Penulis
kitab Dhabtud Dhawabit fil Iman wa Nawaqidhihi pada hal. 65 berdalil
dengan hadits “lam ya’malu khairan qath” untuk menyimpulkan bahwa jinsul
a’maal jawarih hanya merupakan kamalul iman atau syarthul kamal atau
silahkan memberi penamaan dengan istilah-istilah lain.
Intinya, iman sah hanya dengan keyakinan hati dan ucapan lisan menurut mereka.
Intinya, iman sah hanya dengan keyakinan hati dan ucapan lisan menurut mereka.
Hadits
“lam ya’malu khairan qath” diriwayatkan dari Abu Sa’id Khudri radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
حَتَّى
إِذَا خَلَصَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ النَّارِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا
مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً لِلَّهِ فِي اسْتِقْصَاءِ الْحَقِّ
مِنْ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمْ الَّذِينَ فِي
النَّارِ يَقُولُونَ رَبَّنَا كَانُوا يَصُومُونَ مَعَنَا وَيُصَلُّونَ
وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَخْرِجُوا مَنْ عَرَفْتُمْ فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ
عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا قَدْ أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى
نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا مَا بَقِيَ
فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ
فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا
كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا
ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ
دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ
يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا أَحَدًا ثُمَّ
يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ
فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ
نَذَرْ فِيهَا خَيْرًا وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ يَقُولُ إِنْ لَمْ
تُصَدِّقُونِي بِهَذَا الْحَدِيثِ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ اللَّهَ لَا
يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ
لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا } فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتْ
الْمَلَائِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ
إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ
مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا
حُمَمًا فَيُلْقِيهِمْ فِي نَهَرٍ فِي أَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ نَهَرُ
الْحَيَاةِ فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ أَلَا
تَرَوْنَهَا تَكُونُ إِلَى الْحَجَرِ أَوْ إِلَى الشَّجَرِ مَا يَكُونُ إِلَى
الشَّمْسِ أُصَيْفِرُ وَأُخَيْضِرُ وَمَا يَكُونُ مِنْهَا إِلَى الظِّلِّ يَكُونُ
أَبْيَضَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّكَ كُنْتَ تَرْعَى بِالْبَادِيَةِ
قَالَ فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي رِقَابِهِمْ الْخَوَاتِمُ يَعْرِفُهُمْ
أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ اللَّهِ الَّذِينَ أَدْخَلَهُمْ اللَّهُ
الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُ ثُمَّ
يَقُولُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَمَا رَأَيْتُمُوهُ فَهُوَ لَكُمْ فَيَقُولُونَ
رَبَّنَا أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ
لَكُمْ عِنْدِي أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُونَ يَا رَبَّنَا أَيُّ شَيْءٍ
أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُ رِضَايَ فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ
أَبَدًا
Sehingga ketika orang-orang mukmin terbebas dari neraka, maka demi
Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian yang
begitu gigih memohon kepada Allah di dalam menuntut al-haq pada hari kiamat
untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka. Mereka berseru : ‘Wahai
Rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama kami, shalat bersama kami, dan
berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada mereka : “Keluarkanlah orang-orang
yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk mereka hitam kelam karena terpanggang
api neraka, kemudian mereka mengeluarkan begitu banyak orang yang telah dimakan
neraka sampai pada pertengahan betisnya dan sampai kedua lututnya. Kemudian
mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, tidak tersisa lagi seseorang pun yang telah
engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian,
maka barangsiapa yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dinar,
maka keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan jumlah yang begitu banyak,
kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak meninggalkan di dalamnya
seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman
: ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya
kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah dia’. Maka mereka pun
mengeluarkan jumlah yang banyak. Kemudian mereka berkata lagi : ‘Wahai Rabb
kami, kami tidak menyisakan di dalamnya seorang pun yang telah Engkau
perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka
siapa saja yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dzarrah,
keluarkanlah’. Maka merekapun kembali mengeluarkan jumlah yang begitu banyak.
Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya
kebaikan sama sekali”. Abu Sa'iid Al-Khudriy berkata : "Jika kalian
tidak mempercayai hadits ini silahkan kalian baca ayat :‘Sesungguhnya Allah
tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan
sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari
sisi-Nya pahala yang besar’ (QS. An-Nisaa’ : 40).
