Tuesday, February 3, 2015

Mengenal Kelompok Murji’ah Baru (Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata:

و المرجئة أربع طوائف :
الطائفة الأولى :غلاةالمرجئة ، و هم هؤلاء الجهمية الذين يقولون الإيمان مجرد المعرفة .
الطائفة الثانية :الأشاعرة وهم الذين يقولون : الإيمان هو التصديق بالقلب فقط و لو لم ينطق بلسانه لا مجردالمعرفة .
الطائفة الثالة :الكرَّامية الذين يقولون : إن الإيمان هو النطق باللسان و لو لم يعتقد بقلبه .
الطائفة الرابعة :مرجئةالفقهاء الذين يقولون : إن الإيمان قول باللسان و اعتقاد بالقلب و لا تدخل الأعمال في حقيقة الإيمان . 
و هناك فرقة خامسة ظهرت الآن و هم الذين يقولون : إن الأعمال شرط في كمال الإيمان الواجب أو الكمال المستحب


“Murji’ah berpecah menjadi 4 kelompok:

Kelompok pertama; Ghullatul Murji’ah, mereka adalah Jahmiyyah yang menyatakan bahwa iman hanyalah ma’rifah (pengenalan)

Kelompok kedua; Al-Asya’irah, mereka menyatakan bahwa iman hanyalah tashdiq (pembenaran) dalam hati, meskipun ia tidak mengucapkan syahadat di lisannya. Mereka tidak hanya mencukupkan dengan ma’rifah

Kelompok ketiga; Al-Karraamiyyah, mereka menyatakan bahwa iman adalah ucapan lisan, meskipun hatinya tidak meyakini.

Kelompok keempat; Murji’atul Fuqaha’, mereka menyatakan bahwa iman adalah ucapan lisan dan i’tiqad dalam hati, sedangkan amal tidak termasuk hakikat iman.

Di sana terdapat kelompok kelima yang baru muncul sekarang, mereka menyatakan bahwa amal adalah syarat kesempurnaan iman wajib atau syarat kesempurnaan iman mustahhab” [At-Ta’liq Al-Mukhtashar ‘alal Qashidah An-Nuniyah, 2/647]


Mereka sangat getol menukilkan perkataan ulama Asya’irah untuk mendukung keyakinan mereka, sebab Murji’ah dan Asya’irah sedikit banyak memiliki kesamaan dalam masalah iman. Namun mereka tidak sedikitpun mengingatkan para pembaca tentang penyimpangan aqidah ulama yang mereka nukil, barangkali alasannya karena kebetulan perkataan ulama tersebut mencocoki keyakinan mereka.

Bagaimanakah aqidah Abul-Hasan Al-Asy’ari dalam permasalahan iman?

Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullah berkata:

الإيمان هو التصديق بالجنان، وأما القول باللسان والعمل بالأركان ففروعه، فمن صدق بالقلب، أي أقر بوحدانية الله تعالى، واعترف بالرسل تصديقا لهم فيما جاءوا به من عند الله صح إيمانه، حتى لو مات عليه في الحال كان مؤمنا ناجيا، ولا يخرج من الإيمان إلا بإنكار شيء من ذلك

“Iman adalah tashdiiq (pembenaran) dalam hati. Adapun perkataan dan amal jawarih, keduanya hanyalah cabang-cabangnya. Barangsiapa yangmembenarkan dalam hati yaitu mengakui keesaan Allah ta’ala dan meyakini kebenaran ajaran yang dibawa oleh para rasul dari sisi Allah, maka sah imannya. Jika ia mati dalam keadaan tersebut, maka ia adalah seorang mukmin yang selamat. Tidak boleh mengeluarkan seseorang dari iman kecuali dengan mengingkari hal tersebut.” [Al-Milal wa An-Nihal karya Asy-Syihristani, hal. 101]

Kelaziman dari aqidah Asya’irah, Abu Thalib dan Iblis adalah muslim. Karena Abu Thalib meyakini keesaan Allah dan membenarkan ajaran nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hatinya (tashdiiq). Begitu pula Iblis, ia pun meyakini keesaan Allah dan meyakini kebenaran ajaran yang dibawa oleh para rasul shalawatullah ‘alaihim.

