Thursday, February 20, 2014

Jika Ulama Kibar Berselisih dalam Menilai Seseorang, Pendapat Manakah yang Diambil?

Misalkan Asy-Syaikh Muqbil berselisih dengan Asy-Syaikh Al-Utsaimin dalam menilai suatu hukum permasalahan kontemporer, atau Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi berselisih dengan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam menilai person tertentu, atau Asy-Syaikh Rabi’ memiliki penilaian yang berbeda dengan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahumullah

Apakah pendapat salah seorang dari para ulama tersebut wajib diterima dan diambil? Jika wajib diterima, pendapat ulama siapakah yang wajib diterima? Apakah Asy-Syaikh Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil, Asy-Syaikh Rabii atau Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan?

Memang saat terjadi fitnah, solusi terbaik adalah kembali kepada ulama kibar karena keberkahan ilmu bersama mereka. Namun permasalahannya, para ulama kibar juga berselisih dalam memberikan arahan dan nasehat, apa yang harus kita lakukan?

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

«لسنا ندَّعِي في أئمَّةِ الجرح والتعديل العصمةَ من الغلط النادِرِ، ولا من الكلام بنَفَسٍ حادٍّ فيمن بينه وبينهم شحناء وإحنة، وقد عُلِمَ أنّ كثيرًا من كلامِ الأقران بعضِهم في بعض مُهْدَرٌ لا عبرةَ به، لا سيما إذا وَثَّقَ الرجلَ جماعةٌ يلوح على قولهم الإنصاف»

“Kami tidak mengklaim kemaksuman pada imam jarh wa ta’dil dari kesalahan yang jarang terjadi, mereka tidak pula terbebas dari perkataan keras diantara mereka yang menjurus pada permusuhan dan pertikaian. Diketahui bahwa kebanyakan perkataan ulama yang selevel, penilaian salah seorang mereka  kepada yang lain tidak diambil dan tidak dianggap, terlebih jika  sekelompok ulama yang memiliki sikap inshaf (adil) dalam perkataanya menilai tsiqah orang tersebut.” [Siyaru A’lam An-Nubalaa’, 7/40-41)

Adz-Dzahabi rahimahullah juga berkata:

«وكلام الأقران بعضِهم في بعضٍ لا يعبأ به لا سيما إذا لاح لك أنه لعداوة أو لمذهب أو لحسد وما ينجو منه إلاّ من عصمه الله، وما علمت أنّ عصرًا من الأعصار سَلِمَ أهلُهُ من ذلك سِوَى الأنبياءِ والصدِّيقين ولو شئتُ لسَرَدْتُ من ذلك كراريس»

“Perkataan teman yang selevel, salah satu dari mereka kepada sahabatnya yang lain tidaklah teranggap, terlebih lagi jika telah jelas bagi Anda bahwa perkataan tersebut disebabkan oleh permusuhan, (fanatik) madzhab ataupun hasad. Tidak ada seorang pun yang selamat dari sifat ini kecuali orang-orang yang Allah anugerahkan kemaksuman padanya (yaitu Nabi -pen). Saya belum mengetahui dari zaman ke zaman, ada orang yang terbebas dari sifat ini, kecuali para nabi dan shiddiqiin. Jika saya mau, saya akan menyebutkan permasalahan ini dalam tulisan-tulisan.” [Miizaanul I’tidal, 1/111]

Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata:

«إنّ من صحّت عدالتُهُ، وثبتت في العلم أمانتُهُ، وبانت ثقتُهُ وعنايته بالعلم لم يُلتفتْ إلى قول أحدٍ إلاّ أن يأتي في جرحه بِبَيِّنَةٍ عادلةٍ يصحُّ بها جرحه على طريق الشهادات والعمل فيها من المشاهدات والمعاينة»

“Sesungguhnya orang yang telah sah keadilannya, telah diketahui amanahnya dalam ilmu dan ke-tsiqah-annya, serta perhatiannya terhadap ilmu, maka tidak perlu menoleh perkataan orang yang men-jarh-nya, kecuali jika ia membawakan bukti yang adil dalam jarh-nya dan dapat dipertanggung-jawabkan melalui jalur persaksian, serta dikuatkan pula dengan bukti-bukti yang nyata.” [Jami’ Bayaan Al-‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/152]

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

فقد يعتقد أحد المجتهدين ضعف رجل , ويعتقد الآخر ثقته وقوته وقد يكون الصواب مع المضعف لاطلاعه على سبب خفي على الموثق وقد يكون الصواب مع الأخر لعلمه بأن ذلك السبب غير قادح في روايته وعدالته  , إما لأن  جنسه غير قادح وإما لأن له فيه عذرا أو تأويلا يمنع الجرح

"Terkadang sebagian mujtahid mendha’ifkan seseorang, sedangkan sebagian yang lain menilai tsiqah dan menguatkannya. Terkadang kebenaran bersama ulama yang mendha’ifkan, karena ia telah mengetahui sebab jarh yang tersembunyi bagi ulama yang menilai tsiqah, dan terkadang kebenaran bersama ulama yang menilai tsiqah, karena pengetahuan ulama tersebut bahwa sebab jarh ini tidaklah menjadikan celaan dalam riwayat dan keadilannya. Ada kemungkinan karena jenis kesalahannya memang tidak cukup untuk menjadikan celan baginya atau ia memiliki udzur dan ta’wil yang menghalanginya dari jarh” [Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 2/556] 