Allah lalu berfirman : ‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang
beriman telah memberi syafa’at. Sekarang yang belum memberikan syafa’at adalah
Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian
Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah
mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan,
dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. Allah kemudian melemparkan
mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut dengan sungai kehidupan.
Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji yang tumbuh di aliran
sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di bebatuan atau pepohonan
mengejar (sinar) matahari. Kemudian mereka (yang tumbuh layaknya biji) ada yang
berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang berada di bawah bayangan akan
berwarna putih". Para sahabat kemudian bertanya : "Seakan-akan
engkau sedang menggembala di daerah orang-orang badui ?”. Beliau melanjutkan
:"Mereka kemudian keluar seperti mutiara, sementara di lutut-lutut mereka
terdapat cincin yang bisa diketahui oleh penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang
Allah merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa amalan yang
pernah mereka amalkan dan kebaikan yang mereka lakukan. Allah kemudian
berfirman : ‘Masuklah kalian ke dalam surga. Apa yang kalian lihat maka itu
akan kalian miliki’. Mereka pun menjawab : ‘Wahai Rabb kami, sungguh Engkau
telah memberikan kepada kami sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada
seorang pun dari penduduk bumi’. Allah kemudian berfirman : ‘(Bahkan) apa yang
telah Kami siapkan untuk kalian lebih baik dari ini semua’. Mereka kembali
berkata : ‘Wahai Rabb, apa yang lebih baik dari ini semua!’. Allah menjawab :
"Ridla-Ku, selamanya Aku tidak akan pernah murka kepada kalian”[Diriwayatkan oleh
Muslim no. 183]
Syubhat
mereka dapat dijawab dari beberapa sisi:
[Pertama] Lafadz [لَمْ
يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ] tidak mesti menafikan seluruh amal jawarih secara mutlak. Hal
ini ditunjukkan dalam hadits-hadits lain, misalkan:
1.
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إن رجلا
لم يعمل خيرا قط وكان يداين الناس فيقول لرسوله : خذ ما يسر واترك ما عسر ، وتجاوز
لعل الله يتجاوز عنا . فلما هلك قال الله : هل عملت خيرا قط ؟ قال لا ، إلا أنه
كان لي غلام فكنت أداين الناس
“Sesungguhnya
ada seorang laki-laki yang belum pernah beramal kebaikan sedikitpun
selain memberi pinjaman hutang pada manusia. Ia mengatakan pada pekerjanya:
“ambillah jika orang yang ditagih memiliki kelapangan, biarkan dan
tinggalkanlah jika ia masih dalam kesempitan, mudah-mudahan Allah mengampuni
kita”. Setelah ia wafat, Allah berfirman padanya: “Apakah kau pernah beramal
kebaikan?”. Ia menjawab: “tidak pernah, selain aku memiliki anak dan
memberi pinjaman hutang pada manusia…”[HR. Al-Bukhari no. 3480 dan Muslim no.
2930]
Bukankah
memberi pinjaman hutang termasuk amal jawarih?? namun ia menyatakan belum
pernah beramal kebaikan sedikitpun.
2.
Hadits riwayat Al-Bukhari tentang kisah taubat pembunuh 100 jiwa. Di tengah
perjalanan menuju negeri yang baik untuk berhijrah, pembunuh tersebut mati,
lalu Malaikat Azab dan Malaikat Rahmat berdebat siapakah diantara mereka yang
lebih berhak membawa ruh tersebut. Malaikat Azab berkata :
إنه لم يعمل خيراً قط
بعد
“Ia
belum pernah beramal kebaikan sedikitpun setelah (bertaubat –pen-)”
Bukankah
hijrah fi sabilillah termasuk amal jawarih??
[Kedua] Lafadz [لَمْ
يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ] dalam lisan arab juga dapat diartikan “tidak beramal kebaikan
secara sempurna” atau masih terdapat kekurangan dalam amalnya.
