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat: 1]
6. Orang yang
berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia
sesatkan.
Orang yang
berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh
karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
مَنْ
دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ
يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ
عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ
آثَامِهِمْ شَيْئًا
"Barangsiapa
menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala
orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan
barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa sebagaimana
dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka
sedikitpun". [HR. Muslim no. 2674, dari Abu Hurairah]
7. Berbicara
tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai pertanggung-jawaban
Allah ta’ala
berfirman:
وَلاَ
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
"Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya." [QS. Al-Isra’: 36]
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Allah ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” [Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’: 36]
8. Orang
yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang
Allah turunkan.
Asy-Syaikh
Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Pasal Tentang Haramnya berbicara
tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa
yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat
Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:
وَمَن
لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Barang siapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir." [QS. Al-Maidah: 44]
9. Berbicara
agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Imam Abu
Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang
masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap
perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib
Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 393]
10. Berbicara
agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan
Allah
berfirman:
إِنَّمَا
يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ
تَعْلَمُونَ
"Sesungguhnya
syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada
Allah apa yang tidak kamu ketahui." [QS. Al-Baqarah: 169]
Keterangan
ini kami akhiri dengan nasehat, barangsiapa yang ingin berbicara masalah agama
hendaklah ia belajar lebih dahulu, kemudian hendaklah ia hanya berbicara
berdasarkan ilmu” [artikel www.muslim.or.id]
Adapun fatwa sebagian ulama yang
membolehkan ikut-serta dalam pemilu, hal itu tidak melazimkan kebolehan masuk
parlemen. Justru para ulama menganggap bahwa masuk dalam parlemen adalah suatu
keburukan dan bentuk penyimpangan agama yang harus diwaspadai.
Asy-Syaikh Abdullah
Al-Ubailan rahimahullah menganggap masalah “masuk dalam parlemen”
termasuk penyimpangan yang menjadikan sebab jarh bagi pelakunya.
Simak penilaian beliau terhadap Asy-Syaikh Muhammad Hassan pasca revolusi Mesir,
Asy-Syaikh Abdullah bin
Shalih Al-Ubailan pernah ditanya,
فضيلة شيخنا سبق وأن سُئلتم عن الداعية
محمد حسان , وأجبتم السائل أنه لا حرج من الاستماع إليه والاستفادة من وعظه , وكما
نقل عنكم بعض الناس ثائكم على القرضاوي , وبعض الدعاة , نأمل منكم توضيح ذلك ؟
“Syaikh kami yang mulia.
Dahulu Anda pernah ditanya tentang seorang dai yang bernama
Muhammad Hassân, lalu Anda memberi jawaban kepada sang penanya bahwa tidak
mengapa mendengarkan dan mengambil manfaat dari ceramahnya (Muh. Hassân).
Demikian pula ada sebagian orang yang menukil dari Anda tentang pujian Anda
kepada al-Qaradhâwî, dan sebagian duat. Kami mengharapkan sudi kiranya Anda
memberikan penjelasan tentang hal ini.”
Jawaban Asy-Syaikh
Al-Ubailan rahimahullah:
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام
على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين وبــعد :
أما سؤالك عن محمد حسان , فإن هذا كان قبل الثورات والتي بسببها تغير جملة من المنتسبين للعلم عما كنا نعرفهم عليه , وليس الأمر مقتصراً على محمد حسان , وعـليه فإن القـاعـدة عندي :
أما سؤالك عن محمد حسان , فإن هذا كان قبل الثورات والتي بسببها تغير جملة من المنتسبين للعلم عما كنا نعرفهم عليه , وليس الأمر مقتصراً على محمد حسان , وعـليه فإن القـاعـدة عندي :
أن من تساهل في العقيدة أو الالتزام بالسنة وبفهم السلف الصالح للنصوص بسبب العمل السياسي أو غيره , فـلا يجـوز أن يكون إماماً في الدين أو يؤخذ عـنه العلم , قال تعالى:[ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا] {الكهف:28} , وقد كان عمر رضي الله عنه وهو الملهم , قد أثنى على ابن ملجم قاتل علي رضي الله عنه , فالقلوب بين اصبعين من اصابع الرحمن يقلبها كيف يشاء , ولو كان عمر رضي الله عنه يعلم انه سيفعل ذلك ما اثنى عليه.
