Monday, May 27, 2013

Syaikh Ali Hasan Al-Halabi, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Syaikh Shalih As-Suhaimi dan Al-Lajnah Ad-Da’imah

Sepuluh tahun terakhir ini, kita merasa prihatin dengan tersebarnya pemikiran Murji’ah di kalangan pemuda Salafiyyin. Apalagi mereka membawakan tulisan-tulisan berisi syubhat untuk mendukung kebid’ahannya yang menimbulkan pro kontra di sana-sini. Sadar atau tidak, sikap mereka tersebut merupakan sebab terbesar perpecahan salafiyyin di seluruh dunia. Anehnya, justru mereka merasa sebagai pihak yang terdzalimi setelah datangnya kritikan bertubi-tubi dari para ulama kibar. Padahal siapakah sebenarnya yang pertama kali mengobarkan api fitnah??

Duhai, seandainya mereka mau kembali dan meralat tulisan-tulisannya. Seandainya mereka kembali pada kitab-kitab salaf dalam permasalahan iman. Tentu itu lebih baik bagi diri mereka dan lebih menunjukkan kemuliaan mereka untuk bersegera untuk ruju’ pada kebenaran, tatkala kebenaran itu telah nampak. Namun mereka lebih memilih untuk berpaling, menambah kobaran api fitnah dan tidak mengindahkan nasehat para ulama.

Pada artikel kali ini, saya ingin membawakan penilaian sebagian ulama terhadap tulisan-tulisan mereka secara ringkas dengan harapan semoga dapat memberikan pencerahan bagi para pembaca sekalian,

1. Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah yang beranggotakan Syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan dan Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahuhullah  menyatakan:

يدعو إلى مذهب الإرجاء

“Ia menyeru pada madzhab Murji’ah”

بنى كتايبيه التحذير من فتنة التكفير و صيحة نذير على مذهب الإرجاء

“Ia membangun penulisan dua kitabnya yaitu At-Tahdzir min Fitnatit Takfiir dan Shaihatun Nadzir di atas madzhab Murji’ah”

حرف النقل عن ابن كثير

“Menta’wil nukilan (perkataan –pen) Ibnu Katsir”

تقوّل على ابن تيمية

“Membuat kedustaan terhadap Ibnu Taimiyyah”

حرف مراد الشيخ محمد بن إبراهيم رحمه الله

“Tidak jujur dalam menjelaskan maksud (perkataan –pen) Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah

حمل كلام أهل العلم ما لا يحتمل

“Ia membawakan perkataaan ulama yang sama sekali tidak mendukung (keyakinannya –pen)”

عليه أن يتقي الله في نفسه و في المسلمين وخاصة شبابهم و أن يجتهد في تحصيل العلم

“Wajib baginya untuk bertakwa pada Allah dalam dirinya dan kaum muslimin, terkhusus kalangan para pemuda mereka. Hendaklah ia bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu”

صاحب آراء و مسلك مزري في تحريف كلام أهل العلم

“Pemilik pemikiran dan metode yang menyimpang dalam menta’wil perkataan para ulama”

2. Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata:

صاحب كتابات جديدة تبلبل الأفكار

“Ia memiliki tulisan-tulisan baru yang menimbulkan kebingungan dan kerancuan pemahaman”

الواجب أنه يتراجع عن الباطل و يتوب إلى الله

“Wajib baginya untuk rujuk dari kebatilan dan bertaubat pada Allah”

يكتفي بنقل طرف من كلام أهل العلم و يترك الطرف الآخر

“Ia hanya menukilkan perkataan ulama dari satu tempat, namun meninggalkan perkataan ulama tersebut dalam tempat yang lain”

يلخبط الناس بأفكاره و بجهله و تخرصاته

“Ia membuat kekacauan terhadap manusia dengan pemikiran, kebodohan dan kedustaannya”

ما نحن بحاجة لمثله يكفينا قول علمائنا و ما سطروه في الكتب

“Kita tidak membutuhkan orang-orang yang semisal dengannya. Cukuplah bagi kita perkataan para ulama dalam kitab-kitab yang mereka tulis”

3. Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan rahimahullah berkata:

اتركوه لأن هذا هو الذي يقود مذهب المرجئة في المملكة

“Tinggalkan dia, karena ia lah yang mengarahkan (penyebaran-pen) madzhab Murji’ah di Kerajaan Arab Saudi”

4. Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafidzahullah berkata:

يبتر كلام أهل العلم

“Ia memotong perkataan ulama”

عليه أن يرجع للحق فيقبله

“Wajib baginya untuk kembali pada kebenaran dan menerimanya”

5. Syaikh Shalih As-Suhaimi hafidzahullah berkata:

عنده تخليط في مسألة الإيمان

“Ia memiliki kerancuan dalam permasalahan iman”

أخطأ في رده على اللجنة و ظالم لنفسه و فتح مجالا للنيل منه من غير أن يشعر

“Ia berbuat kekeliruan tatkala menulis bantahan terhadap Al-Lajnah. Ia juga telah berbuat dzalim pada dirinya sendiri dan membuka pintu fitnah tanpa ia sadari”

أخطأ ألف مرة ]في مسألة الإيمان[

“Ia memiliki seribu kekeliruan (dalam permasalahan iman)”.

