Perkataan ulama yang akan saya bawakan –insya Allah- merupakan nasehat
beberapa ulama kibar dalam muqaddimah kitab Raf’ul La’imah ‘an Fatawa
Al-Lajnah Ad-Da’imah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Salim Ad-Dausari
pada tahun 1424 H.
Kitab ini berisi bantahan terhadap kekeliruan Syaikh Ali
Hasan Al-Halabi tentang permasalahan iman dan irja’ dalam beberapa kitab beliau.
Hal terkuat yang mendorong saya menerjemahkan fatwa ini adalah nasehat
Syaikh Shalih Al-Luhaidan hafidzahullah ketika beliau menyampaikan muhadharah
di Masjid Al-Haram, Makkah seusai shalat Maghrib pada tanggal 8 Shafar 1434 H
bertepatan dengan 21 Desember 2012. Syaikh Shalih hafidzahullah
mengingkari dengan keras sebagian orang yang menyebarkan fitnah Murji’ah sepuluh tahun terakhir ini lalu menisbahkan pemikiran sesat tersebut
kepada salaf.
Demikian pula murid-muridnya menulis kitab-kitab yang membela aqidah sesat
ini. Mereka menyebarkan kitab-kitab bid’ah tersebut dalam website-website
internet hingga banyak kaum muslimin yang tertipu dan rancu pemahamannya dalam
permasalah iman. Allahul musta’an..
1.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin rahimahullah
berkata:
“Dalam permasalahan ini, Syaikh Muhammad bin Salim Ad-Dausari telah
membantah dalam risalahnya yang berjudul “Raf’ul Laimah ‘an Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da’imah” sebagian orang yang membantah Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah
dengan bantahan yang sangat baik dan sarat dengan faidah hingga tercapai apa
yang diharapkan dengan fatwa tersebut. Semoga Allah memberikan balasan yang
terbaik dan memberikan pahala kepada beliau atas kesungguhan beliau dalam hal
ini. Aku mewasiatkan kalian untuk membaca kitab ini...”
2. Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata :
“Aku telah membaca kitab Syaikh Muhammad bin Salim Ad-Dausari yang berisi
jawaban terhadap bantahan Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi terhadap Fatawa
Al-Lajnah Ad-Da’imah tentang permasalahan irja’. Maka aku berkata :
[Pertama] Sungguh Syaikh Muhammad telah menulis jawaban yang sangat baik ketika
beliau menukilkan perkataan para ulama yang terluput oleh Syaikh Ali bin Hasan
dalam tulisan bantahannya. Dimana perkataan ulama yang terluput tersebut juga
merupakan sandaran dalam permasalahan iman. Adapun perbuatan (Syaikh Ali) yang
membuat keraguan terhadap Fatwa Al-Lajnah, maka hal itu tidak benar karena
fatwa tersebut dikeluarkan dengan kesepakatan dan persetujuan seluruh anggota Al-Lajnah.
[Kedua] Wajib bagi Syaikh Ali dan ikhwan yang bersama beliau agar mencukupkan diri
dengan kitab-kitab salaf ketika menyandarkan permasalahan iman kepada salaf. Di
dalam kitab salaf terdapat kecukupan, kita tidak lagi membutuhkan
tulisan-tulisan baru yang berisi keraguan dan menimbulkan perbincangan dalam
permasalahan yang agung ini. Fitnah (irja’) ini telah mati, maka tidak
diperbolehkan bagi seorang pun untuk memunculkannya kembali. Agar tidak
menimbulkan celah bagi para tukang fitnah dan perusak untuk (menebar fitnah) di
antara Ahlus-Sunnah.
[Ketiga] Wajib bagi Syaikh Ali bin Hasan ketika menukil perkataan para ulama untuk
menukil ungkapan mereka dari awal hingga akhirnya, mengumpulkan perkataan seorang
ulama dalam permasalahan ini dari seluruh kitab-kitabnya. Hingga menjadi jelas
maksud perkataan penulis dan menafsirkan sebagian perkataannya di sebagian
tempat dengan perkataannya di tempat yang lain. Tidak cukup seorang
menukil perkataan ulama di sebagian tempat, lalu meninggalkan perkataannya di tempat
yang lain. Ini dapat menyebabkan jeleknya pemahaman dan menyandarkan sebuah
keyakinan kepada seorang ulama yang tidak sesuai dengan apa yang ia maksudkan.
Di penutup (nasehat) ini, aku memohon kepada Allah agar memberikan kepada
kita ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Shalawat dan salam senantiasa
tercurah pada nabi kita Muhammad, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya.
3. Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafidzahullah berkata :
“... Sungguh Syaikh Muhammad Ad-Dausari telah menulis dengan sangat baik
ketika beliau menyebutkan kekeliruan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid kemudian
menjelaskan aqidah yang telah disepakati Ahlus-Sunnah wal Jama’ah tentang
permasalahan iman dan kufur –semoga Allah memberikan taufiq kepada beliau-.
Bahwasanya iman terdiri dari i’tiqad, ucapan dan amal jawarih, serta kekufuran
dapat terjadi disebabkan ucapan, amal
jawarih, i’tiqad dan keraguan dalam iman.
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid berdalil dengan ucapan para ulama –namun
dengan memotongnya- untuk membela madzhab Murji’ah yang menyatakan bahwa
(sahnya –pen) iman cukup dengan keyakinan dalam hati dan kekufuran tidak akan
terjadi kecuali dengan keyakian hati. Ini adalah madzhab batil yang menyelisihi
nash-nash Al-Kitab, As-Sunnah, dan menyelisihi perkataan para imam dan ulama
Ahlus-Sunnah.
Wajib bagi Al-Akh Ali Hasan Abdul Hamid untuk ruju’ kepada kebenaran dan
menerimanya. Lalu menulis risalah tentang ruju’nya beliau kepada madzhab Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Ruju’ pada kebenaran adalah sebuah keutamaan. Ucapkanlah
kebenaran dalam dirimu, meskipun kebenaran itu pahit. Ruju’ pada kebenaran
lebih baik daripada terus-menerus berada dalam kebatilan. Para ulama dari masa
ke masa senantiasa menerima kebenaran dan ruju’ kepadanya. Hal tersebut
menunjukkan keutamaan, ilmu dan sifat wara’ mereka...
Seandainya Al-Akh Ali Hasan Abdul Hamid ruju’ kepada madzhab Ahlus Sunnah
wal Jama’ah dalam permasalahan iman dan kufur. Dan bahwasanya kekufuran dapat
terjadi dengan sebab i’tiqad, ucapan dan amal jawarih. Maka hal tersebut
menunjukkan keutamaan, ilmu dan sifat wara’ beliau dalam menerima kebenaran.
Dan juga menunjukan ittiba’ beliau terhadap para imam dan ulama.
Pernyataan ruju’ beliau sungguh akan memadamkan fitnah ini (fitnah
murji’ah) yang telah tersebar di kalangan para pemuda. Fitnah ini telah menimbulkan
kerusakan yang besar dan menimbulkan keraguan dalam aqidah mereka.
Aku memohon kepada Allah agar memberikan taufiq kepada Al-Akh Ali Hasan
Abdul Hamid untuk ruju’ dan menerima kebenaran kemudian menyebarkan aqidah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam permasalahan iman dan kufur dengan karunia yang
telah Allah berikan kepada beliau berupa kefasihan, balaghah dan
kekuatan ungkapan dalam uslub...”
-selesai nukilan fatwa masyayikh-
Selain apa yang saya sebutkan di atas, ada beberapa nasehat yang lain dari
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Alu Sa’d dan Syaikh Sa’d bin Abdullah Alu Humayyid hafidzahumallah.
Silahkan baca kitab Raf’ul Al-Laimah untuk lebih detailnya, dapat
didownload di sini
Diterjemahkan sebagian oleh Abul-Harits dari Muqaddimah Raf’ul Laimah
di Madinah, 10 Shafar 1434 H.
Assalaamu'alaikum..
ReplyDeleteustadz, mohon kiranya untuk di terjemahkan keseluruhan dari kitab tsb. afwan krn kbanyakan para tholibul 'ilmi ga bs bhs Arab.
Syukron
Wa'alaikumussalam warahmatullah, afwan saya bukan ustadz. Saya juga thalibul 'ilmi sama seperti antum. Masih harus banyak mengambil faidah dari Asatidzah kita.
ReplyDeleteKarena keterbatasan waktu dan kemampuan bahasa, saya hanya bisa menerjemahkan daftar isi dari kitab Raf'ul Laimah 'an Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah berikut :
- Taqdim (rekomendasi) Syaikh 'Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin [5]
- Taqdim Syaikh Shalih Al-Fauzan [7]
- Taqdim Syaikh 'Abdul Aziz Ar-Rajihi [10]
- Taqdim Syaikh Sa'd Alu Humaid [13]
- Taqdim Syaikh 'Abdullah bin 'Abdurrahman Alu Sa'd [17]
- Muqaddimah Cetakan Kedua [61]
- Pendahuluan [63]
- Catatan Penting [67]
- Muqaddimah Cetakan Pertama [71]
- Secercah Cahaya Sebelum Memulai [77]
- Permulaan Bantahan [80]
- Kekeliruan Al-Halabi dalam memahami perkataan Syaikhul Islam [82]
- Hakikat Iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah [83]
- Bukti-bukti bahwa Al-Halabi membatasi kekufuran hanya dalam juhud (penentangan) dan takdzib (pendustaan) [85]
- Al-Halabi memotong perkataan Syaikh As-Sa'di [87]
- Al-Halabi menyatakan secara tegas bahwa seorang tidak keluar dari Islam kecuali dengan juhud dan takdzib [87]
- Barangsiapa yang membatasi kekufuran hanya dengan juhud dan takdzib berarti mengeluarkan amalan hati dari iman. Barangsiapa yang mengeluarkan amalan hati dari iman maka serupa dengan ungkapan Jahm [88]
- Perbedaan antara Madzhab Ahlus-Sunah dan Madzhab Al-Khawarij atau Mua'tazilah [89]
- Kekeliruan Al-Halabi dalam memahami perkataan Syaikh Muhammad bin 'Abdul Wahhab [90]
- Al-Halabi memotong perkataan Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman Alus Syaikh [92]
- Al-Halabi memotong perkataan Syaikh Abdurrahman As-Sa'di [95]
- Perkataan (ulama) yang muhkam ketika terpotong dapat merubah makna [99]
- Celaan Al-Halabi terhadap anggota Al-Lajnah Ad-Daimah [99]
- Pengelabuan Al-Halabi tentang inti permasalahan yang dibahas dengan menyebutkan perkataanya dari kitab At-Ta'rif wat Tanbi'ah [102]
- Pendalilan yang keliru dari perkataan Syaikhul Islam [102]
- Kedustaan dan tadlis Al-Halabi terhadap Ibnu Katsir [105]
- Jenggis Khan bukan penguasa muslim [109]
- Makna-makna istihlal (penghalalan) menurut Syaikhul Islam [111]
- Al-Halabi tidak menganggap kufur ‘amali sebagai kufur akbar kecuali jika disertai juhud dan takdzib [114]
- Al-Halabi memotong perkataan Ibnul Qayyim [115]
- Al-Halabi menyelewengkan makna yang dimaksud oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alus Syaikh [116]
- Al-Halabi berdalil dengan perkataan para ulama yang sama sekali tidak mendukung (keyakinannya) [127]
- Al-Halabi meremehkan permasalahan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah [134]
- Al-Halabi melemparkan debu (keraguan) tentang Fatwa Al-Lajnah [1360
- Fatwa Al-Lajnah ketika mentahdzir kitab “At-Tahdzir min Fitnatit Takfir” dan “Shaihatun Nadzir” [139]
- Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah ketika mentahdzir kitab “Ihkamut Taqrir fi Ahkamit Takfir” karya Murad Syukri [142]
- Teks Asli (tulisan tangan) Taqdim (rekomendasi) masyayikh [145]
- Daftar Isi [155]
Afwan, klo boleh sy minta alamat email antm aj ustadz (aamiiin). sy pgn nanya banyak nih. klo lwt Post comment kynya gmn gt.
ReplyDeleteini alamat email sy mohon d balas ibnzaen@gmail.com
email saya di hanif99@rocketmail.com.
