Afwan mungkin ada banyak pengulangan dari artikel sebelumnya, hanya ada sedikit tambahan keterangan yang perlu diperjelas.
Kesimpulan yang
saya pahami dari pembahasan Ustadz tentang ashlul
iman hingga saat ini :
1) Iman sah hanya dengan i’tiqad qalb dan iqrar lisan tanpa
amal jawarih (ini yang saya maksudkan dengan menjadikan amal sebagai syarthu
kamalil iman)
2) Amal jawarih tidak berkaitan dengan ashlul
iman, (diambil dari perkataan antum bahwa seorang tidak dikafirkan karena
meninggalkan amal jawarih hingga ia meninggalkan ashlul iman dalam hati) atau
ringkasnya seorang dikatakan telah tashdiq (memiliki ashlul iman)
walaupun ia meninggalkan seluruh amal jawarih
3) Memahami hadits “lam ya’mal khairan qath”
berlaku umum tanpa memandang apakah orang yang meninggalkan amal tersebut
memiliki udzur atau tidak.
Benarkah demikian yang antum pahami?
1) Jika iman seorang sah (dikatakan muslim)
tanpa amal jawarih berarti ia telah mengeluarkan amal dari iman. Ini menyelisih
ijma’ Ahlu Sunnah wal Jama’ah
قال سهل بن عبد الله التستري رحمه الله كما نقله شيخ الإسلام
في(الفتاوى: 7/171) مقراً له أنه سئل عن الإيمان ما هو ؟ فقال : "هو قول ونية
وعمل وسنة ؛ لأن الإيمان إذا كان قولاً بلا عمل فهو كفر ، وإذا كان قولاً وعملاً
بلا نية فهو نفاق ، وإذا كان قولاً وعملاً ونية بلا سنة فهو
بدعة".وانظر(الإبانة:2/814)
- Imam Sahl bin Abdillah At-Tasturi rahimahullah seperti dinukil Syaikhul Islam dalam Al-Fatawa 171/7 karena sependapat dengannya. Beliau ditanya tentang apa itu iman? Beliau menjawab : “Iman adalah ucapan, niat, amal dan sunah. Karena jika iman (seorang) hanya ucapan tanpa amal maka ia kafir, jika hanya ucapan dan amal tanpa niat maka itu adalah nifaq, jika hanya ucapan, amal dan niat tanpa sunah maka itu adalah bid’ah” [Al-Ibanah 814/2]
قال أبو طالب المكي رحمه الله كما نقله شيخ الإسلام (الفتاوى: 7/333)
:" ومن كان عقده الإيمان بالغيب ولا يعمل بأحكام الإيمان وشرائع الإسلام فهو
كافر كفراً لا يثبت معه توحيد ; ومن كان مؤمنا بالغيب مما أخبرت به الرسل عن الله
عاملاً بما أمر الله فهو مؤمن مسلم ...
فلا إيمان إلا بعمل ولا عمل إلا بعقد
- Imam Abu Thalib
Al-Makki rahimahullah seperti dinukil Syaikhul Islam rahimahullah
dalam Al-Fatawa 333/7 berkata : “barangsiapa yang beriman kepada yang
ghaib (beriman kepada Allah, malaikatNya dan hari akhir wallahua’lam) tanpa beramal
dengan ahkamul iman dan tanpa mengamalkan syariat-syariat Islam maka
ia kafir dengan kekafiran sebenar-benarnya. Tidak terdapat tauhid dalam hatinya.
Barangsiapa yang beriman kepada yang ghaib seperti yang rasul kabarkan dari
Allah dan beramal dengan apa yang Allah perintahkan maka ia mu’min muslim…tidak
sah iman tanpa amal, tidak pula sah amal tanpa i’tiqad”.
وقال الآجري رحمه الله في كتابه (الأربعين حديثاً:135-137) :"
اعلموا رحمنا الله وإياكم أن الذي عليه علماء المسلمين : أن الإيمان واجب على جميع
الخلق : وهو التصديق بالقلب ، وإقرار باللسان ، وعمل بالجوارح ...