sumber: www.al-afak.com

Di sini saya belum menyebutkan nukilan perkataan terakhir dari Syaikh Ahmad An-Najmi, Syaikh Rabi’ dan Syaikh Ubaid rahimahumullah tatkala memberikan penilaian, karena saya tidak yakin mereka mau menerimanya. Yang perlu diingat bahwa tazkiyah seorang ulama tidaklah berlaku selamanya. Sangat lumrah jika seorang ulama memiliki lebih dari satu pendapat dalam suatu permasalahan, sesuai dengan ijtihad yang nampak baginya tatkala itu. Contoh praktek dari ulama salaf dalam hal ini sangatlah banyak.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah menilai tsiqah seorang perawi bernama Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya Al-Aslami. Padahal Imam Ahmad telah memberikan jarh yang sangat keras terhadapnya. Imam Ahmad berkata: “Ia adalah seorang Qodari, Mu’tazili dan Jahmi. Seluruh mala petaka terkumpul padanya”. Bisyr bin Mufadhal berkata: “Aku telah bertanya pada para ulama Madinah, seluruhnya menyatakan bahwa ia adalah seorang yang kadzdzab (pendusta) atau yang semisal”.

Jika ada sebagian orang yang berupaya menjatuhkan kedudukan Imam Ahmad dengan menukil penilaian tsiqah Imam Asy-Syafi’i terhadap perawi tersebut, tepatkah??

Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata:

وما من عالم إلا وله زلة ومن جمع زلل العلماء ثم أخذ بها ذهب دينه

“Tidak ada dari seorang alim pun kecuali pasti ia memiliki kekeliruan (dalam ijtihad -pen). Barangsiapa yang mengumpulkan kekeliruan ijtihad para ulama lalu ia mengambilnya, maka hilanglah agamanya” [Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi, 10/211]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

“Perkataan mereka bahwa “permasalahan  khilaf tidak ada pengingkaran di dalamnya” tidaklah benar. Sebab sikap pengingkaran ada kalanya  diarahkan  kepada  sebuah  perkataan,  fatwa  atau  suatu amalan.  Adapun  yang pertama, apabila  perkataan  tersebut  menyelisihi  As-Sunnah  atau  ijma’  yang masyhur,  maka  wajib  mengingkarinya  berdasarkan  kesepakatan ulama.  Jika  tidak demikian  (maksudnya  tidak  ada  kesepakatan-pen)  maka  dijelaskan kelemahan  dan  penyelisihannya  terhadap  dalil.  Hal ini pun  tetap  ada  pengingkaran.

Adapun suatu amalan, apabila menyelisihi As-Sunnah  atau  ijma’,  maka  wajib mengingkarinya  berdasarkan  tahapan-tahapan dalam pengingkaran.  Bagaimana  mungkin  seorang  faqih menyatakan  tidak  boleh  ada  pengingkaran  terhadap  berbagai masalah yang  diperselisihkan.  Sementara  para  fuqoha’  dari  seluruh  golongan  telah menyatakan dengan jelas keharusan dibatalkannya keputusan hukum seorang hakim, jika menyelisihi Al-Kitab atau As-Sunnah meskipun  telah disetujui  oleh sebagian ulama.

Adapun  bila dalil permasalahan  tersebut  tidak terdapat dalam As-Sunnah dan ijma’, namun hanya dilandasi ijtihad, maka diperbolehkan perselisihan (pemahaman –pen) di dalamnya. Sehingga tidak diingkari seorang yang melakukannya karena berijtihad atau bertaqlid.” [I’laamul Muwaqqi’in, 3/300]

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dahulu pernah memberikan tazkiyah pada kelompok Jama’ah Tabligh. Namun setelah nampak penyimpangan kelompok ini, di akhir hayat sebelum wafatnya, Syaikh Abdul Aziz bin Baz mencabut tazkiyah beliau dan memperingatkan umat dari kesesatan kelompok ini. Apakah penilaian Syaikh Ibnu Baz plin-plan dalam hal ini, dulu sempat mendukung dan merekomendasi JT namun berselang waktu, kemudian mentahdzir?? Kiranya, saya tidak perlu menampilkan fatwa beliau di sini agar artikel ini tidak terlalu panjang.

Barangkali ada sebagian orang yang menuduh penilaian para ulama Al-Lajnah dalam hal ini tidak inshaf !! Untuk mengetahui seberapa besar sikap inshaf dan keadilan para ulama Al-Lajnah Ad-Dai’mah tatkala memberikan penilaian terhadap ketergelinciran seorang ulama, simak nukilan berikut,

Pertanyaan:

Bagaimana sikap  kita terhadap  para ulama  yang menta’wil  sifat-sifat Allah Azza wa Jalla seperti  Ibnu Hajar, An-Nawawi,  Ibnul  Jauzi  dan  selain mereka. Apakah kita  menganggap mereka sebagai  Imam  Ahlus  Sunnah  wal  Jama’ah? Apakah kita menyatakan bahwa mereka keliru dalam menta’wil, ataukah mereka termasuk orang-orang yang sesat?”

Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab:

“Pendirian kami terhadap Abu Bakar Al-Baqillani, Al-Baihaqi, Abul Faraj Ibnul Jauzi, Abu Zakaria An-Nawawi, Ibnu Hajar dan yang semisal mereka tatkala menta’wil  sebagian  sifat-sifat  Allah ta’ala  maupun  yang mentafwidh asal maknanya, -mereka menurut pandangan kami- termasuk imam ulama kaum muslimin yang Allah memberi manfaat kepada umat dengan ilmu mereka.

