Sebelum membahas hukum taklid, perlu kiranya diketahui
tentang definisi taklid secara bahasa dan istilah fuqaha’. Secara bahasa, taklid
berasal dari al-qalad yang artinya ikatan yaitu mengikatkan sesuatu di
atas sesuatu.[1] Seorang
awam dikatakan taklid kepada ulama, karena ia menggantungkan (mengikatkan)
perkara agamanya di leher ulama atau karena sang awam mengikatkan perkataan
ulama di lehernya[2].
Secara istilah, taklid adalah menerima perkataan orang
lain tanpa hujjah atau dengan definisi yang lebih detail, taklid adalah beramal
dengan perkataan seseorang yang bukan hujjah tanpa disertai hujjah.[3]
Hukum Taklid
Masalah ini masuk dalam pembahasan ushul fiqh, para
ulama ahli ushul berselisih tentang hukumnya. Masing-masing ulama bersikap ta’ashub
(fanatik) terhadap pendapatnya. Tahrir mahallin niza’ dalam permasalahan
ini adalah:
Pertama, para ulama ahli
ushul telah bersepakat apabila seorang mujtahid telah berijtihad dan telah sampai pada kesimpulan hukum, ia
wajib mengikuti ijtihadnya, ia tidak diperbolehkan taklid kepada ulama lain
yang menyelisihi hukum tersebut
Kedua, apabila ia bukan
mujtahid, para ulama berselisih tentang hukum taklid menjadi dua, yaitu pendapat
yang membolehkan taklid dan pendapat yang melarangnya.
Diantara dalil pendapat yang membolehkan taklid:
1) Firman Allah ta’ala:
فسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak
mengetahui” [QS. An-Nahl: 43]
Ayat ini dengan tegas mewajibkan orang-orang yang tidak
tahu untuk bertanya kepada ulama, serta kewajiban ulama menjelaskan hukum syar’i
kepada manusia. Para ulama juga tidak diwajibkan menyebutkan dalil tiap
permasalahan yang ditanyakan, dan mengikuti fatwa ulama tanpa mengetahui dalilnya
adalah taklid.
2) Nukilan ijma’ ulama
tentang bolehnya taklid dalam permasalahan furu’ (fiqih)
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:
ولم تختلف العلماء أن العامة عليها تقليد
علمائها
“Para ulama tidak berselisih bahwa orang awam boleh bertaklid
kepada ulamanya” [Jami’ Al-Bayan, 2/114]
Abu Syamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata:
انعقد الإجماع على أن من أسلم فله أن يقلد من
شاء من العلماء
“Telah terjadi ijma’ bahwa seorang yang masuk Islam, ia
boleh bertaklid kepada siapa saja dari kalangan ulama” [Adz-Dzakhirah hal. 132]
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
وأما التقليد في الفروع فهو جائز إجماعًا
“Adapun taklid dalam permasalahan furu’, hukumnya boleh
berdasarkan ijma’” [Raudhatun Nazhir hal. 206]
3) Melarang orang awam
taklid berarti mengharuskannya berijtihad, sedangkan orang awam tidak akan
mampu untuk hal itu.
Asy-Syaukani rahimahullah berkata:
فليس كل المسلمين مؤهلاً لذلك ،
لا من حيث القدرات العقلية ، ولا من حيث الوقت ، إذ يحتاج الأمر إلى سنين عديدة
يتفرغ فيها المكلف لإثبات الأدلة الشرعية بالنقول الموثقة ، ثم الاجتهاد فيها ،
وبخاصة عند التعارض أو خفاء دلالتها
“Tidak setiap muslim mampu untuk hal itu (berijtihad),
tidak dari sisi kemampuan akal, tidak pula dari sisi waktu. Perkara ini
(ijtihad) membutuhkan waktu bertahun-tahun bagi seorang mukallaf untuk
menetapkan dalil-dalil syar’i dari nukilan yang tepat, kemudian baru ia
berijtihad dalam permasalahan tersebut, terkhusus saat terjadi pertentangan
atau sisi pendalilan yang masih samar” [Al-Qaulul Mufid hal. 20 dan 35]
Diantara dalil pendapat yang melarang taklid:
1) Ulama terkadang benar
dan terkadang salah dalam berfatwa, bagaimana kau mewajibkan taklid kepada
seorang yang bisa benar dan bisa salah??