ولا تجزئ معرفة بالقلب والنطق باللسان حتى يكون معه عمل بالجوارح
- Imam Al-Ajury rahimahullah juga berkata dalam kitabnya Al-Arba’in Haditsan 135-137 : “Ketahuilah semoga Allah merahmati kita, ulama Muslimin telah bersepakat bahwa iman yang wajib bagi seluruh hamba adalah tashdiq dalam hati, ikrar dengan lisan dan amal jawarih…maka tidak sah ma’rifah dengan hati, ucapan dengan lisan hingga ia beramal dengan jawarih (anggota badan) bersamaan dengan keduanya”.
وقال(الفتاوى:7/128) :"بل القرآن والسنة مملوءان بما يدل على أن
الرجل لا يثبت له حكم الإيمان إلا بالعمل مع التصديق
- Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata dalam Al-Fatawa 128/7 : “bahkan Al-Qur’an dan As-Sunah dipenuhi dengan ayat yang menunjukkan bahwa seorang tidak tsabit padanya hukum iman kecuali dengan amal yang dibarengi dengan tashdiq”.
وقال(الفتاوى:7/621 ) : ( وقد تبين أن الدين لابد فيه من قول وعمل ،
وأنه يمتنع أن يكون الرجل مؤمناً بالله ورسوله بقلبه أو بقلبه ولسانه ولم يؤد
واجباً ظاهراً ، ولا صلاة ولا زكاة ولا صياماً ولا غير ذلك من الواجبات
- Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata dalam Al-Fatawa 621/7 : “Telah jelas bahwa agama ini (iman) wajib terdapat padanya perkataan dan amal, tidak dikatakan seorang beriman kepada Allah dan rasul-Nya dengan hatinya dan lisannya tanpa ia menunaikan kewajiban yang dhahir, tidak shalat, tidak zakat, tidak puasa, dan tidak pula yang lain berupa amal yang wajib”.
2) Amal
jawarih merupakan kelaziman adanya ashlul iman dan keduanya memiliki kaitan
erat.
وقال(الفتاوى:7/611) :"ومن الممتنع أن يكون الرجل مؤمناً
إيماناً ثابتاً في قلبه ؛ بأن الله فرض عليه الصلاة والزكاة والصيام والحج ويعيش
دهره لا يسجد لله سجدة ولا يصوم من رمضان ولا يؤدي لله زكاة ولا يحج إلى بيته ،
فهذا ممتنع ، ولا يصدر هذا إلا مع نفاق في القلب وزندقته لا مع إيمان صحيح ، ولهذا
إنما يصف سبحانه بالامتناع عن السجود الكفار"
- Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata dalam Al-Fatawa 611/7 : “Seorang tidak dikatakan beriman dengan iman yang tsabit dalam hatinya jika Allah mewajibkan padanya shalat, zakat, puasa, haji lalu selama hidupnya ia belum pernah sujud kepada Allah sekali pun, tidak pula puasa ramadhan, tidak menunaikan zakat, tidak pula haji ke baitullah. Tidak mungkin dikatakan beriman, perbuatan ini hanyalah ada pada seorang yang terdapat nifaq dan zindiq dalam hatinya. Sifat ini tidak mungkin bersamaan dengan iman yang benar (dalam hatinya). Oleh karena itu, Allah subhanah hanyalah mensifati orang-orang yang tidak mau sujud dengan sebutan kafir”.
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله (الفتاوى:7/363). :"وقول
القائل : الطاعات ثمرات التصديق الباطن ، يراد به شيئان : يراد به أنها لوازم له ،
فمتى وجد الإيمان الباطن وجدت. وهذا مذهب السلف وأهل السنة
- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Al-Fatawa 363/7 : “ucapan seorang bahwa amalan ketaatan merupakan buah dari keimanan, maknanya ada 2 yaitu amal merupakan kelaziman dari tashdiq iman dalam hati, kapan terdapat iman dalam hatinya maka terpadat padanya amal. Ini adalah madzhab Salaf dan Ahlu Sunnah.”