Semoga Allah merahmati mereka  dengan  rahmat  yang  luas  dan  semoga Allah membalas  mereka  dengan  sebaik-baik  balasan  atas  apa  yang  telah mereka berikan  kepada  kita.  Mereka  termasuk  Ahlus-Sunnah  dalam hal-hal yang mencocoki para sahabat  radhiyallahu ‘anhum dan para Imam  Salaf  -pada  tiga  kurun  yang  telah  disaksikan  oleh  Rasulullah  dengan kebaikan-. Mereka  telah keliru  tatkala menta’wil nash-nash  sifat, menyelisihi  salaf  umat  ini  dan  para  Imam  Sunnah rahimahumullah. Sama saja apakah mereka menta’wil sifat dzatiyyah, sifat fi’liyyah maupun yang lain.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah no. 5082, 3/178]

Apakah kedudukan Syaikh Ali telah mencapai derajat Imam Al-Baihaqi, An-Nawawi dan Ibnu Hajar sehingga harus disikapi dengan sikap yang sama? Kenapa kritikan para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah begitu keras terhadap beliau, apa sebabnya? Adakah permasalahan pribadi diantara mereka sebelum berkobarnya fitnah ini? Saya persilahkan bagi para pembaca untuk mencari jawabannya.

Ini sedikit dari perkataan para ulama yang dapat saya nukilkan, mudahan-mudahan bermanfaat.

wabillahittaufiiq


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 17 Rajab 1434 H

14 comments:

  1. Mohon maaf sebelumnya, berkaitan dengan fatwa Lajnah Daimah tentang 2 buku Syaikh 'Ali hafizhahullaah, berikut ini ada artikel yg bagus menurut ana, mengungkap dari sisi lain akan fatwa tersebut (baca: fatwa lain selain Lajnah), di antara kutipan artikelnya :

    "Di antara hal yang menarik saat membaca buku tersebut adalah apa yang tertera di bagian pembukaan/muqaddimah halaman 6 dimana disitu disebutkan siapa saja yang telah membaca/menelaah kitab tersebut sebelum disebarluaskan (diterbitkan) oleh Asy-Syaikh ‘Aliy hafidhahullah :

    “Sejumlah masyaikh kami dan saudara kami telah membaca/mentelaah kitabku ini sebelum penyebarannya. Yang pertama dari mereka adalah (1) Ustadz kami Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy, dan beliau mendoakanku – jazaahullaahu khairan – setelah membacanya : ‘semoga Allah menambahkan taufiq kepadamu’, (2) Ustadz kami Asy-Syaikh Muhammad Syaqrah, (3) Ustadz kami Asy-Syaikh Muhammad Ra’fat, (4) Al-Ustadz Asy-Syaikh Rabii’ bin Haadiy, (5) Al-Ustadz Muhammad ‘Umar Bazmuul, (6) Al-Akh Asy-Syaikh Masyhuur Hasan, (7) Al-Akh Asy-Syaikh Saliim Al-Hilaaliy, (8) Al-Akh Asy-Syaikh Muraad Syukriy, dan yang lainnya – baarakallaahu fiihim” [selesai]."


    Selengkapnya :
    http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/03/mengapa-hanya-mentahdzir-syaikh-aliy.html

    ReplyDelete
  2. Kutipan berikutnya :

    "Saya tidak akan membahas tentang fatwa dimaksud, karena Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy sendiri telah menjawabnya dalam kitab berjudul Al-Ajwibatul-Mutalaaimah ‘alaa Fatwaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, yang bisa dibaca di sini. Atas jawaban tersebut, Asy-Syaikh Dr. Husain Alusy-Syaikh hafidhahullah (imam dan khathib Masjid Nabawiy) berkata :

    والشيخ علي قد ردَّ ردًّا علميّاً [((الأجوبة المتلائمة على فتوى اللجنة الدائمة))] كما عَلَيه سلف هذه الأمَّة.

    “Dan Asy-Syaikh ‘Aliy telah membantah dengan bantahan yang ilmiah [Al-Ajwibatul-Mutalaaimah ‘alaa Fatwaa Al-Lajnah Ad-Daaimah] sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh salaf umat ini” [Perkataan ini beliau sampaikan dalam muhadlarah beliau yang berjudul : ‘Alaa Thariiqis-Sunnah].

    Begitu juga reaksi Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah saat mengetahui fatwa Lajnah yang berkata :

    وهذا غَلطٌ مِن اللَّجْنَة، أنا مُستَاءٌ مِن هذِهِ الفَتْوى، وَلَقَدْ فَرَّقَتْ هذهِ الْفَتْوَى الْمُسْلِمِينَ في أَنْحاءِ العَالمِ؛ حَتَّى إِنَّهُمْ يَتَّصلونَ بِي مِنْ أَمْرِيكَا وأُوروبّا

    “Ini adalah kekeliruan dari Lajnah. Aku merasa terganggu dengan fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum muslimin di seluruh negeri, hingga mereka menghubungiku dari negeri Amerika dan Eropa” [At-Ta’riifu wat-Tanbi’ah, hal. 15].
    Oleh karena itu di sini berlaku perkataan Mujaahid rahimahullah :

    لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ، وَيُتْرَكُ إِلا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

    “Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana perkataannya dapat diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’u Raf’il-Yadain, hal. 153 no. 179; shahih."

