Pertanyaan:
Apa hukum
bermadzhab? Apakah bermadzhab termasuk perbuatan tercela? Apa hukum
menyandarkan diri kepada madzhab tertentu seperti Al-Hambali, Asy-Syafi’i dan
Al-Maliki?
Asy-Syaikh
Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:
“Permasalahan
ini memiliki tiga perincian:
Pertama, seorang yang memiliki
kemampuan ilmiyyah dan keahlian ijtihad, artinya syarat-syarat berijtihad telah
ada pada dirinya, maka ia tidak boleh bermadzhab, bahkan ia wajib melihat
dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, lalu mengambil apa yang nampak
kebenarannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak ada seorang pun yang mencapai
tingkatan ini selain para imam besar seperti imam yang empat dan ulama yang
telah sampai derajat mujtahid, ia tidak diperkenankan taklid. Sebab ia tidak
membutuhkan taklid, ia diperintahkan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka
memang mampu untuk hal itu. Ia tidak boleh taklid (mengikuti pendapat seseorang
tanpa mengetahui dalilnya)
Kedua, penuntut ilmu yang
keilmuannya telah mapan, ia belum sampai pada derajat mujtahid. Ia boleh
menyandarkan dirinya kepada salah satu dari madzhab yang empat seperti
Al-Hambali, Al-Hanafi, Asy-Syafi’i atau Al-Maliki. Namun ia mengambil pendapat
yang lebih kuat (rajih) dengan dalilnya dari pendapat imam (madzhabnya) atau
imam (madzhab) lain, maupun pendapat para ulama yang lebih kuat menurut pandangannya
ditinjau dari dalil yang dipakai
Ketiga, penuntut ilmu pemula
dan orang awam, mereka boleh mengikuti salah satu dari madzhab yang empat dan
bertanya kepada ulama. Allah ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah
kepada ulama jika kalian tidak mengetahui” [QS. An-Nahl: 43]
Hendaklah ia
bertanya kepada ulama yang tsiqah menurutnya dari sisi ilmu dan agama, ia
mengambil apa yang difatwakan ulama tersebut. Ia wajib taklid, seandainya ia
tidak taklid tentu ia akan celaka.
Manusia
dalam kondisi ini memiliki tiga tingkatan:
Pertama, mujtahid mutlak, ia
tidak boleh taklid
Kedua, mujtahid madzhab, ia
boleh taklid namun tidak taklid tanpa mengetahui dalilnya, ia harus men-tarjih
(memilih pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil)
Ketiga, seorang yang tidak memiliki
kemampuan (berijtihad), ia belum mencapai tingkat pertama maupun kedua, ia
bukan mujtahid mutlak, bukan pula mujtahid madzhab, ia wajib taklid kepada
ulama seperti imam madzhab yang empat dan bertanya kepada ulama yang tsiqah
menurutnya dari sisi agama dan ilmu. Ia bertanya kepada ulama dan mengambil apa
yang difatwakan ulama tersebut. [As’ilah Syarh Zaadul Mustaqni’, Kitab
Ath-Thaharah]
Sumber: Al-Ijabat
Al-Muhimmat fil Masyakil Al-Mulimmah, 2/82-83
Bismillah
ReplyDelete'Afwan ustadz.. Jdi bagi penuntut ilmu pemula dan awam trmsuk golongan ketiga. Dikatakan golongan ketiga ini wajib bertaqlid..dgn kata lain wajib bermadzhab.. Jdi hrus memilih salah satu di antara 4 madzhab yg ada dan tdk boleh keluar dari pendapat madzhab yg sdh dia pilih utk diikuti? Seperti itukah ustadz? Pdhl biasanya klo kita mngikuti kajian2, jarang skali dijelaskan bhwa ini pendapat madzhab A atau B. Biasanya hnya dijelaskan ini pndapat yg dipilih oleh ulama A atau B. Jdi sbenarnya bgmn konsep wajib bertaqlid ini? Kpd siapa kita hrus bertaqlid? Bagaimana kondisinya klo kita awam tapi masih bisa sedikit melihat dalil, apakah masih wajib bertaqlid?