Berikut beberapa perkataan para ulama Asya’irah atau perkataan mutasyabih sebagian ulama salaf yang seolah-olah mendukung keyakinan Murji’ah:

Pertama, Asy-Syaikh Ibrahim Al-Baijuri Al-Asy’ari rahimahullah berkata:

فمن اتى بالعمل فقد حصل الكمال و من تركه فهو مؤمن لكنه فوت على نفسه الكمال اذا لم يكن مع ذلك استحلال او عناد للشارع او شك في مشروعيته

“Barangsiapa yang beramal, sungguh ia telah memperoleh kesempurnaan. Barangsiapa yang meninggalkan amal, maka ia mukmin namun terluput kesempurnaan iman darinya, apabila tidak dibarengi dengan penghalalan, sikap membangkang terhadap syariat atau ragu terhadap disyariatkannya amal” [Tuhfatul Murid hal. 66]

Kedua, Badruddin Al-‘Aini menukilkan ungkapan Abu Ishaq Asy-Syirazi ketika menghikayatkan perkataan Asy-Syafi’i berikut:

الإيمان هو التصديق والإقرار والعمل، فالمخلُّ بالأول وحده منافق، وبالثاني وحده كافر، وبالثالث وحده فاسق ينجو من الخلود النار ويدخل في الجنة

Iman itu adalah tashdiiq, iqraar, dan amal. Ketiadaan hal pertama saja, maka ia munafik. Ketiadaan hal kedua saja, maka ia kafir. Dan ketiadaan hal ketiga saja, maka ia fasik yang selamat dari kekekalan neraka dan (kemudian) masuk ke dalam surga” [Dinukil Asy-Syiiraaziy dalam ‘Umdatul-Qaari’, 1/175]

Tahukah Anda bahwa Badruddin Al-Aini dan Abu Ishaq Asy-Syirazi, keduanya merupakan ulama Asya’irah? Ini beberapa buktinya:

Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah berkata:

وأبوالحسن الأشعري إمام أهل السنة، وعامة أصحاب الشافعي على مذهبه، ومذهبه مذهب أهل الحق

“Abul-Hasan Al-Asy’ari adalah seorang imam ahlussunnah. Kebanyakan para sahabat (ulama –pen) Asy-Syafi’i berada di atas madzhab beliau. Madzhab Asy’ari merupakan madzhab ahlul haq.” [Thabaqat Asy-Syafi’iyyah, 3/376]

Badruddin Al-Aini rahimahullah mengomentari hadits-hadits yang berbicara tentang sifat Allah:

والحديث من المتشابهات فحكمه التفويض أو التأويل بما يليق به

“Hadits ini termasuk hadits-hadits  mutasyabih, maka dihukumi tafwidh atau ta’wil yang layak dengannya” [Umdatul Qari, 22/139]

Al-Aini berkomentar tentang hadits an-nuzuul:

وهذا من باب المتشابهات والأمر فيها قد علم أنه إما التفويض وإما التَّأويل بنزول ملك الرحمة

“Ini termasuk bab mutasyabihat, perkaranya telah diketahui yaitu dihukumi tafwidh atau ta’wil dengan turunnya malaikat rahmat” [Umdatul Qari, 25/159]

Al-Aini mengomentari hadits “Pada hari kiamat nanti, Allah menjadikan langit-langit di satu jari, sedangkan bumi-bumi dan air di jari yang lain”:

وقد قلنا إن الحديث من المتشابهات والأمر فيه إما التَّفويض وإما التَّأويل

“Sungguh kami telah menyatakan bahwa hadits ini termasuk mutasyabih, perkaranya dihukumi tafwidh atau ta’wil.” [Umdatul Qari, 25/168]

Alasan lain karena Al-Aini bermadzhab Hanafi, barangkali ia mengikuti aqidah Abu Hanifah dalam masalah iman yaitu Murji'atul Fuqaha.  Allahua'lam

Ketiga, An-Nawawiy rahimahullah berkata:

مذهبُ أهلِ الحقِّ : أنّ الإيمانَ المُنجِي منَ الخلودِ في النّارِ لا بدّ فيه منَ الاعتقادِ والنّطق

Madzhab ahlul-haq : bahwasannya keimanan yang terlindung dari kekekalan neraka adalah i’tiqaad dan pengucapan (dua kalimat syahadat)” [Syarh Shahiih Muslim, 1/240]

Jawaban dari nukilan di atas, telah diketahui secara pasti bahwa An-Nawawi bermadzاab Asy’ari dalam masalah aqidah. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri, sehingga tidak membutuhkan banyak nukilan tentang beliau.