    Selengkapnya silahkan baca :

    http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/03/mengapa-hanya-mentahdzir-syaikh-aliy.html


    Baarokallaahu fiik.

    ReplyDelete
  3. Jazakallah khairan atas masukan dari antum. Mungkin saya akan mengulangi beberapa tulisan artikel di blog ini, dengan harapan semoga para pembaca dapat lebih memahami permasalahan yang dibahas.

    Pernyataan antum dapat dijawab dari beberapa sisi:

    [Pertama] Diantara sederetan nama yang disebutkan Syaikh Ali adalah Murad Syukri. Tahukah antum siapakah Murad Syukri? Beliau adalah penulis kitab “Ihkamuut Taqriir li Ahkamut Takfiir”.

    Kitab tersebut dikritik oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dengan pemahaman Murji’ah. Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah no. 20.212 tanggal 7/12/1419 Hijriyyah. Berikut sebagian redaksi fatwa Al-Lajnah

    Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah berkata:

    وبعد دراسة اللجنة للاستفتاء أجابت بأنه بعد الاطلاع على الكتاب المذكور ، وجد أنه متضمن لما ذكر من تقرير مذهب المرجئة ونشره : من أنه لا كفر إلا كفر الجحود والتكذيب وإظهار هذا المذهب الرديء باسم السنة

    “Setelah mempelajari dan menelaah kitab yang tertulis (Ihkaamut Taqriir –pen), Al-Lajnah mendapati kitab tersebut mengandung pemikiran dan penyebaran madzhab Murji’ah. Diantaranya adalah pernyataan “Tidak ada kekufuran kecuali kufur juhud dan takdzib. Lalu penulisnya menampakkan madzhab yang buruk ini dengan nama sunnah”.

    Kesalahan fatal dalam kitab tersebut diantaranya:

    1. Murad Syukri terang-terangan membatasi kekufuran hanya dalam kufur “takdzib” dan “juhud”. Penulisnya berkata:

    لا يكفر المسلم إلا إذا كذّب النبي صلى الله عليه وسلم فيما جاء به وأخبر ، سواء أكان التكذيب جحوداً كجحود إبليس وفرعون ، أم تكذيباً بمعنى التكذيب

    “Seorang muslim tidaklah dikafirkan kecuali jika ia mendustakan berita yang datang dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sama saja apakah ia mendustakan (takdzib) karena pengingkaran (juhud) sebagaimana pengingkaran Iblis dan Fir’aun atau takzib yang bermakna mendustakan” [Ihkamut Taqriir hal. 13]

    Dalam kitab yang sama hal. 15, penulisnya mengulangi perkataan yang serupa dengan redaksi yang sedikit berbeda,

    فلا يكفر المسلم إلا إذا كذب النبي صلى الله عليه وسلم فيما جاء به ، سواء أكان ذلك التكذيب بمعنى التكذيب أم جحوداً كجحود فرعون وإبليس

    2. Penulisnya menyatakan bahwa amal jawarih tidak dapat menyebabkan kekafiran,

    لا يمكن أن يكون عَمَل ٌمن الأعمال كفراً ناقلاً من الملة إلا إذا تضمن ضرورة وقطعاً التكذيب ، وذلك مثل سب الله أو سب رسوله صلى الله عليه وسلم أو السجود لصنم أو إلقاء المصحف في القذر

    “Tidak mungkin suatu amal dapat menjadikan seseorang kafir keluar dari Islam, kecuali jika amal tersebut benar-benar mengandung “takdzib” (pendustaan). Misalkan, mencela Allah dan Rasul-Nya, sujud pada patung atau membuang mushaf di tempat yang kotor” [Ihkamut Taqriir hal. 28]

    3. Penulisnya menyatakan bahwa amal merupakan syarat kesempurnaan iman (syarthul kamal) dan ia membuat kedustaan terhadap salaf

    السلف عدُّوا العمل شرطاً في الكمال فإذا انتفى العمل انتفى كمال الإيمان ولم ينتفِ الإيمان

    “Salaf hanyalah menganggap amal termasuk syarat kesempurnaan iman. Ketiadaan amal hanyalah meniadakan kesempurnaan iman, tidak menghilangkan iman secara keseluruhan” [Ihkamut Taqriir hal. 62]

    4. Penulisnya mengeluarkan amal dari iman,

    كله فظهر وتبين أنَّ عدَّ السلف العمل من الإيمان إنما يتعلق بكماله وليس بالإيمان نفسه

    “Nampaklah bahwa perkataan salaf amal termasuk dari iman hanyalah berkaitan dengan kesempurnaanya. Sama sekali tidak berkaitan denga iman itu sendiri.” [Ihkamut Taqriir hal. 62]

    Pemahaman Murad Syukri dan Syaikh Ali ketika itu tidak jauh berbeda, sehingga wajar jika Murad Syukri merekomendasikan kitab teman sejawatnya.. Ada apa dengan Murad Syukri !! Kenapa Syaikh Ali begitu membagga-banggakannya.

    Sekarang gantian saya bertanya, Siapakah yang merekomendasikan kitab Ihkaamut Taqriir karya Murad Syukri?? Jawabnya, hanya Syaikh Ali yang bersendirian merekomendasikan kitab tersebut, lalu berusaha mati-matian untuk mencetak dan menyebarkannya di Kerajaan Arab Saudi.