وقال(الفتاوى:7/621 ) : ( وقد تبين أن الدين لابد فيه من قول وعمل ،
وأنه يمتنع أن يكون الرجل مؤمناً بالله ورسوله بقلبه أو بقلبه ولسانه ولم يؤد
واجباً ظاهراً ، ولا صلاة ولا زكاة ولا صياماً ولا غير ذلك من الواجبات
- Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata dalam Al-Fatawa 621/7 : “Telah jelas bahwa agama ini (iman) wajib terdapat padanya perkataan dan amal, tidak dikatakan seorang beriman kepada Allah dan rasul-Nya dengan hatinya dan lisannya tanpa ia menunaikan kewajiban yang dhahir, tidak shalat, tidak zakat, tidak puasa, dan tidak pula yang lain berupa amal yang wajib”.
قال سماحة الشيخ محمد بن إبراهيم آل الشيخ رحمه الله في(شرح كشف
الشبهات:126):" هذا إجماع أن الإنسان لابد أن يكون موحداً باعتقاده ولسانه
وعمله. (فإن عرف التوحيد ولم يعمل به فهو كافر معاند) إذا اعتقد ولا نطق ولا عمل
بالحق بأركانه فهذا كافر عند جميع الأمة"
- Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh rahimahullah berkata dalam Syarh Kasyfus Syubuhat hal. 126 : “Telah ijma’ (ulama) bahwa seorang wajib menjadi seorang yang bertauhid dengan i’tiqad, lisan dan amalnya. (Jika seorang mengetahui tauhid tanpa beramal maka ia seorang kafir penentang), jika ia beri’tiqad tanpa ucapan dan tanpa amal dengan badannya maka ia kafir menurut kesepakatan umat”.
3) Saya tidak
mengingkari makna hadits “lam ya’mal khairan qath” sesuai dzahirnya,
yaitu meyakini berita dari rasul bahwa kelak ada seorang yang dimasukkan ke
dalam surga tanpa amal sedikitpun yang ia kerjakan.. Namun, ini tidak berlaku
umum, karena kejadian tersebut hanyalah waqi’atul ‘ain sebagaimana
terdapat dalam qaidah ushul fiqh. Hadits tersebut hanya berlaku bagi orang-orang
yang memiliki udzur dan ia belum sempat melakukan amal hingga ajal
menjemputnya, misal seorang yang baru masuk islam (bersyahadat) lalu meninggal
tanpa sempat beramal sedikitpun selain tauhid yang tertanam di hati dan
lisannya.
وقال(الفتاوى:7/611) :"ومن الممتنع أن يكون الرجل مؤمناً
إيماناً ثابتاً في قلبه ؛ بأن الله فرض عليه الصلاة والزكاة والصيام والحج ويعيش
دهره لا يسجد لله سجدة ولا يصوم من رمضان ولا يؤدي لله زكاة ولا يحج إلى بيته ،
فهذا ممتنع ، ولا يصدر هذا إلا مع نفاق في القلب وزندقته لا مع إيمان صحيح ، ولهذا
إنما يصف سبحانه بالامتناع عن السجود الكفار"
- Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata dalam Al-Fatawa 611/7 : “Seorang tidak dikatakan beriman dengan iman yang tsabit dalam hatinya jika Allah mewajibkan padanya shalat, zakat, puasa, haji lalu selama hidupnya ia belum pernah sujud kepada Allah sekali pun, tidak pula puasa ramadhan, tidak menunaikan zakat, tidak pula haji ke baitullah. Tidak mungkin dikatakan beriman, perbuatan ini hanyalah ada pada seorang yang terdapat nifaq dan zindiq dalam hatinya. Sifat ini tidak mungkin bersamaan dengan iman yang benar (dalam hatinya). Oleh karena itu, Allah subhanah hanyalah mensifati orang-orang yang tidak mau sujud dengan sebutan kafir”.
Syaikhul Islam menyebutkan bahwa seorang
yang tidak mau sujud atau dengan kata lain belum pernah beramal sedikitpun
terdapat nifaq, zindiq dan kekafiran dalam dirinya. Sehingga hadits “lam
ya’mal khairan qath” lebih tepatnya dipahami bahwa orang tersebut belum
pernah beramal sedikitpun karena disertai udzur.