ReplyDeleteSemalam Syaikh Abdullah Al-Mar'i memberikan nasehat kepada kami.
Syaikh hafidzahullah berkata:
"Ikhtilaf (perbedaan pendapat) terbagi menjadi 3 macam :
1. Khilaf antara haq dan batil
2. Khilaf ijtihadiyyah yang di dalamnya ada keluasan untuk berijtihad
3. Khilaf tanawwu' (seluruh pendapat benar)
Dalam permasalahan khilaf yang terdapat keluasan dalam berijtihad (jenis kedua), kita wajib berlapang dada terhadap pendapat yang diyakini pihak lain karena tidak mungkin para ulama salafiyyin di seluruh dunia bersepakat dalam satu pendapat dalam permasalahan khilaf ijtihadiyyah.
Mungkin ulama A berijtihad dengan menimbang maslahat dan madharat lalu berfatwa dengan pendapat A, kemudian ulama B berijtihad dengan menimbang maslahat dan madharat yang berlainan dengan ulama A lalu berfatwa dengan pendapat B.
Jika para ulama kita tidak mungkin bersepakat dalam satu pendapat dalam khilaf ijtihadiyyah, maka apa yang harus kita lakukan? Tentunya berlapang dada terhadap pendapat yang diyakini pihak lain."
Ada teman yang bertanya : "Jika terdapat khilaf antara dua ulama kibar, misalkan Syaikh Rabi' berbeda pendapat dengan Syaikh 'Abdul Muhsin Al-'Abbad dalam suatu permasalahan?"
Syaikh hafidzahullah menjawab :
"iya, itu termasuk khilaf ijtihadiyyah"
ada teman juga yang bertanya :
"Syaikh, apa dhabit (kaidah) seorang dikatakan salafy lalu apa saja sesuatu yang dapat membuatnya keluar dari salafiyyah?"
Syaikh hafidzahullah menjawab :
"Permasalahan ini (mengeluarkan seorang dari salafiyyah) hendaknya dikembalikan kepada ulama. Misalkan kita tahu kaidah dalam permasalahan ini, siapakah yang akan menerapkannya!?
Para ulama lah yang berhak untuk menerapkan kaidah ini, bukan kita sendiri. Jika masing-masing kita menerapkan kaidah ini pada saudaranya, tentu akan terjadi kerusakan dan fitnah yang besar."
Saya teringat faidah dari teman, Syaikh Muhammad 'Umar Bazmul hafidzahullah berkata : "Di negara Saudi ini tidak ada yang boleh berijtihad tentang hukum takfir mu'ayyan (mengkafirkan seorang muslim karena dosa yang mengeluarkannya dari Islam) kecuali tiga masyayikh. Mereka adalah Mufti 'Am Syaikh Abdul Aziz Alus Syaikh, Syaikh Shalih Al-Fauzan dan Syaikh Shalih Al-Luhaidan hafidzahumullah."
Perkataan para ulama tersebut, saya nukilkan secara makna.
Allahua'lam
afwan, email saya (hanif99@rocketmail) sudah tidak aktif karena lama ndak dibuka.
ReplyDeleteSaya ada email baru di hanif_mdnh@ymail.com
waffaqanallahu waiyyakum.
Ada pembahasan ilmiah lain yang insya Allah bermanfaat di:
ReplyDeletehttp://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/07/meninggalkan-shalat.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/11/pokok-iman-ashlul-iimaan-menurut-ahlus.html
Lihat juga artikel:
ReplyDeleteApakah Orang Yang Bermodal Syahadat Lalu Meninggalkan Seluruh Amal Kewajiban Dalam Syariat Dikatakan Muslim
Apakah Orang Yang Bermodal Syahadat Lalu Meninggalkan Seluruh Amal Kewajiban Dalam Syariat Dikatakan Muslim bag. 2
Apakah Orang Yang Bermodal Syahadat Lalu Meninggalkan Seluruh Amal Kewajiban Dalam Syariat Dikatakan Muslim bag. 3
Istilah Jinsul A'mal Bukan Bid'ah
Menjawab Syubhat Tentang Hadits Belum Pernah Beramal Kebaikan Sedikitpun
Sahkah Iman Tanpa Amal?
Mudah-mudahan bermanfaat..
Ustadz afwan,
ReplyDeleteIbnu Qudaamah rahimahullah berkata :
وَقَالَ الْخَلَّالُ، فِي " جَامِعِهِ ": ثنا يَحْيَى، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ، ثنا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي شَمِيلَةَ، {أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إلَى قُبَاءَ فَاسْتَقْبَلَهُ رَهْطٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَحْمِلُونَ جِنَازَةً عَلَى بَابٍ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَا ؟ قَالُوا: مَمْلُوكٌ لِآلِ فُلَانٍ، كَانَ مِنْ أَمْرِهِ. قَالَ: أَكَانَ يَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ؟ قَالُوا: نَعَمْ، وَلَكِنَّهُ كَانَ وَكَانَ. فَقَالَ لَهُمْ: أَمَا كَانَ يُصَلِّي ؟ فَقَالُوا: قَدْ كَانَ يُصَلِّي وَيَدَعُ. فَقَالَ لَهُمْ: ارْجِعُوا بِهِ، فَغَسِّلُوهُ، وَكَفِّنُوهُ، وَصَلُّوا عَلَيْهِ، وَادْفِنُوهُ، وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ كَادَتْ الْمَلَائِكَةُ تَحُولُ بَيْنِي وَبَيْنَهُ}.
Dan telah berkata Al-Khallaal dalam Jaami’-nya : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Hassaan , dari ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan , dari Abu Syamiilah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menuju Qubaa’, lalu sekelompok orang dari kalangan Anshaar yang membawa jenazah menghadap beliau yang berada di pintu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapakah ini ?”. Para shahabat berkata : “Seorang budak milik keluarga Fulaan”. Beliau bersabda : “Apakah ia pernah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah ?”. Mereka berkata : “Ya, akan tetapi ia dulu begini dan begitu”. Beliau bertanya kepada mereka : “Apakah ia dulu mengerjakan shalat ?”. Mereka berkata : “Ia dulu mengerjakan shalat dan (kemudian) meninggalkannya”. Beliau bersabda kepada mereka : “Kembalilah kalian dengannya. Mandikanlah, kafanilah, shalatkanlah, lalu kuburkanlah ia. Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh hampir saja malaikat menghalangi antara aku dengan dia” [Al-Mughniy, 2/158; sanadnya hasan].
Ibnu Qudaamah berhujjah dengan riwayat ini tentang tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat, berapapun banyak jumlah shalat yang ia tinggalkan.
Apakah Ibnu Qudamah termasuk ulama yang terfitnah Murji'ah, ustadz?
Ataukah masalah kafirkah orang yang meyakini dan mengucapkan kalimat tauhid meskipun tidak beramal shalih adalah khilaf antara ahlussunnah bukan antara ahlussunnah vs murji'ah?
Karena yang saya tahu, ulama berselisih tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja selama tidak mengingkari wajibnya, misalnya syaikh Albani berpendapat tidak mengkafirkan. Tapi beliau tidak dihukumi Murji'ah.
Yang saya dengar juga, belum ada ulama yang mengkafirkan orang yang meninggalkan amalan selain shalat. Sehingga SEBAGIAN ulama berpendapat, meninggalkan shalat termasuk PEMBATAL keislaman.
Apabila Ibnu Qudamah dan syaikh Albani BUKAN Murji'ah, berarti orang yang sependapat dengan mereka juga terlepas dari fitnah irja' (BUKAN Murji'ah). Bukan begitu, ustadz?
Bismillah. Ustadz Abul-Harits; Ketika Lajnah mentahzir buku syaikh Ali Hasan, fatwa lajnah ditentang oleh syaikh Utsaimin -rahimahulla- dan dikhawatirkan fatwa tsb menyebabkan timbulnya perpecahan di kalangan salafiyin.
ReplyDeleteApakah penyelisihan syaikh Utsaimin -rahimahullah- ketika itu (dinama beliau dikenal sebagai Faqihuzzaman dan termasuk 3 imam dakwah ahlussunnah abad ini disamping syaikh bin Baz dan syaikh Albani -rahimahumullah-) tidak dianggap? Ataukah termasuk khilaf ijtihadiyah, meskipun beliau bersendirian menentang Lajnah Daimah?
Syaikh Abdulmuhsin al-Abad merekomendasi untuk mengambil ilmu dari syaikh Ali Hasan. Apakah pernyataan beliau telah dicabut?
Jika belum, artinya beliau menyelisihi pernyataan syaikh Rabi'. Dengan begitu, sikap terhadap syaikh Ali Hasan adalah khilaf ijtihadiah sesuai dengan artikel di atas. Berarti ada kelapangan dalam masalah ini, yach?
Diantara beberapa pemasalahan yang antum tanyakan dalam uraian di atas dapat disimpulkan mejadi dua:
ReplyDelete1. Apakah khilaf tentang “hukum seorang yang meninggalkan shalat” termasuk khilaf antara Ahlus-Sunnah dan Murji’ah?
2. Apakah khilaf tentang “kafirkah seorang yang meninggalkan seluruh a’mal jawarih (jinsul a’mal)” termasuk khilaf intern sesama Ahlus-Sunnah?
Akhi, khilaf tentang permasalahan point pertaman ma’ruf di kalangan Ahlus-Sunnah. Perlu antum ketahui, ulama yang berpendapat “tidak kafirnya seorang yang meninggalkan shalat karena malas” bukan hanya Ibnu Qudamah dan Syaikh Al-Albani. Bahkan jumhur ulama seperti Imam Malik, Imam Asy-Syaf’i dan Sufyan Ats-Tsauri juga berpendapat demikian. Pendapat ini pula yang dirajihkan oleh An-Nawawi, Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Asy-Syaukani, dll rahimahumullah.
Apakah antum mengira para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah mentahdzir kedua kitab Syaikh Ali karena beliau berpendapat “tidak kafirnya seorang yang meninggalkan shalat”?
Permasalahan yang sebenarnya adalah karena beliau dan murid-muridnya meyakini “iman sah hanya dengan keyakinan hati dan ucapan lisan”. Dalil-dalil yang mereka bawakan tentang “tidak kafirnya seorang yang meninggalkan shalat” itu tidak nyambung dengan permasalahan yang dibahas dan dikritik para ulama. Permasalahan pada point pertama adalah pembahasaan fiqih yang masyhur, sedangkan permasalahan iman yang sedang dibicarakan (point kedua) adalah permasalahan aqidah.
Syaikh Abdul Aziz Ar-Rayyis hafidzahullah menulis kitab “Al-Albani wal-Irja’-“ ketika beliau membela Syaikh Al-Albani rahimahullah dari tuduhan Murji’ah yang disematkan oleh tokoh-tokoh takfiri semisal Safar Al-Hawali dan Salman Al-Audah.
Dalam kitab tersebut Syaikh Ar-Rayyis hafidzahullah membagi kelompok manusia dalam permasalahan iman menjadi beberapa tingkatan. Syaikh berkata:
فمن لم ينطق بكلمة التوحيد مع القدرة فهو كافر بالاتفاق ، ومن لم يوجد في قلبه عمل القلب من أصل الخوف والرجاء والحب والتوكل فهو كافر بالاتفاق، وما زاد على أصل الخوف والحب والرجاء فهو ما بين واجب ومستحب، ومن دخل الإسلام ولم يعمل شيئاً من أعمال الجوارح مع قدرته ولا مانع وبقائه زمناً فهو كافر بالاتفاق؛ وأفراد أعمال الجوارح بالنسبة للإيمان ما بين واجب يأثم المسلم بتركه ، وفي التكفير بترك بعضها نزاع كالمباني الأربعة من صلاة وصوم وزكاة وحج أو أحدها على قول عند أهل السنة ، فإن تكفير تارك المباني الأربعة أو أحدها مسألة خلافية عند أهل السنة السلفيين أنفسهم ، وما بين مستحب يثاب على فعله امتثالاً
“[1] Barangsiapa yang tidak mau mengucapkan kalimat syahadat padahal ia mampu, maka ia kafir dengan kesepakatan ulama.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فأما الشهادتان إذا لم يتكلم بهما مع القدرة فهو كافر باتفاق المسلمين
“Adapun dua kalimat syahadat, jika seorang tidak menyatakannya padahal ia mampu, maka ia kafir dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin”[Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/609]
[2] Jika dalam hati seseorang tidak terdapat amalan hati semisal pokok khauf, raja’, kecintaan dan tawakal, maka ia kafir dengan kesepakatan ulama. Syaikhul Islam menukil ijma’ dalam permasalahan ini dalam Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/550.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
فأهل السنة مجمعون على زوال الإيمان ، وأنه لا ينفع التصديق ، مع انتفاء عمل القلب ومحبته وانقياده
“Ahlus-Sunnah bersepakat tentang ketiadaan iman bagi seorang yang tidak memiliki amalan hati, kecintaan dan inqiyad (kepatuhan). Keberadaan tashdiq (membenarkan syahadat dalam hatinya) tidak bermanfaat.”[Kitabus Shalah hal. 54]
[3] Hal-hal yang merupakan tambahan dari pokok khauf, kecintaan dan raja’ maka hukumnya diantara wajib dan sunah.