    ReplyDelete
  4. Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafizhahullah berkata:

    “Ali Al Halabiy berupaya untuk mencetak kitab Ihkaamut Taqriir, menyebarkannya dan merekomendasikannya, lalu menulis di sampul cetakannya: “Yang berperan dalam mencetak kitab ini, Ali bin Hasan bin Abdil Hamid Al Halabiy Al Atsariy”.

    Ia dari Yordan menelpon Daru Nasyr As Su’udiyyah di Riyadh, mengelabui pemilik percetakan dan menampilkan kitab itu kepadanya berbeda dengan hakikatnya , hingga orang tadi mencetaknya! Kemudian terjadilah apa yang terjadi (yaitu masuknya pemahaman Murji’ah di Arab Saudi –pen)” [Al-Faariq Baina Muhaqqiq was Sariq]

    Jadi wajar jika Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan rahimahullah memberikan kritikan yang sangat keras terhadap Syaikh Ali.

    Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan rahimahullah berkata:

    اتركوه لأن هذا هو الذي يقود مذهب المرجئة في المملكة

    “Tinggalkan dia, karena ia lah yang mengarahkan (penyebaran-pen) madzhab Murji’ah di Kerajaan Arab Saudi”.

    Syaikh Sa’ad bin Abdullah Alu Humayyid hafidzahullah berkata:

    “Sungguh aku telah menjelaskan pada beliau (Syaikh Ali Hasan –pen) dengan dihadiri oleh para ikhwah di sana, kedustaan beliau ketika menyatakan akan bertanggung jawab terhadap kitab yang telah dicetak dan disebarkannya tersebut. Wajib atas beliau mengeluarkan pernyataan jelas dan mengutarakan penilaian beliau terhadap kitab Murad Syukri lalu meninggalkan tadlis kepada manusia. Beliau telah berjanji namun (sangat disayangkan -pen-) tidak menepatinya..” [Muqaddimah Raf’ul La’imah]

    ReplyDelete
  5. [Kedua] Juga diantara sederetan masyayikh yang disebutkan Syaikh Ali adalah Muhammad Syaqrah. Tahukah antum siapakah orang tersebut?

    Pada awal tahun 1421 H, Syaikh Ali dan masyayikh Yordanian menulis kitab “Tanwirul Arja’ bi Tahqiq Masa’ilil Iman wal Kufr wal Irja’ ” sebagai bantahan terhadap pemikiran Muhammad Syaqrah. Aneh bukan?? Ketika merekomendasikan kitab Syaikh Ali ia sempat dibangga-banggakan dan dijejerkan dengan nama para ulama kibar. Namun sungguh malang nasib beliau, selang beberapa tahun kemudian Syaikh Ali dan masyayikh Yordan mentahdzir dan menulis kitab bantahan untuk beliau…

    [Ketiga] Syaikh Ali juga menyebutkan nama Syaikh Salim Al-Hilali dan Syaikh Masyhur diantara yang merekomendasikan kitabnya. Mereka kan teman sejawat, jadi wajar jika saling memberikan rekomendasi.

    Tahukah antum bagaimana nasib Syaikh Salim Al-Hilali sekarang? Ternyata diantara Masyayikh Yordan dan Syaikh Salim terdapat permasalahan serius, entah permasalahan manhaj, aqidah ataukah permasalahan “lain”. Hingga sekarang Syaikh Salim Al-Hilali tidak bersama teman-teman sejawatnya, padahal dahulu beliau sempat menjadi mudir di Markaz Al-Albani.. Ada apa dengan beliau-beliau ini? Allahua’lam…

    ReplyDelete
  6. [Keempat] Adapun rekomendasi Syaikh Rabii’ dan Syaikh Muhammad Bazmul terhadap kitab Syaikh Ali, maka ini perlu bukti berupa tulisan atau rekaman suara. Dapatkah antum mendatangkan bukti tersebut?

    Saya teringat nasehat dari Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah. Beliau berkata:

    "Dewasa ini kebohongan sangatlah banyak, kebohongan mengatas namakanku ataupun selainku. Oleh karena itu, orang yang gemar membawakan ucapan atau fatwa seseorang maka ia harus menunjukkan tulisan orang yang berfatwa tersebut ataupun suaranya… (sekali lagi) baik dengan tulisan maupun suaranya.

    Adapun penisbatan yang mutlak (waham: sudah menghukumi duluan) seperti si fulan berkata, atau si fulan bersalah, maka ini tidak diterima. Karena kebohongan dewasa ini banyak tersebar dan juga mengatas-namakan ulama atau wulatul umur (orang yang kredibel di bidangnya/pemangku jabatan/pemerintah), bahkan menimpa juga manusia pada umumnya. Mereka mengatas namakan manusia, berbohong atas nama mereka, merusak hubungan satu sama lain, dan ini semua adalah bentuk dari keburukan. Na’am” [https://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=naA1uMAdOpk]

    Bukankah Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah telah bersaksi bahwa Syaikh Ali telah membuat kedustaan atas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.

    Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah menyatakan tentang Syaikh Ali:

    تقوّل على ابن تيمية

    “Beliau berbuat kedustaan terhadap Ibnu Taimiyyah”

    حرف النقل عن ابن كثير

    “Beliau merubah nukilan perkataan Ibnu Katsir”

    صاحب آراء و مسلك مزري في تحريف كلام أهل العلم

    “Pemilik pemikiran dan metode yang menyimpang dalam menta’wil perkataan para ulama”.

    Jika para ulama kibar telah bersaksi demikan, bukankah yang lebih hati-hati adalah kita meminta bukti atas pengakuan Syaikh Ali tersebut? Jika beliau tidak jujur dalam menukil perkataan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Katsir, apakah tidak mungkin beliau berbuat hal yang sama terhadap Syaikh Rabii’ dan Syaikh Muhammad Bazmuul..

    ReplyDelete
  7. Anggaplah memang dulu Syaikh Muhammad Bazmuul benar-benar merekomendasikan kitab Syaikh Ali. Namun apakah sikap Syaikh Muhammad Bazmuul saat ini masih seperti yang dulu?

    Syaikh Muhammad Bazmuul hafizhahullah berkata:

    “Sikap seorang salafy terhadap Ali Hasan Al-Halabi adalah tawaqquf dari menerima (ilmunya) dan berhati-hati dari mengambil ilmu darinya, baik ilmu yang disampaikan melalui berbagai muhadharah (ceramah) maupun dari berbagai karya tulisnya, terkhusus karya-karyanya pada akhir-akhir ini. Karena kini Asy-Syaikh Ali memiliki sikap-sikap masybuhah (rancu) yang menyelisihi keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kini dia mulai menempuh sikap (manhaj) yang harus dia koreksi ulang, serta harus dia luruskan kembali sesuai dengan cara bersikap (manhaj) yang telah ditempuh oleh para ahli hadits dan pengikut jejak manhaj as-salafus salih.

    Maka sudah seharusnya tawaqquf terhadapnya dan tidak mengambil ilmu dari berbagai karya tulis dan muhadharah yang disampaikannya, terkhusus pada akhir-akhir ini. Sudah seharusnya untuk waspada dari (manhaj)nya sekaligus mentahdzir (memeringatkan ummat) dari orang ini, sampai benar-benar ia kembali kepada al-haq dan membersihkan dirinya (dari berbagai keyakinannya yang menyimpang), sehingga disaat itu boleh untuk menempuh jalannya.”

    Dengarkan rekaman suara Syaikh Muhammad Bazmuul di http://ia600501.us.archive.org/18/items/FatwaAsy-syaikhMuhammadBazmul/FatwaAsy-syaikhMuhammadBazmul.mp3

    Initi dari permasalahan ini adalah “apakah iman sah hanya dengan keyakinan hati dan ucapan lisan?” kemudian “apakah seorang yang bersyahadat di lisannya, namun tidak mau beramal shalih sedikitpun semasa hidupnya tanpa udzur, dikatakan muslim?”

    Jawab dulu pertanyaan ini.. Tidak perlu lah kita muter-muter bermain istilah “amal adalah penyempurna iman” atau “jinsul a’maal bid’ah” atau ungkapan-ungkapan lain yang masih global. Jika mereka menyatakan bahwa seorang dikatakan muslim meskipun tidak mau beramal sedikitpun tanpa udzur, maka mereka telah mengeluarkan amal dari iman. Meskipun secara dhahir mereka berkata “iman adalah keyakinan hati, perkataan dan amal perbuatan”. Inilah pemikiran Murji’ah yang mereka bela mati-matian selama ini dan ini pula yang diingkari oleh para ulama kibar.

    Setelah itu, mereka berusaha membuat kedustaan terhadap Syaikh Rabi’ dan menyatakan bahwa pemahaman beliau dan Syaikh Ali sama dalam permasalahan iman!! lalu mereka membawakan perkataan Syaikh Rabi’ yang menyatakan bahwa seorang yang menyatakan “amal merupakan penyempurna iman, tidak dikatakan Murji’ah”. Ungkapan ini masih terlalu global. Jika yang dimaksud, puasa, haji, shadaqah termasuk penyempurna iman bukan ashlul iman, maka ungkapan ini betul”.

    Namun jika yang dimaksud dengan ungkapan “amal merupakan penyempurna iman” yaitu iman sah hanya dengan keyakinan hati dan ucapan lisan karena amal hanya penyempurna iman. Maka inilah pemahaman Murji’ah yang sesat. Mudah-mudahan para pembaca tidak tertipu dengan permainan kata-kata yang mereka gunakan.

    ReplyDelete
  8. Berikut saya nukilkan perkataan Syaikh Rabi’ tentang permasalahan iman. Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata:


    أرى أن تارك كل العمل كافر زنديق

    “Aku berpendapat bahwa seorang yang meninggalkan seluruh amal (jawarih –pen-) maka ia kafir zindiq”

    ولقد صرحت مرارًا بأني أوافق أهل السنة فيما حكموا به على تارك العمل بالكلية

    “Sungguh aku telah menegaskan berulang kali bahwa aku menyepakati Ahlussunnah dalam permasalahan “hukum seorang yang meninggalkan amal secara total”..”