Taajuddin As-Subki Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

«الحذر كلّ الحذر أن تفهم قاعدتهم: «الجرح مقدم على التعديل» على إطلاقها، بل الصواب أنّ من ثبتت إمامته وعدالته وكثر مادحوه وندر جارحوه، وكانت هناك قرينة دالة على سبب جرحه من تعصُّب مذهبيٍّ أو غيرِه لم يلتفت إلى جرحه»

“Berhati-hatilah dalam memahami kaidah jarh lebih didahulukan daripada ta’dil’ secara mutlak. Yang lebih tepat adalah orang yang telah diketahui keimaman dan kredibilitasnya, banyak yang memujinya dan sedikit yang men-jarh-nya, serta ada pula indikasi yang menunjukkan bahwa alasan jarh-nya disebabkan karena fanatik madzhab atau selainnya, maka tidak perlu menoleh pada jarh-nya.” [Thabaqat Asy-Syâfi’îyah, 1/188]

As-Subki rahimahullah juga berkata:

«عرفناك أنّ الجارح لا يقبل منه الجرح، وإن فسّره في حقّ من غلبت طاعته على معاصيه، ومادحوه على ذامّيه، ومُزَكُّوه على جارحيه، إذا كانت هناك منافسة دنيوية، كما يكون بين النظراء أو غير ذلك، وحينئذٍ فلا يلتفت لكلام الثوريِّ وغيرِه في أبي حنيفة، وابن أبي ذئب وغيرِه في مالكٍ، وابنِ معينٍ في الشافعي، والنسائيِّ في أحمدَ بنِ صالحٍ ونحوِه، ولو أطلقنا تقديم الجرحِ لَمَا سَلِمَ لنا أحدٌ من الأئمّة، إذ ما من إمامٍ إلاّ وقد طَعَنَ فيه الطاعنون، وهَلَكَ فيه الهالكون»

“Telah kami jelaskan kepada Anda, bahwa seorang ulama yang men-jarh terkadang tidak diterima jarh-nya kepada orang yang lebih dominan ketaatannya dari kemaksiatannya, orang yang memujinya lebih banyak dari yang mencelanya atau orang yang merekomendasikan lebih banyak daripada yang men-jarh-nya, meskipun ia memberikan rincian, apabila di sana terdapat unsur persaingan duniawi.

Sebagaimana yang terjadi diantara kubu yang saling berseteru atau selainnya. Pada saat itu, tidak perlu menoleh kepada perkataan Ats-Tsauri dan selainnya kepada Abu Hanifah, perkataan Ibnu Abi Dzi’b dan selainnya kepada Malik, Ibnu Ma’in kepada Asy-Syafi’i, An-Nasa’i kepada Ahmad bin Shalih dan semisalnya. Sekiranya kita secara mutlak mendahulukan jarh (dari ta’dil dalam semua keadaan), tentu tidak ada seorang imam pun yang selamat. Karena tidak ada seorang imam pun melainkan ada para pencela yang mencelanya dan terdapat orang-orang binasa yang berusaha menjatuhkannya.” [Thabaqat Asy-Syâfi’îyah, 1/190]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata:

نحن متفقون على جرح أهل البدع والحزبيين , متفقون على هذا , بقي في أناس عند شخص من المجروحين وعند اخر ليسوا من المجروحين , هذا حدث على عهد السلف فرب راو يقول فيه أحمد بن حنبل ثقة , ويقول فيه يحيى بن معين كذاب , أو العكس وهكذا البخاري وأبو زرعة وأبو حاتم والمهم لا يقلد بعضهم بعضا , فإن اختلفنا في توثيق شخص أو تجريحه فليس هذا أننا مختلفون في العقيدة هذا أننا مختلفون في الإتجاه

“Kita bersepakat untuk memberikan jarh terhadap ahlul-bid’ah dan hizbiyyin, kita telah bersepakat di atas hal ini. Tinggal tersisa sekelompok orang yang teranggap majruh menurut sebagian ulama, namun teranggap tsiqah menurut ulama yang lain, ini telah terjadi sejak masa salaf. Terkadang terdapat seorang rawi yang dinyatakan oleh Ahmad bin Hanbal “tsiqah”, namun Yahya bin Ma’in menilainya “kadzaab”, atau sebaliknya.

Demikian pula yang terjadi pada Al-Bukhari, Abu Zur’ah, Abu Hatim, yang terpenting adalah sebagian mereka (para ulama –pen) tidaklah taklid kepada ulama yang lain. Jika kita berselisih tentang penilaian tsiqah atau jarh terhadap seseorang, bukanlah berarti kita berselisih dalam permasalahan aqidah, tidak pula berarti kita berselisih dalam arah dan tujuan.” [Kaset Ad-Durar fii Al-Ajwibah]

Asy-Syaikh Muhammad Ali Firkuuz hafizhahullah berkata:

فأقوالُ العلماء في الجرح والتعديلِ أو في كلامِ بعضِهم في بعضٍ أمرٌ اجتهاديٌّ يَقبلُ الإصابةَ والخطأَ، والمجتهدُ مأجورٌ على اجتهادِهِ وإن أخطأَ فله أجرٌ واحدٌ، فهو بكُلِّ حالٍ مأجورٌ، والإثمُ عنه مرفوعٌ، لقوله صَلَّى اللهُ عليه وآله وسَلَّم: «إذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ»(١- أخرجه البخاري في «الاعتصام بالكتاب والسنة» باب أجر الحاكم إذا اجتهد فأصاب أو أخطأ (6916)، ومسلم في «الأقضية» باب بيان أجر الحاكم إذا اجتهد فأصاب أو أخطأ: (4487)، وأبو داود في «الأقضية» باب في القاضي يخطئ (3574)، وابن ماجه في «الأحكام» يجتهد فيصيب الحق (2314)، وأحمد: (17360)، من حديث عمرو بن العاص رضي الله عنه)، ويترتَّب على ذلك ما ورد في السؤال من سعة الصدر وعدمِ التشنيعِ على المخالف وحملِهِ على أحسنِ المحامل؛ لأنّ الأصلَ في العلماء أنهم أهلُ عَدْلٍ وإنصافٍِ، وإنما قد يقع منهم من الطَّعن غيرِ المعتبر لِهَوًى، ومسالكُ الهوى ومساربه دقيقَةٌ، والمعصومُ من عصمه اللهُ.