Duhai, kenapa mereka mesti menukil perkataan ulama Asya’irah? Kenapa tidak mencukupkan denga nukilan-nukilan dari para ulama ahlus-sunnah? Apakah mereka tidak ridha dengan aqidah para ulama ahlus-sunnah? Ataukah hawa nafsu telah menguasai mereka, sehingga nekad mencomot semua nukilan yang mendukung, meskipun berasal dari orang-orang yang memiliki penyimpangan aqidah.

Keempat, seringkali mereka menukil perkataan Ibnu Hazm rahimahullah berikut:

وَمَن ضيّعَ الأعمالَ كلَّها فهُوَ مؤمِنٌ عاصٍ ناقصُ الإيمانِ ، لا يكفُر

Dan barangsiapa yang menelantarkan seluruh amal, maka ia mukmin yang bermaksiat lagi kurang imannya. Tidak dikafirkan” [Al-Muhallaa, 1/40-41]

Jawaban dari syubhat ini dari dua sisi:

Sisi pertama, perkataan Ibnu Hazm dalam masalah aqidah tidak bisa dipegang, terutama dalam masalah shifaat karena beliau bergelimang dalam ilmu manthiq dan filsafat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

ابن حزم وأمثاله ممن وافقوا الجهمية على نفي الصِّفات

“Ibnu Hazm dan yang semisalnya mencocoki Jahmiyyah dalam peniadaan shifaat” [Dar’ut Ta’arudh Al-Aql wan Naql, 7/263]

Ibnu Abdil Hadi rahimahullah berkata:

ولكن تبين لي منه أنه جهمي جلد
وقد كان ابن حزم قد اشتغل في المنطق والفلسفة، وأمعن في ذلك، فتقرر في ذهنه لهذا السَّبب معاني باطلة

“Namun telah jelas bagiku dari Ibnu Hazm bahwa ia adalah seorang Jahmi tulen… Dahulu Ibnu Hazm menyibukkan diri dengan ilmu manthiq dan filsafat serta memperdalamnya. Oleh karena itu, bercokol dalam pikirannya (perkataan-perkataan –pen) yang mengandung makna batil” [Mukhtashar Thabaqat Ulama Al-Hadits hal. 401]

Ibnu Aqil Az-Zhahiri rahimahullah berkata:

وإنما ضلَّ أبو محمد في العقائد لأنه لم يحسن تطبيق أصول الأخذ بالظاهر

“Abu Muhammad (Ibnu Hazm –pen) tersesat dalam masalah aqidah, karena ia tidak pandai dalam menerapkan ushul mengambil nash yang zhahir” [Ibnu Hazm Khilal Alfa ‘Am, 4/254]

Sisi kedua, Ibnu Hazm sendiri menukilkan ijma’ tentang kekafiran seorang yang meninggalkan shalat dalam perkataannya:

وقد جاء عن عمر وعبد الرحمن بن عوف ومعاذ بن جبل وأبي هريرة وغيرهم من الصحابة - رضي الله عنهم - أن من ترك صلاة فرض واحدة متعمدا حتى يخرج وقتها فهو كافر مرتد ، ولا نعلم لهؤلاء من الصحابة مخالف

“Telah datang riwayat dari Umar, Abdurrahman bin Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah dan para sahabat yang lain bahwa barangsiapa yang meninggalkan satu shalat fardhu hingga keluar waktunya secara sengaja, maka ia kafir murtad. Kami tidak mengetahui adanya sahabat yang menyelisihi.” [Al-Muhalla, 2/15]

Bagaimana mungkin seorang yang meninggalkan satu shalat dikafirkan oleh Ibnu Hazm, sedangkan seorang yang meninggalkan seluruh amal dikatakan mukmin!! Akal siapakah yang bisa menjawab kontradiksi ini?