    ويقول عني إنِّي خالفت السلف في جنس العمل وفي قضايا الإيمان وهو الكذوب, وإذا رجع المسلم المنصف إلى كلامي يجده مطابقاً لمنهج السلف ولما قرَّرُوه ويجد في كلامي التصريح بأنَّ تارك العمل بالكلية كافر زنديق

    “Ia menyatakan bahwa aku menyelisihi salaf tentang istilah “jinsul a’maal” dalam permasalahan iman. Sungguh ia telah berdusta. Jika seorang muslim yang bersikap inshaf (adil) mau membaca perkataanku, tentu ia akan mengetahui bahwa pendapatku sesuai dengan manhaj Salaf. Jika mereka mau menelaah perkataanku, maka mereka akan mendapatkan pernyataan tegas dariku bahwa seorang yangmeninggalkan amal secara total maka ia kafir zindiq.”

    فقد صرحت مرارًا بتكفير تارك العمل ولكن الحدادية لهم أصل خبيث، وهو أنهم إذا ألصقوا بإنسان قولاً هو بريء منه ويعلن براءته منه

    “Sungguh aku telah menegaskan berulang kali tentang kafirnya seorang yang meninggalkan amal, namun Al-Haddadiyyah memiliki prinsip yang buruk. Mereka menyandarkan pada seseorang suatu perkataan (yang tidak yakininya –pen-), meskipun orang yang dituduh secara terang-terangan telah berlepas diri dari perkataan tersebut.”

    Sumber: Ithaaf Ahlis Shidq wal Irfaan bi Kalami Asy-Syaikh Rabi’ fi Masa’ilil Iman hal. 219-234

    ReplyDelete
  9. [Kelima] Rekomendasi dari Syaikh Al-Albani rahimahullah.

    Justru perkataan Syaikh Al-Albani dalam permasalahan iman menyelisihi keyakinan Syaikh Ali..

    Syaikh Al-Albani raimahullah berkata:

    إن الإيمان بدون عمل لا يفيد ؛ فالله –عز وجل- حينما يذكر الإيمان يذكره مقرونًا بالعمل الصالح ؛ لأننا لا نتصور إيمانًا بدون عمل صالح، إلا أن نتخيله خيالا

    “Sesungguhnya iman tanpa amal tidak akan bermanfaat. Ketika Allah ‘azza wajalla menyebutkan iman, Dia menyebutkan amal shalih setelahnya. Tidak terbayangkan oleh kita, adanya iman tanpa amal shalih, kecuali jika kita sedang berkhayal”

    لكن إنسان يقول: لا إله إلا الله، محمد رسول الله؛ ويعيش دهره – مما شاء الله - ولا يعمل صالحًا !! ؛ فعدم عمله الصالح هو دليل أنه يقولها بلسانه، ولم يدخل الإيمان إلى قلبه

    “Namun, ketika seorang mengatakan “Lailahaillah Muhammad Rasulullah” lalu ia seumur hidupnya –sesuai yang Allah kehendaki- tidak mau melakukan amal shalih!! Ketiadaan amal shalih merupakan dalil bahwa ia hanya mengucapkan syahadat dalam lisannya, sedangkan iman belum masuk dalam hatinya” [Syarh Al-Adab Al-Mufrad kaset keenam side A]

    Berbeda bukan, menurut Syaikh Ali dan murid-muridnya iman sah hanya dengan keyakinan hati dan ucapan lisan, sementara Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa orang yang tidak mau beramal, maka iman yang ada padanya hanya sebatas khayalan belaka..

    ReplyDelete
  10. [Keenam] Nukilan pernyataan Syaikh Ibnu Utsaimiin, jika memang benar berasal dari beliau. Ini memiliki dua kemungkinan alasan:

    1. Syaikh Ibnu Utsaimin tidak sepakat dengan fatwa Al-Lajnah karena beliau sepaham dengan Syaikh Ali tentang permasalahan iman, yakni “iman sah hanya dengan keyakinan hati dan ucapan lisan, tanpa amal”.

    2. Syaikh Ibnu Utsaimin tidak sepakat karena fatwa tersebut memecah-belah barisan salafiyyin di banyak negeri, namun beliau tidak mengingkari permasalahan iman yang dikritik.

    Jika alasan beliau adalah point pertama, maka kemungkinan ini sangat kecil. Karena Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memahami hadits “tidak beramal kebaikan sedikitpun” tidak berlaku umum, namun khusus bagi mereka yang terhalang dalam beramal dan memiliki udzur.

    Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

    معنى قوله: ( لم يعملوا خيراً قط ) أنهم ما عملوا أعمالاً صالحة، لكن الإيمان قد وقر في قلوبهم، فإما أن يكون هؤلاء قد ماتوا قبل التمكن من العمل؛ آمنوا ثم ماتوا قبل أن يتمكنوا من العمل، وحينئذ يصدق عليهم أنهم لم يعملوا خيراً قط.


    “Makna sabda nabi “tidak pernah beramal sedikitpun” adalah meskipun mereka belum pernah beramal shalih, namun iman dalam hati mereka telah kokoh. Kemungkinan mereka mati sebelum sempat melakukan amal shalih, yakni mereka beriman lalu mati sebelum sempat beramal. Dalam keadaan tersebut maka dibenarkan bahwa mereka belum pernah beramal kebaikan sedikitpun”[Fatawa Al-Aqidah no. 123 cet. Darul Minhaj]

    Syaikh Ibnu Utsaimin memahami bahwa seorang yang masuk surga tanpa amal dalam hadits tersebut adalah suatu kaum yang telah bersyahadat, lalu mereka mati sebelum sempat beramal. Artinya ia memiliki udzur atau penghalang dalam beramal seperti kisah pemuda Yahudi yang biasa melayani nabi. Suatu saat ia jatuh sakit dan di akhir hayatnya ia mengucapkan kalimat syahadat setelah ditalqin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Apakah ia sempat beramal setelah masuk Islam?