“Pendapat para ulama dalam permasalahan jarh dan ta’dîl, atau penilaian sebagian mereka (ulama –pen) kepada ulama yang lain adalah perkara ijtihadiyyah yang bisa benar dan bisa keliru. Seorang mujtahid akan mendapatkan pahala atas ijtihadnya. Meskipun ia keliru, ia tetap mendapatkan satu pahala. Ulama yang berijtihad dalam hal ini akan bernilai pahala dan kesalahannya dimaafkan, sebagaimana sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam:

«إذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ، فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ، ثُمَّ أَخْطَأَ، فَلَهُ أَجْرٌ»

Jika seorang hakim memutuskan suatu hukum, kemudian ia berijtihad dan benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Jika ia memutuskan hukum, berijtihad kemudian keliru, ia mendapatkan satu pahala.”

[Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-I’tisham bil Kitabi was Sunnah bab “Ganjaran seorang hakim apabila ia berijtihad kemudian ia benar atau keliru” no. 6916, Muslim dalam Al-Aqdhiyah bab “Penjelasan tentang ganjaran seorang hakim apabila ia berijtihad kemudian ia benar atau keliru” no. 4487, Abu Dawud dalam Al-‘Aqdhiyah bab “Seorang Qadhi yang Keliru” no. 3574, Ibnu Majah dalam Al-Ahkam bab “Berijtihad kemudian menyepakati kebenaran” no. 2314 dan Ahmad no. 17360 dari hadits ‘Amru bin Al-‘Ash radhiyallâhu ‘anhu]

Konsekuensi dari permasalahan ini sebagaimana terdapat dalam pertanyaan adalah keharusan berlapang dada, ia tidak diperbolehkan merendahkan orang yang berselisih pendapat dengannya. Ia semestinya memahami perkataan ulama kepada kemungkinan yang terbaik, karena menurut kaidah asal, para ulama adalah orang yang adil dan obyektif, hanya saja terkadang terjadi pada mereka sikap saling mencela yang tidak semestinya yang disebabkan oleh hawa nafsu. Jalan dan celah hawa nafsu itu sangat tersembunyi, sedangkan kemaksuman hanyalah dimiliki oleh orang yang Allah anugerahkan kemaksuman padanya (yaitu nabi –pen)”

Sumber: website resmi beliau di http://www.ferkous.com/rep/Bb17.php

Asy-Syaikh Prof. Muhammad bin Umar Bazmuul hafizhahullah pernah ditanya,

السلام عليكم شيخنا أحسن الله إليكم هل الجرح والتعديل من المسائل الاجتهادية أو الخلافية وجزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم

Assalamu’alaikum syaikhana ahsanallahu ilaikum..apakah jarh dan ta’dil termasuk permasalahan ijtihadiyyah atau khilafiyyah? Semoga Allah memberikan balasan kebaikan dan barakah pada Anda..

Asy-Syaikh Muhammad Bazmuul hafizhahullah menjawab:

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
الأصل في الجرح والتعديل أنه خبر ، ينقله لك العالم أو يخبر به العالم عن حال المجروح أو المعدل. ويدخل إليه الاجتهاد من جهتين:
الجهة الأولى : تنزيله المرتبة المناسبة لحاله.
الجهة الثانية : فهم مراد العالم من عبارته.
والله اعلم

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, asas dalam ilmu jarh dan ta’dil adalah khabar (berita), yaitu seorang ulama yang menukilkan atau menyampaikan berita padamu tentang keadaan orang yang dijarh (dicela) atau dita’dil (diberikan rekomendasi). Permasalahan ini termasuk ijtihadiyyah ditinjau dari dua sisi,

Pertama, ijtihadiyyah dalam memberikan vonis yang tepat terhadap keadaan orang (yang dijarh atau dita’dil –pen)

Kedua, ijtihadiyyah dalam memahami perkataan seorang ulama (saat memberikan jarh atau ta’dil–pen). Allahua’lam”

Sumber: website resmi Asy-Syaikh Muhammad Bazmuul di sini

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata:

إن كان الإختلاف حاصلا في كثير من الأحكام الفقهية فمن باب أولى أن يكون حاصلا في مسائل يتكلم فيها أهل الجرح و التعديل حسب علمهم واجتهادهم , وهذا أمر لا ينكر لكثرة حصوله ولتقرير من قبل أهل العلم

“Jika perselisihan pendapat terjadi dalam kebanyakan permasalahan fiqih (yang sumbernya berasal dari dalil wahyu -pen), maka perselisihan ini lebih layak terjadi pada permasalahan yang objeknya adalah perkataan ulama jarh wa ta’dil (perkataan manusia -pen), sesuai dengan ilmu dan ijtihad mereka. Ini adalah permasalahan yang tidak bisa diingkari, karena banyaknya fenomena yang terjadi, serta pengakuan langsung dari para ulama” [Al-Ibanah hal. 188]