Ibnu
Khuzaimah rahimahullah berkata:
هذه
اللفظة : ( لم يعملوا خيرا قط ) من الجنس الذي يقول العرب ، ينفي الاسم عن الشيء
لنقصه عن الكمال والتمام ، فمعنى هذه اللفظة على هذا الأصل : لم يعملوا خيرا قط
على التمام والكمال ، لا على ما أوجب عليه وأمر به ، وقد بينت هذا المعنى في مواضع
من كتبي
“Lafadz
“tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun” termasuk dalam perkataan yang sering
diungkapkan orang arab untuk menafikan penamaan sesuatu yang tidak sempurna. Maka
makna lafadz ini pada asalnya adalah “tidak pernah beramal kebaikan dengan
sempurna”. Tidak sesuai dengan apa yang diwajibkan dan diperintahkan
padanya. Aku telah menjelaskan makna ini dalam beberapa tempat dalam
kitab-kitabku.”[Kitab At-Tauhiid, 2/732]
Ibnu
Abdil Barr rahimahullah berkata:
أن قوله
في هذا الحديث : ( لم يعمل حسنة قط ) ، أو ( لم يعمل خيرا قط لم يعذبه ) إلا ما
عدا التوحيد من الحسنات والخير ، وهذا سائغ في لسان العرب جائز في لغتها ، أن يؤتى
بلفظ الكل والمراد البعض
“Perkataan nabi dalam hadits “tidak pernah beramal kebaikan
sedikitpun” atau “tidak pernah beramal kebaikan lalu ia tidak diazab” kecuali
tauhid. Ungkapan semisal ini diperbolehkan dalam lisan arab
dan bahasa mereka, ketika seorang menyatakan lafadz yang menafikan
keseluruhan namun yang dimaksudkan hanya menafikan sebagian.[At-Tamhiid,
18/40]
Abu
Ubaid Al-Qasim bin Sallam rahimahullah berkata:
كلام العرب المستفيض عندنا غير مستنكر في إزالة العمل عن عامله إذا عمله
على غير حقيقة، ألا ترى أنهم يقولون للصانع إذا كان ليس بمحكم لعمله: ما صنعت
شيئاً و لا عملت شيئاً، و إنما وقع معناه هاهنا على نفي التجويد لا على الصنعة
نفسها، فهو عامل عندهم بالاسم، و غير عامل بالإتقان
“Perkataan
orang-orang arab yang menafikan amal bagi para pekerjanya ketika mereka tidak
melaksanakan tugas dengan baik, tidaklah diingkari menurut kami.
Bukankah kau sering melihat mereka berkata pada seorang yang pekerjaanya tidak beres
“kamu belum melakukan apa-apa, kamu belum beramal (bekerja –pen-) sama sekali”.
Perkataan mereka hanya menafikan kesempurnaan, tidak menafikan pekerjaan yang
telah mereka lakukan. Mereka telah beramal di satu sisi, namun belum
menyempurnakan amalnya di sisi lain.”[Kitab Al-Iman hal. 41]
Dalilnya
adalah hadits Asma’ bin Yazid Al-Anshariyah radhiyallahu ‘anha,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berwasiat pada para
wanita:
لَعَلَّ
إِحْدَاكُنَّ تَطُولُ أَيْمَتُهَا مِنْ أَبَوَيْهَا، ثُمَّ يَرْزُقُهَا اللَّهُ
زَوْجًا، وَيَرْزُقُهَا مِنْهُ وَلَدًا، فَتَغْضَبُ الْغَضْبَةَ فَتَكْفُرُ
فَتَقُولُ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Mungkin
ada salah seorang diantara kalian yang telah lama menyendiri (melajang) bersama
orang tuanya, lalu Allah memberinya rizki berupa seorang suami dan memberinya anak dari suaminya itu.
Namun ketika ia marah kepada suaminya ia berbuat kufur dengan mengatakan: “Aku
tidak pernah melihat kebaikan darimu.”[HR. Al-Bukhori dalam Al-Adabul
Mufrod no. 1048, dan dishohihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 823]
[Ketiga]
Disebutkan dalam
riwayat Al-Bukhari,
حتى إذا فرغ الله من القضاء بين عباده، وأراد أن يخرج من النار من أراد
أن يخرج ممن كان يشهد أن لا إله إلا الله أمر الملائكة أن يخرجوهم؛ فيعرفونهم
بعلامة آثار السُّجُود
“Hingga ketika Allah membuat keputusan di antara
hamba-hambaNya dan ingin mengeluarkan seorang yang masih bersyahadat Lailaha
illallah dari neraka. Lalu Allah memerintahkan para malaikat untuk
mengeluarkan mereka, maka tanda-tanda mereka diketahui dari bekas sujud.”