قال الآجري رحمه الله في كتاب الشريعة ( 1/275 ) : فالأعمال - رحمكم
الله تعالى - بالجوارح: تصديق عن الإيمان بالقلب واللسان ، فمن لم يصدق الإيمان
بعمله وبجوارحه : مثل الطهارة ، والصلاة ، والزكاة ، والصيام ، والحج ، والجهاد ،
وأشباه لهذه ، ورضي من نفسه بالمعرفة والقول ، لم يكن مؤمناً ، ولم ينفعه المعرفة
والقول ، وكان تركه للعمل تكذيباً منه لإيمانه
- Imam Al-Ajury rahimahullah berkata dalam Kitab Asy-Syari’ah 275/1 : “Amal jawarih merupakan tashdiq dari iman dalam hati dan lisan, barangsiapa yang tidak membenarkan iman (dalam hatinya) dengan amal jawarihnya seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, jihad dan yang semisal, lalu ia ridha terhadap dirinya hanya dengan ma’rifah dan ucapan maka belum dikatakan beriman. Tidak bermanfaat baginya ma’rifah dan ucapan (dalam hati dan lisan). Ketiadaan amal pada dirinya merupakan bukti bahwa ia mendustakan imannya.”
Jika seorang meninggalkan amal jawarih tanpa
udzur berarti ia telah ridha terhadap dirinya hanya dengan ma’rifah dan
ucapan lisan, ini merupakan bukti bahwa ia mendustakan imannya.
قال ابن القيم رحمه الله في(الفوائد:283): "الإيمان له ظاهر
وباطن ، وظاهره قول اللسان وعمل الجوارح وباطنه تصديق القلب وانقياده ومحبته ، فلا
ينفع ظاهر لا باطن له... ولا يجزىء باطن لا ظاهر له إلا إذا تعذّر بعجز أو إكراه وخوف
هلاك. فتخلف العمل ظاهراً مع عدم المانع دليل على فساد الباطن وخلوه من
الإيمان".
- Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata dalam Al-Fawaid hal. 283 : “Iman mencakup dhahir dan batin,
dhahirnya adalah perkataan lisan dan amal jawarih, sedangkan batinnya adalah
tashdiq dalam hati, kepatuhan dan cinta kepada-Nya. Tidak bermanfaat dhahir
tanpa batin…tidak sah batin tanpa dhahir kecuali jika ia memiliki
udzur dikarenakan lemah, terpaksa atau dalam kondisi ketakutan yang dapat
membinasakannya. Tidak adanya amal dhahir tanpa udzur merupakan dalil
rusaknya batin dan kosongnya hati dari iman.”
والمقصود
هنا أنه لم يثبت المدح إلا على إيمان معه العمل ، لا على إلى إيمان خال عن عمل
" . فهذا كلام شيخ الإسلام في الإيمان ، ومن نقل عنه غير ذلك فهو كاذب عليه .
وأما ما
جاء في الحديث أن قوما يدخلون الجنة لم يعملوا خيرا قط فليس هو عاما لكل من ترك
العمل وهو يقدر عليه . وإنما هو خاص بأولئك ؛ لعذر منعهم من العمل ، أو لغير ذلك
من المعاني التي تلائم النصوص المحكمة وما أجمع عليه السلف الصالح في هذا الباب .
هذا
واللجنة الدائمة إذ تبين ذلك فإنها تنهى وتحذر من الجدال في أصول العقيدة لما
يترتب على ذلك من المحاذير العظيمة ، وتوصي بالرجوع في ذلك إلى كتب السلف الصالح ،
وأئمة الدين المبنية على الكتاب والسنة ، وأقوال السلف ، وتحذر من الرجوع إلى
الكتب المخالفة لذلك ، وإلى الكتب الحديثة الصادرة عن أناس متعالمين لم يأخذوا
العلم عن أهله ومصادره الأصيلة . وقد اقتحموا القول في هذا الأصل العظيم من أصول
الاعتقاد وتبنوا مذهب المرجئة ، ونسبوه ظلما إلى أهل السنة والجماعة ولبسوا بذلك
على الناس ، وعززوه عدوانا بالنقل عن شيخ الإسلام ابن تيمية - رحمه الله تعالى-
وغيره من أئمة السلف بالنقول المبتورة ، وبمتشابه القول وعدم رده إلى المحكم من كلامهم
. وإننا ننصحهم أن يتقوا الله في أنفسهم وأن يثوبوا إلى رشدهم ولا يصدعوا الصف
بهذا المذهب الضال ، واللجنة أيضا تحذر المسلمين من الاغترار والوقوع في شراك
المخالفين لما عليه جماعة المسلمين أهل السنة
والجماعة . وفق الله الجميع للعلم النافع والعمل الصالح والفقه في الدين ، وصلى
الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين” .