2) Para imam
ahlus-sunnah melarang pengikutnya untuk taklid
Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata:
لا يحل لأحد يأخذ بقولنا حتى يعلم من أين
أخذناه
“Tidak halal bagi seorang pun untuk mengambil perkataan
kami hingga ia mengetahui darimana kami mengambilnya”
Al-Imam Malik rahimahullah berakata:
ليس أحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم إلا
ويؤخذ من قوله ويترك
“Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam kecuali perkataannya boleh diterima dan ditinggalkan”
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
لا تقلدني ولا تقلد مالكًا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري ، وخذ من حيث أخذوا
“Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula kepada
Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, maupun Ats-Tsauri, ambillah dari sumber mereka
mengambil” [Muqaddimah Shifat Shalat Nabi]
Tarjih
Pendapat yang tepat adalah pendapat ulama yang
membolehkan taklid, dalil-dalilnya lebih kuat, berdasarkan Al-Qur’an dan ijma’.
Adapun dalil pendapat yang melarang taklid dapat dijawab sebagai berikut:
Pertama: “Ulama
terkadang benar dan terkadang salah dalam berfatwa, bagaimana kau mewajibkan
taklid kepada seorang yang bisa benar dan bisa salah??”
Kita jawab: Siapakah yang memerintahkan kita untuk mengikuti
fatwa ulama bagi seorang yang tidak mampu berijtihad? Bukankah Allah? Ijtihad ulama
yang benar atau salah bukan menjadi urusan Anda, kewajiban Anda adalah taat
pada perintah Allah. Ulama tetap berpahala meskipun ijtihadnya salah, Anda pun
tetap berpahala meskipun beramal dengan ijtihad ulama yang keliru, karena Anda telah
mengamalkan perintah Allah untuk bertanya pada ahli ilmu.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَأَمَّا مَنْ كَانَ عَاجِزًا عَنْ مَعْرِفَةِ حُكْمِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَقَدْ اتَّبَعَ فِيهَا مَنْ هُوَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالدِّينِ وَلَمْ يَتَبَيَّنْ لَهُ أَنَّ قَوْلَ غَيْرِهِ أَرْجَحُ مِنْ قَوْلِهِ فَهُوَ مَحْمُودٌ يُثَابُ لَا يُذَمُّ عَلَى ذَلِكَ وَلَا يُعَاقَبُ وَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى الِاسْتِدْلَالِ وَمَعْرِفَةِ مَا هُوَ الرَّاجِحُ
“Adapun orang yang tidak mampu mengenal hukum Allah dan Rasul-Nya, lalu ia hanya bertaklid kepada orang yang berilmu dan memiliki agama yang baik, tidak nampak baginya pendapat yang lebih baik dari pendapat tersebut, maka orang yang taklid seperti itu tetap terpuji dan mendapatkan pahala, tidak dicela, tidak boleh dihukum. Meskipun ia saat itu mampu untuk mencari dan mengenal dalil yang lebih kuat.” [Majmu’ Fatawa, 20/ 225]
Kedua: “Para imam
ahlus-sunnah melarang pengikutnya untuk taklid…”
Kita jawab: Khithab (objek yang diajak bicara)
dari perkataan para imam tersebut adalah
murid-murid mereka yaitu para penuntut ilmu yang terbiasa membahas permasalahan
ilmu, bahkan mereka tergolong ulama yang levelnya di bawah imam yang empat.
Bagaimana mungkin para imam tersebut memerintahkan orang awam untuk mengambil
ilmu langsung dari Al-Qur’an dan hadits tanpa mengikuti pendapat para ulama
mereka??
Setelah membawakan perkataan para imam yang melarang
taklid, Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:
وهذا كله لغير العامة ، فإن
العامة لا بد لها من تقليد علمائها عند النازلة ، لأنها لا تتبين موقع الحجة ، ولم
تختلف العلماء أن العامة عليها تقليد علمائها ، وأنهم المرادون بقول الله تعالى فسئلوا
أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون :
“Perkataaan ini seluruhnya ditujukan untuk selain orang
awam, karena orang awam wajib taklid kepada ulama mereka saat terjadi
peristiwa. Karena orang awam tidak tahu tempat-tempat hujjah. Para ulama tidak berselisih bahwa orang awam boleh bertaklid kepada ulamanya. Merekalah yang
dimaksud dalam firman Allah ta’ala: “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian
tidak mengetahui” [Jami’ Al-Bayan, 2/114-115]
Sehingga jelaslah bahwa pendalilan mereka tidak tepat.