Dari
riwayat ini, Rasulullah menjelaskan bahwa suatu kaum yang masih memiliki iman
dan syahadat tersebut adalah orang-orang yang mengerjakan shalat. Merekalah
yang akan dikeluarkan dari neraka. Bukan orang kafir, bukan pula orang-orang
yang tidak mau sujud kepada Allah di dunia. Lalu bagaimana dengan seorang yang
tidak shalat, tidak zakat, tidak puasa, tidak haji dan tidak pula memiliki amal
kebaikan sedikitpun??
[Keempat] Rasulullah menyebutkan hadits
dengan lafadz [فَيُخْرِجُ
مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّا] artinya “lalu dikeluarkan dari neraka suatu
kaum yang belum pernah beramal kebaikan sedikitpun”. Sehingga hadits ini
tidak berlaku umum, namun hanya berlaku bagi orang-orang tertentu yang Allah
kehendaki. Karena Rasulullah tidak menyatakan “lalu dikeluarkan dari neraka setiap
orang yang tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun”.
Dalam
kaidah ushul fiqh dinyatakan bahwa “waqi’atul ‘ain laa tufiidul ‘umuum”
artinya peristiwa/kejadian tertentu yang disebutkan dalam hadits tidak
memberikan hukum umum. Silahkan buka kitab-kitab ushul fiqh tentang
“ungkapan-ungkapan dalam syariat yang memberikan hukum umum”.
[Kelima] Pemahaman “iman sah hanya
dengan keyakinan hati dan ucapan lisan” berdalil dengan hadits tersebut
menyelisihi ijma’ para ulama yang dinukilkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
dalam Kitab Al-Iman. Nukilan ijma’ tersebut telah saya sebutkan dalam
artikel sebelumnya “Sahkah Iman Tanpa Amal” di sini
[Keenam]
Sebagian ulama
menganggap hadits “lam ya’malu khairan qath” termasuk hadits yang mutasyabih.
Bahkan sebagian kelompok sesat berdalil dengan hadits ini untuk berkesimpulan
bahwa orang kafir pun akan dikeluarkan dari neraka.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وتمسك به بعضهم في تجويز إخراج غير المؤمنين من النار ورد
بوجهين..
“Sebagian mereka berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bahwa selain orang-orang yang
beriman (orang kafir –pen-) pun akan dikeluarkan dari neraka. Perkataan mereka
dapat dibantah dari dua sisi…”[Fathul Bari, 13/438]
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
معنى قوله: ( لم يعملوا خيراً قط ) أنهم ما عملوا أعمالاً صالحة، لكن
الإيمان قد وقر في قلوبهم، فإما أن يكون هؤلاء قد ماتوا قبل التمكن من العمل؛ آمنوا ثم
ماتوا قبل أن يتمكنوا من العمل، وحينئذ يصدق عليهم أنهم لم يعملوا خيراً قط.
“Makna
sabda nabi “tidak pernah beramal sedikitpun” adalah meskipun mereka belum
pernah beramal shalih, namun iman dalam hati mereka telah kokoh. Kemungkinan
mereka mati sebelum sempat melakukan amal shalih, yakni mereka beriman lalu
mati sebelum sempat beramal. Dalam keadaan tersebut maka dibenarkan bahwa
mereka belum pernah beramal kebaikan sedikitpun”[Fatawa Al-Aqidah no. 123 cet. Darul
Minhaj]
Syaikh
Shalih Al-Fauzan hafidzahullah pernah ditanya,
هناك
بعض الأحاديث التي يستدل بها البعض على أن من ترك جميع الأعمال بالكلية فهو مؤمن
ناقص الإيمان .. كحديث ( لم يعملوا خيراً قط ) وحديث البطاقة وغيرها من الأحاديث ؛
فكيف الجواب على ذلك ؟
الجواب :
الجواب :
هذا من الاستدلال بالمتشابه ، هذه طريقة أهل الزيغ الذين قال الله سبحانه وتعالى عنهم : ( فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ) ، فيأخذون الأدلة المتشابهة ويتركون الأدلة المحكمة التي تفسرها وتبينها .. فلا بد من رد المتشابهة إلى المحكم، فيقال من ترك العمل لعذر شرعي ولم يتمكن منه حتى مات فهذا معذور ، وعليه تحمل هذه الأحاديث .. لأن هذا رجل نطق بالشهادتين معتقداً لهما مخلصاً لله عز وجل ، ثم مات في الحال أو لم يتمكن من العمل ، لكنه نطق بالشهادتين مع الإخلاص لله والتوحيد كما قال صلى الله عليه وسلم : ( من قال لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله فقد حرم دمه وماله ) .. وقال : ( فإن الله حرم على النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله ) ، هذا لم يتمكن من العمل مع انه نطق بالشهادتين واعتقد معناهما وأخلص لله عز وجل، لكنه لم يبق أمامه فرصة للعمل حتى مات فهذا هو الذي يدخل الجنة بالشهادتين ، وعليه يحمل حديث البطاقة وغيره مما جاء بمعناه ، والذين يُخرجون من النار وهم لم يعملوا خيراً قط لأنهم لم يتمكنوا من العمل مع أنهم نطقوا بالشهادتين ودخلوا في الإسلام، هذا هو الجمع بين الأحاديث.