وعلـيـه فالـذي أنصح بـه :
عـدم الأخذ عن محمد حسان وأمثاله , ممن افسدهم العمل في السياسية.
وأمـا نقل من نقل عني وهو مخطئ فيما نقل , اعـني : الأخ أسامة بن عطايا العتيبي الفلسطيني , بأني اثني على القرضاوي وأقول العلامة العودة , فقد اعتذر عن ذلك واعترف أنه لم يتثبت فيما نقل.
وعلى كل حـال :
فإن النصيحة للأخ محمد حسان وأمثاله واجبة لمن قدر عليها , قال عليه الصلاة والسلام:[ الدين النصيحة - ثلاثاً – قلنا: لمن يا رسول الله ؟ قال:[ لله ولكتابه ولرسوله وأئمة المسلمين وعامتهم ] رواه مسلم.
كـما أود أن انبه الأخوة الذين يبتغون وجه الله تعالى فيما يقولون ويكتبون بالتأني وعدم العجلة في جرح المنتسبين للعلم , وليكن رجـوعهمفي ذلك الراسخين في العلم والذين جمعوا بين العلم والعدل , كما قال تعالى:[وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ يَهْدُونَ بِالحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ] {الأعراف:181} , والجرح نوع من الشهادة , وقد قال تعالى:[ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ] {الزُّخرف:19}.
والله ولي التوفيق
والحمد لله رب العالمين
وكتب : عبدالله بن صالح العبيلان
يوم الثلاثاء الموافق 9 / 4 / 1434هـ
“Segala puji
hanyalah milik Allâh pemelihara alam semesta, shalâwat dan salâm semoga
senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullâh, keluarga beliau dan seluruh
sahabatnya. Wa ba’du:
Adapun
pertanyaan Anda mengenai Muhammad Hassân, maka sesungguhnya (jawaban saya
terdahulu) adalah sebelum terjadinya revolusi (di Mesir) yang menyebabkan
sejumlah ahli ilmu (di sana) berubah dari yang kami kenal sebelumnya. Perkara
ini tidak hanya terbatas pada Muhammad Hassân saja.
Untuk itulah,
prinsip saya dalam hal ini adalah: siapa saja yang bermudah-mudah di dalam
masalah aqidah atau bermudah-mudah di dalam berpegang dengan sunnah menurut pemahaman As-Salaf As-Shâlih terhadap nash-nash (syariat), lantaran aktivitas
politik atau semisalnya, maka tidak boleh dijadikan sebagai pemimpin di dalam
agama atau diambil ilmunya. Allâh ta’âlâ berfirman:
وَلَا تُطِعْ مَنْ
أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan
janganlah kamu mengikuti orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari mengingat
Kami dan mengikuti hawa nafsunya, dan keadaannya itu melewati batas.” [QS.
Al-Kahfi : 28].
Bahkan
‘Umar radhiyallâhu ‘anhu -dan beliau (disebut sebagai) orang
yang diberi ilham- pernah memuji Ibnu Muljam, orang yang membunuh ‘Alî radhiyallâhu
‘anhu. Karena hati itu berada di antara dua jari dari jari jemari Allâh
yang Maha Pemurah, Dia membolak-baliknya sebagaimana yang dikehendaki-Nya.
Sekiranya ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu mengetahui bahwa dia (Ibnu
Muljam) akan melakukan hal itu (yaitu membunuh ‘Alî radhiyallâhu ‘anhu),
niscaya beliau tidak akan mau memujinya.
Karena itulah
saya menasehatkan untuk tidak mengambil (ilmu) dari Muhammad Hassân dan
orang-orang semisal dia, yang merusak amalannya di dalam politik (praktis).
Adapun
penukilan yang dinukil dari saya, yaitu yang dinukil oleh saudara Usâmah bin
‘Athâyâ al-‘Utaibî al-Filisthînî, bahwa saya memuji al-Qaradhâwî atau menyebut
“al-‘Allâmah” kepada (Salmân) al-Audah, adalah penukilan yang salah. Tapi saya
memaafkan dia dan dia mengakui bahwa dia tidak
melakukan tatsabbut (verifikasi) terlebih dahulu tentang apa yang
dinukilnya.
