Dalam sebuah
riwayat hadits disebutkan, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada
seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia
berkata: “Wahai Rasulullah aku memiliki anak dan harta, namun ayahku ingin
mengambil hartaku”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أنت
ومالك لأبيك
“Engkau dan
hartamu adalah milik ayahmu” [HR. Ibnu Majah no. 2291, Ibnu Hibban, 2/142
dan Ahmad no. 6902]
Dalam
riwayat Ahmad disebutkan dengan lafadz :
أنت
ومالك لوالدك
"Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu"
Apakah
dipahami dari hadits tersebut bahwa seorang ayah boleh mengambil harta
anak-anaknya sekehendaknya tanpa meminta ijin kepada anak? Berapa kadar harta
yang boleh diambil?
Sebelum
menjawab pertanyaan di atas, perlu kita teliti apakah hadits tersebut shahih. Jika
memang shahih, apa penjelasan para ulama tentang hadits tersebut…
Hadits tersebut dihasankan atau dishahihkan oleh Al-Hakim, Abu Hatim, Abu Zur’ah[1], Al-Mundziri[2], Ibnu Hajar[3], Asy-Syaukani, Abdul Haq Al-Isybili[4] dan Al-Albani[5]
Para ulama
berselisih dalam memahami hadits tersebut, sebagian ulama memahami kebolehan
ayah mengambil harta anaknya adalah sebatas keperluannya saja, tidak boleh
lebih dari itu.
Imam Al-Munawi
rahimahullah berkata:
معناه إذا احتاج لماله أخذه لا أنه يباح له ماله
مطلقا إذ لم يقل به أحد
“Maknanya, apabila ia (ayah) membutuhkan harta anaknya, ia boleh mengambilnya. Namun bukan berarti ia boleh mengambil harta anaknya secara mutlak (seenaknya). Tidak ada seorang ulama pun yang menyatakan demikian” [Faidhul Qadiir, 5/13]
Imam Ibnu
Baththal rahimahullah berkata:
أَنْتَ وَمَالُك لِأَبِيك يُرِيدُ فِي الْبَرِّ
وَالطَّوَاعِيَةِ لَا فِي الْقَضَاءِ وَاللُّزُوم
“Makna
hadits ‘engkau dan hartamu adalah milik ayahmu’ adalah dalam hal berbuat baik
dan sekedar anjuran, bukan suatu keharusan atau keputusan pasti” [Syarh
Shahih Al-Bukhari, 3/544]
Imam An-Nawawi
rahimahullah berkata:
وقال الشافعي رضى الله عنه وأبو حنيفة ومالك: ليس
للوالد أن يأخذ من مال ولده الا بقدر حاجته، لحديث (ان دماءكم وأموالكم عليكم
حرام، الخ
“Asy-Syafi’i
radhiyallahu ‘anhu, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa ayah tidak boleh
mengambil harta anaknya kecuali hanya sebatas keperluannya, berdasarkan
hadits ‘sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram…” [Al-Mamjmu’ Syarh
Al-Muhadzab, 15/384]
Imam Al-Khathabi
rahimahullah berkata:
أنْت ومَالُك لأبيك . علَى مَعْنى أنه إذا احْتَاج
إلى مَالك أخَذَ مِنْك قَدْرَ الحاجَة وإذا لم يكُن لك مَالٌ وكان لك كَسْب لَزمَك
أن تَكْتَسب وتُنْفقَ عليه فأمَّا أن يكون أرادَ به إباحَة مَاله له حَتَّى يَجْتَاحَه
ويأتي عَليه إسْرَافاً وتَبْذيراً فَلا أعْلَم أحَداً ذهب إليه . واللّه أعلم
“Makna
hadits ‘engkau dan hartamu adalah milik ayahmu’ adalah apabila ia (ayah)
membutuhkan hartamu, ia boleh mengambil hartamu sesuai keperluan.
Apabila engkau tidak memiliki harta namun masih memiliki pekerjaan, engkau
wajib menafkahinya.
