Saturday, October 18, 2014

Sikap Yang Benar Terhadap Kesalahan Seorang Ulama

Pertanyaan: Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, ada dua pertanyaan tentang manhaj yang sepantasnya bagi seorang penuntut ilmu untuk berjalan di atasnya jika muncul kesalahan dari sebagian Masayikh, yaitu dari Masayikh dan para ulama, dan sebagian penuntut ilmu mendengar ada yang menggelari mereka dengan ucapan yang buruk atau menjatuhkan kehormatan mereka atau mencela mereka. Maka bagaimana bimbingan Anda terhadap hal semacam ini, terkhusus jika sebuah kesalahan muncul dari sebagian Masayikh?
Jawaban Asy-Syaikh Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly Hafizhahullah

Manhaj yang benar dalam hal ini adalah bahwasanya seorang ulama bisa saja keliru dan seorang ulama terkadang tidak tahu. Sebagian manusia jika mendapati seorang ulama keliru maka mereka ada yang mengatakan: “Ulama ini bodoh.” Ini merupakan manhaj yang menghancurkan. Malik pernah ditanya tentang 40 masalah, lalu beliau hanya menjawab 8 atau 6 atau 4 masalah saja, sedangkan tentang masalah lainnya beliau menjawab: “Allahu a’lam, Allahu a’lam, aku tidak tahu.” [1]
Abdurrahman bin Mahdy pernah menceritakan: “Ada seseorang datang kepada Malik bin Anas untuk menanyakan sesuatu kepada beliau, lalu Malik menjawab: “Aku tidak tahu.” Maka orang tersebut mengatakan: “Apakah saya harus mengatakan tentang Anda bahwa Anda tidak tahu?” Malik menjawab: “Ya, ceritakan tentang diriku bahwa aku tidak tahu!” [2]
Jadi seorang ulama yang jujur dan ikhlash, dia tidak akan peduli dikatakan sebagai orang yang berilmu ataupun dikatakan sebagai orang yang bodoh.
Seorang penuntut ilmu wajib untuk memiliki adab, dan tidak sepantasnya memiliki timbangan yang rusak atau zhalim semacam ini!!
Seseorang jika dia keliru dalam 2 atau 10 atau 20 kesalahan maka jangan engkau rendahkan dia! Dia memiliki ilmu wahai saudaraku! Hanya saja dia tidak mengetahui semua perkara, dia tidak menguasai segala sesuatu. Dan memang tidak ada seorang pun yang mengetahui semua ilmu secara menyeluruh, tidak Asy-Syafi’iy, tidak Ahmad, tidak Malik, dan tidak pula para Shahabat. Dahulu para tokoh Shahabat tidak mengetahui sebagian hadits, padahal Shahabat lain yang kedudukannya di bawah mereka ada yang menghafalnya. Namun demikian tidak ada seorang pun yang merendahkan mereka, dan tidak ada seorang pun yang menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh. Kita berlindung kepada Allah dari penilaian semacam ini.
Sekarang ini di medan dakwah ada orang-orang yang modelnya semacam ini. Jika ada seseorang keliru dalam satu kesalahan saja atau dia tidak mengetahui sebuah masalah, maka mereka mengatakan: “Demi Allah, dia adalah orang yang bodoh.”
Semacam ini adalah manhaj yang menghancurkan. Wajib atas kita untuk memuliakan para ulama dan memuliakan para penuntut ilmu. Dan hendaknya kaum Muslimin sebagian mereka menghormati sebagian yang lain. Dan hendaknya kita tidak menghalalkan kehormatan manusia hanya gara-gara engkau mendapati sedikit saja kesempatan untuk mencela saudaramu sesama muslim.
[As-ilah Risalah Fadhlil Ilmi wal Ulama' hal 168-189]
Catatan kaki:
[1] Lihat: Al-Intiqaa’ karya Ibnu Abdil Barr hal 38, Tartiibul Madaarik karya Al-Qadhy Iyyadh I/146, dan Raf’ul Haajib an Mukhtashar Ibnil Haajib karya As-Subuky, I/245.
[2] Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Masa-il-nya sebagaimana disebutkan dalam I’laamul Muwaqqi’iin karya Ibnul Qayyim, I/33 terbitan Al-Jiil, Al-Aajurry dalam Akhlaaqul Ulamaa’ hal. 113-114, dan Al-Khathib Al-Baghdady dalam Al-Faqiih wal Mutafaqqih no. 1117.
Alih Bahasa: Abu Almass di forumsalafy.net
Ahad, 18 Dzulhijjah 1435

