Saturday, October 18, 2014

Jika Air Sedikit Bercampur Najis, Namun Tidak Mengubah Warna, Bau atau Rasanya, Sucikah?

Misalkan satu ember air terkena percikan air kencing, tentu air dalam ember itu tetap nampak  bening tanpa mengalami perubahan warna, bau atau rasanya. Bolehkah air itu digunakan untuk mandi atau berwudhu?

An-Nawawi rahimahullah berkata: “Ibnul Mundzir dan ulama yang lain menghikayatkan ada tujuh pendapat dalam masalah ini”[1]. Namun ada dua pendapat yang lebih kuat diantara tujuh pendapat itu:

Pendapat pertama menyatakan jika jumlah air itu mencapai dua qullah atau lebih, lalu bercampur dengan najis tanpa ada perubahan salah satu dari tiga sifatnya, maka air itu suci. Namun jika jumlah air kurang dari dua qullah, lalu bercampur najis, maka air itu teranggap najis, baik mengalami perubahan atau tidak.

Ini merupakan pendapat dalam madzhab Asy-Syafi’i, Ahmad dalam salah satu riwayat, Ishaq bin Rahawaih dan Abu Ubaid. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث

Apabila air itu mencapai dua qullah, maka tidak mengandung najis” [HR. Abu Daud no. 63, An-Nasa’i no. 52, At-Tirmidzi no. 67, Ibnu Majah no. 517, Ibnu Khuzaimah no. 92, Ibnu Hibban no. 1249 dan Al-Hakim (1/132)]. Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafazh [لم ينجس] artinya tidak najis.

Hadits ini dishahihkan oleh Ahmad, Ishaq, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi[2], Al-‘Alla’iy, Ibnu Hajar[3] dan Al-Albani[4] rahimahumullah.

Mafhuum mukhalafah dari hadits di atas, apabila jumlah air itu tidak mencapai dua qullah, lalu bercampur dengan najis, maka air itu mengandung najis.

Pendapat kedua menyatakan air banyak atau sedikit yang bercampur dengan najis, tidak otomatis dihukumi najis hingga mengalami perubahan salah satu dari tiga sifatnya.

An-Nawawi rahimahullah berkata: “Pendapat ini dihikayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Atha’, Abdurrahman bin Abi Laila, Jabir bin Zaid, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi. Sahabat kami berkata: ‘ini adalah madzhab Malik, Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri dan Dawud.’

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: ‘Aku berpendapat dengan madzhab ini, pendapat ini juga dipilih oleh sebagian ulama Syafi’iyyah.”[5]

Ini juga merupakan pendapat Ahmad dalam salah satu riwayat dan salah satu qaul Asy-Syafi’i.[6]

Para ulama tersebut berdalil dengan hadits Anas bin Malik dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma bahwa suatu saat ada seorang arab badui yang kencing di masjid, maka Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memerintahkan untuk mengambil seember air, lalu disiramkan di atas bekas kencingnya. [HR. Al-Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284]

Sisi pendalilan dari hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya memerintahkan untuk menyiramkan satu ember air untuk menghilangkan najis air kencing orang badui tadi, dan itu telah mencukupi. Hal ini menunjukkan apabila jumlah air mendominasi najis, lalu bekas najis telah hilang, maka campuran air itu tidak dihukumi najis.

Tarjih

Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah merajihkan pendapat kedua.  Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Apabila najis yang bercampur dengan air tidak merubah (salah satu dari tiga sifatnya –pen), maka air itu tetap sama seperti asal penciptaanya yaitu thayyib (suci –pen). Air itu termasuk dalam firman Allah ta’ala: [ويحل لهم الطيبات] artinya Allah menghalalkan bagi mereka sesuatu yang baik.[7].[8]

Adapun hadits qullatain yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama, telah dijawab oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam perkataannya: “Adapun air yang belum mencapai dua qullah, syariat tidak memberitahukan secara pasti bahwa air itu mengandung najis. Apabila jumlah air belum mencapai dua qullah, mafhuum hadits qullatain mengandung beberapa kemungkinan, mungkin air itu berubah menjadi najis atau mungkin pula tidak. Air yang berubah menjadi najis haruslah mengalami perubahan pada salah satu dari sifat-sifatnya.”[9]

Allahua’lam

Sumber: Fathul ‘Allam, 1/27-31


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 24 Dzulhijjah 1435





[1] Al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab, 1/112
[2] Al-Badrul Muniir, 1/408-409
[3] At-Talkhish Al-Habiir 1/19
[4] Irwa’ul Ghaliil, 1/60
[5] Al-Majmuu’, 1/113
[6] Al-Mughniy, 1/39
[7] QS. Al-A’raf: 157
[8] I’laamul Muwaqi’in, 1/391
[9] Sa’ilul Jaraar, 1/55

No comments:

Post a Comment