Kelima, mereka menerjemahkan perkataan Asy-Syafi’i rahimahullah dengan ungkapan berikut:

وكان الإجماع من الصحابة و التابعين من بعدهم ومن أدركناهم يقولون الإيمان قول وعمل ونية لا يجزئ واحد من الثلاثة إلا بالأخر

Para sahabat, tabi’in setelah mereka, dan para ulama yang kami temui, mereka telah bersepakat (ijma’) mengatakan iman adalah perkataan, amal, dan niat. Salah satu dari ketiganya tidaklah mencukupi kecuali dengan yang lainnya” 

Penafsiran mereka dalam memahami perkataan Asy-Syafi’i tidaklah mengeluarkan keyakinan mereka dari aqidah Murji’ah, karena tidak ada perselisihan di antara kelompok Murji’ah sendiri bahwa amal ketaatan adalah hal yang dituntut dalam syariat. Hanya saja beberapa sekte Murji’ah berselisih tentang konsekuensi bagi orang-orang yang meninggalkan amal. Sebagian  menyatakan imannya sempurna seperti iman malaikat Jibril, sebagian menyatakan iman mereka tidak berkurang dengan meninggalkan amal, sebagian menyatakan imannya tidak sempurna meskipun tidak beramal sama sekali.  

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

فإن المرجئة لا تنازع في أن الإيمان الذي في القلب يدعو إلى فعل الطاعة ويقتضي ذلك، والطاعة من ثمراته ونتائجه

“Sungguh Murji’ah tidak berselisih bahwa iman yang ada dalam hati mengharuskan amal ketaatan dan merupakan konsekuensinya, amal ketaatan merupakan buah dan hasilnya.. [Al-Iman hal. 45]

Syaikhul Islam rahimahullah juga berkata:

فمن عرف ارتباط الظاهر بالباطن زالت عنه الشبهة في هذا الباب وعلم أن من قال من الفقهاء أنه إذا أقر بالوجوب وامتنع عن الفعل لا يقتل أو يقتل مع إسلامه فإنه دخلت عليه الشبهة التي دخلت على المرجئة والجهمية

“Barangsiapa yang mengetahui keterkaitan antara zhahir (amal jawarih) dan batin (ashlul-iman), maka akan terjawablah syubhat dalam bab ini. Ia akan mengetahui kenapa ada dari sebagian fuqaha’ yang menyatakan “ketika seorang mengakui kewajibannya, namun tidak mau beramal maka ia tidak dibunuh atau dibunuh dalam keadaan masih muslim (bukan karena kekafirannya –pen-)”. Sungguh mereka terpengaruh oleh syubhat yang masuk pada kelompok Murji’ah dan Jahmiyyah”. [Majmuu’ Al-Fatawa, 7/616]

Keenam, keganjilan berikutnya, kesamaan keyakinan mereka dengan aqidah pendahulu mereka dari kalangan Murji’ah bahwa meninggalkan amal tidak menyebabkan berkurangnya iman dalam satu kondisi, yaitu saat iman dalam hati tinggal tersisa ashlul-iman. Meninggalkan amal dalam kondisi ini sama sekali tidak mengurangi iman menurut mereka. Keyakinan “meninggalkan amal tidak mengurangi iman” bertentangan dengan aqidah ahlus-sunnah tanpa ada keraguan sedikit pun.

Al-Bukhari rahimahullah berkata:

وَسُئِلَ الأَوْزَاعِيُّ وَأَنَا أَسْمَعُ عَنِ الإِيمَانِ، فَقَالَ: " الإِيمَانُ يَزِيدُ، وَيَنْقُصُ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الإِيمَانَ لا يَزِيدُ، وَلا يَنْقُصُ فَهُوَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ فَاحْذَرُوهُ ".

“Al-Auzaa’iy pernah ditanya - dan waktu itu aku mendengarnya – tentang iman, lalu ia menjawab : “Iman dapat bertambah maupun berkurang. Barangsiapa yang menyangka iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang, maka ia adalah pelaku bid’ah. Waspadalah terhadapnya” [Juz’u Raf’il-Yadain fish-Shalaah hal. 154]

Al-Baghawi rahimahullah berkata:

المرجئة: هُم الّذين لا يرون الطاعة مِن الْإِيمَان، ويقولون: الْإِيمَان لا يزيد بالطاعة، ولا ينقص بالمعصية