Walau
demikian, sesungguhnya wajib bagi yang mampu untuk menasehati saudara Muhammad Hassân
dan orang-orang yang serupa dengannya. Nabi ‘alaihi ash-sholâtu
wassalâm bersabda:
الدين النصيحة – ثلاثاً –
قلنا: لمن يا رسول الله ؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله وأئمة المسلمين وعامتهم
“Agama itu
adalah nasehat” (sebanyak tiga kali)”. Kami (para sahabat) bertanya: “Bagi
siapa wahai Rasulullâh?” Beliau menjawab: “Bagi Allâh, kitab-Nya, Rasul-Nya,
pemimpin kaum muslimin dan seluruh masyarakatnya.” [HR Muslim]
Saya juga
mengingatkan kepada para ikhwah -yang (ikhlas) hanya mengharapkan
wajah Allâh ta’âlâ- ketika berkata dan menulis agar berhati-hati (ta`annî)
dan tidak tergesa-gesa di dalam men-jarh orang yang dianggap
berilmu. Hendaknya mereka mengembalikan hal ini kepada para ulama yang mendalam
keilmuannya, yang menggabungkan antara ilmu dan keadilan, sebagaimana firman
Allâh ta’âlâ:
وَمِمَّنْ خَلَقْنَا أُمَّةٌ
يَهْدُونَ بِالحَقِّ وَبِهِ يَعْدِلُونَ
“Dan
diantara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberikan petunjuk
dengan kebenaran dan dengan kebenaran itu mereka bersikap adil.” [QS.
Al-A’râf : 181]
Jarh merupakan salah satu bentuk
persaksian (syahâdah), Allâh ta’âlâ berfirman:
سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ
وَيُسْأَلُونَ
“Persaksian
mereka akan dicatat dan akan dipertanyakan” [QS. Az-Zukhruf: 19]
Hanya Allâh
semata yang memberikan taufiq. Segala puji hanyalah milik Allâh.”
Ditulis oleh :
‘Abdullâh bin Shâlih al-‘Ubailân pada hari Selasa, 9/4/1434 H.” [Dinukil dari website Abu Salma]
Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya,
هذا شخص من مصر يقول : لا
يخفى عليكم الأحداث القائمة في مصر من مسارعة بعض الشيوخ المعروفين لدي الكثير من
الناس من إنشاء حزب سموه حزب النور السلفي من أجل مقاومة التيارات اللبرالية
والعلمانية فهل يجوز للمسلم أن ينضم إلى هذه الأحزاب أو يعطيها صوتها في
الإنتخابات , أتمنى أن تبسطوا الجواب لحاجتنا لذلك بارك الله في اعمالك ؟
“Salah seorang
penanya dari Mesir berkata: “Tidak asing lagi bagi Anda tentang berbagai
peristiwa yang terjadi di Mesir, sebagian masyayikh yang telah kita kenal
mendirikan sebuah partai yang dinamakan Partai An-Nuur As-Salafy. Hal ini
bertujuan untuk mengimbangi paham sosialis, liberal dan sekuler. Apakah seorang
muslim diperbolehkan bergabung dalam partai ini atau setidaknya menyumbangkan
suaranya untuk partai ini dalam pemilu. Aku berharap agar Anda berkenan
memberikan perincian jawaban karena kebutuhan kami yang sangat mendesak dalam
hal ini, semoga Allah memberikan barakah pada amal-amal Anda”
Asy-Syaikh
Al-‘Allamah Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:
الواجب
على المسلم في وقت الفتن أن
يتجنبها وأن يبتعد عنها إلى أن تهدأ، ولا يدخل فيها، هذا الواجب على المسلم.
والأحزاب هذه والتكتلات قد تجر إلى شر وإلى فتنة وإلى اقتتال فيما بينها،
والأحزاب هذه والتكتلات قد تجر إلى شر وإلى فتنة وإلى اقتتال فيما بينها،
فالمسلم
يتجنب الفتن مهما
استطاع،
يسأل الله العافية ويدعو
للمسلمين بأن يفرج الله عنهم؛ ويزيل عنهم هذه الفتنة وهذه الشدة، نعم .اهـ
“Yang wajib bagi seorang muslim
dalam masa-masa fitnah adalah menjauhi fitnah tersebut, ia menjauh darinya
hingga keadaannya berubah menjadi tenang, janganlah ia masuk di dalamnya. Ini
yang wajib bagi setiap muslim.