Mohon penjelasannya ustadz
Jazaakumullohu khoyra
Dikatakan penuntut ilmu pemula karena ia belum memiliki sarana untuk mentarjih pendapat ulama. Apabila ia sudah mampu mentarjih dengan melihat dalil, melihat kaidah ushul fiqh yang dipakai, menguasai ilmu-ilmu alat yang digunakan untuk mentarjih, maka ia masuk dalam penuntut ilmu yang telah mapan (mutamakkin).
ReplyDeleteAdapun penuntut ilmu pemula, jika ia tidak bermadzhab, maka ia bisa bertanya kepada ulama atau ustadz yang dianggap tsiqah dari sisi ilmu dan agamanya. Jawaban dari ulama atau ustadz tersebut wajib diamalkan, lebih baik lagi jika ia mengetahui dalil yang dipakai oleh ulama atau ustadz tersebut. Kenapa harus bertanya? karena ia sendiri belum memiliki kemampuan untuk mentarjih pendapat ulama yang diperselisihkan.
Taklid di sini artinya mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara rinci. Di zaman ini, tidak ada yang terlepas dari taklid, meskipun ia ulama besar. Misalkan dalam masalah hadits, terkdang Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin menukilkan sebuah hadits kemudian berkata: "hadits ini dishahihkan oleh Al-Hafizh fulan atau imam fulan, hadits ini didha'ifkan oleh imam fulan". Bukankah ini juga bentuk taklid dalam penilaian hadits? Namun hal ini tidak menjadi masalah, karena sangat sedikit ulama yang menguasai seluruh cabang ilmu. Jika demikian keadaan ulama sekaliber Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, lalu bagaimana dengan kita?
Sebagai faidah, guru kami Asy-Syaikh Dr. Abdullah Al-Bukhari hafizhahullah berkata: "Asy-Syaikh Al-Albani pernah ditanya tentang permasalahan fara'idh (ilmu waris), lalu beliau menjawab: "ini adalah ilmu yang tidak aku kuasai".
Jadi kesimpulannya, kewajiban seorang penuntut ilmu pemula dan orang awam adalah bertanya kepada seorang yang berilmu, apabila ulama atau ustadz yang ditanya menjawab dengan dalil, maka hal itu lebih baik. Jika tidak disertakan dalil dalam jawaban, ia tetap harus mengamalkan jawaban ulama atau ustadz tersebut, ini pun termasuk dalam taklid, namun bukan taklid yang tercela karena kita telah mengamalkan firman Allah "Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui".
Jika ia tidak bertaklid kepada ulama empat madzhab atau ulama besar di masa ini dalam beragama, bagaimana ia akan beribadah kepada Allah? Sementara rincian permasalahan aqidah maupun fiqh begitu banyak dan rumit. Banyak terjadi perselisihan pendapat diantara ulama, masing-masing ulama membawakan dalil yang sangat kuat. Apabila ia dapat melihat dalil dan menimbangnya, maka ikuti pendapat yang lebih kuat, namun apabila ia tidak bisa menimbang pendapat ulama, ia memilih pendapat ulama yang lebih berilmu dan lebih bertakwa. Dalam hal ini pendapat ulama salaf (empat madzhab) lebih didahulukan dari ulama mu'ashirin (masa ini). Allahua'lam
Jazaakallohu khoyr ustadz, jdi bertaqlid di sini bukan sesuatu yang mutlaq bagi kaum awam dan penuntut ilmu pemula.
ReplyDeleteTetapi masalah baru muncul dengan tersebarnya fitnah tabdi' dan tahdzir di kalangan salafiyyin yang membuat ikhwah tersibukkan dengan memilih kepada siapa harus bertanya karena syaikh fulan ataupun ustadz allan yg tdinya dikenal dgn keilmuannya, kokohnya di atas sunnah tiba2 telah berubah menjadi mubtadi' sesat dalam 'semalam' saja. Tiba2 telah terkumpul setumpuk kesalahan sang da'i atau sang ulama bahkan dari masa yg sdh lama berlalu yang kadang kesalahan2 manusiawi yg membuat kita bertanya2 semudah inikah org keluar dari ahlus sunnah? Sungguh ini membuat banyak ikhwah futur dan lari dari dakwah. Bagi ustadz yang bermulazamah dgn ulama hal seperti ini mgkn tdk terlalu berdampak. Tpi bagi kami awam ahlussunnah, hal sprti ini benar2 musibah. Dalam keadaan tdk paham bhs arob, kami terombang ambing dlm perselisihan para da'i.. Wallohul musta'an
Jazakumullah khairan wabarakallahufiik. Ketika ulama ahlus-sunnah berselisih dalam masalah jarh wa ta'dil, termasuk dalam bab ini adalah hajr dan tahdzir sebagian ulama kepada ulama yang lain, maka seorang penuntut ilmu yang bisa men-tarjih permasalahan, hendaklah ia men-tarjih dengan melihat dalil dan kaidah-kaidah yang dipakai masing-masing ulama.