    Seandainya tipe-tipe orang seperti ini diberikan Allah umur yang panjang niscaya ia akan beramal dengan amal jawarih karena kejujuran iman mereka kepada Allah.

    Berbeda dengan pemikiran Murji’ah akhir-akhir ini, mereka memahami hadits tersebut berlaku umum bagi siapa saja yang meninggalkan amal tanpa udzur. Tahukah antum, hadits ini dan yang semisalnya adalah dalil paling kuat yang mereka pakai. Ternyata pemahaman Syaikh Ibnu Utsaimin dan mereka sangat berbeda!!

    Telah saya sebutkan ijma’ para ulama dalam permasalahan ini, bahwa iman terdiri dari keyakinan hati, ucapan lisan dan amal. Ketiganya harus terkumpul dalam diri seorang muslim. Keberadaannya seperti rukun, ketika seorang telah berniat shalat, membaca Al-Fatihah namun tidak ruku’ dan sujud. Apakah shalatnya sah? Begitu pula ketiadaan amal jawarih dalam iman, menjadikan imannya tidak sah.

    Apakah antum memahami Syaikh Ibnu Utsaimin menyelisihi ijma’ yang dinukil Ibnu Taimiyyah, ketika beliau tidak menyepakati fatwa Al-Lajnah?

    Yang saya pahami bahwa beliau tidak sepakat dengan fatwa Al-Lajnah karena alasan kedua yaitu fatwa tersebut telah memecah-belah salafiyyin di berbagai negeri. Dibuktikan dengan pengakuan beliau sendiri dalam perkataannya.

    Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:

    وهذا غَلطٌ مِن اللَّجْنَة، أنا مُستَاءٌ مِن هذِهِ الفَتْوى، وَلَقَدْ فَرَّقَتْ هذهِ الْفَتْوَى الْمُسْلِمِينَ في أَنْحاءِ العَالمِ؛ حَتَّى إِنَّهُمْ يَتَّصلونَ بِي مِنْ أَمْرِيكَا وأُوروبّا

    Ini adalah kekeliruan dari Lajnah. Aku merasa terganggu dengan fatwa ini. Fatwa ini telah memecah-belah kaum muslimin di seluruh negeri, hingga mereka menghubungiku dari negeri Amerika dan Eropa” [At-Ta’riifu wat-Tanbi’ah, hal. 15]

    ReplyDelete
  11. [Ketujuh] Nukilan pernyataan Syaikh Husain Alus-Syaikh atau terkadang mereka menukil ucapan Syaikh Ubaid Al-Jabiri hafizahumallah. Maka saya pun menyatakan sebagaimana yang antum nukilkan dari perkataan Mujahid rahimahullah,

    لَيْسَ أَحَدٌ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ، وَيُتْرَكُ إِلا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

    “Tidak ada seorang pun setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana perkataannya dapat diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’u Raf’il-Yadain, hal. 153 no. 179; shahih]

    ReplyDelete
  12. Akhi....teruslah menimba ilmu. Engkau tdk pantas disejajarkan dg ulama yg engkau komentari karena engkau bukanlah siapa2.
    Org yg kau jadikan panutan seperti muhammad sarbini/qomar suaidi atau afifuddin jk mereka tergelincir dlm kesalahan blm tentu engkau berani mentahzirnya krn sikap taklid kpd mereka. Semisal mereka salah engkau akan memakluminya sbgmn para ulama memaklumi kesalahan ibnu hajar, ibnu jauzi dll ttg takwil asma wa shifat. Tetapi hal itu tdk berlaku bg masyayikh & ustad2 yg bersebrangan dengan kelompokmu.
    Mari bersikap yg adil...semoga Allah memberimu hidayah di atas sunnah. Aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya memang bukan siapa-siapa, saya juga tidak pantas disejajarkan dengan Ali Hasan Al-Halabi. Tapi Anda lupa, Ali Hasan Al-Halabi juga tidak pantas disejajarkan dengan Shalih Al-Fauzan, Rabi' Al-Madkhali, Abdullah Al-Ghudayyan, Abdul Aziz Ar-Rajihi, Ubaid Al-Jabiri, Shalih As-Suhaimi, Mumammad bin Umar Bazmuul. Siapa Ali Hasan Al-Halabi, sehingga tidak boleh dikritik?
      Siapa Ali Al-Halabi, berani membantah para ulama sekaliber mereka tanpa adab?

      Hampir semua ulama besar (kibar) di Arab Saudi mengkritik aqidah Ali Hasan Al-Halabi, tapi mungkin antum belum tahu, karena antum hanya membaca artikel-artikel pembelaan terhadap beliau. Semoga Allah meluaskan wawasan kita dalam masalah aqidah...amiin

      Delete
  13. Alhamdulillah, dalam artikel ini dan yang lainnya yg berkaitan ana menemukan kejelasan sebagaimana jelasnya siang dengan malam. Jazakallah khair Ust Abul-Harits atas jerih payah antum dalam menulis artkel ini dan yg lainnya. Baarakallahufiikum.

    ReplyDelete