Kisah ini telah berlalu 58 tahun silam, namun mungkin kebanyakan dari kita belum mengetahuinya. Mudah-mudahan dapat menjadi 'ibrah bagi para pembaca sekalian. Apabila kesyirikan dan kemaksiatan dalam suatu wilayah telah merata, bisa jadi Allah akan
menyegerakan azab bagi penduduk wilayah tersebut secara menyeluruh.
Allah ta'ala berfirman:
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي
السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
“Apakah
kalian merasa aman terhadap Allah yang dilangit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan
bumi bersama kalian, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” [QS Al
Mulk 67: 16]
Dukuh
Legetang adalah sebuah wilayah di lembah pegunungan Dieng, berjarak sekitar 2 km ke utara
dari kompleks pariwisata Dieng Kabupaten Banjarnegara. Dahulunya masyarakat Dukuh Legetang adalah petani-petani yang sukses dan kaya. Berbagai
kesuksesan duniawi yang berasal dari sektor pertanian menghiasi Dukuh Legetang. Tatkala di wilayah lain, para petaninya mengalami gagal panen, justru mereka diberikan hasil panen yang melimpah.
Kualitas buah dan sayur yang dihasilkan juga lebih dari yang lain. Namun barangkali
ini merupakan bentuk “istidraaj”, dalam artian diberikan jangka waktu oleh Allah untuk bersenang-senang menikmati berbagai karunia Allah, lalu mereka makin tenggelam dalam kesyirikan dan dosa hingga datanglah azab yang dijanjikan dalam keadaan mereka tidak menyadarinya.
Masyarakat Dukuh Legetang kebanyakannya merupakan para pelaku maksiat dan tidak pandai bersyukur. Perjudian merajalela, anak yang berzina dengan ibunya dan beragam kemaksiatan lain yang sangat parah di dukuh tersebut. Begitu pula minum-minuman keras yang sangat cocok untuk wilayah dingin. Hampir tiap malam mereka mengadakan Pentas Lengger yaitu sebuah seni tari yang
dibawakan oleh para penari wanita yang bersolek. adapun di belakang layar pentas seni tersebut, biasanya berujung kepada perzinaan. wal'iyadzubillah.
Pada
suatu malam hujan turun dengan sangat lebat, namun masyarakat Legetang tetap tenggelam
dalam kemaksiatan. Tatkala malam itu, hujan sedikit reda. Tiba-tiba terdengar suara “buum”,
seperti suara benda yang teramat berat berjatuhan. Pada pagi harinya masyarakat
di sekitar Dukuh Legetang penasaran dengan suara yang amat keras tersebut. Mereka menyaksikan dengan mata kepala mereka bahwa Gunung Pengamun-amun telah terbelah (bahasa jawanya: tompal) dan belahannya itu menimpa Dukuh Legetang.
Dukuh
Legetang yang dahulunya berupa lembah, sekarang bukan hanya rata dengan tanah, namun telah berubah menjadi sebuah gundukan tanah baru yang menyerupai bukit. Seluruh penduduknya tewas.
Gegerlah kawasan Dieng… Seandainya gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka
longsoran itu seharusnya menimpa wilayah di bawahnya. Namun kejadian ini bukanlah sekedar longsornya gunung.
Antara Dukuh Legetang dan Gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai
sekarang masih ada. Kesimpulannya, potongan gunung itu terangkat dan jatuh
menimpa dukuh Legetang. Siapakah yang mampu mengangkat separuh gunung tersebut jikalau bukan
Allah tabaroka wata’ala?
Kini
diatas bukit bekas Dukuh Legetang dibuat tugu peringatan. Pada tugu tersebut tertulis dengan plat logam:
“TUGU
PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG SERTA 19 ORANG TAMU
DARI LAIN-LAIN DESA SEBAGAI AKIBAT LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN PADA TG.