Partai-partai
dan perkumpulan massa semacam ini terkadang dapat menjerumuskan ke dalam
keburukan, menimbulkan fitnah, permusuhan dan peperangan diantara mereka. Oleh
karena itu, seorang muslim hendaklah menjauhi fitnah-fitnah tersebut selagi ia
mampu. Hendaklah ia memohon keselamatan pada Allah, mendoakan kaum muslimin
agar Allah memberikan jalan keluar bagi mereka, serta melenyapkan masa-masa
sulit dan fitnah ini dari mereka, iya.”
Sumber: kitab (البيان لبعض أخطاء الكُتَّاب) jilid 2 hal. 153-154, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Su’udiyyah
Artikel terkait:
1) 8 Perbedaan Musyawarah Islam dan Demokrasi/Pemilu (Menggugat Para Penganut Demokrasi)
2) "Aku Tidak Mendukung Seorang Masuk Parlemen Dengan Alasan Apapun" (Syaikh Al-Albani)
3) Rincian Fatwa Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Tentang Ikut Serta Dalam Pemilu
4) Dialog Ringkas Mempertimbangkan Maslahat dan Mafsadah Pemilu
5) Fatwa Syaikh Al-Albani tentang Pemilu dan Masuk Parlemen
Allahua'lam
Dikutip oleh
Abul-Harits di Madinah, 26 Jumadil Ulaa 1435
Assalaamu'alaykum warahmatullah ustadz al fadhil yang semoga dirahmati oleh Allah Ta'ala. langsung saja... terkait kemungkinan ahlu sunnah masuk ke dalam parlemen dengan membentuk partai. di atas ustadz secara eksplisit mengatakan bahwa orang yang mengatakan bahwa mungkin salafy membentuk partai sebagai orang yang berbicara tanpa ilmu (saya tahu siapa yang empunya kalam yg ustadz maksud), saya heran... bukankah ustadz sendiri mengakui adanya khilaf ulama dalam masalah ini, sebagaimana disini http://abul-harits.blogspot.com/2014/03/dialog-ringkas-mempertimbangkan.html ,wa bil khusus "Adapun Syaikh Bin Baz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan lain-lainnya, mungkin ada sebagian dari mereka yang membolehkan" walaupun di sana ustadz memberikan penjelasan syaikh rabi' hafizahullah, namun bukan berarti kita seolah2 meniadakan fatwa para ulama yang membolehkan, dalam arti lain, tetap ada kemungkinan ruang bagi salafy untuk membentuk partai meskipun sangat kecil sekali. (berdasar fatwa syaikh ibn baaz, syaikh ibnu utsaimin, dan lajnah (tanpa tambahan dari fatwa syaikh al-albani dan syaikh abdul muhsin) hafizhahumullah. maka saya rasa mengatakan orang yang beranggapan bahwa mungkin saja salafy membentuk partai sebagai orang yang berkata tanpa ilmu merupakan perkataan yang tidak tepat. wallahu a'lam
ReplyDeleteSaya meminta bukti fatwa dari perkataan antum bahwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin membolehkan pembentukan partai politik… ingat, fatwa syaikh yang membolehkan pembentukan partai politik, bukan fatwa pembolehan pemilu. Dua masalah tersebut jauh berbeda. Mana akhi? Justru sebaliknya, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin tidak setuju dengan cara-cara dakwah semacam itu. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
ReplyDeleteأنا لا أقر ولا أوافق على التكتل الديني، بمعنى: أن كل حزب يرى نفسَه أنه منفرد عن الآخرين؛ لأن هذا يدخل في قوله تعالى: " إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعاً لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوايَفْعَلُونَ" [الأنعام:159]
“Aku tidak setuju, tidak pula sepakat dengan perkumpulan-perkumpulan massa yang mengatasnamakan agama, maksudnya setiap partai memandang dirinya memiliki keistimewaan tersendiri dari partai lain. Sebab perbuatan ini termasuk dalam firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan berkelompok-kelompok, engkau bukanlah termasuk dari mereka sedikitpun. Urusan mereka hanyalah kembali kepada Allah, kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka perbuat” [QS. Al-An’am: 159]…” [Liqa Al-Bab Al-Maftuuh, 15/45]
Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya,
هذا شخص من مصر يقول : لا يخفى عليكم الأحداث القائمة في مصر من مسارعة بعض الشيوخ المعروفين لدي الكثير من الناس من إنشاء حزب سموه حزب النور السلفي من أجل مقاومة التيارات اللبرالية والعلمانية فهل يجوز للمسلم أن ينضم إلى هذه الأحزاب أو يعطيها صوتها في الإنتخابات , أتمنى أن تبسطوا الجواب لحاجتنا لذلك بارك الله في اعمالك ؟
“Salah seorang penanya dari Mesir berkata: “Tidak asing lagi bagi Anda tentang berbagai peristiwa yang terjadi di Mesir, sebagian masyayikh yang telah kita kenal mendirikan sebuah partai yang dinamakan Partai An-Nuur As-Salafy. Hal ini bertujuan untuk mengimbangi paham sosialis, liberal dan sekuler. Apakah seorang muslim diperbolehkan bergabung dalam partai ini atau setidaknya menyumbangkan suaranya untuk partai ini dalam pemilu. Aku berharap agar Anda berkenan memberikan perincian jawaban karena kebutuhan kami yang sangat mendesak dalam hal ini, semoga Allah memberikan barakah pada amal-amal Anda”
Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:
الواجب على المسلم في وقت الفتن أن يتجنبها وأن يبتعد عنها إلى أن تهدأ، ولا يدخل فيها، هذا الواجب على المسلم.
