Misalkan satu ember air terkena percikan air
kencing, tentu air dalam ember itu tetap nampak
bening tanpa mengalami perubahan warna, bau atau rasanya. Bolehkah air
itu digunakan untuk mandi atau berwudhu?
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Ibnul Mundzir
dan ulama yang lain menghikayatkan ada tujuh pendapat dalam masalah ini”[1]. Namun
ada dua pendapat yang lebih kuat diantara tujuh pendapat itu:
Pendapat pertama menyatakan jika jumlah air itu mencapai dua
qullah atau lebih, lalu bercampur dengan najis tanpa ada perubahan salah satu
dari tiga sifatnya, maka air itu suci. Namun jika jumlah air kurang dari dua
qullah, lalu bercampur najis, maka air itu teranggap najis, baik mengalami
perubahan atau tidak.
Ini merupakan pendapat dalam madzhab
Asy-Syafi’i, Ahmad dalam salah satu riwayat, Ishaq bin Rahawaih dan Abu Ubaid.
Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إذا كان الماء قلتين لم
يحمل الخبث
“Apabila air itu mencapai dua qullah, maka tidak
mengandung najis” [HR. Abu Daud no. 63, An-Nasa’i no. 52, At-Tirmidzi no.
67, Ibnu Majah no. 517, Ibnu Khuzaimah no. 92, Ibnu Hibban no. 1249 dan
Al-Hakim (1/132)]. Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafazh [لم ينجس] artinya tidak najis.
Hadits ini dishahihkan oleh Ahmad, Ishaq, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi[2], Al-‘Alla’iy,
Ibnu Hajar[3] dan
Al-Albani[4]
rahimahumullah.
Mafhuum mukhalafah dari hadits di atas, apabila
jumlah air itu tidak mencapai dua qullah, lalu bercampur dengan najis, maka air
itu mengandung najis.
Pendapat kedua menyatakan air banyak atau sedikit yang
bercampur dengan najis, tidak otomatis dihukumi najis hingga mengalami perubahan
salah satu dari tiga sifatnya.
An-Nawawi rahimahullah berkata: “Pendapat ini
dihikayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Ikrimah, Sa’id
bin Jubair, Atha’, Abdurrahman bin Abi Laila, Jabir bin Zaid, Yahya bin Sa’id
Al-Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi. Sahabat kami berkata: ‘ini adalah
madzhab Malik, Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri dan Dawud.’
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: ‘Aku
berpendapat dengan madzhab ini, pendapat ini juga dipilih oleh sebagian ulama
Syafi’iyyah.”[5]
Ini juga merupakan pendapat Ahmad dalam salah
satu riwayat dan salah satu qaul Asy-Syafi’i.[6]
Para ulama tersebut berdalil dengan hadits Anas
bin Malik dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma bahwa suatu saat ada seorang arab
badui yang kencing di masjid, maka Nabi shallallahu ’alaihi wasallam
memerintahkan untuk mengambil seember air, lalu disiramkan di atas bekas kencingnya.
[HR. Al-Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284]
Sisi pendalilan dari hadits di atas, Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam hanya memerintahkan untuk menyiramkan satu ember
air untuk menghilangkan najis air kencing orang badui tadi, dan itu telah
mencukupi. Hal ini menunjukkan apabila jumlah air mendominasi najis, lalu bekas
najis telah hilang, maka campuran air itu tidak dihukumi najis.
Tarjih
Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani,
Ash-Shan’ani, Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah merajihkan pendapat
kedua. Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata: “Apabila najis yang bercampur dengan air tidak merubah (salah satu
dari tiga sifatnya –pen), maka air itu tetap sama seperti asal penciptaanya
yaitu thayyib (suci –pen). Air itu termasuk dalam firman Allah ta’ala: [ويحل لهم الطيبات] artinya ‘Allah menghalalkan bagi mereka sesuatu yang baik.’[7].[8]
Adapun hadits qullatain yang dijadikan dalil
oleh pendapat pertama, telah dijawab oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam
perkataannya: “Adapun air yang belum mencapai dua qullah, syariat tidak
memberitahukan secara pasti bahwa air itu mengandung najis. Apabila jumlah air
belum mencapai dua qullah, mafhuum hadits qullatain mengandung beberapa kemungkinan,
mungkin air itu berubah menjadi najis atau mungkin pula tidak. Air yang berubah
menjadi najis haruslah mengalami perubahan pada salah satu dari sifat-sifatnya.”[9]
Allahua’lam
Sumber: Fathul ‘Allam, 1/27-31
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 24
Dzulhijjah 1435
No comments:
Post a Comment