اللجنة
الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو ...
عضو ... عضو ...
الرئيس
عبد الله
بن عبد الرحمن الغديان ... بكر بن
عبد الله أبو زيد ... صالح بن
فوزان الفوزان ... عبد
العزيز بن عبد الله بن محمد آل الشيخ
- Lajnah Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta yang diketuai oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz
Alu Syaikh dan Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh
Shalih Al-Fauzan rahimahumullah sebagai anggota telah berfatwa :
“Yang dimaksud disini adalah bahwa tidak
terdapat pujian (dalam syariat) kecuali jika disertai amal. Inilah perkataan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah tentang iman, barangsiapa
yang menukil selain itu dari Syaikhul Islam maka ia telah berdusta atas beliau.
Adapun yang terdapat dalam hadits Syafa’at bahwa
ada suatu kaum yang masuk surga “tanpa beramal sedikitpun”, tidaklah
hadits itu umum berlaku bagi tiap orang yang meninggalkan amal sedangkan ia
mampu melakukannya. Akan tetapi hadits itu khusus bagi mereka yang memiliki
udzur karena terhalang dalam beramal atau sebab yang semisal karena telah
jelasnya nash-nash yang muhkam dan ijma’ salafus shalih dalam bab
ini.
Ketika telah jelas bagimu perkara tersebut, maka
Lajnah Daimah melarang dan memperingatkan dari perdebatan dalam ushul aqidah
karena di dalamnya terdapat kerusakan yang besar.
Al-Lajnah mewasiatkan untuk kembali
kepada kitab-kitab salafus shalih dan ulama Islam yang dibangun di atas
Al-Qur’an, As-Sunah dan ucapan salaf, serta memperingatkan dari kitab-kitab
yang menyelisihi salaf dan kitab-kitab baru yang ditulis oleh sebagian orang
yang masih belajar. Mereka tidak mengambil ilmu dari para ulama dan sumber
aslinya.
Mereka telah merusak ushul i’tiqad yang agung ini dan membangunnya di
atas pemahaman Murji’ah lalu menyandarkan secara zhalim kepada Ahlus-Sunah wal
Jama’ah, serta menipu manusia
dengan hal tersebut. Mereka juga menyandarkan secara zalim nukilan-nukilan
mereka kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan para ulama salaf dengan nukilan
yang terpotong, mengambil perkataan yang mutasyabih dan tidak mengembalikannya kepada
perkataan yang muhkam.
Sungguh kami menasehatkan kepada mereka
untuk bertakwa kepada Allah dan kembali kepada kebenaran. Janganlah mereka
menjadi shaf terdepan dalam membela aqidah yang batil ini. Lajnah juga
memperingatkan kaum muslimin agar tidak tertipu dan membantu mereka dalam
menyebarkan aqidah yang menyelisihi jama’atul muslimin Ahlu Sunnah wal
Jama’ah. Semoga Allah
memberikan ilmu yang bermanfaat, amal shalih dan pemahaman yang benar dalam
agama dengan taufik dari-Nya. Shalawat dan salam tercurah pada nabi kita
Muhammad, keluarganya, sahabatnya dan kaum muslimin seluruhnya.”