ReplyDeleteIbnu Mandah rahimahullah berkata:
وقال أهل الجماعة : الإيمان هي الطاعات كلها بالقلب واللسان وسائر الجوارح ، غير أن له أصلاً وفرعاً ، فأصله المعرفة بالله والتصديق له وبه ، وبما جاء من عنده بالقلب واللسان مع الخضوع له والحب له والخوف منه والتعظيم له ، مع ترك التكبر والاستنكاف والمعاندة ، فإذا أتى بهذا الأصل فقد دخل في الإيمان ، ولزمه اسمه وأحكامه ، ولا يكون مستكملاً له حتى يأتي بفرعه ، وفرعه المفترض عليه أو الفرائض واجتناب المحارم
“Ahlus (Sunnah) wal Jama’ah berkata: Iman mencakup seluruh ketaatan dalam hati, lisan dan amal anggota badan. Imam memiki ashl (pokok) dan cabang. Ashlul Iman adalah mengenal Allah, tashdiq yaitu membenarkan apa yang datang dari sisi Allah dalam hati dan lisan bersamaan dengan ketundukan, kecintaan, khauf, pengagungan, meninggalkan sikap sombong, pongah dan pengingkaran. Tatkala seorang memiliki pokok tersebut, maka ia telah masuk dalam iman yang melazimkan nama dan hukum-hukumnya. Imannya tidak akan sempurna hingga ia melaksanakan cabang-cabang iman. Cabang-cabangnya adalah hal-hal yang diwajibkan padanya dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan.”[Kitabul Iman, 1/331]
[4] Barangsiapa yang telah masuk dalam Islam, namun ia tidak mau beramal dengan a’maal jawarih (anggota badannya) sedikitpun, padahal ia mampu dan tidak ada penghalang yang menghalanginya dalam beramal maka ia kafir dengan kesepakatan ulama. Diantara para ulama salaf yang menukil ijma’ ini adalah:
- Al-Humaidi dalam Kitab As-Sunnah, 3/586 karya Al-Khallal
- Asy-Syafi’i dalam Majmuu’ Al-Fatawaa, 7/209
- Al-Ajurri dalam Kitabus Syari’ah, 2/611
- Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam dalam Kitabul Iman hal. 18-19
- Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu’ Al-Fatawaa, 14/120
Syaikh Abdul Aziz Ar-Rayyis hafidzahullah berkata:
ويدل لهذا ما أخرجه الشيخان عن النعمان بن بشير : أن رسول الله صلى الله عليه وسلَّم قال : "ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله ، وإذا فسدت فسد الجسد كله ، ألا وهي القلب " . فإذا كان في القلب أصل الخوف والرجاء والمحبة فعاش زمناً ولا مانع من العمل ، فلا بد أن يظهر أثر هذا الصلاح على الجوارح بمقدار ما في القلب وإلا صار القلب خالياً من أصل الخوف والمحبة والرجاء ، والقلب الخالي من أعمال القلوب قلب كافر بالإجماع – كما سبق
“Dalil dalam permasalahan ini adalah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad ini terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Ketika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Tahukah kalian segumpal daging itu adalah hati.”. Jika dalam diri seseorang terdapat pokok khauf, raja’ dan kecintaan bersamaan degan ketiadaan penghalang yang menghalanginya dalam beramal, pasti ia akan menampakkan imannya dalam a’mal jawarih sebatas iman yang terdapat dalam hatinya. Anggota badan yang kosong dari a’mal jawarih menunjukkan kosongnya hati dari pokok khauf (takut), mahabbah (kecintaan) dan raja’ (pengharapan). Sedangkan hati yang kosong dari amalan hati adalah hati yang dimiliki orang yang kafir dengan kesepakatan ulama yang telah aku nukilkan sebelumnya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ReplyDeleteومن الممتنع أن يكون الرجل مؤمناً إيماناً ثابتاً في قلبه بأن الله فرض عليه الصلاة والزكاة والصيام والحج ويعيش دهره لا يسجد لله سجدة ولا يصوم من رمضان ولا يؤدي زكاة ، ولا يحج إلى بيته ، فهذا ممتنع ولا يصدر هذا إلا مع نفاق في القلب وزندقة ، لا مع إيمان صحيح
“Mustahil seorang dikatakan beriman dengan iman yang kokoh dalam hatinya, tatkala Allah mewajibkan padanya shalat, zakat, puasa dan haji. Namun sepanjang hidupnya ia tidak pernah sujud kepada Allah sekalipun, tidak berpuasa Ramadhan, tidak menunaikan zakat, tidak pula haji ke baitullah. Ini mustahil, kedaaan semisal ini hanya ada dalam seorang yang terdapat kemunafikan dan kezindiqan dalam hatinya. Keadaan tersebut tidak mungkin ada pada seorang yang imannya benar.[Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/611]
Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata:
ثم القلب هو الأصل فإذا كان فيه معرفة وإرادة سرى ذلك إلى البدن بالضرورة ، لا يمكن أن يتخلف البدن عما يريده القلب – ثم ذكر حديث النعمان وقولاً لأبي هريرة ثم قال – فإذا كان القلب صالحاً بما فيه من الإيمان علماً وعملاً قلبياً لزم ضرورة صلاح الجسد بالقول الظاهر والعمل بالإيمان المطلق
“Kemudian (amalan) hati merupakan ashlul (iman). Jika dalam hatinya terdapat ma’rifah dan kehendak pasti ia akan mewujudkannya dalam anggota badannya. Tidak mungkin anggota badan menyelisihi apa yang dikehendaki hati –lalu beliau menyebutkan hadits An-Nu’man dan ucapan Abu Hurairah-. Jika dalam hati terdapat iman dan amalan hati, pasti akan diwujudkan dalam anggota badannya dengan ucapan yang dzahir dan beramal dengan Al-Iman Al-Muthlaq (tambahan dari ashlul iman –pen-).”[Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/187]
Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata:
وقد تقدم أن جنس الأعمال من لوازم إيمان القلب
“Sungguh telah berlalu penjelasannya bahwa jinsul a’maal merupakan kelaziman iman dalam hati”[Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/616]
Sehingga ketiadaan a’mal jawarih melazimkan ketiadaan iman dalam hati.
[5] Meninggalkan sebagian a’maal jawarih hukumnya berkisar antara wajib yang jika ditinggalkan seorang muslim berdosa seperti rukun Islam yang empat atau sunah (yang jika ditinggalkan tidak berdosa dan berpahala jika dikerjakan –pen-). Kesimpulannya, pembahasan “kekafiran seorang yang meninggalkan rukun Islam yang empat” yaitu shalat, puasa, zakat dan haji merupakan permasalahan khilaf diantara Ahlus-Sunnah Salafiyyun.”
Akhi, yang melakukan pembelaan terhadap Syaikh Al-Albani dari tuduhan irja’ bukan hanya Syaikh Ali dan murid-muridnya. Syaikh Abdul Aziz Ar-Rayyis juga termasuk ulama yang memberikan pembelaan, selain itu beliau juga aktif menulis kitab-kitab bantahan terhadap pemikiran takfir.
Apakah pemahaman Syaikh Ar-Rayyis dan Syaikh Ali dalam permasalahan iman sama? Ini keanehan pertama.
Keanehan kedua, mereka membuat kaidah baru dalam permasalahan iman “siapa yang menuduh Syaikh Ali menyebarkan pemikiran Murji’ah berarti ia menuduh Syaikh Al-Albani pula!!” atau “Siapa yang menuduh Syaikh Ali menyebarkan pemikiran Murji’ah berarti ia berada dalam barisan tokoh-tokoh takfiri khawarij!!”
Terapkan kaidah mereka dalam Syaikh Abdul Aziz Ar-Rayyis hafidzahullah!! Tepatkah??
Lalu perkataan antum "Yang saya dengar juga, belum ada ulama yang mengkafirkan orang yang meninggalkan amalan selain shalat".
ReplyDeleteIni keliru akhi,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
وَأَمَّا هَذِهِ الْمَبَانِي فَفِي تَكْفِيرِ تَارِكِهَا نِزَاعٌ مَشْهُورٌ . وَعَنْ أَحْمَد : فِي ذَلِكَ نِزَاعٌ وَإِحْدَى الرِّوَايَاتِ عَنْهُ : إنَّهُ يَكْفُرُ مَنْ تَرَكَ وَاحِدَةً مِنْهَا وَهُوَ اخْتِيَارُ أَبِي بَكْرٍ وَطَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ كَابْنِ حَبِيبٍ . وَعَنْهُ رِوَايَةٌ ثَانِيَةٌ : لَا يَكْفُرُ إلَّا بِتَرْكِ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ فَقَطْ وَرِوَايَةٌ ثَالِثَةٌ : لَا يَكْفُرُ إلَّا بِتَرْكِ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ إذَا قَاتَلَ الْإِمَامَ عَلَيْهَا وَرَابِعَةٌ : لَا يَكْفُرُ إلَّا بِتَرْكِ الصَّلَاةِ . وَخَامِسَةٌ : لَا يَكْفُرُ بِتَرْكِ شَيْءٍ مِنْهُنَّ . وَهَذِهِ أَقْوَالٌ مَعْرُوفَةٌ لِلسَّلَفِ
"Adapun tentang kekafiran orang meninggalkan rukun Islam yang empat terdapat khilaf ini masyhur. Imam Ahmad memiliki lebih dari satu riwayat (pendapat) dalam masalah ini. Riwayat pertama, beliau mengkafirkan seorang yang meninggalkan SALAH SATU dari rukun Islam yang empat. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Abu Bakar dan sebagian sahabat Malik seperti Ibnu Habib. Riwayat kedua, beliau mengkafirkan seorang yang meninggalkan shalat dan zakat saja. Riwayat ketiga, beliau mengkafirkan seorang yang meninggalkan shalat dan zakat jika ia sampai dibunuh oleh penguasa. Riwayat keempat, beliau mengkafirkan seorang yang hanya meninggalkan shalat, dan riwayat kelima, seorang yang meninggalkan keempatnya tidak dikafirkan. Pendapat-pendapat ini ma'ruf di kalangan salaf"[Majmuu' Al-Fataawaa, 7/303]
Syaikh Abdul-Lathif bin Abdirrahman bin Hasan bin Abdil Wahhab rahimahullah berkata:
فأهل السنَة : مجمعون على أنَه لا بدَ من عمل القلب الذي هو : محبَته , ورضاه , و انقياده , و المرجئة تقول يكفي التصديق , فقط , ويكون به مؤمنا , و الخلاف في أعمال الجوارح هل يكفر أو لا يكفر واقع بين أهل السنَة و المعروف عند السلف : تكفير من ترك أحد المباني الإسلامية , كالصلاة , والزكاة , و الصيام , و الحجَ و القول الثاني : أنَه لا يكفر إلاَ من جحدها , و الثالث : الفرق بين الصلاة و غيرها و هذه الأقوال معروفة
“Maka Ahlus-Sunnah bersepakat harus terdapat amalan hati (dalam iman –pen-) semisal kecintaan, ridha dan inqiyad (kepatuhan). Adapun Murji’ah menyatakan cukup seorang tashdiq (membenarkan iman dalam hati –pen-) maka ia telah teranggap beriman. Perbedaan pendapat dalam a’mal jawarih apakah mengkafirkan atau tidak, terjadi dalam lingkup Ahlus-Sunnah. Yang ma’ruf di kalangan salaf adalah mengkafirkan seorang yang meninggalkan SALAH SATU dari rukun Islam (yang empat –pen) seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Adapun pendapat kedua menyatakan tidak kafir kecuali jika disertai juhud (pengingkaran). Pendapat ketiga membedakan antara shalat dan rukun-rukun Islam yang lain, pendapat ini juga ma’ruf.[Ad-Durar As-Saniyyah, 1/479-480]
Permasalahan selanjutnya, bukankah Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah tidak sepakat dengan Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah?
