Tanya:
“Bagaimana
hukum pernyataan bahwa demokrasi, pemilu dan musyawarah Islam adalah sama !!”
Jawab:
Asy-Syaikh Abu
Nashr Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah menjawab,
”Demi Allah, seandainya kami tidak mengkhawatirkan adanya orang jahil yang terpengaruh dengan pernyataan ini, niscaya kami tidak akan membantahnya. Sebelum menjelaskan kesembronoan penyamaan ini, saya akan menyebutkan untuk mereka dua hadits yang agung, yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ
مِنْ الْإِسْلَامِ فَإِنْ كَانَ كَاذِبًا فَهُوَ كَمَا قَالَ وَإِنْ كَانَ
صَادِقًا لَمْ يَعُدْ إِلَى الْإِسْلَامِ سَالِمًا
”Barangsiapa
yang berkata “aku berlepas diri dari Islam.” Apabila ia berdusta, maka
keadaanya sebagaimana yang ia katakan. Apabila ia jujur, maka ia tidak akan
kembali kepada Islam dengan selamat." [HR. An-Nasa’i no. 3712, Ibnu Majah dan
Al-Hakim, dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى
بِهَا بَأْسًا يَهْوِى بِهَا سَبْعِينَ خَرِيفًا فِى النَّارِ
“Sesungguhnya
seseorang berbicara dengan suatu kalimat yang ia anggap itu tidaklah mengapa,
padahal menyebabkannya dilemparkan ke dalam neraka sejauh 70 tahun perjalanan.” [HR. At-Tirmidzi no. 2484, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu]
Pertama, siapakah yang membuat syariat
“demokrasi”? jawabnya, orang-orang kafir
Siapakah yang membuat syariat “musyawarah”? Jawabnya, Allah
Apakah boleh
bagi makhluk membuat syariat? Jawabnya, tidak boleh.
Apakah kita boleh menerima syariat yang dibuat makhluk? Jawabnya, tidak boleh.
Makhluk lah
yang membuat syariat “demokrasi”, sedangkan yang membuat syariat “musyawarah”
adalah Allah. Tuhan dan pemilik musyawarah adalah Allah, sementara tuhan dan
pemilik demokrasi adalah orang-orang kafir dan para pengikut hawa nafsu. Apakah
kita memiliki tuhan-tuhan selain Allah (yang membuat syariat –pen)?
Allah ‘azza
wajalla berfirman:
أَفَغَيْرَ
اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا
“Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah?” [QS. Al-An’am: 114]
Allah ‘azza
wajalla berfirman:
قُلْ
أَغَيْرَ اللَّهِ أَتَّخِذُ وَلِيًّا فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ
يُطْعِمُ وَلَا يُطْعَمُ قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَسْلَمَ
وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
”Katakanlah: “apakah aku akan menjadikan pelindung selain Allah yang menciptakan langit dan bumi, padahal Dia lah yang memberi makan (rizki –pen) dan Dia tidak diberi makan?” Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan agar menjadi orang yang pertama berserah diri (kepada Allah –pen). Janganlah sekali-kali kamu termasuk golongan orang-orang musyrik.” [QS. Al-An’am: 14]
Allah ‘azza
wajalla juga berfirman:
قُلْ
أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ
“Katakanlah:
“apakah aku akan mencari tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi
segala sesuatu.” [QS. Al-An’am: 164]
Ayat-ayat di
atas adalah garis pembeda yang nyata antara demokrasi, pemilu dan musyawarah
Islam.
Kedua, musyawarah dilakukan dalam rangka mencari solusi permasalahan umat, para anggotanya adalah ahlul halli wal ‘aqdi dari
kalangan ulama, orang-orang yang shalih dan orang-orang yang ikhlas. Adapun demokrasi, para
pelakunya adalah orang-orang yang suka berbuat kekufuran, kefasikan dan
orang-orang bodoh dari kalangan lelaki maupun wanita. Apabila kebetulan di
sana terdapat orang-orang muslim dan ulama, mereka hanya akan dipermainkan saja.
Apakah kita
akan menyamakan seorang muslim beriman dan shalih yang telah dipilih Allah
dengan orang-orang fasik yang telah dijauhkan dan dihinakan Allah?
Allah ‘azza
wajalla berfirman:
أَفَنَجْعَلُ
الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ (35) مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ (36)
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa? Mengapa kalian (berbuat demikian -pen)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” [QS. Al-Qalam: 35-36]
Allah ‘azza
wajalla berfirman:
أَمْ
حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا
يَحْكُمُونَ
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” [QS. Al-Jatsiyah: 21]
Allah ‘azza
wajalla berfirman:
أَمْ
نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي
الْأَرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ
“Patutkah Kami menjadikan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih sama seperti orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menjadikan orang-orang yang bertakwa sama seperti para penjahat?” [QS. Shad: 28]
Ketiga, anggota musyawarah tidak menghalalkan
yang haram dan tidak mengharamkan yang halal, tidak menganggap benar sesuatu
yang batil dan tidak menganggap batil sesuatu yang benar. Berbeda dengan para
penganut demokrasi, mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, menganggap batil sesuatu yang hak serta membela dan menjadi corong kebatilan.