السؤال
الثالث عشر للشيخ الراجحي :
هناك بعض
الأحاديث التي يستدل بها البعض على أن من ترك جميع الأعمال بالكلية فهو مؤمن ناقص
الإيمان كحديث (لم يعملوا خيرا قط)
وحديث البطاقة وغيرها من الأحاديث ؛ فكيف الجواب على ذلك ؟
فأجاب
الشيخ الراجحي حفظه الله :
ليس في
هذه الأحاديث حجة لهذا القائل فمن ترك جميع الأعمال بالكلية وزعم أنه يكتفي بما في
قلبه من التصديق كما سبق فإنه لا يتحقق إيمانه إلا بالعمل ، وأما أحاديث الشفاعة …؛ يخرج قوما من النار لم يعملوا خيرا قط ، قال
العلماء : المعنى (لم يعملوا خيرا قط) أي زيادة على التوحيد والإيمان ولا بد من
هذا ؛ لأن النصوص يُضم بعضها إلى بعض وقد دلت النصوص على أن الجنة حرامٌ على
المشركين
Pertanyaan ke 13 kepada Syaikh Ar-Rajihi hafidzahullah:
"Disana terdapat hadit-hadits yang digunakan dalil sebagian orang untuk menyatakan bahwa barangsiapa yang meninggalkan seluruh amal secara total maka ia adalah seorang mu’min yang kurang imannya (tidak kafir) seperti hadits (seorang yang masuk surga tanpa beramal sedikitpun), hadits bithaqah dan yang lain, bagaimana menjawabnya?"
Syaikh Ar-Rajihi hafidzahullah
menjawab : “Hadits-hadits ini bukanlah dalil bagi orang yang menyatakan
bahwa seorang yang meninggalkan seluruh amal secara total lalu
mencukupkan diri dengan tashdiq dalam hatinya sebagaimana penjelasan
yang telah lalu. Imannya belum terwujud kecuali dengan amal. Adapun
hadits syafa’at...disebutkan adanya suatu kaum yang dikeluarkan dari neraka
dalam keadaan mereka belum pernah beramal sedikitpun. Ulama menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan “belum pernah beramal sedikitpun” adalah tambahan dari
tauhid dan iman yang wajib atasnya. Karena nash-nash harus dikumpulkan
(dipahami) antara yang satu dan yang lain, dan telah jelas disebutkan dalam
nash bahwa surga diharamkan bagi kaum musyrikin”.
Ungkapan Syaikh Ar-Rajihi hafidzahullah
ketika menyatakan bahwa yang dimaksud dengan makna hadits “belum pernah beramal
sedikitpun” adalah tambahan dari tauhid dan iman yang wajib atasnya, tidak
bertentangan dengan ungkapan para ulama yang memahaminya secara dzahir.
Karena ashlul iman
dalam hati adalah iqrar dengan pembenaran (tashdiq), kecintaan,
ketundukan (inqiyad) sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam dalam Al-Fatawaa
7/644.
Kapan seorang dikatakan telah
iqrar dalam hati dengan pembenaran (tashdiq), kecintaan dan ketundukan (inqiyad)
atau dengan kata lain telah memiliki ashlul iman?
Jawabannya : hal itu terwujud
jika ia membuktikannya dengan amal jawarih
Saya tidak pernah
menyatakan Ibnu Rajab, Az-Zuhri adalah Murji’ah sebagaimana apa yang antum
pahami. Yang menjadi masalah, bukan ungkapan Imam Az-Zuhri, Ibnu Rajab, Ibnu
Abdil Barr maupun Syaikhul Islam rahimahumullah, namun pemahaman terhadap
nash ucapan para ulama. Saya pun mengakui bahwa ketika seorang kafir bersyahadat maka ia telah masuk ke
dalam Islam walaupun ia belum beramal, tidak ada yang diperselisihkan.
Namun apakah tetap
dikatakan muslim orang yang telah bersyahadat lalu tidak mau beramal
sedikitpun setelah ia bersyahadat hingga ia meninggal tanpa udzur dengan dalih
adanya ashlul iman dalam hatinya? Inilah fokus pembahasan artikel saya
dan makna ungkapan para ulama di atas.
Bantahan kitab
yang antum isyaratkan sudah saya download dan sebagian sudah saya baca. Justru
yang cenderung menta’wil fatwa itu mereka, misal dalam kitab Burhanul Bayan
penulisnya menta’wil fatwa Imam Asy-Syaukani hal. 296 dan fatwa Syaikh Bin Baz
hal. 313 yang jelas-jelas mengkafirkan orang yang meninggalkan seluruh amal
jawarih walaupun telah beri’tiqad dalam hati dan mengikrarkan dalam lisan.