والأحزاب هذه والتكتلات قد تجر إلى شر وإلى فتنة وإلى اقتتال فيما بينها،
فالمسلم يتجنب الفتن مهما استطاع،
يسأل الله العافية ويدعو للمسلمين بأن يفرج الله عنهم؛ ويزيل عنهم هذه الفتنة وهذه الشدة، نعم .اهـ
“Yang wajib bagi seorang muslim dalam masa-masa fitnah adalah menjauhi fitnah tersebut, ia menjauh darinya hingga keadaannya berubah menjadi tenang, janganlah ia masuk di dalamnya. Ini yang wajib bagi setiap muslim.
Partai-partai dan perkumpulan massa semacam ini terkadang dapat menjerumuskan ke dalam keburukan, menimbulkan fitnah, permusuhan dan peperangan diantara mereka. Oleh karena itu, seorang muslim hendaklah menjauhi fitnah-fitnah tersebut selagi ia mampu. Hendaklah ia memohon keselamatan pada Allah, mendoakan kaum muslimin agar Allah memberikan jalan keluar bagi mereka, serta melenyapkan masa-masa sulit dan fitnah ini dari mereka, iya.” [kitab (البيان لبعض أخطاء الكُتَّاب) jilid 2 hal. 153-154, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Su’udiyyah]
Kalo antum belum legawa dengan fatwa para ulama di atas, saya akan nukilkan fatwa dari syaikh antum sendiri, Asy-Syaikh Ali Hasan Al-Halabi. Ada seorang yang bertanya kepada Asy-Syaikh Ali Hasan berkaitan dengan sebagian teman-temannya yang membentuk partai politik di parlemen.
ReplyDeleteTeks pertanyaan:
هل ما نراه من توجه بعض إخواننا إلى تأسيس أحزاب
“Apakah sikap kita terhadap sebagian sebagian ikhwan-ikhwan kita yang membentuk partai-partai…?”
Asy-Syaikh Ali Hasan Al-Halabi menjawab:
أنا لا أشك أن التحزُّب باب فتنة و باب محنة كبرى ، و باب انحراف و سقوط ، و لكن لا أقول هذا مما اقتضته المرحلة . أقول من ابتُلوا بذلك فليس لنا إلا ان ننكر عليهم و أن ندعوَ لهم ، لا أن نكون سيفا مصلتا عليهم ، نترك الجميع لنطعن بهم و نتفرغ لهم ، نحن نبيِّن ما عندنا من حقٍّ و ننصح و نخطِّئ لكن لا نجعل _ يعني _ المهمة الأساسية لنا الطعن فيهم و التشكيك بهم و التضليل لهم مع التذكير _ من قبل و من بعد _ أنّهم مخطئون و أنّنا لا نوافق على هذه الحزبية ، و أقول المعافى يحمد الله
“Aku tidak ragu bahwa berpartai-partai merupakan fitnah dan ujian yang besar. Hal itu membuka pintu penyimpangan dan penyelewengan. Aku tidak menyatakan bahwa pembentukan partai merupakan fase yang dituntut (dalam dakwah –pen). Aku katakan, barangsiapa diantara mereka yang tertimpa musibah ini, tidak ada yang dapat kami lakukan kecuali mengingkari mereka dan mendoakan mereka...Mereka adalah orang-orang yang salah, kami tidak menyetujui mereka dalam sikap hizbiyyah ini… [Min Liqa’at Asy-Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi ‘ala Paltalk, 18/3/2012]
Semoga antum bisa mengambil pelajaran…
jangan lupa menjawab salam ustadz. barakallahu fiekum.