ReplyDeleteIni memiliki dua kemungkinan alasan:
1. Syaikh Ibnu Utsaimin tidak sepakat dengan fatwa Al-Lajnah karena beliau sepaham dengan Syaikh Ali tentang permasalahan iman, yakni “iman sah hanya dengan keyakinan hati dan ucapan lisan, tanpa amal”.
2. Syaikh Ibnu Utsaimin tidak sepakat karena fatwa tersebut memecah-belah barisan salafiyyin di banyak negeri, namun beliau tidak mengingkari permasalahan iman yang dikritik.
Jika alasan beliau adalah point pertama, maka kemungkinan ini sangat kecil. Karena Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memahami hadits “lam ya’malu khairan qath” tidak berlaku umum, namun khusus bagi mereka yang terhalang dalam beramal.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
معنى قوله: ( لم يعملوا خيراً قط ) أنهم ما عملوا أعمالاً صالحة، لكن الإيمان قد وقر في قلوبهم، فإما أن يكون هؤلاء قد ماتوا قبل التمكن من العمل؛ آمنوا ثم ماتوا قبل أن يتمكنوا من العمل، وحينئذ يصدق عليهم أنهم لم يعملوا خيراً قط.
“Makna sabda nabi “tidak pernah beramal sedikitpun” adalah meskipun mereka belum pernah beramal shalih, namun iman dalam hati mereka telah kokoh. Kemungkinan mereka mati sebelum sempat melakukan amal shalih, yakni mereka beriman lalu mati sebelum sempat beramal. Dalam keadaan tersebut maka dibenarkan bahwa mereka belum pernah beramal kebaikan sedikitpun”[Fatawa Al-Aqidah no. 123 cet. Darul Minhaj]
Syaikh memahami bahwa seorang yang masuk surga tanpa amal dalam hadits tersebut adalah suatu kaum yang telah bersyahadat, lalu mereka mati sebelum sempat beramal. Artinya ia memiliki udzur atau penghalang dalam beramal seperti kisah pemuda Yahudi yang biasa melayani nabi. Suatu saat ia jatuh sakit dan di akhir hayatnya ia mengucapkan kalimat syahadat setelah ditalqin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Apakah ia sempat beramal setelah masuk Islam??
Seandainya tipe-tipe orang seperti ini diberikan Allah umur yang panjang niscaya ia akan beramal dengan amal jawarih karena kejujuran iman mereka kepada Allah.
ReplyDeleteBerbeda dengan pemikiran Murji’ah akhir-akhir ini, mereka memahami hadits tersebut berlaku umum bagi siapa saja yang meninggalkan amal tanpa udzur. Tahukah antum, hadits ini dan yang semisalnya adalah dalil paling kuat yang mereka pakai. Ternyata pemahaman Syaikh Ibnu Utsaimin dan mereka sangat berbeda!!
Telah saya sebutkan ijma’ para ulama dalam permasalahan ini, bahwa iman terdiri dari keyakinan hati, ucapan lisan dan amal. Ketiganya harus terkumpul dalam diri seorang muslim. Keberadaannya seperti rukun, ketika seorang telah berniat shalat, membaca Al-Fatihah namun tidak ruku’ dan sujud. Apakah shalatnya sah?? Begitu pula ketiadaan amal jawarih dalam iman, menjadikan imannya tidak sah.
Apakah antum memahami Syaikh Ibnu Utsaimin menyelisihi ijma’ yang dinukil Ibnu Taimiyyah, ketika beliau tidak menyepakati fatwa Al-Lajnah??
Yang saya pahami bahwa beliau tidak sepakat dengan fatwa Al-Lajnah karena alasan kedua. Dibuktikan dengan pengakuan beliau sendiri dalam perkataannya.
Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
وهذا غَلطٌ مِن اللَّجْنَة، أنا مُستَاءٌ مِن هذِهِ الفَتْوى، وَلَقَدْ فَرَّقَتْ هذهِ الْفَتْوَى الْمُسْلِمِينَ في أَنْحاءِ العَالمِ؛ حَتَّى إِنَّهُمْ يَتَّصلونَ بِي مِنْ أَمْرِيكَا وأُوروبّا
Ini adalah kekeliruan dari Lajnah. Aku merasa terganggu dengan fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum muslimin di seluruh negeri, hingga mereka menghubungiku dari negeri Amerika dan Eropa” [At-Ta’riifu wat-Tanbi’ah, hal. 15].
Lalu permasalahan selanjutnya tentang tazkiyah Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad kepada Syaikh Ali. Maka ini benar adanya, saya tidak mengingkari hal tersebut. Namun membanding-bandingkan dan mentarjih jarh dan ta’dil para ulama kepada Syaikh Ali bukan kapasitas saya untuk menjawab. Silahkan antum tanyakan pada Masyayikh Salafiyyin yang akan mendatangi antum tiap tahun ke Indonesia insya Allah. Antum bisa bertanya pada Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili, Syaikh Shalih As-Suhaimi, dll hafidzahumullah.
Adapun saya pribadi, Alhamdulillah telah mengetahui sikap Syaikh Shalih As-Suhaimi tentang permasalahan ini.
Allahua’lam
Ustadz abul-harits, mohon maaf sebelumnya, apakah dalam menulis artikel ini, Ustadz sudah membaca buku-buku Syaikh Ali sehingga layak dikatakan beliau menebar paham irja’, ataukah Ustadz abul-harits hanya mengikuti Lajnah dan ulama yang berseberangan pendapat dengan Syaikh Ali belakangan ini?
ReplyDeleteAda artikel berjudul Pembelaan Terhadap Syaikh Ali Hasan Al Halabi Atas Tuduhan Murji’ah dan Irja’ yang merupakan Terjemahan dari petikan pembelaan Syaikh DR. Mahmud bin Abdurrazaq bin Abdurrazaq bin Ali Ar Ridwany terhadap Al Imam Al Albani serta murid-muridnya terutama Syaikh Ali Al Halaby & Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman dari tuduhan irja', di
http://lenterasunnah.blogspot.com/2013/01/pembelaan-terhadap-syaikh-ali-hasan-al.html
Barangsiapa berkehendak menelaah perkataan beliau secara lengkap silahkan kunjungi link berikut ; http://www.youtube.com/watch?v=s-I6oh1df7A
Atau transkripnya di sini ; http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=37348.
Semoga bermanfaat. Sekali lagi mohon maaf jika pertanyaan/perkataan saya kurang berkenan di hati Ustadz.
Pertanyaan antum “Ustadz sudah membaca buku-buku Syaikh Ali sehingga layak dikatakan beliau menebar paham irja’, ataukah Ustadz abul-harits hanya mengikuti Lajnah dan ulama yang berseberangan pendapat dengan Syaikh Ali belakangan ini?”
ReplyDeleteMudah-mudahan apa yang akan saya tuliskan -insya Allah- dapat menjawab pertanyaan antum,
1. Fitnah Murji’ah yang menimpa Syaikh Ali Hasan Al-Halabi bermula ketika beliau merekomendasikan kitab “Ihkamut Taqrir liahkamut Takfir” karya Murad Syukri pada tahun 1414 H. Dalam cover kitab tersebut tertulis “telah dibaca, dimuraja’ah dan dicetak oleh Al-Akh Ali Al-Halabi”
-Penulis kitab tersebut terang-terangan membatasi kekufuran hanya dalam kufur “takdzib” dan “juhud”. Penulisnya berkata:
لا يكفر المسلم إلا إذا كذّب النبي صلى الله عليه وسلم فيما جاء به وأخبر ، سواء أكان التكذيب جحوداً كجحود إبليس وفرعون ، أم تكذيباً بمعنى التكذيب
“Seorang muslim tidaklah dikafirkan kecuali jika ia mendustakan berita yang datang dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sama saja apakah ia mendustakan (takdzib) karena pengingkaran (juhud) sebagaimana pengingkaran Iblis dan Fir’aun atau takzib yang bermakna mendustakan” [Ihkanut Taqriir hal. 13]
Dalam kitab yang sama hal. 15, penulisnya mengulangi perkataan yang serupa dengan redaksi yang sedikit berbeda,
فلا يكفر المسلم إلا إذا كذب النبي صلى الله عليه وسلم فيما جاء به ، سواء أكان ذلك التكذيب بمعنى التكذيب أم جحوداً كجحود فرعون وإبليس
-Penulisnya menyatakan bahwa amal jawarih tidak dapat menyebabkan kekafiran,
لا يمكن أن يكون عَمَل ٌمن الأعمال كفراً ناقلاً من الملة إلا إذا تضمن ضرورة وقطعاً التكذيب ، وذلك مثل سب الله أو سب رسوله صلى الله عليه وسلم أو السجود لصنم أو إلقاء المصحف في القذر
“Tidak mungkin suatu amal dapat menjadikan seseorang kafir keluar dari Islam, kecuali jika amal tersebut benar-benar mengandung “takdzib”. Misalkan, mencela Allah dan Rasul-Nya, sujud pada patung atau membuang mushaf di tempat yang kotor” [Ihkamut Taqriir hal. 28]
-Penulisnya menyatakan bahwa amal merupakan syarat kesempurnaan iman (syarthul kamal)
السلف عدُّوا العمل شرطاً في الكمال فإذا انتفى العمل انتفى كمال الإيمان ولم ينتفِ الإيمان
“Salaf hanyalah menganggap amal termasuk syarat kesempurnaan iman. Ketiadaan amal hanyalah meniadakan kesempurnaan iman, tidak menghilangkan iman secara keseluruhan” [Ihkamut Taqriir hal. 62]
-Penulisnya mengeluarkan amal dari iman,
كله فظهر وتبين أنَّ عدَّ السلف العمل من الإيمان إنما يتعلق بكماله وليس بالإيمان نفسه
“Nampaklah bahwa perkataan salaf amal termasuk dari iman hanyalah berkaitan dengan kesempurnaanya. Sama sekali tidak berkaitan denga iman itu sendiri.” [Ihkamut Taqriir hal. 62]
Adakah yang mengingkari bahwa perkataan di atas adalah keyakinan Murji’ah?
2. Pada tahun 1415 H ditulislah bantahan terhadap kitab Murad Syukri yang berjudul [براءة أهل السنة من اشتراط التكذيب للخروج من الملة وبيان أنَّ هذا قول المرجئة والجهمية] artinya “Alhlussunnah berlepas diri dari keyakinan disyaratkannya “takdzib” untuk mengeluarkan seorang dari agama, beserta penjelasan bahwa keyakinan ini merupakan perkataan Murji’ah dan Jahmiyyah”. Pengarangnya adalah Abu Abdirrahman As-Sabi’i.
3. Pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 1417 H terbitlah cetakan pertama kitab “At-Tahdzir min Fitnatit Takfir” karya Syaikh Ali Al-Halabi. Diantara contoh sikap beliau yang tidak amanah dalam menukil:
ReplyDelete-Syaikh Ali memotong perkataan Ibnu Hazm dalam permasalahan iman,
الكفر صفة من جحد شيئاً مما افترض الله تعالى الإيمان به بعد قيام الحجة عليه ببلوغ الحق إليه…
“Kekufuran merupakan sifat orang-orang yang mengingkari (juhud) terhadap apa yang Allah ta’ala wajibkan dan tidak beriman padanya, setelah ditegakannya hujjah dan disampaikannya kebenaran padanya…” [At-Tahdzir min Fitnatit Takfir hal. 7]
Berikut nukilan lengkap perkataan Ibnu Hazm,
الكفر صفة من جحد شيئاً مما افترض الله تعالى الإيمان به بعد قيام الحجة عليه ببلوغ الحق إليه . [بقلبه دون لسانه ، أو بلسانه دون قلبه ، أو بهما معاً أو عمل عملاً جاء النص بأنه مخرجٌ له بذلك عن اسم الإيمان]
“Kekufuran merupakan sifat orang-orang yang mengingkari (juhud) terhadap apa yang Allah ta’ala wajibkan dan tidak beriman padanya, setelah ditegakannya hujjah dan disampaikan padanya kebenaran -dengan pengingkaran dari hatinya tanpa lisan atau dengan lisannya tanpa keyakinan dalam hati atau pengingkaran dengan hati dan lisannya secara bersamaan atau dengan melakukan amal yang dapat mengeluarkannya dari cakupan keimanan berdasarkan nash-” [Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, 1/49]
-Syaikh Ali memotong perkataan Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah,
…حد الكفر الجامع لجميع أجناسه وأنواعه وأفراده هو جحد ما جاء به الرسول أو جحد بعضه
“Batasan kekufuran menyeluruh yang mencakup seluruh jenis, macam dan masing-masing bagiannya adalah “juhud” terhadap apa yang datang dari Rasul atau juhud pada sebagiannya” [At-Tahdzir hal. 11]
Berikut nukilan lengkap perkataan Syaikh As-Sa’di,
[المرتد هو الذي كفر بعد إسلامه بقولٍ أو فعلٍ أو اعتقادٍ أو شكٍّ ، و]حد الكفر الجامع لجميع أجناسه وأنواعه وأفراده هو جحد ما جاء به الرسول أو جحد بعضه
“[Kemurtadan yaitu kafir setelah keislamannya baik dengan perkataan, perbuatan, keyakinan, keraguan dan] Batasan kekufuran menyeluruh yang mencakup seluruh jenis, macam dan masing-masing bagiannya adalah “juhud” terhadap apa yang datang dari Rasul atau juhud pada sebagiannya” [Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam]
Beliau ingin berdalil dengan perkataan Syaikh As-Sa’di bahwa kekufuran hanya terbatas pada “juhud” dengan memotong kalimat Syaikh As-Sa’di. Padahal pada kalimat sebelumnya, secara tegas Syaikh As-Sa’di menyatakan bahwa kekufuran dapat terjadi dengan perkataan, perbuataan dan keyakinan.
-Syaikh Ali berkata:
إنَّ من ثبت له حكم الإسلام بالإيمان الجازم ، إنما يخرج عنه بالجحود له ، أو التكذيب به ، أما إذا كان شاكاً ، أو معانداً ، أو معرضاً ، أو منافقاً : فإنه - أصلاً - ليس بمؤمن
“Sesungguhnya barangsiapa yang telah pasti terdapat hukum Islam dan Iman dalam dirinya, tidaklah dikeluarkan dari Islam kecuali dengan “juhud” atau “takdzib”. Adapun ketika seorang memiliki keraguan, membangkang, berpaling atau munafik maka ia sama sekali bukan orang yang beriman” [At-Tahdzir hal. 11]
Keyakinan Syaikh Ali ketika menulis kitab At-Tahdzir min Fitnatit Takfir masih sama seperti Murad Syukri dalam kitab Ihkamut Taqrir dalam hal “pembatasan kekufuran hanya karena juhud dan takdzib”.
antum yang kurang cerdas, yang antum katakan dipotong itu kalau dibaca keseluruhan hanya merupakan penjelasnya saja karena masih satu kalimat. Kemudian kalau antum baca di kitab asli yang ditulis syaikh ali, di bagian catatan kaki ditulis secara lengkap, makanya teliti dan gunakan kecerdasan. Orang tidak memiliki kecerdasan tidak bisa menjadi seorang 'ulama, kalau jadi ulama jadinya fitnah sana sini dan mneyebarkan kesalahfahamannya
DeleteYang mengatakan bahwa amalan adalah syarat kesempurnaan iman banyak dari para imam salaf sehingga harus dipahami bahwa yang dimaksud iman disitu adalah ashlul iman. Syaikh Al-Albani dan syaikh Robi' juga mengatakan hal yang sama. Apakah anda mau menyesatkan mereka dan para imam salaf?
4. Pada bulan Dzulqa’dah tahun 1417 H yaitu 8 bulan berikutnya, beliau menulis kitab “Shaihatun Nadzir bi Khatharit Takfir”
ReplyDelete-Pada hal. 6 Syaikh Ali Al-Halabi menuliskan sederetan nama ulama yang menurut beliau telah membaca dan melaah kitab ini. Beliau menyebutkan nama Syaikh Al-Albani, Muhammad Syaqrah, Muhammad Ra’fat, Rabi’ Al-Madkhali, Muhammad Bazmul, Masyhur Hasan, Salim Al-Hilali dan Murad Syukri.
-pada hal. 39, Syaikh Ali menambahkan satu jenis kekufuran lagi yaitu istihlal (penghalalan). Beliau berkata:
قاعدة ما يكفر به المسلم عند أهل السنة مبنية على العلم والمعرفة – قاعدة وأصلاً – ثم يتفرع عنها ، إمَّا : أولاً : الاعتقاد ؛ جحوداً وتكذيباً . أو ثانياً : الاستحلال ؛ تحريماً للحلال ، وتحليلاً للحرام
“Kaidah yang dapat menjadikan seorang muslim menjadi kafir menurut Ahlussunnah dibangun di atas ilmu dan ma’rifah, kaidah dan ushul. Kemudian bercabang lagi menjadi dua: [Pertama] keyakinan yaitu juhud dan takdzib atau [Kedua] istihlal yaitu mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.”
Lalu dimanakah jenis-jenis kekufuran yang lain?? Jika di kitab sebelumnya kekufuran hanya dibatasi dalam takdzib dan juhud. Kali ini ada tambahan satu lagi yaitu kufur istihlal. Meskipun ini masih belum cukup untuk menjelaskan jenis-jenis kekufuran menurut Ahlussunnah.
-Pada hal. 49, Alhamdulillah beliau menyadari kekeliruannya dan menyebutkan nukilan perkataan Syaikh As-Sa’di secara lengkap, tanpa ada yang terpotong.
5. Pada tahun 1418 H, kitab “At-Tahdzir min Fitanatit Takfir” kembali dicetak dengan sedikit revisi.
-Syaikh Ali menyebutkan nukilan perkataan Ibnu Hazm secara lengkap, Alhamdulillah. Namun, barangkali beliau lupa tidak menyebutkan nukilan Syaikh As-Sa’di secara lengkap.
-Syaikh Ali menambahkan perkataan Ibnu Hazm yang mengandung muatan aqidah Murji’ah.
6. Pada awal tahun 1419 H ditulis kitab “Haqiqatul Khilaf baina As-Salafiyyah Asy-Syar’iyyah dan para du’atnya dala permasalahan iman” oleh Dr. Muhammad Abu Ruhayyim. Penulisnya meluruskan kekeliruan Syaikh Al-Halabi yang menyelishi aqidah Ahlussunnah dalam permasalahan iman.
7. Pada tahun yang sama yaitu 1419 H, Al-Lajnah Ad-Da’imah yang ketika itu masih diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz mentahdzir kitab Ihkamut Taqriir karya Murad Syukri yang direkomendasikan oleh Syaikh Ali Al-Halabi.
Al-Lajnah berkata:
وبعد دراسة اللجنة للاستفتاء أجابت بأنه بعد الاطلاع على الكتاب المذكور ، وجد أنه متضمن لما ذكر من تقرير مذهب المرجئة ونشره : من أنه لا كفر إلا كفر الجحود والتكذيب وإظهار هذا المذهب الرديء باسم السنة
“Setelah mempelajari dan menelaah kitab yang tertulis, Al-Lajnah mendapati kitab mengandung muatan penyebaran madzhab Murji’ah. Diantaranya adalah pernyataan “Tidak ada kekufuran kecuali kufur juhud dan takdzib. Lalu penulisnya menampakkan madzhab yang buruk ini dengan nama sunnah”.
Tiga bulan setelah fatwa ini, Syaikh Ali Al-Halabi mengakui kekeliruannya dalam permasahan iman dan menyesali perbuatannya yang telah menyebarkan pemikiran Murji’ah. Syaikh Ali berkata:
وإني بحمد الله وتوفيقه بريء من ذلك كله ، قله وجله ، موافق ما عليه علماء الإسلام، والأئمة الأعلام ، وما أكون قد أخطأت فيه أو التبس علي من أمره شيء في هذا الباب وغيره فإني راجع عنه ، آيب إلى الصواب من غير مكابرة ولا ارتياب
“Sungguh aku dengan memuji Allah dan berkat taufiq dari-Nya telah berlepas diri dari kitab tersebut, secara global dan terperici sebagaimana para ulama Islam yang mulia berada di atas keyakinan tersebut. Aku telah keliru dan telah tersamarkan permasalahan ini bagiku. Aku telah ruju’ pada kebenaran tanpa ada keraguan dan kesombongan.” [Majalah Al-Furqan edisi 101, Jumadil Ula 1419 H]
8. Pada tahun 1419 H, Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah menulis kitab berjudul “Dar’ul Fitnah ‘an Ahlissunnah” untuk meluruskan pemahaman menyimpang Murji’ah yang terlanjur tersebar di kalangan Ahlussunnah.
9. Pada bulan Syawwal tahun 1420 H, Al-Lajnah Ad-Da’imah mentahdzir kitab Syaikh Khalid Al-Anbari yang berjudul “Al-Hukmu bi Ghairi ma Anzalalallah wa
ReplyDeleteUshulut Takfir”
10. Pada awal tahun 1421 H, Syaikh Ali dan masyayikh Yordanian menulis kitab “Tanwirul Arja’ bi Tahqiq Masa’ilil Iman wal Kufr wal Irja’ ” sebagai bantahan terhadap Muhammad Syaqrah yang dahulu merekomendasikan kitab Shaihatun Nadzir.
11. Pada bulan Jumadil Ula tahun 1421 H, Syaikh Ali, Syaikh Husain Al-Awaisyah, Syaikh Salim Al-Hilali, Syaikh Musa Alu Nashr dan Syaikh Masyhur menulis kitab “Mujmal Masa’ilil Iman Al-Ilmiyyah fi Ushulil Aqidah As-Salafiyyah”
12. Pada awal bulan Jumadil Akhir tahun 1421, Syaikh Ali mengirimkan risalah “Al-Bayyinah” pada Mufti Saudi Asy-Syaikh Abdul Aziz Alus-Syaikh yang berisi keyakinan beliau tentang permasalahan iman.
13. Pada pertengahan bulan Jumadil Akhir tahun 1421 H, Al-Lajnah Ad-Da’imah mengeluarkan fatwa no. 21517 tanggal 14/6/1421 mentahdzir secara khusus kedua kitab Syaikh Ali yang berjudul “At-Tahdzir min Fitnatit Takfir” dan “Shaihatun Nadzir” beserta penjelasan tentang penyimpangan-penyimpangan beliau dalam permasalahan iman. Isi terjemah fatwa ini telah tersebar di internet, silahkan bagi yang ingin mengambil faidah.
14. Pada bulan Rajab masih tahun 1421 H, Syaikh Ali menulis kitab bantahan terhadap fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah yang berjudul “Al-Ajwibah Al-Mutala’imah ‘ala Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah”
Disusul oleh murid-murid Syaikh Ali Al-Halabi yang menulis secara “update” kitab-kitab yang membela gurunya dan menyebarkan pemahaman Murji’ah di kalangan pemuda salafiyyun. Allahulmusta’an.
Pengakuan Syaikh Ali tentang kekeliruan beliau tentang permasalahan iman pada point ke 7 dalam Majalah Al-Furqan, setelah keluarnya fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah yang dulu masih diketuai oleh Syaikh Ibnu Baz, akankah mengurangi sikap ta’ashub kita kepada Syaikh Ali selama ini??
Kenapa Syaikh Ali tidak mau mengindahkan nasehat para ulama kibar dan fatwa Al-Lajnah yang sekarang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz Alus-Syaikh untuk ruju’ dari kekeliruan-kekeliruan beliau yang lain? Apakah karena dulu Al-lajnah Ad-Da’imah diketuai oleh Syaikh Ibnu Baz sehingga beliau mau ruju’??
Apakah mereka yang menuduh Syaikh Ali menyebarkan pemikiran Murji’ah adalah gerobolan para muqallid yang asal tahdzir??