Silakan antum cek kembali.
Saya tidak
menyatakan Syaikh Ali Hasan maupun antum sebagai Murji’ah, namun hanya
menyatakan sebagaimana fatawa Lajnah Daimah bahwa diantara kitab Syaikh Ali ada
yang menyeru kepada madzhab Irja’. Tidak pula bermaksud mendzalimi
antum, ingat akhi.. ini permasalahan ilmiyyah yang dibahas para ulama. Tidak
pula saya taqlid kepada Syaikh Rabi’, Syaikh Ubaid, dan para ulama yang
sependapat dengan mereka. Bukankah taklid adalah menerima ucapan seseorang
tanpa dalil, silahkan jika antum dan para pembaca menggelari asatidzah yang
mengikuti pendapat sebagian masyayikh Ahlu Sunnah dengan sebutan taklid dan
ghuluw. Apalagi menuduh sebagian Masyayikh Ahlu Sunnah bersepakat dalam
kebatilan dan menebar kedzaliman di kalangan para du’at.
Ditulis oleh Abul Harits di Madinah, 24 Jumadil Ula 1433
رحم الله امرء عرف قدر
نفسه
"Namun, apakah tetap dikatakan Muslim, orang yang telah bersyahadat lalu "tidak mau" beramal sedikitpun setelah ia bersyahadat, hingga ia meninggal tanpa udzur dengan dalih adanya ashlul iman dalam hatinya? Inilah fokus pembahasan artikel saya dan makna ungkapan para ulama di atas."
ReplyDeleteAkhi, apakah ada di lingkungan kita, orang-orang yang telah bersyahadat namun ia tidak mau beramal seumur hidupnya -meskipun sedikit-??
Akhi, adakah orang yang telah bersyahadat namun tidak terbersit keinginan untuk mengamalkan Islam?
Akhi, andaikan ada orang yang telah bersyahadat dari lahir namun ia tidak pernah berpuasa Ramadhan seumur hidupnya, hingga ia wafat, apakah tidak dimungkinkan ada udzur baginya, setidaknya ketidaktahuan bahwa amalan tersebut adalah wajib?
Semoga Allah meluaskan ilmu Antum.
Syaikh Ar-Rais hafidzahullah menjawab pertanyaan di atas dalam kitab Al-Ilmam Syarh Nawaqidh Al-Islam pembatal ke 10 yang maknanya, Para ulama membahas permasalahan tersebut sebagai bantahan kepada kaum Murji'ah dimana mereka (kaum Murji'ah) menyatakan bahwa Allah menjanjikan surga bagi siap saja yang telah bersyahadat dengan lisannya lagi membenarkan dengan hatinya, walaupun tidak beramal sama sekali...
ReplyDeletedengan kata lain, orang yang tidak mau beramal sama sekali pun masih dikatakan muslim (mendapatkan janji surga)menurut versi mereka (Murji'ah)..
Kenapa mereka sampai berpendapat demikian? Karena sebagian Murji'ah menganggap amal hanya penyempurna dalam iman...sementara Ahlu Sunnah wal Jama'ah sejak zaman salaf hingga kini telah berijma' bahwa amal termasuk dari iman, dan tidak sah iman seseorang tanpa amal...
antum bisa melihat ungkapan ijma' para ulama bahwa tidak sah iman seseorang tanpa amal dalam artikel di atas..Allahua'lam
Sepertinya, jawaban tidak tepat sasaran... Pembahasan ini memang membantah Murji'ah, tetapi ada benang merah yang tipis dimana seseorang bisa batal imannya, padahal ia telah bersyahadat dan membenarkan syahadatnya.
ReplyDeleteBegini Akhi, tidakkah seseorang yang telah membenarkan syahadat dalam hatinya, maka ia pun telah beramal -meski amalan hati-?
Yang kedua Akhi, adakah seseorang membenarkan syahadat dalam hatinya, lantas tidak terbetik untuk mengamalkan Islam? (mengulang rangkaian pertanyaan saya di atas yang belum terjawab. Kalo sempet dijawab ya...)