16/17-4-1955″
Jika
Anda berada di wilayah Dieng hendak menuju ke arah Dukuh Legatang, maka Anda akan melewati
sebuah desa bernama Pakisan. Di sepanjang jalan itu, Anda mungkin akan heran karena melihat wanita-wanita di sana memakai jilbab panjang atau cadar.
Memang sejak dulu masyarakat Desa Pakisan dikenal sebagai masyarakat yang agamis, bertolak
belakang dengan masyarakat Dukuh Legetang yang merupakan tetangga desanya.
Ketika kajian triwulan Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jamaah Kabupaten
Banjarnegara bertempat di Pakisan, masyarakat Pakisan berduyun-duyun datang ke
masjid menghadiri kajian yang disampaikan oleh Ustadz Muhammad Umar As Sewed hafidzahullah. Ya, hampir
semua masyarakat Pakisan aktif mengikuti kajian.
Wallahu
a’lam bish shawab.
Keterangan
dari Saksi Mata
Al-Ustadz
Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafidzahullah berkata:
“Alhamdulillah,
akhirnya kesampaian juga keinginan ana utk mengunjungi Desa Ahlus Sunnah Dusun
Kepakisan dan melihat Desa yang musnah Dusun Lagetan.
Insya
Allah banyak cerita hikmah yang akan ana bagi. Diantaranya yang bisa ana
sampaikan saat ini bahwa musnahnya Dusun Lagetan yang dihuni oleh para pelaku
syirik dan maksiat adalah benar adanya.
Pak
Thoyib hafizhahullah [67 thn], sesepuh Ahlus Sunnah, ketika itu berumur
11 tahun menceritakan dengan detail peristiwa tersebut.
Diantara kisah yang beliau sampaikan, bahwa antara Dusun
Lagetan dan Gunung yang jatuh menimpa mereka terdapat sebuah lembah, namun
anehnya tanah dari longsornya gunung tersebut tidak ada yang jatuh di lembah.
Dan lebih
dahsyat lagi, di lembah itu ada sebuah batu besar yang DISEMBAH oleh penghuni
dusun. Batu tersebut terangkat ke atas dan menggelinding di Dusun Lagetan, lalu
menghancurkan semua yang ia lewati termasuk manusia.
Batu
besar tersebut berhenti di ujung dusun dan di belakangnya penuh mayat
bergelimpangan. Dan ternyata, kejadian seperti ini bukan hanya sekali. Nantikan
kisah selengkapnya, insya Allah ta’ala jika ada waktu luang akan ana
tulis lebih detail.
Alhamdulillah
ta’lim dihadiri ratusan Ikhwan dan Akhwat dari pegunungan Dieng dan sekitarnya.
Agenda besok insya Allah setelah ta’lim ba’da shubuh, ana akan diajak ke Telaga
Warna dan Agrowisata, setelah itu melihat desa yang musnah dan batu besar yang
membinasakan penghuninya.
Nantikan
juga insya Allah kisah “Amirul Mukminin” alias Kepala Desa ini rahimahullah dan
perannya yang sangat besar dalam membina masyarakatnya menjadi masyarakat
Islami tanpa harus merampas kekuasaan dan memberontak kepada penguasa di
atasnya.
Dengan
taufiq dari Allah ta’ala pada akhirnya beliau dipertemukan dengan Asatidzah
Salafiyyin sehingga tauhid dan sunnah, serta adab-adab islami semakin tersebar.
Insya Allah di desa ini kita tidak akan melihat wanita membuka aurat di luar
rumah.
Hikmah
besar yang bisa dipetik adalah pentingnya mendakwahi penguasa dan mendoakan
mereka, bukan malah didemo, disebarkan aib-aibnya, dilaknat atau didoakan
kejelekan, sebab -seperti kata Salaf- baiknya penguasa akan sangat berpengaruh
bagi rakyatnya.” [Jum’at, 10 Rabiul Awwal 1433 H]
Sumber :
http://sunniy.wordpress.com dengan sedikit perubahan
Sy, menceritakan lg kisah diatas kpd istri dan anak sy. Terima kasih banyak. jazaakumulloh khoiron
ReplyDelete