ReplyDelete@abu muhammad
Maaf sampai terlupa menjawab salam, wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Antum menjawab di luar konteks pertanyaan, saya bertanya pada antum fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin yang membolehkan pembentukan partai. Mana akhi? Fatwa Al-Lajnah tersebut telah saya ketahui sebelumnya.
ReplyDeleteNamun apakah fatwa tersebut berlaku mutlak? Artinya boleh membentuk partai Islam untuk berdakwah? Perkataan ustadz antum terlalu global saat menyatakan "mungkinkah salafy membentuk partai? mungkin" jawabnya. Seolah-olah salafiyyun membolehkan pembentukan partai politik secara mutlak. Jika hal itu yang ia maksud, maka ini adalah sebuah kedustaan yang mengtasnamakan ulama Al-Lajnah
Antum tentu mengetahui kaidah [الضرورة تبيح المحظورة] artinya sesuatu yang darurat membolehkan perkara yang pada asalnya terlarang. Sekarang kita lihat, pembentukan partai politik di parlemen hukum asalnya adalah terlarang. Karena di dalamnya terdapat berbagai macam mafsadah yang besar.
Diantaranya, anggota perlemen harus berhukum dengan selain hukum Allah, ini termasuk dosa besar, bahkan termasuk kekufuran apabila ia sampai menghalalkannya. Di sana juga terdapat ikhtilath antara laki-laki dan wanita. Para anggota parlemen juga harus bermuamalah dengan para da’i penyeru kesesatan seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), Syiah, dsb yang notabene mereka merupakan ahlul-bid’ah, sementara para ulama salaf telah ijma’ tentang kewajiban menghajr ahlul-bid’ah, hal itu termasuk dalam pokok aqidah ahlus-sunnah. Kitab-kitab aqidah salaf penuh dengan nukilan-nukilan tersebut, dan masih banyak penyimpangan lain yang belum saya sebutkan.
Jika antum saya tanya satu per satu dari point tadi, Apakah berhukum dengan selain hukum Allah halal? Apakah ikhtilah antara laki-laki dan wanita halal? Apakah bermuamalah dengan ahlul-bid’ah yang nampak jelas kebid’ahannya boleh? Bagaimana jika seluruh point ini terkumpul dalam partai politik di parlemen?
Jika antum telah mengetahui hukum asal dalam permasalahan ini, kemudian kita lihat kenapa para ulama Al-Lajnah berfatwa demikian, jawabnya karena memang ada kebutuhan darurat di negeri kafir. Kembali pada perkataan ustadz antum “mungkinkah salafy membentuk partai? Mungkin” jawabnya. Apakah kata-kata ini tepat dan hikmah (diletakkan pada tempatnya)?
ReplyDeleteJika antum menganggap pernyatan itu tepat dan tidak masalah, maka sah-sah saja jika ada seorang da’i yang menyatakan:
- “mungkinkah seorang salafy makan daging babi? mungkin”.
- “mungkinkah seorang salafy membunuh seorang muslim? mungkin”
- “mungkinkah seorang salafy bergaul dengan ahlul bid’ah dari tokoh –tokoh Islam Liberal dan Syi’ah? mungkin”
Kemudian setelah dikritik barulah ia berasalan, mungkin saja seorang salafy makan daging babi dalam keadaan darurat. Mungkin saja seorang salafy membunuh seorang muslim, apabila ia termasuk kelompok khawarij yang memberontak. Dan yang terakhir, mungkin saja seorang salafy bergaul dengan tokoh-tokoh Islam Liberal dan Syi’ah, jika memang maslahatnya lebih dominan daripada mafsadahnya. Allahulmusta’an.. Apakah ustadz antum mau mempermainkan akal-akal kaum muslimin??.
Hendaklah ustadz antum bertakwa kepada Allah, janganlah melontarkan statemen-statemen yang mengundang kontroversi dan membuat kebingungan diantara kaum muslimin, karena setiap perkataan yang terucap ada timbangannya di akhirat kelak. Wabillahittaufiq