Ketiga akhi, andaikan ada orang yang seperti itu, berarti konsep syahadatnya ada yang salah. Akhi, apa tidak mungkin baginya ada udzur, seperti kebodohan, karena meyakini konsep yang salah?
Yang keempat, benar bahwa ASWJ ijma' tentang definisi Iman tersebut, tetapi apakah seseorang yang tidak mengerjakan amalan wajib secara lahiriah menjadikan ia tidak beriman?
Semoga Allah melapangkan dada Antum, ya akhi Abal Harits.
Pertanyaan antum : "tidakkah seseorang yang telah membenarkan syahadat dalam hatinya, maka ia pun telah beramal -meski amalan hati-?"
ReplyDeleteorang yang telah membenarkan syahadat dalam hatinya, tentu ia telah beramal dengan amalan hati.
namun, darimana antum tahu bahwa ia telah membenarkan syahadat dalam hatinya ? jawabannya : jika ia beramal dengan anggota badannya seperti solat, zakat, puasa ramadhan, dll sebagai wujud dari amalan hati. karena kita tidak tahu isi hati seseorang.
Bukankah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda yang maknanya "jika hati itu baik, maka baiklah (amalan) anggota badannya. dan jika hati itu rusak maka rusaklah (amalan) anggota badannya"
Rusaknya hati itu tergantung dari rusaknya amal. semakin seorang meninggalkan kewajiban syariat dan melakukan kemaksiatan maka semakin rusak pula hatinya.
Jika ada seorang yang tidak mau beramal dengan amal jawarih sedikitpun tanpa udzur, menandakan bahwa tidak ada iman dalam hatinya. sedangkan hati yang mati, hanyalah dimiliki oleh orang-orang yang kafir.
Setau saya, para ulama mendefinisikan iman dengan qaulun dan amal, amal disini mencakup amalan hati dan amal anggota badan (jawarih)...bukan hanya mencukupkan dengan amal hati.
Pertanyaan antum kedua : "adakah seseorang membenarkan syahadat dalam hatinya, lantas tidak terbetik untuk mengamalkan Islam?"
ReplyDeleteseseorang yang MEMBENARKAN syahadat dalam hatinya, tentu terbetik untuk mengamalkan Islam.
Dan ungkapan seorang yang MEMBENARKAN syahadat, berbeda dengan ungkapan "hanya bersyahadat".
Orang yang MEMBENARKAN syahadat dalam hatinya, berarti telah terpenuhi padanya seluruh syarat-syarat لاإله إلا الله (ilmu, yaqin, ikhlas, shidq, mahabbah, inqiyad, qabul). Konsekuensinya ia pun akan mengamalkan syariat yang Allah bebankan kepadanya
sementara orang yang hanya bersyahadat, belum tentu ia telah memenuhi syarat-syaratnya.
Bukankah orang-orang munafiq bersyahadat secara dzahir, bahkan mengamalkan sebagian syariat Islam di masa rasulullah shallallahu 'alaihi wasalam. Namun mengapa mereka tidak disebut muslim?
Pertanyaan ketiga : "andaikan ada orang yang telah bersyahadat dari lahir namun ia tidak pernah berpuasa Ramadhan seumur hidupnya, hingga ia wafat, apakah tidak dimungkinkan ada udzur baginya, setidaknya ketidaktahuan bahwa amalan tersebut adalah wajib?"
ReplyDeleteJika ia memiliki udzur, seperti kebodohan, maka ditegakkan padanya hujah.
jika belum tegak hujah padanya, mudah-mudahan Allah memaafkannya...
Pertanyaan keempat : "apakah seseorang yang tidak mengerjakan amalan wajib secara lahiriah menjadikan ia tidak beriman"
ReplyDeleteJika ia meninggalkan SELURUH amalan wajib TANPA UDZUR, tidak beramal dengan amalan anggota badan sedikitpun maka iman dalam hatinya patut dipertanyakan.
karena ulama telah ijma' bahwa iman tidak sah hanya dengan keyakinan hati dan ucapan lisan.
Jika seorang meninggalkan sebagian amalan wajib dan masih mengerjakan amalan wajib yang lain. maka ia masih dikatakan muslim insyaaAlloh. karena dalam dirinya masih terdapat amal. Allahua'lam