“Murji’ah adalah mereka yang tidak memandang ketaatan termasuk bagian dari iman. Mereka berkata : ‘Iman tidak bertambah dengan ketaatan dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan” [Syarhus-Sunnah 13/129]

Abul-Qasim Al-Ashbahani rahimahullah berkata:

والمرجئة تقول: إن العمل ليس من الإيمان وإن مرتكب الكبيرة مؤمن، وإن الإيمان لا يزيد ولا ينقص

“Dan Murji’ah berkata: ‘Sesungguhnya perbuatan tidak termasuk keimanan, orang yang melakukan dosa besar adalah seorang mukmin, serta iman tidak dapat bertambah dan tidak pula berkurang” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 2/383]

عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ إِدْرِيسَ، يَقُولُ: كَذَبَ مَنْ زَعَمَ أَنَّ الإِيمَانَ لا يَزِيدُ وَلا يَنْقُصُ

Dari ‘Abdullah bin Idriis, ia berkata : “Telah berdusta orang yang menyangka iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang” [Al-Muntaqaa no. 97]

Ketujuh, mereka juga selalu mengulang-ulang perkataan Al-Barbahari rahimahullah berikut untuk berlepas diri dari aqidah Murji’ah:

ومن قال : (الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص)، فقد خرج من الإرجاء كلِّه، أوَّله وآخره.

Barangsiapa yang mengatakan : ‘iman itu adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah maupun berkurang’ ; sungguh ia telah keluar dari (bid’ah) irjaa’ secara keseluruhan, dari awal hingga akhirnya” [Syarhus-Sunnah, hal. 123, 161]

Syubhat ini juga dijawab dari dua sisi:

Sisi pertama, keyakinan mereka dalam masalah iman merupakan keyakinan yang baru muncul belakangan, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menggolongkan mereka termasuk sekte kelima dari sekte Murji’ah.

و هناك فرقة خامسة ظهرت الآن و هم الذين يقولون : إن الأعمال شرط في كمال الإيمان الواجب أو الكمال المستحب

“Di sana terdapat kelompok kelima yang baru muncul sekarang, mereka menyatakan bahwa amal adalah syarat kesempurnaan iman wajib atau syarat kesempurnaan iman mustahhab” [At-Ta’liq Al-Mukhtashar ‘alal Qashidah An-Nuniyah, 2/647]

Perkataan Al-Barbahari yang mereka nukil merupakan penyifatan tentang sekte Murji’ah di masa beliau, sehingga tidak tepat jika dikaitkan dengan sekte Murji’ah yang baru muncul belakangan ini. Seandainya Al-Barbahari hidup sekarang dan melihat kesesatan mereka, tentu Al-Barbahari akan mengingkari mereka dengan keras sebagaimana pengingkaran Al-Fauzan, Al-Luhaidan, Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Abdullah Al-Ghudayyan, Abdul Aziz Ar-Rajihi dan para ulama kibar yang lain.

Sisi kedua, telah berlalu penjelasannya, mereka meyakini bahwa meninggalkan amal tidak mengurangi iman dalam satu kondisi yaitu saat iman dalam hati tinggal tersisa ashlul-iman. Meninggalkan amal dalam kondisi ini sama sekali tidak mengurangi iman menurut mereka. Sehingga perkataan Al-Barbahari di atas pada hakikatnya masih menyinggung keyakinan mereka.

Kedelapan, mereka juga menukilkan perkataan Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah berikut:

إذا عرف وأقر وفرط في العمل هو مؤمن بالله ورسوله، لا نقول مؤمن بإطلاق


Apabila ia mengetahui, mengakuinya, namun meninggalkan amal, maka ia orang yang beriman (mukmin) terhadap Allah dan Rasul-Nya (= tidak kafir), namun kami tidak mengatakannya orang yang beriman (mukmin) secara mutlak” [At-Tabshiir fi Ma’alamid Din, hal. 196]

Syubhat ini juga dijawab dari dua sisi:

Sisi pertama, “mufarrith fil amal” tidak tepat jika diterjemahkan dengan “meninggalkan”, sebab seorang mufarrith belum tentu meninggalkan. Sebagai contoh, seorang yang melakukan tafriith dalam shalat, belum tentu ia meninggalkan shalat, artinya meninggalkan hal-hal yang wajib dan sunah dalam shalat dengan sengaja juga dinamakan tafriith. Sehingga perkataan At-Thabari di atas bukan dalam mahallun niza’ (letak perselisihan)