Anggota musyawarah akan memusyawarahkan berbagai permasalahan yang masih samar dan
berupaya merealisasikan kebenaran. Mereka sekedar mengikuti dan mencontoh, tidak
mendatangkan hukum-hukum baru yang menyelisihi hukum Allah. Adapun penganut
demokrasi, mereka membuat-buat hukum baru, melakukan perbuatan batil, serta membuat peraturan yang bertentangan
dengan hukum Allah.
Allah ‘azza
wajalla berfirman:
أَمْ
لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang membuat syariat agama bagi mereka yang tidak diizinkan Allah.” [QS. Asy Syura: 21]
Allah ‘azza
wajalla juga berfirman:
وَمَنْ
يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ
كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ
”Barangsiapa di antara mereka yang mengatakan “sesungguhnya aku adalah tuhan selain Allah.” Maka Kami akan memberikan balasan Jahannam kepadanya. Demikianlah Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang yang zalim. [QS. Al-Anbiya: 29]
Allah ‘azza
wajalla berfirman:
مَا
لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Mereka tidak memiliki seeorang pelindung pun selain-Nya dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” [QS. Al-Kahfi: 26]
Keempat, musyawarah tidak dilakukan kecuali
pada permasalahan yang langka, adapun pada perkara yang jelas atau perkara
yang telah diputuskan hukumnya oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada
musyawarah dalam permasalahan tersebut. Sementara keputusan demokrasi mayoritasnya bertentangan dengan hukum-hukum Allah.
Allah ‘azza
waajalla berfirman:
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [QS. Al-Maidah: 50]
Allah ‘azza
wajalla berfirman:
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” [QS. Al-Maidah : 44]
Allah ‘azza
wajalla berfirman:
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” [QS. Al-Maidah: 45]
Allah ‘azza
wajalla berfirman:
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” [QS. Al-Maidah: 47]
Kelima, musyawarah tidak diwajibkan di setiap
keadaan, namun hukumnya berbeda-beda sesuai dengan waktu dan kondisi. Kadang
dihukumi wajib dan terkadang tidak. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam melakukan musyawarah pada sebagian peperangan dan tidak
melakukannya pada waktu yang lain. Hal itu berbeda-beda sesuai kondisi yang ada.
Sedangkan demokrasi adalah suatu keharusan bagi para pengikutnya, mereka tidak
memiliki pilihan lain dalam mengambil sikap. Penguasa dan para pejabat yang
berwenang dituntut harus melaksanakan dan menerapkannya pada rakyat di
bawahnya. Padahal barangsiapa mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh
Allah, berarti ia telah memperbudak manusia.
Allah ‘azza
wajalla berfirman:
أَفَحَسِبَ
الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ يَتَّخِذُوا عِبَادِي مِنْ دُونِي أَوْلِيَاءَ إِنَّا
أَعْتَدْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ نُزُلًا
“Maka apakah orang-orang kafir menyangka bahwa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam sebagai tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” [QS. Al-Kahfi: 102]
Keenam, demokrasi menolak serta menganggap lemah dan buruk syariat Islam, sedangkan musyawarah memberikan kekuatan
terhadap Islam dan menyatakan bahwa agama Islam akan senantiasa layak serta berlaku pada setiap waktu dan tempat.
Ketujuh, musyawarah bermula dari ajaran Islam,
sedangkan demokrasi tidaklah datang ke negeri kaum muslimin, kecuali pada dua
abad terakhir ini, sekitar abad tiga belas atau empat belas hijriyyah. Jika
demikian, apakah bisa dikatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah penganut demokrasi? Apakah para shahabat dan kaum muslimin pada
umumnya juga penganut demokrasi?
Kedelapan, demokrasi menyatakan bahwa “kekuasaan
di tangan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”, sedangkan dalam musyawarah,
kekuasaan berada di tangan Allah, tidak ada pembuat syariat selain Allah, hanya
terdapat berbagai penjelasan argumen dalam memahami agama dan mengembalikan permasalahan
yang masih samar pada permasalahan yang muhkam (jelas –pen) serta mengembalikan
permasalahan kontemporer pada permasalahan yang ma’ruf.”
[Dinukil dari
buku “Menggugat Demokrasi dan Pemilu”, judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi
Kasyfi Mafasid wa Syubuhat Al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah Al-Furqan,
Ajman, Emirate]
Sumber: http://www.assunnah.cjb.net)
ulamasunnah.wordpress.com
No comments:
Post a Comment