Syaikh Ali sendiri mengakui kekeliruan beliau dalam permasalahan iman, kenapa kita tidak mau dengan “gentle” mengakui kekeliruan kita, namun masih saja melakukan pembelaan terhadap kekeliruan beliau?
Assalamu'alaikum akhi,
ReplyDeleteSetahu ana syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin itu ikhwani (IM) koq ada semacamm rekomendasi membaca karyanya? Afwan kalau ana salah
Jazakumullah khairan atas masukan antum.
ReplyDeleteNasehat untuk diri saya pribadi dan juga antum,
1. Sibukkan diri kita dengan ilmu syar'i dan jangan terbawa arus fitnah. Ini adalah nasehat para ulama dari masa ke masa di zaman yang penuh fitnah.
2. Permasalahan fitnah yang menimpa para du'at dakwah salafiyyah di Indonesia, tidak semudah kita membalik telapak tangan. Kita yang tidak tahu duduk permasalahan yang sebenarnya, tidak perlu ikut campur dan berkomentar.
3. Kami telah mendengar nasehat langsung dari Syaikh Muhammad bin Hadi, Syaikh Abdullah Al-Mar'i dan Syaikh Muhammad Ghalib Al-Umari hafidzahumullah tentang permasalahan dakwah salafiyyah di Indonesia. Seluruhnya menasehatkan kita untuk bersatu dan meninggalkan perselisinan. Maka saya meminta antum untuk aktif memberikan nasehat pada ikhwah-ikhwah lain yang berupaya memecah-belah salafiyyin.
4. Alangkah baiknya jika celaan sebagian ikhwah berubah menjadi sebuah do'a, "semoga Allah melapangkan hati kita untuk bersatu di atas sunah dan menghilangkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Ingat akhi, tidak ada satu pun dari masyayikh yang menasehatkan salafiyyun di Indonesia untuk berpecah. Justru para masyayikh terus berupaya dalam mewujudkan ishlah diantara para du'at. Hendaknya kita menjadi orang pertama yang mengamalkan nasehat para ulama.
Ini hanyalah nasehat seorang muslim untuk saudara-saudaranya yang ia cintai. Tiada yang saya harapkan dari nasehat ini selain kebaikan. mudah-mudahan bermanfaat bagi diri saya pribadi dan ikhwah sekalian
waffaqaniyallahu waiyyakum
Sungguh ana sibukkan diri dengan ilmu, tapi asy syaikh Ahmad bin Yahya an Najmi rahimahullaah memvonis syaikh Abdullah bin Abdirrahman al Jibrin sebagai ikhwani, ini ana tanyakan langsung kepada 3 atau 2 orang ustadz, antara lain al ustadz Abu Ishaq Muslim dan al ustadz Abu Karimah Askary hafizhahumallaah,
ReplyDeleteIni bukti suara ustadz Askari dalam Sesi Tan Ja di "Daurah Napak Tilas Perjuangan Dakwah asy Saikh Muqbil bin Hadi al Wadi'i" :
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/muslimuny/dauroh/Daurah-Cileungsi-1-3-Oktober-2010/15-Ustadz-Asykari-penutup.mp3
atau
https://www.box.com/s/ai69kj6prt7yacm9x59y
Jazakallaahukhairaan nasihat antum, ini penyemangat ana menghilangkan kebodohan diri ana
Barakallahu fiik. Akhi, para ulama yang berijtihad memvonis Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah sebagai ikhwani bukan hanya Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullah. Bahkan Syaikh Rabi’, Syaikh Muqbil, Syaikh Ubaid Al-Jabiri, Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkhali rahimahumullah juga menyepakati ijtihad Syaikh Ahmad An-Najmi dalam permasalahan ini.
ReplyDeletePara ulama yang saya sebutkan di atas adalah para ulama kibar mujtahidin yang usia mereka telah lanjut. Jika sebagian ikhwah ingin tahu seberapa lanjut usia para masyayikh yang saya sebutkan di atas, silahkan antum melihat video Syaikh Shalih Al-Fauzan atau Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahumullah.
Perlu antum ketahui, saya belum menyebutkan nama para ulama yang thabaqahnya di bawah mereka yang juga menyepakati ijtihad Syaikh Ahmad An-Najmi seperti Syaikh Muhammad bin Hadi, Syaikh Abdullah Al-Bukhari, para ulama Yaman, dll
Adapun perkataan Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullah yang antum maksud, alhamdulillah saya telah memiliki rekaman suara beliau.
Kenapa sebagian ulama sampai memvonis Syaikh Abdullah Al-Jibrin sebagai ikhwani??
Diantaranya adalah sikap beliau yang keliru dan membela tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin. Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah berkata:
إنَّ سيد قطب وحسن البنا من علماء المسلمين (!!)، ومن أهل الدعوة، وقد نفع الله بهما وهدى بدعوتهما خلقـًا كثيرًا، ولهما جهود لا تنكر
“Sesungguhnya Sayyid Quthb dan Hasan Al-Banna termasuk dari ulama kaum muslimin dan da’i-da’i yang berdakwah. Sungguh Allah telah memberikan manfaat dan hidayah kepada banyak manusia melalui dakwah keduanya. Sayyid Quthb dan Hasan Al-Banna juga memiliki kesungguhan (dalam dakwah –pen-) yang tidak bisa diingkari”
ولَمَّا قتل كل منهما أطلق على كل واحد أنَّه شهيد (!)؛ لأنَّه قتل ظلمـًا، وشهد بذلك الخاص والعام، ونشر ذلك في الصحف والكتب بدون إنكار
“Tatkala keduanya terbunuh, manusia memberikan gelar pada Sayyid Quthb dan Hasan Al-Banna dengan sebutan "Syahid" karena ia terbunuh secara zalim. Para ulama (khash) dan orang-orang awam (‘aam) telah mempersaksikan hal tersebut dan menyebarkannya dalam lembaran-lembaran dan kitab-kitab tanpa adanya pengingkaran!!"[Perkataan ini ditulis oleh Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah pada 17/8/1416 H]
Tidak sampai di situ, bahkan Syaikh Abdullah Al-Jibrin juga memuji dan membela Yusuf Al-Qardhawi, Usamah bin Laden, Alawi Al-Maliki Al-Quburi dan Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Quburi. Tidak heran jika sebagian ulama memvonis beliau sebagai ikhwani. Beliau juga melarang penyebaran dan dicetaknya kitab Syaikh Ahmad An-Najmi yang berjudul Al-Maurid Al-Azb wa Az-Zalal yang berisi bantahan terhadap kesesatan Ikwanul Muslimin dan tokoh-tokohnya.
Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullah berkata: “Aku mendengar berita bahwa sebagian pemuda ikhwani di negeri ini membeli kitab-kitabku dalam jumlah besar lalu mereka membakarnya. Lalu apa bedanya mereka dengan seorang yang melarang penyebaran dan dicetaknya kitab-kitabku??” atau dengan redaksi yang semakna.
Sebenarnya saya tidak terlalu bersemangat membahas permasalahan ini. Namun karena sikap sebagian orang yang lancang terhadap para ulama, memberikan gelar-gelar yang tidak pantas dan berupaya menjatuhkan kedudukan mereka. Maka hal inilah yang mendorong saya untuk menuliskannya. Mudah-mudahan bermanfaat.
wabillahittaufiq
Ustadz,
ReplyDeleteBenarkah syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani memberi pengantar dan memuji kitab “Al-Hukmu bi Ghairi ma Anzalalallah wa
Ushulut Takfir” dan beliau –rahimahullah- tidak mencabut pujiannya terhadap kitab tersebut hingga beliau wafat? Jika benar demikian, apakah bisa dikatakan beliau berada di atas akidah murji’ah karena menyetujui kitab tersebut?
Benarkah kitab “Shaihatun Nadzir” sebelum penyebarannya telah dibaca oleh beberapa ulama seperti syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah-, syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dan syaikh Muhammad bin Umar Bazmul –hafizhahumallah-. Mungkinkah para ulama yang telah membaca kitab tersebut sengaja mendiamkan kesalahan syaikh Ali bin Hasan ketika itu ataukah ini berarti mereka “sepemahaman” dengan syaikh Ali Hasan?
Tahun 1421 H, seingat saya, para asatidzah masih menaruh hormat dan menjadikan syaikh Ali Hasan sebagai rujukan.
Kenapa para asatidzah tidak menyebarkan fatwa Lajnah pada waktu tersebut agar diketahui penyimpangan syaikh Ali bin Hasan?!! Padahal penyimpangannya dalam perkara yang besar yaitu aqidah!!!
Kenapa para asatidzah –perasaan saya- sedemikian gencar menyebarkan fatwa ini setelah syaikh Ali bin Hasan berselisih dengan syaikh Rabi’?!!
Ustadz, -semoga Allah menjaga Anda-
ReplyDeletePada komentar di atas -karena kebodohan saya- seakan dapat dipahami; jika syaikh Ali maka itu menjadi bermasalah, tapi tidak demikian halnya jika syaikh Rabi'.
Jika si "A" maka bermasalah, jika si "B" maka tidak mengapa.
Fenomena baru yang sedang hangat; Si "A" tidak mengapa menggunakan ijazah SMA/SMK untuk kuliah di Madinah. Namun... si "B" tidak boleh belajar di sekolah formal yang mengeluarkan ijazah.
Mengapa manhaj salaf menjadi membingungkan??? -terkhusus bagi saya yang awam namun sangat ingin bermanhaj salaf-
Pertanyaan antum “Ustadz,
ReplyDeleteBenarkah syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani memberi pengantar dan memuji kitab “Al-Hukmu bi Ghairi ma Anzalalallah wa
Ushulut Takfir” dan beliau –rahimahullah- tidak mencabut pujiannya terhadap kitab tersebut hingga beliau wafat? Jika benar demikian, apakah bisa dikatakan beliau berada di atas akidah murji’ah karena menyetujui kitab tersebut?“
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah jauh dari pemikiran Murji’ah, perkataan beliau sangat jelas dalam permasalahan ini.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:
إن الإيمان بدون عمل لا يفيد ؛ فالله –عز وجل- حينما يذكر الإيمان يذكره مقرونًا بالعمل الصالح ؛ لأننا لا نتصور إيمانًا بدون عمل صالح، إلا أن نتخيله خيالا
“Iman tidak akan bermanfaat tanpa amal. Ketika Allah ‘azza wajalla menyebutkan iman, Dia menyebutkan amal shalih setelahnya. Tidak tergambarkan bagi kita, adanya iman tanpa amal shalih, kecuali jika kita sedang berkhayal” [Radd ‘ala Al-Ghulat Al-Jafah fil Iman wal Imam]
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah juga berkata:
لكن إنسان يقول: لا إله إلا الله، محمد رسول الله؛ ويعيش دهره – مما شاء الله - ولا يعمل صالحًا !! ؛ فعدم عمله الصالح هو دليل أنه يقولها بلسانه، ولم يدخل الإيمان إلى قلبه
“Namun, ketika seorang mengatakan Lailahaillah Muhammad Rasulullah lalu ia seumur hidupnya –sesuai yang Allah kehendaki- tidak melakukan aml shalih !! Ketiadaan amal shalih merupakan dalil bahwa ia hanya mengucapkan syahadat dalam lisannya, sedangkan iman belum masuk dalam hatinya”[Syarh Al-Adab Al-Mufrad kaset keenam side A]
Seandainya Asy-Syaikh Ali Al-Halabi menyatakan dalam permasahalan iman sesuai perkataan gurunya (Asy-Syaikh Al-Albani) tentu masalahnya telah selesai. Namun, apakah Al-Halabi mau menyatakannya?
Asy-Syaikh Al-Albani tidak pernah menyutujui pemikiran Murji’ah. Perkataan beliau di atas apakah tidak cukup sebagai pengingkaran terhadap aqidah Murji’ah yang diyakini Al-Halabi?
Perselisihan penilaian ulama terhadap kitab atau tokoh tertentu itu wajar. Namun yang dilihat adalah hakikat permasalahan. Apakah antum meyakini iman tanpa amal itu sah-sah saja?