Sisi kedua, terdapat perkataan Ibnu Jarir At-Thabari yang lebih sharih dalam masalah iman yang mencocoki ahlus-sunnah, yaitu: 
 
عن علي بن سهل الرملي حدثنا الوليد بن مسلم قال : ( سمعت الأوزاعي ومالك بن أنس وسعيد بن عبد العزيز رحمهم الله ينكرون قول من يقول: إن الإيمان إقرار بلا عمل ، ويقولون لا إيمان إلا بعمل ، ولا عمل إلا بإيمان

“Dari Ali bin Sahl Ar-Ramli, ia berkata: menceritakan pada kami Al-Walid bin Muslim, ia berkata: “Aku mendengar Al-Auza’i, Malik bin Anas dan Sa’id bin Abdul Aziz rahimahumullah mengingkari sebagian orang yang menyatakan: “sesungguhnya iman adalah iqraar (syahadat –pen-) tanpa amal.  Al-Auza’i, Anas bin Malik dan Sa’id bin Abdul Aziz menyatakan bahwa tidak ada iman tanpa amal, serta tidak ada amal tanpa iman.” [Shariihus Sunnah]

Seperti biasanya, mereka hanya menukil perkataan ulama yang mencocoki hawa nafsunya, tanpa menoleh pada nukilan perkataan ulama tersebut di kitab-kitab yang lain.

Kesembilan, mereka menukil perkataan Az-Zuhri berikut secara terpotong, sehingga menjadi rusak maknanya:

 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْرٍ، عَنْ مَعْمَرٍ، قَالَ: وَقَالَ الزُّهْرِيُّ "قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا، قَالَ: نَرَى أَنَّ الْإِسْلَامَ الْكَلِمَةُ وَالْإِيمَانَ الْعَمَلُ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaid : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Tsaur, dari Ma’mar, ia berkata : Telah berkata Az-Zuhriy tentang ayat : Akan tetapi katakanlah: ‘Kami telah tunduk’, ia berkata : “Kami berpendapat bahwa islam adalah kalimat (syahadat) dan iman adalah amal

Dipahami dari nukilan terpotong di atas bahwa seorang cukup bersyahadat untuk menjadi seorang muslim, ia tidak dituntut untuk beramal, karena amal hanyalah dilakukan untuk memperoleh tingkatan mukmin. Mukmin adalah tingkatan di atas muslim. Allahulmusta’an

Syaikhul Islam rahimahullah menukil perkataan Az-Zuhri tersebut dengan sedikit tambahan dari apa yang mereka sebutkan. Az-Zuhri rahimahullah berkata:

كنا نقول الإسلام بالإقرار والإيمان بالعمل, والإيمان قول وعمل قرينان لا ينفع أحدهما إلا بالأخر

“Kami menyatakan bahwa Islam adalah iqraar dan iman adalah amal. Iman adalah perkataan dan amal, keduanya sangat dekat. Tidak bermanfaat mencukupkan salah satunya tanpa yang lain.” [Majmu’ Al-Fataawa, 7/295]

Bandingkan nukilan mereka dengan nukilan Syaikhul Islam, siapa yang lebih jujur dalam menukil?

Berkat taufiq dari Allah, saya telah menyebutkan ketidak-jujuran mereka dalam menukil perkataan ulama dalam artikel berikut:

Mereka Tidak JujurDalam Menukil Perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab

Allahua’lam, semoga bermanfaat.

 


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 15 Rabi’uts Tsani 1436

1 comment:

  1. Tulisan yang sangat membantu saya dalam memahami tentang iman menurut ahlussunnah dan murji'ah. Hanya saja ada pertanyaan yang timbul dalam diri saya:
    1. Apakah Ibnu Hazm seorang Jahmi karena penyimpangannya dalam perkara aqidah (ushul)? (sehingga bisa divonis mubtadi')
    2. Penjelasan syaikh Fauzan di atas berlaku untuk seluruh tulisan artikel atau ada tambahan dari penulis? (mohon disertakan link arabic tulisan syaikh Fauzan)
    Baarakallaahu fiik, ustadz

    ReplyDelete