Saya akan menyebutkan beberapa contoh perselisihan jarh dan ta’dil yang terjadi di kalangan ulama salaf,

Jarh Yahya bin Ma’in Terhadap Para Ulama Tsiqaat

Yahya bin Ma’in berkata saat menilai Asy-Syafi’i: “ia bukanlah seorang yang tsiqah”. Setelah diadukan kepada Ahmad bin Hanbal perkataan tersebut, Al-Imam Ahmad berkata: “Darimana Yahya mengetahui Asy-Syafi’i? Ia tidak mengetahui Asy-Syafi’i, tidak pula mengetahui perkataan Asy-Syafi’i, barangsiapa yang jahil terhadap sesuatu, maka ia akan memusuhinya” [Jami’ Al-Bayan no. 1533]

Demikian pula perkataan Yahya bin Ma’in saat menilai Thawus: “ia adalah seorang Syi’ah”. 

Yahya berkata saat menilai Al-Auza’i: “Ia tidak memiliki kemuliaan, ia hanyalah seorang tentara”. 

Yahya berkata saat menilai Az-Zuhri: “ia adalah penjaga simpanan harta sebagian penguasa Bani Umayyah, saat Az-Zuhri kehilangan sebagian hartanya, ia menuduh seorang pemuda, lalu memukulinya hingga pemuda itu mati” [Jami’ Al-Bayan no. 1533]

Yahya bin Ma’in adalah seorang ulama jarh wa ta’dil dengan kesepakatan ulama. Namun ketika beliau keliru dalam men-jarh para ulama tsiqaat, hal itu tidak mengurangi kemuliaan beliau, tidak menjadikan beliau dicela dan ditahdzir oleh ulama yang lain, karena kesalahan beliau yang sedikit hanyut oleh kebenaran beliau yang tak terhitung jumlahnya, serta jasa-jasa beliau yang besar dalam berkhidmat terhadap hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika kesalahan memvonis person terjadi pada Imam Jarh wa Ta’dil Yahya bin Ma’in, bukankah tidak mustahil hal ini juga terjadi pada para ulama yang berada di bawahnya?

Namun ketika seorang ulama keliru dalam berijtihad menilai person tertentu, para tukang fitnah memanfaatkan kesempatan ini untuk mencela, mentahdzir dan menjatuhkan para ulama sejatuh-jatuhnya, bahkan menggelari para ulama dengan nama-nama yang buruk. Inikah adab seorang penuntut ilmu kepada ulamanya... Allahulmusta’an

Jarh dan Ta’dil Para Ulama terhadap ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas

Sa’iid bin Al-Musayyib berkata kepada budaknya: “Wahai Burad, janganlah kau berdusta atasku sebagaimana Ikrimah berdusta atas Ibnu Abbas

Hammad bin Zaid berkata, dari Ayyub: “Seandainya aku tidak memiliki seorang pun perawi yang tsiqah, aku tetap tidak akan menulis dari Ikrimah”.

Ibnu Ulayyah berkata, Ayub menyebutkan tentang Ikrimah: “ia sedikit akalnya”.

Abu Khalaf Al-Kharraz berkata, dari Yahya Al-Bakka’i, aku mendengar Ibnu Umar berkata pada Nafi’: “Wahai Nafi’, janganlah engkau berdusta atas namaku sebagaimana Ikrimah berdusta atas nama Ibnu Abbas

Ibrahim bin Al-Mundzir berkata, dari Ma’n bin Isa: “Malik tidak mengangap Ikrimah sebagai tsiqah, ia memerintahkan untuk meninggalkannya”.

Ar-Rabii’ berkata, dari Asy-Syafi’i: “Ia (Malik) memiliki penilaian yang buruk terhadap Ikrimah. Malik berkata: “Aku tidak memperbolehkan seorang pun mengambil hadits dari Ikrimah”.

Wuhaib bin Khalid berkata, dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari: “Ia (Ikrimah –pen) adalah pendusta” [Tahdziib At-Tahdziib cetakan Muassasah Ar-Risalah, 3/135-136]

Jika kita diharuskan menerima dan mengambil jarh sebagian ulama secara mutlak, maka kita harus men-jarh Imam Asy-Syafi’i, Imam Al-Auza’i, Az-Zuhri, Thawus dan Ikrimah –semoga Allah merahmati mereka seluruhnya-,  bukankah demikian?

Namun para ulama dari zaman ke zaman tidaklah demikian dalam mengambil sikap, saya hanya akan menyebutkan pembelaan sebagian ulama terkait tuduhan dusta yang menimpa Ikrimah, seorang tabi’in yang mulia lagi imam para ahli tafsir,

Al-Marudzii berkata: aku berkata pada Ahmad, “apakah hadits Ikrimah dapat dijadikan hujjah?”. Imam Ahmad berkata: “iya, bisa dijadikan hujjah”.

Utsman Ad-Darimi berkata: aku bertanya pada Ibnu Ma’in, “manakah yang lebih kau sukai, Ikrimah atau Sa’id bin Jubair?”. Yahya menjawab: “tsiqah, tsiqah” tanpa memilih salah satunya”.

Ya’qub bin Abi Syaibah berkata, dari Ali bin Al-Madini berkata: “Tidak ada dari budak-budak Ibnu Abbas yang lebih berilmu dari Ikrimah, ia adalah seorang ulama”.