ReplyDeleteApabila permasalahan jarh ta'dil tersebut begitu pelik dan keilmuan kita belum memadahi, maka nasehat dari guru kami Asy-Syaikh Shalih Al-Ushaimi hafizhahullah agar mengambil pendapat ulama kibar (ulama besar) karena mereka lebih berilmu dan lebih bertakwa. Asy-Syaikh Shalih Al-Ushaimi melanjutkan, apabila para ulama kibar berselisih, maka ambillah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama kibar, karena ulama kibar pun tidak luput dari kesalahan, kita tidak mengambil pendapat yang syadz dari mereka. Inilah sikap saya ketika menghadapi berbagai macam fitnah yang terjadi diantara ulama. Semoga bisa diambil pelajaran
Afwan ustadz. Melanjutkan diskusi tentang taklid. Contoh kasus: Seseorang yang awwam bertanya kepada ustadznya bagaimanakah hukum bunga bank. Sang ustadz menjawab boleh karena adanya inflasi atau penurunan nilai uang yang disimpan shg bunga tsb sbg penutup penurunan nilai tsb. Sang ustadz tidak menjawab dengan dalil. Berdasarkan kaidah di atas berarti orang awwam tsb tidak salah karena dia sudah bertanya kepada yang dia percaya dan dia taklid. Beberapa hari setelahnya orang awwam tersebut membaca artikel yang tidak diketahui siapa penulisnya, menerangkan dengan dalil al qur'an dan assunnah bagaimana haromnya bunga bank. Artikel tsb sama sekali tidak mengutip pendapat ulama manapun. Artikel tsb telah mempengaruhi pendapatnya shg ia pun tdk lagi mengambil bunga bank. Pertanyaannya : jika mengikuti kaidah2 di atas, berarti orang awwam ini telah keliru karena ia telah mengambil posisinya ulama mujtahid yaitu mengambil dalil tanpa bimbingan ulama manapun. Justru yang wajib bagi dia adalah tetap kukuh taklid kepada ustadznya dan meninggalkan dalil karena ia masih awwam.. Tdk boleh melihat dalil tanpa bimbingan siapapun. Apakah memang seperti ini ustadz. Jazakallohu khoir.
ReplyDeletePermasalahan bunga bank telah jelas keharamannya, karena itu adalah transaksi riba. Para ulama di seluruh dunia telah bersepakat tentang keharaman bunga bank konvensional, menurut apa yang saya ketahui. Begitu pula Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang keharaman bunga bank.
DeleteMasalahnya orang awam tadi salah bertanya, ia justru bertanya kepada ustadz gadungan pakar ekonomi yang bodoh tentang ilmu agama, sehingga jawabannya pun sesat dan menyesatkan. Kemudian orang awam tadi membaca sebuah artikel yang menjelaskan keharaman riba berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah berikut aplikasi nyatanya dalam bunga bank. Meskipun nama penulis artikel tidak dicantumkan, sang awam tentu tahu bahwa si penulis artikel adalah ustadz. Sang awam juga tahu bahwa ustadz yang mengharamkan bunga bank lebih berilmu dari ustadz gadungan yang menghalalkannya, karena penjelaskan ustadz si penulis artikel begitu ilmiyah dan dibangun dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Jika keadaannya demikian, kewajiban sang awam adalah meninggalkan pendapat ustadz gadungan yang pertama dan mengambil pendapat ustadz yang kedua, karena pendapatnya dibangun di atas dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Sang awam tidak pernah menjadi mujtahid sekejap mata pun, ia hanya bertaklid kepada ustadz kedua. Ustadz kedua lah yang mengeluarkan dalil (istimbat) dari Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang keharaman bunga bank, sang awam hanya mengikuti saja. Jadi dalam beragama, sang awam tidak akan lepas dari taklid. Ia hanya berpindah taklid kepada orang bodoh, kemudian taklid kepada seorang berilmu. Contoh kasus dari antum belum sesuai jika diterapkan dalam fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan di atas. Allahua'lam
Saya akan memberikan contoh permasalahan yang lebih tepat. Misalkan ada seorang awam yang bertanya kepada Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah tentang suatu masalah pribadinya, kemudian Asy-Syaikh berfatwa bahwa hukum masalah itu adalah haram, tanpa menyertakan dalil. Tidak puas dengan jawaban Asy-Syaikh, ia membuka mushaf Al-Qur'an, mencari ayat Al-Qur;an yang sesuai dengan kondisi masalahnya. Ia juga membuka kitab-kitab hadits, mencari-cari hadits yang sesuai dengan kondosi masalahnya. Akhirnya ia menemukan ayat dan hadits yang menjadi dalil kehalalan masalah tersebut.