Para ulama muhaqiq dari masa ke masa membolehkan taklid bagi orang awam.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأن الاجتهاد جائز للقادر على الاجتهاد ،
والتقليد جائز للعاجز عن الاجتهاد
“Ijitihad diperbolehkan bagi orang yang mampu
berijtihad, dan taklid juga diperbolehkan bagi orang yang tidak mampu
berijtihad” [Majmu’ Fatawa, 20/204]
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
فلهذا جاز التقليد فيها، بل وجب على العامي
ذلك
“Oleh karena itu, ia boleh bertaklid dalam permasalahan
tersebut, bahkan orang awam wajib bertaklid” [Raudhatun Nazhir hal. 206]
Al-Izz bin Abdissalam rahimahullah berkata:
أن وظيفة العامي التقليد ، لعجزه عن التوصل إلى معرفة الأحكام بالاجتهاد
"Tugas orang awam adalah taklid, karena ketidakmampuannya untuk mengenal hukum-hukum syariat dengan ijtihad" [Qawa'idul Ahkam, 2/135]
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
كان أصلح ما يفعله العامي التقليد فيها لمن قد
سير ونظر
“Hal yang paling mendatangkan maslahat bagi orang awam
adalah taklid kepada ulama yang telah menelaah dan meneliti (dalil-dalil
Al-Qur’an dan hadits)” [Talbis Iblis hal. 79]
Asy-Syathibi rahimahullah berkata:
الثاني: أن يكون مقلِّدًا صرفًا خليًا من
العلم الحاكم جملة، فلا بد له من قائد يقوده، وحاكم يحكم عليه، وعالم يقتدي به
“Kedua, seorang muqallid yang secara garis besar tidak
memiliki ilmu, ia wajib memiliki seorang yang menuntunnya atau hakim yang
memberikan hukum atas permasalahannya, serta ulama yang dia ikuti” [Al-I’tisham,
2/343]
Al-Albani rahimahullah berkata:
لا أعلم دليلا على تحريم التقليد بل التقليد
لا بد منه لمن لا علم عنده ، وقد قال الله تعالى : ( فسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا
تعلمون ) فهذه الآية جعلت المسلمين من العلم العلم قسمين :
1/ عالم وأوجب عليه أن يجيب السائل
2/ غير عالم و أوجب عليه أن يسأل العالم
فلو كان رجلا من عامة الناس جاء لعالم
فسأله فأجابه العالم فقد طبق هذا الرجل هذه الآية
“Aku tidak mengetahui dalil yang menunjukkan haramnya
taklid, bahkan taklid diwajibkan bagi orang yang tidak memiliki ilmu.
Sungguh Allah ta’ala berfirman:
فسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui”
Ayat ini membagi kaum muslimin dalam hal ilmu dan amal
menjadi dua:
1) Ulama, Allah
mewajibkan kepadanya untuk menjawab pertanyaan orang yang bertanya
2) Bukan ulama, Allah
mewajibkannya untuk bertanya kepada ulama.
Seandainya ada seorang awam datang kepada seorang ulama,
ia bertanya suatu permasalahan kepadanya, kemudian ulama tadi menjawab, sungguh
orang awam ini masuk dalam cakupan ayat tersebut” [Fatawa Al-Madinah no. 32]
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
أما
القاصر فإنه ليس أهلا لأن يجتهد، وإنما عليه أن يسأل أهل الفقه، ويتفقه في الدين،
ويعمل بما يرشدونه إليه، حتى يتأهل ويفهم الطريق التي سلكها العلماء
“Adapun seorang yang belum cukup (ilmu), ia tidak
boleh berijtihad. Ia diwajibkan bertanya kepada ahli fiqih, sambil terus
menuntut ilmu agama dan mengamalkan apa yang dijelaskan ulama kepadanya, hingga
ia mumpuni dan dapat memahami jalan yang ditempuh ulama…”
أما أن يجتهد وهو لا يستطيع ذلك، فهذا من
الأغلاط الكبيرة، ولكن يسعى بالهمة العالية في طلب العلم، ويجتهد ويتبصّر، ويسلك
مسالك أهل العلم
“Adapun
berijtihad padahal ia tidak mampu, ini termasuk kesalahan yang fatal. Namun ia
tetap berusaha menuntut ilmu dengan semangat, bersungguh-sungguh, bersabar dan
menempuh jalan para ulama.” [Majmu’ Fatawa Maqalat Mutanawwi’ah juz 7]
Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
والتقليد نوعان: عام وخاص.