Asy-Syaikh Ibnu Baz pernah memuji Jama’ah Tabligh, Asy-Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi hingga sekarang belum mencabut tazkiyyahnya terhadap Jama’ah Tabligh di saat usia beliau yang telah senja. Bahkan Asy-Syaikh Abdullah Al-Jibrin rahimahullah hingga wafatnya tidak pernah mencabut tazkiyyahnya kepada tokoh ikhwani semacam Hasan Al-Banna, sebatas yang saya ketahui. Apakah hal itu cukup menjadi tolak ukur kebenaran terhadap tokoh-tokoh yang menyimpang?
Pertanyaan antum ” Benarkah kitab “Shaihatun Nadzir” sebelum penyebarannya telah dibaca oleh beberapa ulama seperti syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah-, syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dan syaikh Muhammad bin Umar Bazmul –hafizhahumallah-. Mungkinkah para ulama yang telah membaca kitab tersebut sengaja mendiamkan kesalahan syaikh Ali bin Hasan ketika itu ataukah ini berarti mereka “sepemahaman” dengan syaikh Ali Hasan?”. Ini adalah potongan dari perkataan Abul-Jauza berikut: “Di antara hal yang menarik saat membaca buku tersebut adalah apa yang tertera di bagian pembukaan/muqaddimah halaman 6 dimana disitu disebutkan siapa saja yang telah membaca/menelaah kitab tersebut sebelum disebarluaskan (diterbitkan) oleh Asy-Syaikh ‘Aliy hafidhahullah :
ReplyDelete“Sejumlah masyaikh kami dan saudara kami telah membaca/mentelaah kitabku ini sebelum penyebarannya. Yang pertama dari mereka adalah (1) Ustadz kami Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy, dan beliau mendoakanku – jazaahullaahu khairan – setelah membacanya : ‘semoga Allah menambahkan taufiq kepadamu’, (2) Ustadz kami Asy-Syaikh Muhammad Syaqrah, (3) Ustadz kami Asy-Syaikh Muhammad Ra’fat, (4) Al-Ustadz Asy-Syaikh Rabii’ bin Haadiy, (5) Al-Ustadz Muhammad ‘Umar Bazmuul, (6) Al-Akh Asy-Syaikh Masyhuur Hasan, (7) Al-Akh Asy-Syaikh Saliim Al-Hilaaliy, (8) Al-Akh Asy-Syaikh Muraad Syukriy, dan yang lainnya – baarakallaahu fiihim” [selesai]
Saya telah menjawabnya di kolom komentar artikel Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Syaikh Shalih As-Suhaimi dan Al-Lajnah Ad-Da’imah , saya kira tidak perlu menuliskannya kembali di sini.
Pertanyaan antum “Tahun 1421 H, seingat saya, para asatidzah masih menaruh hormat dan menjadikan syaikh Ali Hasan sebagai rujukan.
ReplyDeleteKenapa para asatidzah tidak menyebarkan fatwa Lajnah pada waktu tersebut agar diketahui penyimpangan syaikh Ali bin Hasan?!! Padahal penyimpangannya dalam perkara yang besar yaitu aqidah!!!
Kenapa para asatidzah –perasaan saya- sedemikian gencar menyebarkan fatwa ini setelah syaikh Ali bin Hasan berselisih dengan syaikh Rabi’?!!
Ini juga pengulangan perkataan Abul-Jauza di blognya bukan? Dari dulu Abul-Jauza memang berupaya mengaburkan permasalahan iman, seolah-olah kesalahan Al-Halabi bukanlah sebuah penyimpangan aqidah, namun semata-mata perselisihan biasa antara dia dan Asy-Syaikh Rabi’. Namun kenyataan yang terjadi mendustakan asumsi tersebut, para ulama selain Asy-Syaikh Rabi juga mengkritik pemikiran murji’ah Al-Halabi. Apakah Al-Halabi memiliki masalah dengan para ulama tersebut?
Secara global, seluruh ulama kibar di Saudi mengkritik pemikiran Al-Halabi dalam permasalahan iman. Sebagian ulama menyikapinya dengan keras dan berujung tahdzir, sebagian yang lain menyikapinya dengan lembut dan masih memberikan udzur. Diantara ulama kibar yang memberikan udzur adalah guru kami Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dan Asy-Syaikh Washiyullah Abbas hafizhahumallah. Yang perlu antum pahami, memberikan udzur bukan berarti menyetujui pemikiran menyimpang. Barangkali masyayikh yang masih membelanya masih mempertimbangkan jerih payah Al-Halabi dalam membela sunnah dan karya-karya tulisnya yang banyak memberikan manfaat bagi kaum muslimin.
Saya sarankan antum bertanya tentang pemikiran Murji’ah Al-Halabi kepada masyakikh Saudi yang biasa mengisi daurah asatidzah antum di Indonesia. Silahkan bertanya kepada Asy-Syaikh Abdurrazaq, Asy-Syaikh Sa’ad Asy-Syatsri, Asy-Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaily atau Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi. Kalo antum masih menganggap mereka memiliki sikap inshaf dalam menilai. Bahkan Al-Ustadz Firanda sendiri mengakui kesalahan Al-Halabi dalam permasalahan iman, setelah jelas bagaimana tegasnya sikap Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh dan Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi kepada Al-Halabi, apakah ini belum cukup? Sedikit info yang mungkin bisa menjadi pertimbangan antum, Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi telah mentabdi’ Ali Al-Halabi. Saya memiliki bukti perkataan beliau, atau teman-teman antum yang kuliah di Madinah silahkan mengkroscek sendiri kebenaran berita ini.
Pertanyaan antum “Ustadz, -semoga Allah menjaga Anda-
ReplyDeletePada komentar di atas -karena kebodohan saya- seakan dapat dipahami; jika syaikh Ali maka itu menjadi bermasalah, tapi tidak demikian halnya jika syaikh Rabi'.
Jika si "A" maka bermasalah, jika si "B" maka tidak mengapa.
Fenomena baru yang sedang hangat; Si "A" tidak mengapa menggunakan ijazah SMA/SMK untuk kuliah di Madinah. Namun... si "B" tidak boleh belajar di sekolah formal yang mengeluarkan ijazah.
Mengapa manhaj salaf menjadi membingungkan??? -terkhusus bagi saya yang awam namun sangat ingin bermanhaj salaf-“
Telah saya singgung dalam komentar sebelumnya, siapa pun yang memiliki pemikiran Murji’ah, wajib diluruskan, tidak Asy-Syaikh Ali Al-Halabi maupun Asy-Syaikh Rabi’. Jika memang Asy-Syaikh Rabi’ berpemikiran Murji’ah, silahkan antum bawakan buktinya di sini, mungkin saya bisa membantu meluruskannya. Masalah yang sebenarnya bukan demikian, justru Asy-Syaikh Ali yang memang bermasalah dengan aqidahnya. Kalo antum belum puas dengan penjelasan di blog ini, atau belum memungkinkan untuk bertanya langsung kepada masyayikh. Saya persilahkan untuk bertanya kepada Ustadz Firanda, apakah tuduhan Murji’ah kepada Asy-Syaikh Ali Al-Halabi benar adanya? Bagaimana sikap guru-guru Ustadz Firanda di Madinah terhadap pemikiran tersebut?
Siapa bilang mengenyam pendidikan di sekolah formah terlarang secara mutlak? Asy-Syaikh Rabi’ dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan bergelar Doktor, Asy-Syaikh Muhammad bin Umar Bazmuul dan Asy-Syaikh Washiyullah Abbas bergelar Profesor, bahkan Asy-Syaikh Arafat Al-Muhammadi yang berencana diundang daurah nasional di Jogja tahun ini baru lulus jenjang doktoral kemarin di Universitas Islam Madinah.
Mungkin mereka yang melarang sistem pendidikan berijazah beralasan bahwa kurikulum pendidikan berijazah formal di negeri kita memiliki banyak penyelisihan syariat. Antum pernah sekolah kan? Tahu sendiri lah. Kali ini saya sepakat dengan antum, manhaj salaf yang dipraktekkan sebagian asatidzah memang membingungkan. Di sana masih ada standar ganda, sifat mau menang sendiri, hanya mengikuti fatwa ulama yang sesuai kepentingan kelompoknya, dll.
Kalo antum ingin bermanhaj salaf dengan benar, ikutilah ulama rabbaniyyin yang menghabiskan umur mereka untuk mendakwahkan tauhid dan manhaj salaf. Jangan membebek kepada masyayikh shighar yang belum matang ilmunya, apalagi masyayikh yang menuai kritikan dalam aqidahnya. Nasehat saya, ikutilah aqidah dan manhaj Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh Rabi’, Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, Asy-Syaikh Washiyullah Abbas, Asy-Syaikh Abdul Aziiz Alu Asy-Syaikh, Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi Asy-Syaikh Shalih As Suhaimi, dan para ulama kibar yang lain, karena usia dan ilmu mereka telah matang serta memiliki aqidah salaf yang kokoh. berbeda dengan masyaikh shighar yang cenderung tergesa-gesa dan mengikuti hawa nafsu kepentingan pribadi. Apakah antum tidak mengambil pelajaran kenapa Asy-Syaikh Ali Al-Halabi dan Asy-Syaikh Salim Al-Hilali berpecah?
Saya tidak mengingkari adanya perselisihan ulama dalam menyikapi penyimpangan Asy-Syaikh Ali Hasan. Agar lebih jelas, saya akan merangkumnya dalam beberapa point berikut, sebatas apa yang saya ketahui dari fatwa dan pendapat para ulama di sini.
ReplyDelete[Pendapat Pertama] Sebagian ulama mentabdi' (memvonis ahlul-bid'ah) karena Asy-Syaikh Ali Hasan menyimpang dalam salah satu ushul ahlus-sunnah yaitu dalam permasaahan iman. Beliau telah dinasehati oleh banyak ulama untuk rujuk dari kekeliruannya, namun beliau malah membantah dan melemparkan berbagai tuduhan dusta kepada ulama yang menasehatinya. Diantara ulama berijtihad dengan pendapat ini adalah Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali, Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri, Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi, Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhari, dan lainnya
[Pendapat Kedua] Sebagian ulama mentahdzir, namun belum sampai mentabdi'. Hujjahnya hampir sama dengan pendapat pertama, hanya berselisih dalam masalah tabdi'. Diantara ulama yang berijtihad dengan pendapat ini adalah Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi, Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, dan lainnya
[Pendapat Ketiga] Sebagian ulama mengakui adanya penyimpangan Asy-Syaikh Ali Hasan dalam permasalahan iman, namun mereka masih memberikan udzur, tidak mentahdzir dan tetap menganjurkan untuk mengambil ilmu dari beliau. Alasan mereka, karena jerih payah beliau yang besar dalam berdakwah, baik dalam bentuk lisan, tulisan, tahqiq dan sebagainya. Beliau juga dikenal sebagai murid Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. Diantara ulama yang berijtihad dengan pendapat ini adalah guru kami Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, Asy-Syaikh Washiyullah Abbas, Asy-Syaikh Sa'ad bin Nashir Asy-Syatsri dan lainnya.
[Pendapat Keempat] Sebagian orang yang tidak mengakui penyimpangan Asy-Syaikh Ali Hasan dalam permasalahan iman. Pendapat ini jauh dari kebenaran, tidak perlu ditengok.
Sekarang antum mengetahui, siapa yang mentahdzir dan siapa yang menganjurkan untuk mengambil ilmu kepada Asy-Syaikh Ali Hasan. Saya pribadi meyakini pendapat ulama yang pertama karena beberapa alasan:
Pertama, karena kaidah jarh mufassar muqaddam 'ala ta'dil. Para ulama yang mentabdi' dan mentahdzir Asy-Syaikh Ali Hasan memiliki alasan yang kuat, bukan hanya sekedar prasangka atau tuduhan dusta. Penjelasan para ulama tersebut juga mufassar (terperinci). Tidak ada alasan bagi kita untuk menolak penjelasan mereka hanya dengan bantahan penuntut ilmu shighar yang notabene keilmuannya jauh dari ulama yang dibantah.
Kedua, para ulama yang mentahdzir dan mentabdi' Asy-Syaikh Ali Hasan lebih berilmu dan lebih senior. Mereka adalah jumhur ulama kibar salafiyyin yang jumlahnya tidak sedikit. Apakah kita akan meremehkan ijtihad mereka hanya karena mengikuti syaikh fulan dan ustadz fulan?