ReplyDeleteJika keadaannya demikian, apakah ia harus taklid kepada fatwa haram Asy-Syaikh Ibnu Baz atau berpendapat halal dengan mengambil dalil Al-Qur'an dan hadits menurut persangkaannya? Sedangkan ia sendiri tidak mengerti ilmu ushul fiqh, nahwu, ushul tafsir dan penjelasan para ulama salaf tentang fafsir Al-Qur'an dan hadits.
Jawabannya adalah fatwa Asy-Syaikh Al-Fauzan di atas: "Ketiga, penuntut ilmu pemula dan orang awam, mereka boleh mengikuti salah satu dari madzhab yang empat dan bertanya kepada ulama. Allah ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada ulama jika kalian tidak mengetahui” [QS. An-Nahl: 43]
Hendaklah ia bertanya kepada ulama yang tsiqah menurutnya dari sisi ilmu dan agama, ia mengambil apa yang difatwakan ulama tersebut. Ia wajib taklid, seandainya ia tidak taklid tentu ia akan celaka."
Apabila orang awam tadi tidak taklid kepada fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz, tentu ia akan celaka, karena terjatuh kepada keharaman. Kewajiban orang awam adalah bertanya dan mengikuti pendapat ulama, ia tidak diperbolehkan untuk berijtihad. Semoga bisa dipahami
Jazakallohu khoir atas jawabannya ustadz. Sebelumnya ana mohon maaf jika diskusi ini akan panjang karena permasalahan ini sangat penting bagi ana. Ini kelihatannya berbeda deangan apa yang ana pahami selama ini se
ReplyDeleteContoh yang ustadz bawakan sangat bagus namun ana khawatir kita terjebak dalam contoh kasus dan melupakan esensi permasalahan. Namun ana kira tidak mengapa diclearkan dulu ketidakjelasan dalam contoh diatas.
Ana sangat berharap ustadz bisa membaca dulu seluruh pertanyaan ana di bawah sampai selesai sebelum memberikan jawaban dan ana jg berharap agar dijawab secara runut per poin. Ini semata-mata demi memudahkan ana memahami sehingga jelas bagi ana kekeliruan ana. Jazakallohu khoiran atas bantuan ustadz.
1. Dalam contoh kasus yang ana berikan, tidak ada ustadz kedua. Yang ada hanya ustadz pertama. Penulis artikel yang dibaca orang awwam tadi adalah majhul, tidak dikenal. Pertanyaannya, bolehkah kita taklid kepada seorang yang majhul ?
2. Sangat menarik contoh kasus yg ustadz berikan. Ana pernah mendengar kutipan perkataan imam asy syafii yang maknanya, jika kalian menemukan hadits yang bertentangan dengan pendapatku maka ambillah hadits tsb dan tinggalkanlah pendapatku. Beliau tidak mengatakan, jika hadits tersebut telah dipelajari oleh ulama mujtahid dan dijelaskan kebenarannya maka ikutilah. Dan juga beliau tidak mengatakan "wahai sekalian para ulama mujtahid", shg kita bisa mengatakan ucapan tsb hanya ditujukan kepada ulama mujtahid bukan kepada orang awwam. Yang dzohir ana pahami, ucapan tsb untuk semua kalangan baik awwam maupun ulama. Dan ana juga teringat dengan atsar dari ibnu umar radhiyallohu 'anhuma yang mengatakan dengan maknanya kurang lebih, saya mengatakan rosulullaah shallallohu 'alaihi wasallam bersabda sementara kalian mengatakan abu bakar dan umar berkata, saya khawatir kalian tertimpa hujan batu dari langit. Mohon dijelaskan kesesuaian kedua atsar diatas dengan kasus yang ustadz berikan ?