Al-Ijli berkata: “makkiy, tabi’in, tsiqah

Al-Bukhari berkata: “Tidak ada seorang pun dari sahabat kami kecuali berhujjah dengan hadits Ikrimah

An-Nasa’i berkata: “tsiqah

Ibnu Abi Hatim berkata: “aku bertanya pada ayahku, bagaimana keadaan Ikrimah?”. Ayahku berkata: “tsiqah”. Aku berkata: “haditsnya bisa dijadikan hujjah?”. Ayahku berkata: “iya, jika orang-orang tsiqaat meriwayatkan darinya”.

Yahya bin Ayyub Al-Mishri berkata: Ibnu Juraij bertanya padaku, “apakah kau menulis hadits Ikrimah?” Aku menjawab: “tidak”. Maka ia berkata: “kau kehilangan sepertiga ilmu”.

Jarir berkata, dari Mughirah, ditanyakan pada Sa’id bin Jubair, “Adakah orang yang lebih berilmu darimu?”. Sa’id menjawab: “ada, Ikrimah

Isma’il bin Abi Khalid berkata, aku mendegar Asy-Sya’bi berkata: “Tidak tersisa seorang pun yang lebih alim tentang kitabullah dari Ikrimah

Sa’id bin Abi ‘Aruubah berkata, dari Qatadah berkata: “Ada empat orang yang paling berilmu dari kalangan tabi’in; Atha’, Sa’id bin Jubair, Ikrimah dan Al-Hasan” [Tadziiib At-Tahdziib, 3/135-137]

Allahua’lam, semoga bermanfaat..



Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 20 Rabii’ul Akhiir 1435 

24 comments:

  1. Bismillaah
    Salamun 'alaykum. Masya Allaah.. tulisan yg bagus yaa Ustadz.. Semoga Allaah merohmati dan menjaga Antum. Aamiin Allaahumma aamiin

    ReplyDelete
  2. Kesimpulannya bagaimana ya ustadz? Jangan kemudian pembaca yg disuruh menyimpulkan sendiri. Antum pasti punya tujuan kan menulis artikel ini.

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Semoga Allah memberi taufiq kpd kita semua... amin...

      Delete
  4. Wa’alaikum salamun warahmatullah..

    Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Al-Akh Arsyad Makassar dan Al-Akh Abul-Harits Muhammad Mushlih yang keduanya merupakan teman sekaligus senior kami di Madinah. Keduanya telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi dan memberikan masukan pada tulisan saya ini, jazakumullah khairan..

    Barangkali para pembaca bingung, tulisan dalam artikel ini tertuju kepada siapa dan apa alasan yang mendorong saya menuliskannya. Oleh karena itu, saya akan menjelaskan beberapa point berikut:

    Pertama, sebab yang mendorong saya menuliskan artikel ini adalah salah seorang teman memberitakan pada saya bahwa telah beredar di “facebook” pernyataan sebagian ikhwah yang menurut saya keliru. Pernyataan yang saya maksud adalah “barangsiapa yang menyatakan bahwa ilmu jarh dan ta’dil adalah khilafiyah, maka ia seorang yang bodoh” atau dengan redaksi yang semakna.

    Mendengar hal itu, saya pun heran, kok bisa menyimpulkan demikian !! Padahal dalam kitab-kitab rijal hadits begitu banyak bertebaran perselisihan para ulama salaf dalam memberikan jarh atau ta’dil kepada seorang perawi. Di sini, saya hanya ingin meluruskan anggapan keliru ikhwah tersebut dengan menyebutkan contoh nyata perselisihan ini di kalangan ulama salaf. Adakah yang dapat mengingkari sesuatu yang nyata dan terjadi?

    Kedua, inti dalam suatu tulisan dapat dilihat dari judulnya. Jika kita melihat judul artikel ini “Jika Ulama Kibar Berselisih dalam Menilai Seseorang, Pendapat Manakah yang Diambil?”, bukankah point pembahasan saya masih global. Kenapa mesti ditujukan pada person-person tertentu. Barangkali setiap pembaca dapat menarik kesimpulan masing-masing, terbetik dalam hatinya bahwa artikel ini mendukung apa yang ia yakini selama ini.

    Dalam prolog tulisan ini, saya memberikan beberapa permisalan agar para pembaca memahami permasalahan apa yang hendak saya bahas. Saya menyatakan “Misalkan Asy-Syaikh Muqbil berselisih dengan Asy-Syaikh Al-Utsaimin dalam menilai suatu hukum permasalahan kontemporer, atau Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi berselisih dengan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam menilai person tertentu, atau Asy-Syaikh Rabi’ memiliki penilaian yang berbeda dengan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahumullah.”

    Dalam kalimat tersebut, saya hanya ingin menyebutkan serta mengenalkan pada para pembaca beberapa ulama kibar yang ma’ruf di negeri ini. ”Jika” diantara mereka terjadi perselisihan dalam ijtihad terutama dalam pembahasan jarh dan ta’dil yang seringkali menimbulkan fitnah, manakah pendapat yang mesti kita ambil? Apakah perselihan diantara mereka termasuk dalam ranah ijtihadiyyah atau bukan? Jika dijawab “permasalahan jarh dan ta’dil bukan khilafiyyah”, maka pernyataan ini keliru, saya bermaksud menyebutkan sisi pandang kekeliruannya dengan menukil perkataan para ulama. Inilah inti dari penulisan artikel ini, barakallahu fiikum..