1 comment:

  1. Dialog Syaikh Al-Albani dengan salah seorang penanya dari Yaman yang menyatakan kepada syaikh bahwasanya ada seorang dai yang memuji ahlul bid’ah dan telah diketahui bersama bahwa ahlul bid’ah tersebut memiliki perkataan-perkataan yang menyimpang. Maka dikatakan kepadanya, “Apakah da’i ini memuji perkataan yang menyimpang tersebut ataukah memuji pengucapnya?”
    Kemudian Syaikh Al-Albani berkata kepadanya, “Akapah jika aku memuji seseorang berarti aku membenarkan seluruh perkataannya?”. Penanya tersebut berkata, “Tidak”. Syaikh Al-Albani berkata kepadanya, “Jika demikian maka apa maksud dari pertanyaanmu ini?”. Kemudian Syaikh berkata kepadanya:
    ((Wahai akhi.. aku nasehati engkau dan para pemuda yang lain yang berdiri di atas garis yang menyimpang –wallahu A’lam, inilah yang nampak padaku- janganlah kalian menyia-nyiakan waktu kalian untuk mengkritik antara sebagian kalian terhadap sebagaian yang lain. Engkau berkata, “Si fulan mengatakan demikian.., si fulan bilang demikian…”. Karena pertama hal ini sama sekali bukanlah ilmu dan yang kedua uslub (cara) seperti ini membuat hati menjadi marah, dan menimbulkan hasad dan permusuhan pada hati-hati (kalian).
    Yang wajib bagi kalian adalah menuntut ilmu, ilmulah yang akan mengungkap bahwa apakah perkataan yang memuji si fulan karena si fulan ini memiliki banyak kesalahan – misalnya- apakah berhak bagi kita untuk menamakan orang yang memuji si fulan ini sebagai pelaku bid’ah yang kemudian apakah kita hukumi sebagai mubtadi’???, kenapa kita harus terlalu tenggelam hingga mendetail seperti ini??. Aku nasehati (engkau) agar jangan terlalu tenggelam hingga mendetail seperti ini!!. Karena kenyataannya kita mengeluhkan perpecahan yang sekarang terjadi di antara orang-orang yang berintisab kepada dakwah Al-Kitab dan As-Sunnah atau sebagaimana yang kita katakan sebagai dakwah salafiyah, perpecahan ini, wallahu a’lam, penyebab utamanya adalah dorongan jiwa yang memerintahkan kepada keburukan (an-Nafsul ammarah bis suu`) dan bukanlah perselisihan pada sebagian pemikiran. Inilah nasehatku…
    Aku sering sekali ditanya, “Apa pendapatmu tentang fulan?”, dan aku langsung faham bahwa ia (penanya) orang yang memihak atau memusuhi. Dan terkadang orang yang ditanyakan adalah termasuk ikhwan-ikhwan kita. Dan terkadang orang yang ditanyakan termasuk diantara ikhwan-ikhwan lama kita yang dikatakan dia telah menyimpang, maka kami bantah penanya tersebut, apa yang engkau inginkan terhadap fulan dan fulan??
    Berlaku luruslah sebagaimana engkau diperintahkan! Tuntutlah ilmu! Dengan ilmu engkau akan dapat memilah-milah mana yang thalih dan mana yang shalih, siapa yang benar dan siapa yang salah.!!! Kemudian janganlah engkau ini mendengki terhadap saudaramu sesama muslim hanya dikarenakan ia bersalah atau kita katakan ia telah munharif (menyimpang). Akan tetapi ia menyimpang dalam dua atau tiga permasalahan, adapun permasalahan-permasalahan yang lain ia tidak menyimpang…)) (Silsilah Al-Huda wan Nuur kaset (784)

    ReplyDelete