3. Mengenai contoh yg ustadz bawakan, jika orang tersebut dalam keadaan tidak diberitahu dalilnya oleh syaikh kemudian dia taklid kepada syaikh lalu kemudian tidak mengindahkan dalil al qur'an dan assunnah yang dia telah baca dalam keadaan dalil-dalil tersebut jelas bagi dia karena memang maknanya jelas. Apakah dengan perbuatannya itu dia bisa dikatakan telah mengambil perkataan manusia yang tdk ma'shum dan meninggalkan wahyu/dalil ? apa yang mewajibkan dia melakukannya (meninggalkan dalil) ?
4. Jika dalam contoh yang ustadz bawakan, kita balik hukumnya dimana syaikh mengatakan halal sementara dalil yang dia kumpulkan sendiri dan jelas maknanya bagi dia melazimkan hukumnya harom. Ternyata dikemudian hari, justru yang benar adalah memang harom sementara dia sudah melakukannya. Ketika dia ditanya di yaumul akhir nanti mengenai hal tsb, udzur apakah yang bisa dia berikan kepada Allah padahal telah jelas bagi dia haromnya dari dalil dan hati kecilnya saat itu membenarkan dalil namun dia mengikuti pendapat syaikh karena metode ini dan menuduh akalnya bodoh ?
Mohon dihubungkan penjelasannya dengan kaidah yang sering kita dengar "tuduhlah akal-akal kalian di hadapan para ulama". Lebih tepat mana dengan ungkapan " tuduhlah akal-akal kalian di hadapan dalil al qur'an dan assunnah" ?
5. Yang ana pahami, dalil al qur'an dan assunnah ada yang muhkamaat dan ada yang memang samar. Ana sangat ingat ada seseorang yang dia membaca hadits dalam matan riyadhussholihin. Ini matan saja ustadz dan terjemahannya, tidak ada syarah apapun. Haditsnya adalah mengenai tidak ada yang menghalangi masuk surga kecuali kematian bagi yang mengamalkan membaca ayat kursiy setiap selesai sholat fardhu. Selesai membacanya maka orang tsb langsung mengamalkan dan tidak bertanya dulu kepada ulama bagaimana mengamalkannya dan apakah maknanya.
ReplyDelete- Apakah orang ini salah karena telah mengambil istimbath hukum dianjurkannya membaca ayat kursiy setelah sholat fardhu dalam keadaan dia awwam tidak tahu bhs.arab dan hanya membaca terjemahan ?
- Apakah dia berdosa telah bersegera mengamalkan hadits dalam keadaan tidak bertanya dulu ustadz ?
- Seandainya dia menangguhkan untuk mengamalkan hadits tersebut sampai dia bertanya kepada ustadz, apakah ini justru dikatakan "mengikuti ustadz" bukan "mengikuti dalil" dengan alasan dalil sudah terang bagi dia hanya saja seolah olah butuh izin ustadz untuk mengamalkan?
Afwan. Ini sangat penting ustadz karena Hadits ini dan banyak hadits-hadits lain yang seperti ini, bisa dipahami oleh orang awwam walau hanya lewat terjemahan. Mereka hanya butuh untuk tahu apakah shohih atau tidak, mereka hanya butuh taklid untuk derajat haditsnya. Adapun maknanya maka jelas.
6. Artikel di atas ana pahami sbb, mohon diluruskan jika keliru. Pada prinsipnya hanya golongan orang pertama yang mujtahid adapun golongan kedua dan ketiga sama saja..hanya boleh taklid. Golongan pertama mempelajari dalil (yang menghukumi) dan objek pembahasan (yang akan dihukumi). Adapun golongan kedua dia mempelajari cara golongan pertama dalam mengaitkan dalil dan objek. Mana yang menurutnya paling tepat dalam mengaitkan kedua hal tsb maka dia mengikutinya. Golongan ketiga hanya mengikuti saja mana yg mayoritas dari golongan pertama. Apakah benar pemahamannya spt itu ustadz ?