فالعام:
أن يلزم مذهباً معيناً يأخذ برخصه وعزائمه
في جميع أمور دينه.
وقد اختلف العلماء فيه:
فمنهم: مَن حكى وجوبه لتعذر الاجتهاد في
المتأخرين.
ومنهم مَن حكى تحريمه لما فيه من الالتزام
المطلق لاتباع غير النبي صلى الله عليه وسلم.
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله: (
إن في القول بوجوب طاعة غير النبي صلى الله عليه وسلم في كل أمره ونهيه هو خلاف
الإجماع, وجوازه ما فيه).
والخاص:
أن يأخذ بقول معين في قضية معينة, فهذا
جائز إذا عجز عن معرفة الحق بالاجتهاد سواءً عجز عجزاً حقيقياً أو استطاع ذلك مع
المشقة العظيمة
“Taklid terbagi
dua: taklid secara umum dan taklid secara khusus. Taklid secara umum artinya
mewajibkan seseorang untuk mengikuti madzhab tertentu, ia mengambil perkara
yang ringan dan yang berat, serta mengambil seluruh permasalahan agama dalam
madzhab tersebut.
Para ulama berselisih dalam masalah ini. Sebagian ulama
mewajibkannya, karena tertutupnya pintu ijtihad bagi ulama muta’akhirin.
Sebagian ulama yang lain menghikayatkan haramnya, karena hal itu mewajibkan
taat secara mutlak kepada selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya
pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam seluruh perintah, larangan dan perkara yang mubahnya adalah menyelisihi
ijma’.”
Taklid secara khusus adalah mengambil pendapat tertentu
dalam masalah tertentu. Hal ini boleh apabila ia tidak mampu mengenali
kebenaran dengan ijtihad, baik ia memang tidak mampu berijtihad atau ia mampu
berijtihad namun disertai kesulitan yang luar biasa” [Min Syarh Al-Ushul As-Sittah
hal. 61-62]
Assalamu'alaikum ustadz, bagaimana dengan taklid terhadap satu madzhab tertentu saja seperti kebanyakan orang-orang di negara kita yang mayoritasnya mengaku bermadzhab Imam Syafi'i? dan kebanyakan mereka adalah orang awam. Baarakallahufiik.
ReplyDeleteWa'alaikumussalam warahmatullah,
DeleteInsya Allah tidak apa-apa, selama mereka benar-benar mengikuti pendapat ulama dalam madzhab Syafi'i. Saya pribadi tidak jauh berbeda dengan orang awam. Apabila saya belum menemukan dalil atau belum nampak pendapat yang rajih dalam suatu masalah fiqh, maka saya akan taklid kepada madzhab Hambali atau madzhab Syafi'i. Karena tidak semua orang diberikan kemampuan untuk membahas permasalahan ilmu. Demikian pula tidak semua orang memiliki keluasan waktu untuk membahas seluruh permasalahan ilmu beserta perinciannya.
Kita tentu tahu kadar keilmuan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, seorang ulama yang faqih, ushuli, mufassir dan menguasai berbagai cabang ilmu. Namun dalam beberapa permasalahan, beliau masih taklid kepada pendapat Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
فأنا أقلد شيخ الإسلام في هذه المسألة ، وأقول : إن هذا هو الظاهر إن لم نجزم به
"Aku taklid kepada Syaikhul Islam dalam permasalahan ini. Aku melihat bahwa inilah pendapat yang nampak (lebih dekat kepada kebenaran), meskipun aku tidak bisa memastikannya” [Syarhul Mumti’, 2/161]
Allahua'lam