    ReplyDelete
  5. Ketiga, dalam artikel ini, saya tidak bermaksud menolak jarh para ulama terhadap tokoh-tokoh menyimpang yang diketahui dengan jelas penyimpangannya. Saya hanya ingin menjelaskan bahwa dalam permasalahan jarh wa ta’dil, tidak berlaku hukum mutlak artinya “jika sebagian ulama telah men-jarh sesorang, maka jarh-nya wajib dierima secara mutlak” atau sebaliknya “jika seseorang diberikan ta’dil (rekomendasi) oleh sebagian ulama, maka jarh-nya tidak diterima secara mutlak”. Kemudian saya menjelaskan beberapa keadaan kapan jarh sebagian ulama diterima dan kapan boleh ditolak. Diantara bentuk jarh yang tidak diterima oleh ulama adalah sebagai berikut:

    1. Jarh yang terjadi diantara aqraan (teman selevel). Contoh nyata yang terjadi di kalangan ulama salaf, misalkan jarh Sufyan At-Tsauri kepada Abu Hanifah, jarh Ibnu Ma’in kepada Asy-Syafi’i atau jarh An-Nasa’i kepada Ahmad bin Shalih. Kemudian contoh pada zaman ini, jarh Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri terhadap Asy-Syaikh Abdurrahman Al-‘Adani. Kenapa saya menyimpulkan demikian? Karena mayoritas para ulama Yaman tidak menerima jarh Asy-Syaikh Yahya tersebut, meskipun jarh-nya mufassar.

    Sebut saja ulama yang menolak jarh mufassar ini semisal Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi, Asy-Syaikh Utsman As-Salimi, Asy-Syaikh Abdullah Adz-Dzamari dan selainnya, bahkan Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam menulis kitab khusus berjudul “Al-Ibanah ‘an Kaifiyyah At-Ta’amul ma’al Khilaf baina Ahlis-Sunnah wal Jama’ah” untuk meredam fitnah ini. Alhamdulillah kitab ini mendapatkan sambutan yang hangat dari para ulama, baik di dalam negeri Yaman, maupun di luar. Diantara ulama di luar Yaman yang memberikan rekomendasi terhadap kitab ini adalah Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhali, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dan Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi hafizhahumullah. Rekomendasi tersebut tertulis dalam muqaddimah kitab Al-Ibanah.

    Faktor yang lain, dahulu Asy-Syaikh Yahya dan Asy-Syaikh Abdurrahman, keduanya adalah sama-sama murid Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i. Namun terjadi perselisihan pribadi diantara keduanya hingga Asy-Syaikh Abdurrahman mengalah keluar dari Ma’had Darul Hadits, Dammaj, kemudian berdakwah di ‘Adan.

    2. Jarh yang terjadi karena faktor permusuhan, fanatik madzhab, hawa nafsu atau hasad. Contoh yang terjadi di kalangan ulama salaf karena faktor hasad adalah jarh Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli kepada muridnya Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari yang majelis beliau lebih banyak dihadiri oleh para penuntut ilmu dibandingkan gurunya. Al-Imam Al-Bukhari difitnah dengan berbagai tuduhan keji, misalkan tuduhan dusta bahwa beliau meyakini “khalqul Qur’an (Al-Qur’an adalah makhluk)”, hingga beliau pun diboikot dan terusir dari negerinya.

    Contoh jarh yang disebabkan oleh fanatik madzhab adalah jarh Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Al-Hambali. Apa sebabnya? Tidak lain adalah karena Ibnu Taimiyyah sangat gencar dalam membantah pemikiran bid’ah Asy’ariyyah dan Shufiyyah yang beredar di kitab-kitab para ulama muhaqqiq madzhab Asy-Syafi’i. Diantaranya adalah pembelaan sebagian ulama Syafi’iyyah terhadap perayaan maulid nabi, keyakinan adanya wali kutub yang mengatur alam, ta’wil yang batil dalam penetapan asma’ wa shifat, keyakinan masih hidupnya Nabi Khidir hingga saat ini, keyakinan bahwa dunia ini diciptakan karena nur Muhammad, keyakinan bahwa nabi dapat dilihat dalam keadaan terjaga (bukan dalam mimpi) maupun keyakinan shufi dan khurafat dalam kitab Ihya Ulumuddin yang merupakan karya seorang ulama besar muhaqqiq madzhab yaitu Al-Ghazali, dan masih banyak contoh pembahasan yang lain. Jarh yang disebabkan hal ini juga tidak diterima

    ReplyDelete
  6. 3. Jarh yang disematkan pada ulama kibar yang memiliki jasa-jasa besar terhadap Islam, meskipun ulama itu terjatuh dalam kesalahan aqidah ataupun hanya tuduhan tanpa dasar yang berasal dari kedangkalan ilmu pihak yang menuduh. Apalagi yang memberikan jarh dan kritikan adalah seorang penuntut ilmu, bukan ulama.

    Contoh dalam permasalahan ini adalah jarh Mahmud Al-Haddad terhadap Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Imam An-Nawawi karena keduanya terjatuh dalam ta’wil model Asy’ariyyah, jarh Safar Al-Hawali terhadap Asy-Syaikh Al-Albani karena tuduhan irja’, jarh Fauzi Al-Atsari terhadap Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, jarh para du’at fitnah kepada Asy-Syaikh Rabi’ karena beliau mengkritik kesalahan dan penyimpangan mereka dengan haq dan bukti-bukti yang kuat. Tentunya sebab kritikan para penuntut ilmu tersebut berasal dari hawa nafsu dan sikap sombong menolak nasehat para ulama. Seandainya mereka para du’at fitnah mau rujuk dari kesalahannya, tentu fitnah ini tidak akan berlanjut dan akan padam dengan sendirinya.