Jujur saja, ana lihat banyak asatidz kita di Indonesia sudah melakukan seperti golongan pertama..padahal mungkin idealnya hanya masuk golongan kedua. Banyak asatidz ditanya ikhwah mengenai permasalahan mereka yang mungkin saja tidak pernah difatwakan oleh golongan pertama manapun karena memang persoalan hidup saat ini kompleks dan spesifik terutama fiqh. Contoh : kotak amal jumat, dll.
Selanjutnya ikhwah yang masuk golongan ketiga (awwam) taklid bukan kepada golongan pertama tetapi kepada golongan kedua atau dengan kata lain "bertaklid kepada orang yang taklid". Apakah ini boleh, taklid kepada orang yang juga taklid ? Contoh: ustadz hanya bilang boleh, tanpa menerangkan dalil sama sekali. Apakah kita yg golongan awwam wajib taklid kepada ustadz tsb?
7. Jika pemahaman ana terhadap tulisan di atas tidak keliru. Justru (maaf), orang-orang NU lah yang benar-benar mengikuti metode berilmu di atas. Mereka benar-benar gigih dalam mempertahankan pendapat lemah imam mazhab (asy syafii rahimahullah misalnya). Ikhwah sudah capek menjelaskan dengan dalil al qur'an dan assunnah dan mengatakan ini pendapat syaikh bin baz dst namun ditolak dengan alasan simpel, "Saya tidak tahu siapa syaikh bin baz. Kalaupun beliau memang ulama, yang jelas imam asy syafii lebih berilmu daripada beliau. Saya lebih baik taklid kepada imam asy syafii yang lebih berilmu". Jadi, dalil apapun dan seterang apapun penjelasan kita akan makna dalil tsb akan mentah dihadapan seorang yang taklid. Dalam keadaan ini mereka tidak salah ? dan justru benar metodenya ?
Ana sangat berharap mendapatkan kejelasan dari poin-poin di atas ustadz. Jika mesti lama dan dikonsultasikan dulu kepada yang lebih berilmu mohon dilakukan ustadz. Akan lebih baik lagi jika dibuatkan artikel khusus mengenai taklid, siapa siapa dan kriteria orang orang yang boleh taklid kepadanya dan semua hal mengenai seluk beluk taklid.
Semoga Alloh membalas usaha ustadz dengan pahala yang berlimpah.
Silahkan baca artikel Hukum Taklid Bagi Orang Awam Menurut Al-Albani, Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin
Delete1) Majhul itu relatif, seorang majhul yang diketahui kapasitas ilmunya, mungkin dilihat dari tulisannya yang ilmiyyah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah beserta penjelasan ulama, maka sang awam tidak apa-apa mengambil ilmu darinya.
Delete2) Telah dijawab oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah dalam artikel yang saya link kan di atas
3&4) Hal yang mewajibkannya meninggalkan ijtihad adalah firman Allah ta'ala: "Bertanyalah pada ulama jika kalian tidak mengetahui". Tugas orang awam adalah bertanya kepada ulama.
Karena diantara dalil Al-Qur'an dan hadits, ada yang mansukh, 'aam, khash, mutlak, muqayyad, mujmal, mubayyan, dan seterusnya. Dari mana sang awam tahu bahwa dalil yang dia pakai tidak mansukh?? Tidak sembarang orang bisa berdalil seenaknya.
5) Apabila dalilnya muhkam, biasanya terjadi ijma' (kesepakatan ulama) dalam permasalahan tersebut. Seorang awam tidak membutuhkan ijtihad untuk mengamalkan dalil-dalil muhkam, karena dikatakan ijtihad jika ia mengerahkan segenap kemampuannya untuk ber-istimbath dari dalil-dalil yang masih samar. Misalkan permasalahan wajibnya shalat 5 waktu dan haramnya daging babi, tentu semua orang tahu.
6) Yang jelas, seorang tidak boleh berbicara tanpa ada salaf dari ulama sebelumnya.
7) Jika memang ternyata pendapat ulama yang sang awam ikuti lemah, ada pendapat ulama lain yang lebih kuat, maka sang awam tidak boleh ta'ashub (fanatik) kepada pendapat ulamanya. Ia wajib mengikuti pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Allahua'alam