Tanya :
“Terdapat beberapa hadits yang
dijadikan dalil oleh sebagian orang untuk menyatakan bahwa seorang yang
meninggalkan seluruh amal (jawarih) secara total maka ia adalah seorang mu’min
yang berkurang imannya. Misalkan hadits “lam
ya’malu khairan qath”, hadits bithaqah dan selainnya.
Bagaimanakah menjawabnya?”
Syaikh rahimahullah menjawab :
“Ini adalah
pendalilan dengan hadits mutasyabih yang merupakan cara pendalilan
orang-orang yang menyimpang sebagaimana Allah subhanahu
wata’ala telah menyatakan
tentang keadaan mereka,
فَأَمَّا
الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ
“Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka lebih
mengikuti apa-apa yang mutasyabih”.
Mereka mengambil
dalil-dalil yang mutasyabih lalu meninggalkan dalil-dalil muhkam yang menafsirkan dan menjelaskan
dalil-dalil mutasyabih tersebut.
Wajib bagi kita untuk mengembalikan dalil-dalil mutasyabih kepada yang muhkam.
Barangsiapa yang
meninggalkan seluruh amal jawarih disebabkan udzur syar’i yang menghalanginya
maka ia mendapatkan udzur (tidak dihukumi kafir –pen-)...karena ia tidak
memiliki kesempatan untuk beramal hingga ajal menjemputnya. Tipe orang seperti
inilah yang akan dimasukkan ke dalam surga hanya dengan modal syahadatnya. Dan
makna inilah yang terkandung dalam hadits bithaqah dan hadits-hadits lain yang serupa…”
[As’ilah wa Ajwibah fi
Masaa’il Al-Iman wal Kufr di www.alfawzan.af.org.sa]
Tidak
heran jika Al-Lajnah Ad-Daimah yang ketika itu diketuai oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah
pada akhir tahun 1419 H mencekal kitab “Dhabtud Dhawabith fil Iman wa
Nawaqidhihi” karya Syaikh Ahmad Az-Zahrani. Berikut teks fatwanya:
اللجنة الدائمة برئاسة سماحة
الشيخ ابن باز رحمه الله في آخره سنة(1419هـ) قائلة: (بيان وتحذير: الحمد لله رب
العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، وبعد : فقد اطلعت اللجنة
الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء على الكتاب الموسوم بـ: (ضبط الضوابط في الإيمان
ونواقضه) تأليف المدعو / أحمد بن صالح الزهراني فوجدته كتابا يدعو إلى مذهب
الإرجاء المذموم ؛ لأنه لا يعتبر الأعمال الظاهرة داخلة في حقيقة الإيمان ، وهذا خلاف
ما عليه أهل السنة والجماعة من أن الإيمان قول باللسان واعتقاد بالقلب وعمل
بالجوارح ، يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية. وعليه : فإن هذا الكتاب لا يجوز نشره
وترويجه ، ويجب على مؤلفه وناشره التوبة الى الله عز وجل. ونحذر المسلمين مما
احتواه هذا الكتاب من المذهب الباطل حماية لعقيدتهم واستبراء لدينهم ، كما نحذر من
اتباع زلات العلماء فضلا عن غيرهم من صغار الطلبة الذين لم يأخذوا العلم من أصوله
المعتمدة. وفق الله الجميع للعلم النافع والعمل الصالح. وصلى الله على نبينا محمد
وعلى آله وصحبه أجمعين
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والافتاء
عبد العزيز بن باز رحمه الله
عبد العزيز بن عبد الله بن محمد آل الشيخ
عبد الله بن عبد الرحمن الغديان
بكر بن عبد الله ابو زيد
صالح بنفوزان الفوزان
عبد العزيز بن باز رحمه الله
عبد العزيز بن عبد الله بن محمد آل الشيخ
عبد الله بن عبد الرحمن الغديان
بكر بن عبد الله ابو زيد
صالح بنفوزان الفوزان
Penjelasan
dan Tahdzir terhadap Kitab
Setelah
bertahmid dan bershalawat pada nabi, Al-Lajnah berkata :
“Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts wal ‘Ilmiyyah wal Ifta’