    4. Jarh yang disebabkan oleh kesalahan tertentu yang masih diperselisihkan dalam cara menyikapinya. Misalkan sebagian ulama menganggap kesalahan tersebut cukup menjadi celaan dalam riwayat dan kredibilitasnya, sementara ulama yang lain menganggap tidak cukup. Dalam keadaan ini, kedua ulama tersebut telah mengetahui sebab-sebab jarh terhadap seseorang. Keliru jika dikatakan bahwa ulama fulan lebih mengetahui sebab-sebab jarh, sedangkan ulama ‘allan tidak tahu apa-apa serta tidak mendalami permasalahan tersebut. Namun perselisihan ini memang didasarkan oleh ijtihad dalam menyikapi kesalahan seseorang.

    Contoh penyikapan yang lain, sebagian ulama berijtihad bahwa solusi terbaik agar seseorang rujuk dari kesalahannya adalah ditahdzir, sementara ulama yang lain berpendapat tidak diperlu ditahdzir, cukup diberikan nasehat melalui tulisan. Perbedaan ijtihad semacam ini terjadi di kalangan para ulama. Masing-masing ulama tersebut mengambil sikap yang menurutnya lebih maslahat bagi umat dan bagi orang yang terjatuh dalam kesalahan. Keduanya tidak boleh dicela dalam ijtihadnya.

    Keempat, saya kembali terheran-heran, kok tulisan saya ada yang membantah. Apakah ada yang tersinggung dengan artikel ini? Bukankah pembahasan saya masih terlalu global..

    Jika memang terjadi perselisihan diantara ulama kibar dan masing-masing ulama memiliki sisi pandang pendalilan yang kuat, tentu kewajiban kita sebagai penuntut ilmu adalah meneliti, mencari tahu dan meyakini pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Apakah saya sedang menolak mentah-mentah jarh sebagian ulama secara mutlak? Tentu tidak, Jika memang ada dari perkataan saya yang menujukkan demikan, silahkan ditunjukkan dan dikoreksi.. Saya hanya menyebutkan beberapa keadaan jarh yang ditolak oleh para ulama, jadi tidak semua jarh dari ulama harus diterima secara mutlak...bukankah demikian?

    Jika memang jarh ulama mesti diterima secara mutlak, berarti kita harus men-jarh seluruh ulama tsiqaat yang dijarh Yahya bin Ma’in bukan? kita harus meninggalkan Asy-Syafi’i, Az-Zuhri, Thawus bin Kaisan, Al-Auza’i dan Ikrimah. Jawabannya kembali pada inti dari penulisan artikel ini bahwa jarh sebagian ulama tidaklah diterima secara mutlak... Jarh yang diterima memiliki beberapa persyaratan yang telah dibahas dalam ilmu musthalah hadits, saya tidak hendak membahasnya dalam artikel ini.

    Kelima, beberapa dari perkataan ulama yang saya sebutkan berasal dari kitab Al-Ibanah karya Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah, silahkan antum mengecek langsung dalam kitab tersebut, saya tidak mengada-ada, tidak pula mengambil istinbath hukum sendiri. Sebagian nukilan lain berasal dari perkataan ulama salaf dan fatwa ulama kontemporer.. Namun apa dikata, fitnah ini memang tidak menyisakan sikap husnudzan kepada saudaranya... Allahulmusta’an

    Allahua’lam, mudah-mudahan bisa dipahami..

    ReplyDelete
  7. Baarokallahu fiikum

    ReplyDelete
  8. Masa fitnah memang rawan dgn su'uzzhonn... Wallahul musta'an

    ReplyDelete
  9. Afwan ust, tlg dijawab agar tdk menjadi syubhat bg kami:
    1.Benarkh surat syeikh Hani disimpan oleh ust. Luqman slama 2 bulan. Krn pihak ust Dzul mngatakn bhw andaikt surat tsb diserahin baik2 kpd ust. Dzul mk keadaan akn mnjd lbh baik?
    2.kt mrk bhw ust. Luqman hnya mengambil perkataan ulama yg mncocokinya?
    3.kt mrk bhw jk ust. Luqman mmpersyaratkn 3 syarat taubat mk bliau sndiri blum brtobat dr kesalahan2 lskar jihad dahulu? Apalagi ikhwah2 yg dizolimi bliau blum istihlal? (Ikhwah2 yg dipukulin).
    Tlg dijawab agar tdk jd syubhat bg kami. Jazakallahu khoiron ustadz

    ReplyDelete
  10. bismillahi
    afwan ustadz
    tulisan ustadz dipasang
    di http://pelita-sunnah.blogspot.com/2014/02/jika-ulama-kibar-berselisih-dalam.html
    barokallohufikum

    ReplyDelete
  11. Saya tidak tahu, sebaiknya antum bertanya langsung pada pihak yang bersangkutan, karena saya bukan pelaku sejarah. Saat zaman Laskar Jihad, saya hanyalah seorang anak polos berseragam SMP yang tidak tahu apa-apa. Kemudian tentang beberapa penyimpangan dan kezaliman dalam Laskar Jihad, maka ini benar adanya, karena penyimpangan itulah para ulama memfatwakan pembubaran Laskar . Allahua'lam

    Saya mempersilahkan bagi siapapun untuk membaca dan menyebarkan artikel ini, tentunya dengan tetap menjaga amanah ilmiyyah. Karena isi artikel ini adalah sebuah kebenaran yang saya yakini. Mudah-mudahan bermanfaat...

    wabillahittaufiiq

    ReplyDelete
  12. afwan ini ustadz abul harits yg dulu belajar di temangggung dng ust qomar suaidy lc bukan ?

    maksud ana diatas cb ustadz lihat artikel2 dari blog pelita yg memasang artikel antm ini ust

    klo bole ana tau kira2 apa yg di maukan pelita dng memasang artikel ustadz ini ya ?

    barokallohufikum

    ReplyDelete
    Replies
    1. Akh mohammed najem, apa yg beliau tulis adalah ilmu bg kita. Tdk ada yg perlu dipermasalahkan. Barokallahu fikum

      Delete
  13. Abul-Harits yang antum maksud adalah Abul-Harits Muhammad Mushlih hafizhahullah, bukan saya. Beliau yang dulu belajar di Ma'had Al-Ustadz Qomar Su'aidi, Lc di Temanggung. Kemudian beliau bermulazamah dengan Asy-Syaikh Abdullah Shalfiq hafizhahullah, dan sekarang beliau berada di Madinah.