Adapun jika
ia (ayah) ingin menghalalkan hartamu hingga ia mengambil hartamu dengan berlebihan dan boros, maka aku
tidak mengetahui seorang ulama pun yang membolehkannya, Allahua’lam”
[An-Nihayah fi Gharibil Atsar, 1/834]
Syaikh Athiyyah
Muhammad Salim rahimahullah berkata:
وفي الحديث: ( أنت ومالك لأبيك ) ، لكن بشرط ألاَّ
يضر بالزوجة، ولا يضر بالولد، ولا بشريكٍ في المال، ولا أن يأخذ من مالِ ولدٍ يعطي
لولدٍ آخر؛ لأن ذلك يوغر الصدور
“Dalam
hadits disebutkan “engkau dan hartamu adalah milik ayahmu”, namun (kebolehan
ayah mengambil harta anaknya) harus memenuhi syarat: [1] tidak menyebabkan
mudharat kepada istri anaknya, [2] tidak menyebabkan mudharat pada sang anak,
[3] tidak pula menyebabkan mudharat kepada orang yang berserikat memiliki harta
tersebut, [4] tidak mengambil harta salah satu anaknya untuk diberikan kepada anaknya
yang lain, karena hal itu akan membuat kebencian dalam hati[6]” [Syarh
Bulughul Maram,3/139]
Syaikh Abdul Muhsin
Al-Abbad hafizhahullah berkata:
ويد الأب مبسوطة على مال ولده. إلا أنه مع ذلك يكون
اللائق به
“Tangan ayah
terbuka bagi harta anaknya, meskipun demikian (hendaklah ia mengambil harta
anaknya) dengan cara yang semestinya” [Syarh Sunan Abi Daud, 12/93]
Sebagian
ulama lain berpendapat bahwa hadits “engkau dan hartamu adalah milik ayahmu”
telah mansukh (dihapus hukumnya). Dalil yang menghapus hukum tersebut adalah
ayat warits yang terdapat dalam surat An-Nisa’. Dalam ayat tersebut, Allah ta’ala
menyebutkan beberapa kerabat yang berhak mendapatkan harta warisan dari mayit,
serta menentukan kadar warisannya masing-masing. Seandainya seluruh harta anak
adalah milik ayahnya, tentu ahli waris lain tidak berhak mendapatkan warisan saat sang anak meninggal.
Imam Ibnu Hazm
rahimahullah berkata:
وهذا
الخبر منسوخ لا شك فيه لأن الله عز وجل حكم بميراث الأبوين والزوج والزوجة والبنين
والبنات من مال الولد إذا مات
“Tidak
diragukan lagi bahwa hadits ini mansukh, karena Allah ‘azza wajalla telah
menentukan bagian warisan untuk dua orang tua, suami, istri, anak laki-laki dan
anak perempuan dari harta sang anak ketika ia mati.” [Al-Muhalla, 8/106]
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
«أنت ومالك لأبيك» ، فمراده أن لأبيك أن يتملك
من مالك، وليس معناه أنك ملك لأبيك، أو أن مالك ملك له، فإن هذا يمنعه الإجماع،
فالابن ليس ملكاً لأبيه، وإذا كان الابن ليس ملكاً لأبيه فماله ليس ملكاً له،
ولهذا قال الله تعالى: {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ} [النساء: 11] ، فجعل الميراث جارياً بين الآباء والأبناء،
ولو كان ملك الأبناء للآباء لم يكن هناك جريان للإرث
“Makna
hadits ‘engkau dan hartamu adalah milik
ayahmu’ adalah ayahmu memiliki hak atas hartamu, bukanlah yang dimaksud engkau
adalah milik ayahmu atau apa yang engkau miliki adalah milik ayahmu, karena hal
itu menyelisihi ijma’. Anak bukanlah milik ayahnya, oleh karena itu Allah ta’ala
berfirman:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ
“Allah
berwasiat kepada kalian tentang anak-anak kalian, bagian anak laki-laki dua
kali bagian anak perempuan” [QS. An-Nisaa’: 11]
Allah
menjadikan ayah dan anak memiliki hubungan saling mewarisi. Seandainya harta
anak adalah milik ayahnya, tentu di sana tidak ada hubungan saling mewarisi”
[Asy-Syarh Al-Mumti’, 8/457]
Allahua’lam,
semoga bermanfaat.
[1] Tuhfatul Ahwadzi, 4/493
[2] Umdatul Qari’, 20/100
[3] Al-Mathalib Al-‘Aliyah, 4/463 no. 1547 dan Fathul Bari, 5/211
[4] Al-Ahkam Al-Kubra, 2/170
[5] Irwa’ul Ghalil, 3/323 no. 838
[6] Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin menambahkan satu syarat yang belum
disebutkan oleh Asy-Syaikh Athiyyah Salim yaitu tidak mengambil harta yang
merupakan kebutuhan sang anak. Misalkan sang ayah tidak boleh mengambil motor
yang dibutuhkan anaknya atau uang yang digunakan untuk membeli kebutuhan
sehari-hari, dan semisalnya [Fatawa Islamiyyah, 4/108]
apakah ayah disini termasuk ayah mertua ?
ReplyDelete