telah menelaah kitab berjudul “Dhabtud Dhawabith fil Iman wa Nawaqidhuhu”
yang ditulis oleh Ahmad bin Shalih Az Zahrani. Al-Lajnah mendapati kitab
tersebut menyeru kepada madzhab Murji’ah yang tercela. Karena penulisnya tidak
menganggap amalan dzahir (jawarih) termasuk dalam hakikat iman. Ini menyelisihi
(keyakinan) Ahlus-Sunnah wal Jama’ah bahwa iman adalah ucapan lisan, keyakinan
hati dan amalan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang
dengan maksiat.
Maka kitab ini tidak boleh disebarluaskan. Wajib bagi penulis dan orang yang menyebarkannya untuk bertaubat pada Allah. Kami memperingatkan kaum muslimin dari pemahaman-pemahaman batil yang terdapat dalam kitab ini. Hal itu demi menjaga aqidah dan agama mereka, sebagaimana Kami memperingatkan untuk tidak mengikuti ketergelinciran sebagian ulama dan sebagian penuntut ilmu yang tidak mengambil ilmu dari kitab-kitab ushul (pokok) yang pantas dijadikan sandaran.
Semoga Allah memberikan taufik kepada seluruh (kaum muslimin) untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, shalawat Allah tercurah pada nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan seluruh (kaum muslimin).”
Maka kitab ini tidak boleh disebarluaskan. Wajib bagi penulis dan orang yang menyebarkannya untuk bertaubat pada Allah. Kami memperingatkan kaum muslimin dari pemahaman-pemahaman batil yang terdapat dalam kitab ini. Hal itu demi menjaga aqidah dan agama mereka, sebagaimana Kami memperingatkan untuk tidak mengikuti ketergelinciran sebagian ulama dan sebagian penuntut ilmu yang tidak mengambil ilmu dari kitab-kitab ushul (pokok) yang pantas dijadikan sandaran.
Semoga Allah memberikan taufik kepada seluruh (kaum muslimin) untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, shalawat Allah tercurah pada nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan seluruh (kaum muslimin).”
[Al-Lajnah
Ad-Daimah beranggotakan Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Abdul Aziz Alus-Syaikh,
Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Syaikh Bakr Abu Zaid dan Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahumullah]
Allahua’lam
Ditulis
oleh Abul-Harits di Madinah, 4 Rabi’ul Awwal 1434 H
Bismillah
ReplyDeleteustad, memejamkan mata ketika shalat apakah mmbatalkan shalat? Syukron
Hukumnya makruh dan tidak membatalkan shalat, meskipun dengan memejamkan mata shalatnya lebih khusyu’. Allahua’lam
ReplyDeleteImam Al-Auza’i rahimahullah berkata:
ليس ذلك من هدي الصلاة
“Hal itu bukan termasuk petunjuk (nabi –pen-) dalam shalat”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Zaadul Ma’ad:
ولم يكن هديه صلى الله عليه وسلم تغميض عينيه في الصلاة
“Memejamkan mata ketika shalat bukan termasuk petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulah.
Antum tidak mengikuti para salaf dalam memahami hadits syafa'at tapi menyeret pada pemahaman antum sendiri, padahal para imam salaf telah memahami hadits syafa'at sesuai dzahirnya, yakni tidak tersisa kecuali ashlul imaan saja
ReplyDeletelihat penjelasan imam ibnul qayyim, al-hafidz ibnu katsir, mereka menjelaskan tidak seperti penjelasan antum
ReplyDelete