Ketiga, karena kaidah dar'ul mafasid muqaddam 'ala jalbil mashalih (menghindari kerusakan lebih didahulukan dari mengambil maslahat). Penyimpangan Asy-Syaikh Ali Hasan dalam permasalahan iman adalah suatu yang sangat jelas, tidak ada keraguan di dalamnya. Beliau bersama murid-muridnya terbukti gencar menyebarkan pemikirian bid'ah tersebut dalam bentuk tulisan, baik berupa kitab maupun artikel di internet yang menyesatkan. Di sisi lain, beliau juga dikenal dengan keilmuannya yang bermanfaat.
Menyesatkan aqidah kaum muslimin adalah kerusakan yang besar dan mengambil ilmu dari beliau yang mencocoki As-Sunnah adalah maslahat. Dalam kaidah disebutkan, menghindari kerusakan lebih didahulukan dari mengambil maslahat. Sehingga menjaga aqidah kaum muslimin dari penyimpangan aqidah tentu lebih didahulukan dari memperoleh maslahat ilmu yang diambil dari beliau, karena para ulama yang memiliki aqidah lurus masih banyak. Kita tidak membutuhkan orang-orang yang tidak memiliki adab semacam Asy-Syaikh Ali Hasan.
Ini sebatas apa yang saya ketahui berdasarkan apa yang saya baca dan telaah tentang masalah ini, jika ada kekeliruan silahkan diluruskan.
Allahua'lam, semoga bisa dipahami
Assalamu'alaykum Ustadz,..
ReplyDeleteSaya membaca sebuah status dari seseorang yang menyamakan Syaikh Rabee' hafizhahullaahu dengan Syaikh Ali Hasan hadahullaahu mengenai permasalahan iman sbb:..
===========
Syaikh Robii' berkata :
وأهل السنة يعتبرون العمل من الإيمان وفرع وكمال للإيمان ومن شجرة الإيمان
"Dan Ahlus Sunnah menganggap amal dari iman dan juga cabang serta penyempurna bagi iman dan termasuk dari pohon keimanan"
Syaikh Robii' juga berkata :
إن الإيمان أصل والعمل كمال أو تمام أو فرع أو فروع
"Sesungguhnya iman adalah asal/pokok dan amal adalah penyempurna atau cabang"
(http://www.rabee.net/show_book.aspx?pid=3&bid=200&gid)
Berikut bantahan Syaikh Sholeh Al-Fauzan terhadap perkataan Syaikh Robii' tersebut di (http://www.youtube.com/watch?v=RXMO7m2qgio). Lantas kenapa jika Ali Hasan ditinggalkan karena kesalahan dalam masalah iman, sedangkan Syaikh Robii' dijadikan patokan dan marja' dalam tahdzir-tahdziran??, kenapa Syaikh Robii' juga tidak ditahdzir??
===========
Bagaimana tanggapan Ustadz mengenai masalah ini?..
Syukron
Wa'laikumussalam warahmatullah,
DeleteBaca artikel Perbedaan Keyakinan Rabi’ Al-Madkhali dan Ali Hasan Al-Halabi dalam Permasalahan Iman (Memahami Istilah “Amal Merupakan Penyempurna Iman”)
Ucapan syaikh Rabee' terkait Iman:
Deletehttps://goo.gl/rfNpjU
Jazzakallaahu khaeer
Jazzakallaahu khaeer Ustadz,.. Alhamdulillah saya paham,...
ReplyDeleteAntum mengatakan dalam artikel tersebut:
"Dalam ilmu ushul fiqh disebutkan bahwa syarat dari suatu ibadah terletak di luar ibadah tersebut. Misalkan thaharah (bersuci) merupakan syarat sah shalat, jadi thaharah terletak di luar shalat. Apabila amal diistilahkan dengan syarat iman, maka amal berada di luar iman, ini merupakan keyakinan Murji’ah."
Jika membaca kaidah ushul tersebut dengan membawakan contoh thaharah sebagai syarat syahnya shalat (karena tanpa thaharah, shalat tidak akan sah), maka bukankan kaidah tersebut justru membantah pemahaman murji'ah itu sendiri tadz?, mengapa?.. Karena terdapat amal yang jika tidak dikerjakan membuat iman seseorang menjadi tidak sah karenanya (contoh yang antum sebutkan misalkan shalat -menurut sebagian pendapat..), artinya seseorang tidak dianggap beriman jika terapat amal yang secara nash -seandainya tidak dikerjakan membuatnya kafir- tidak diamalkan...
Mohon diluruskan ustadz jika saya salah memahami,..
Jazzakallaahu khaeer
Wajazakumullah khairan..
DeleteBisa juga ditafsirkan dengan pemahaman antum, namun sisi pandang sebagian ulama yang memaksudkan istilah "syarat keshahihan iman" adalah keyakinan Murji'ah adalah sebagaimana yang saya tuliskan, dimana syarat terletak di luar suatu ibadah. Jika amal merupakan syarat iman, berarti amal terletak di luar iman. Aqidah ini merupakan keyakinan Murji'ah ditinjau dari sisi ini. Kita melihat perkataan dan fatwa ulama ditinjau dari sudut pandang masing-masing, tidak ada pertentangan.
Namun memang mereka yang hobinya membuat kebingungan salafiyiin dengan memutar-balikkan istilah, mempertentangkan fatwa ulama, menuduh ulama kibar dengan tuduhan dusta, tidak memiliki adab terhadap ulama Al-Lajnah dan seterusnya.. Allahulmusta'an
Ustadz,.. apakah membagi iman terdiri dari pokok iman (ashlul iman) dan cabang (far'u) merupakan kaidah murji'ah?.. Seseorang menganggap syaikh Rabee' berpemahaman murji'ah karena membagi iman sebagaimana tersebut di atas,.. Jazzakallaahu khaeer
DeleteTanyakan pada orang itu,
DeleteRasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman memiliki tujuh puluh atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah perkataan Laa ilaha illallaah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu itu adalah salah satu cabang dari iman” [HR. Muslim no. 35]
Apakah Rasulullah Murji'ah karena menyatakan iman memiliki cabang?
Kalo Anda meyakini iman seluruhnya adalah ashl (pokok), maka Anda terjatuh pada keyakinan Khawarij dan Mu'tazilah. Mereka menganggap iman adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Iman tidak bisa berkurang menurut mereka. Saat seorang bermaksiat, maka iman mereka tidak berkurang, namun langsung hilang seluruhnya. Sebab, ashl tidak boleh menerima pengurangan.
Yang benar, iman memiliki ashl dan far'. Ketiadaan far' secara keseluruhan melazimkan ketiadaan ashl. Ashl dan far' memiliki keterkaitan. Mustahil seseorang memiliki ashlul iman tanpa memiliki far'. Ini letak perselisihan antara ahlus-sunnah dan Murji'ah. Sebab, Murji'ah berkeyakinan mungkin saja seorang memiliki ashl tanpa far'. Ashl iman menurut mereka hanyalah i'tiqad dan amal jawarih (anggota badan) seluruhnya adalah furu'. Asalkan seorang meyakini Allah sebagai Rabb dan membenarkan agama Islam, mereka teranggap muslim, meskipun tidak memiliki amal jawarih. Mereka memisahkan amal jawarih dari iman. Ini aqidah sesat Murji'ah.
Jazzakallaahu khaeer ustadzuna,.. afwan satu lagi,.. si fulan mengatakan bahwa far' yang dimaksud oleh asy-Syaikh Rabee' al-Madkhalee adalah seluruh amal jawarih dan fulan mengatakan bahwa hal tersebut terdapat di website beliau hafizhahullaahu, dan ucapan inilah yang didustakan oleh asy-Syaikh Shalih al-Fauzan (https://youtu.be/dCnUirgtSdg). Apakah syaikh Rabee' benar berpendapat demikian ustadz? atau fulan tersebut yang gagal paham terhadap ucapan syaikh Rabee'?.. Jazzakallaahu khaeer
DeleteKemudian fulan membawakan kalam beberapa masyaikh lain selain syaikh al-Fauzan, yakni syaikh 'Abdul 'Aziz 'alu Syaikh,... https://www.youtube.com/watch?v=UYv0AzFmPYQ
DeleteSaya telah mendengarkan sebagian perkataan masyayikh tentang tuduhan Murji'ah kepada Asy-Syaikh Rabi'. Kesimpulan saya, fatwa-fatwa tersebut memang sengaja dicari untuk menjatuhkan Asy-Syaikh Rabi.
ReplyDeleteDiantara contoh bentuk pertanyaan fatwa yang ditanyakan, penanya menyebutkan perkataan batil yang mengandung muatan aqidah Murji'ah. Setelah itu ia bertanya kepada masyayikh tentang kebatilan perkataan tersebut, dalam keadaan ia sendiri tahu betul bahwa perkataan itu batil. Setelah masyayikh mengeluarkan fatwa mentahdzir perkataan batil yang mengandung aqidah sesat Murji'ah tersebut, barulah si penanya berkata: "Ini adalah perkataan Rabi' Al-Madkhali". Si penanya menyandarkan keyakinan sesat tersebut kepada Asy-Syaikh Rabi', padahal Asy-Syaikh Rabi' berlepas diri dari keyakinan tersebut. Lalu bersumber dari kepercayaan masyayikh kepada penanya, keluarlah fatwa "Tinggalkan aqidah Murji'ah, meskipun yang menyatakannya Al-Madkhali atau selain Al-Madkhali..." dan seterusnya.
Setelah itu, si penanya mengupload video dengan judul "Asy-Syaikh Fulan Memurji'ahkan Rabi' Al-Madkhali..." atau judul yang semisal. Padahal seandainya si penanya bertanya dengan pertanyaan yang jujur dan jelas, misalkan bentuk pertanyaannya "Apakah Asy-Syaikh Rabi' Al-Madkhali Murji'ah?". Saya yakin 100 % tidak ada seorang ulama pun yang akan menyatakan beliau Murji'ah insya Allah. Namun demikianlah, orang-orang yang tidak suka kepada Asy-Syaikh Rabi' begitu banyak.
Mereka berusaha menjatuhkan beliau dengan berbagai cara, diantaranya mencari fatwa dengan metode seperti yang saya sebutkan di atas yaitu menyandarkan perkataan batil kepada Asy-Syaikh Rabi', lalu menyodorkan perkataan tersebut kepada masyayikh tanpa menyebutkan si pemilik perkataan di awal pertanyaan. Sekiranya mereka telah mendapatkan fatwa yang diharapkan, barulah mereka mengatakan "Pemilik perkataan tersebut adalah Rabi' Al-Madkhali". Mereka menyandarkan perkataan atau keyakinan kepada beliau secara dusta, ini adalah cara-cara hizbiyyin dalam membuat makar, wal'iyadzubillah.
Bagi mereka yang menyatakan Asy-Syaikh Rabi Murji'ah, saya tunggu mereka di Madinah. Silahkan mereka bertanya kepada ulama kibar di Arab Saudi, siapa pun ulama yang mereka inginkan. Kita buat pertanyaan yang jelas. Kita tanyakan kepada masyayikh secara langsung. Saya yakin para masyayikh kibar di Arab Saudi akan memberikan pembelaan kepada Asy-Syaikh Rabi' dari tuduhan Murji'ah insya Allah.
Hanya saja yang nampak bagi saya, dari awal niat mereka memang buruk. Kita berlindung kepada Allah dari metode-metode yang menyimpang seperti ini. Jika kalian ingin membantah kebatilan, tempuhlah metode salaf, pakailah cara-cara yang baik dan jujur. Hal itu lebih memberikan maslahat dan mendatangkan barakah. Apakah kalian ingin memberikan hidayah kepada manusia dengan berbuat makar dan cara-cara yang curang?
Jika kalian tidak setuju dengan ijtihad Asy-Syaikh Rabi' dalam masalah tabdi' dan tahdzir, hal itu tidak masalah. Namun bertakwalah kalian kepada Allah, agama ini tidak dibangun di atas makar dan perbuatan curang. Para ulama salaf dari masa ke masa telah membantah kebatilan dengan keadilan dan kejujuran. Semoga apa yang saya tuliskan ini bermanfaat bagi mereka yang membacanya...
Allahua'lam, wabillahittaufiq
Walhamdulillah,.. baarakallaahu feek ustadzuna atas penjelasannya,.. in sya Allah akan kami sampaikan kepada fulan,.. Jazzakallaahu khaeer
ReplyDelete