    Dalam permasalahan fitnah, setiap kubu yang berseteru akan mencari-cari dalil yang mendukung pendapatnya, bahkan terkadang sampai pada taraf menyembunyikan dalil, jika memang dalil itu mendukung lawannya. Ini merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Bukankah kita sering melihat, ketika dua orang bertikai di hadapan hakim, keduanya akan saling menghujat satu sama lain. Contoh lain adalah ketika seorang menulis sebuah artikel, demi mendukung pendapatnya, penulisnya terkadang tidak jujur menukil perkataan ulama. Ia hanya menukilkan perkataan ulama yang mendukung, kemudian memotong kelanjutan perkataan tersebut yang kira-kira tidak sesuai dengan apa yang ia maukan.

    Dalam kondisi fitnah seperti ini tidak ada pihak yang 100 % benar, saya meyakini masing-masing pihak terjatuh pada kesalahan. Kesalahan itu juga bertingkat-tingkat. Ingatkah antum ishlah asatidzah yang terjadi di depan Asy-Syaikh Abdullah Al-Mar'i dan Asy-Syaikh Salim Bamuhriz hafizhahumullah dulu saat daurah masyayikh pertama. Bukankah masing-masing pihak mengakui kekeliruannya, kemudian rujuk dari kesalahannya. Pengakuan adalah bukti yang tidak terbantahkan. Ini menunjukkan bahwa dulu masing-masing pihak memeliki kesalahan, terutama ketergesa-gesaan dalam memvonis saudaranya sesama salafiyyin. Jika setiap individu asatidzah dicari dan dikumpulkan kesalahannya, maka tidak ada seorang pun yang akan selamat.

    Dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    إنك إن اتبعت عورات الناس أفسدتهم أو كدت أن تفسدهم

    “Sungguh jika engkau mencari-cari aib manusia, engkau akan merusak mereka atau hampir-hampir engkau akan merusak mereka” [HR. Abu Daud no. 4888 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud, 10/388]

    Allahua'lam

    ReplyDelete
  14. tadz, tlong antum buka email ya. tadi ana baru ngirim sesuatu. syukron akhuka fiddin. salim attambaki

    ReplyDelete
  15. Pertama, sebab yang mendorong saya menuliskan artikel ini adalah salah seorang teman memberitakan pada saya bahwa telah beredar di “facebook” pernyataan sebagian ikhwah yang menurut saya keliru. Pernyataan yang saya maksud adalah “barangsiapa yang menyatakan bahwa ilmu jarh dan ta’dil adalah khilafiyah, maka ia seorang yang bodoh” atau dengan redaksi yang semakna.

    Mendengar hal itu, saya pun heran, kok bisa menyimpulkan demikian !! Padahal dalam kitab-kitab rijal hadits begitu banyak bertebaran perselisihan para ulama salaf dalam memberikan jarh atau ta’dil kepada seorang perawi. Di sini, saya hanya ingin meluruskan anggapan keliru ikhwah tersebut dengan menyebutkan contoh nyata perselisihan ini di kalangan ulama salaf. Adakah yang dapat mengingkari sesuatu yang nyata dan terjadi?

    Kalo dicermati.....2 paragraf di atas yg antum tulis....beda sekali pemahaman nya.
    Paragraf pertama berbicara tentang ilmu jarh wa ta'dil adalah ilmu yg disepakati keberadaannya oleh para ulama, sedang paragraf kedua antum menjawab perselisihan yg terjadi dalam men jarh dan men ta'dil seseorang. Bukankah begitu makna apa yg tertulis?

    ReplyDelete
  16. tadz, ana ngirim email lagi, ada 3. tlng buka & balas syukron. salim

    ReplyDelete
  17. tadz, ana ngirim email lagi, ada 3. tlng buka & balas syukron. salim

    ReplyDelete
  18. Ustadz, afwan ana bingung bbrp waktu lalu diajarkan bhw syaikh Abdulmuhsin adl seorang salafy tapi putra beliau yaitu syaikh Abdurrazaq dipertanyakan kesalafiannya krn sering memenuhi undangan hizbiyin mjd pembicara & bukan menasehati.
    Bahkan Syaikh Badr melarang mengambil ilmu dr beliau seperti halnya kpd syaikh Ali Hasan.
    Tapi sekarang, dikatakan masyaikh tsb bukan mubtadi' padahal masih aktif & akrab dg hizbiyun.
    Antum jg membuat link kpd Syaikh Muhammad al-Imam yg telah divonis mubtadi' dhol oleh syaikh Ubaid, padahal kesalahan syaikh al-Imam dlm perkara aqidah sama halnya dengan syaikh Ibrahim ar-Ruhaili.
    Kenapa teori dan penerapannya berganti-ganti? Padahal kami diajarkan bahwa kebenaran hanya satu. Jadi bingung ustadz?

    ReplyDelete