Monday, January 28, 2013

Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu?


Terdapat dua hadits dalam permasalahan ini yang dzahirnya bertentangan. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menyebutkan kedua hadits tersebut dalam Bulughul Maraam bab “Nawaqidhul Wudhu”. Berikut teks haditsnya,

1. Hadits Busrah bin Shafwan radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaknya ia berwudhu.”[Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 181, An-Nasa’i no. 100, At-Tirmidzi no. 82, Ibnu Majah no. 479, Ahmad 6/406, Ibnu Hibban no. 212]

Hadits ini dishahihkan oleh Al-Bukhari,  Ahmad[1], Ibnu Ma’in, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hazimi, Al-Baihaqi dan Al-Albani[2] rahimahumullah.

2. Hadits Thalq bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “ada seorang laki-laki yang berkata: aku menyentuh kemaluanku atau ada seorang laki-laki yang menyentuh kemaluannya ketika shalat. Apakah ia wajib berwudhu?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا, إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ

“Tidak, kemaluan hanyalah bagian dari anggota tubuhmu.”[Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 182 dan 183, At-Tirmidzi no. 85, Ibnu Majah no. 483, Ahmad no. 43, Ibnu Hibban no. 207]

Hadits ini dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud, 1/334.

Sisi pendalilan dari hadits pertama adalah perintah nabi kepada Busrah untuk berwudhu ketika ia menyentuh kemaluannya. Sedangkan perintah dalam syariat pada asalnya bermakna wajib hingga terdapat dalil yang memalingkan dari kewajibannya. Hal ini memberikan konsekuensi wudhunya batal. Seandainya wudhunya tidak batal, tentu nabi tidak memerintahkannya untuk berwudhu.

Adapun sisi pendalilan hadits kedua, ketika ada seorang laki-laki yang bertanya pada nabi, apakah ia harus berwudhu ketika menyentuh kemaluannya? Nabi menyatakan bahwa ia tidak harus berwudhu, karena kemaluan sama seperti anggota tubuh yang lain, tidak membatalkan wudhu jika disentuh. Keadaannya sama seperti kita menyentuh kaki, telinga, dan anggota tubuh yang lain. Bukankah wudhu kita tidak batal?

Oleh karena itu , para ulama memiliki empat pendapat dalam permasalahan ini:

[Pendapat Pertama] Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu.

Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Ishaq bin Rahawaih, Sa’id bin Al-Musayyab, ‘Atha bin Abi Rabah, Thawus, ‘Urwah bin Az-Zubair, Sulaiman bin Yasar, Aban bin Utsman, Mujahid, Makhul, Jabir bin Zaid, As-Sya’bi, Al-Hasan, ‘Ikrimah, Az-Zuhri, Al-Auza’i, Laits bin Sa’ad, Dawud Adz-Dzahiri dan Ath-Thabari rahimahumullah.

Dari kalangan sahabat, Umar bin Al-Khattab, Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Al-Barra’ bin ‘Azib, Jabir bin Abdillah dan Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhum. [Al-Istidzkar, 1/24]

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وإذا أفضى الرجل ببطن كفه إلى ذكره ليس بينها وبينه ستر وجب عليه الوضوء

“Jika seorang menyentuh kemaluannya dengan perut telapak tangannya tanpa ada penghalang, maka ia wajib berwudhu.”[Al-Umm, 19/1]

Al-Mawardi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

ومس الفرج هو القسم الخامس من أقسام ما يوجب الوضوء

“Menyentuh kemaluan merupakan pembatal wudhu yang kelima dari hal-hal yang mewajibkan wudhu”[Al-Hawi Al-Kabir Syarh Mukhtashar Al-Muzanni, 1/189]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

فعن أحمد فيه روايتان إحداهما ينقض الوضوء

“Ahmad memiliki dua riwayat (pendapat) dalam permasalahan ini, riwayat pertama membatalkan wudhu”[Al-Mughni, 1/116]

Al-Mardawi rahimahullah berkata:

الصحيح من المذهب أن مس الذكر ينقض مطلقا وعليه جماهير الأصحاب

“Pendapat yang benar dalam madzhab, menyentuh kemaluan membatalkan wudhu secara mutlak. Ini merupakan pendapat kebanyakan para ulama Hanabilah”[Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih minal Khilaf fi Madzhab Al-Imam Ahmad, 1/202]

Ibnu Abdil Barr Al-Maliki rahimahullah berkata:

تحصيل المذهب عند المالكيين من أهل المغرب أن من مس ذكره بباطن الكف أو الراحة أو بباطن الأصابع دون حائل انتقض وضوءه

“Kesimpulan dalam madzhab ulama Malikiyyah dari penduduk Maghrib. Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya dengan perut telapak tangan maupun jari-jarinya tanpa ada penghalang maka wudhunya batal.”[Al-Istidzkar, 1/250]

Mereka lebih mendahulukan hadits Busrah bin Shafwan ketimbang hadits Thalq bin ‘Ali dengan beberapa alasan:

1. Hadits Busrah bin Shafwan lebih shahih dari hadits Thalq bin ‘Ali. Sebagian perawi hadits Busrah adalah perawi kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, berbeda dengan perawi hadits Thalq. Tidak ada satupun perawinya yang dipakai oleh Al-Bukhari atau Muslim dalam Ash-Shahihain.

2. Hadits Thalq dimansukh oleh Hadits Busrah. Karena Thalq bin ‘Ali bertemu nabi ketika beliau mmbangun Masjid An-Nabawi di permulaan Islam lalu ia kembali ke negerinya, sedangkan Busrah masuk Islam pada tahun penaklukan Makkah (Fathu Makkah). Sehingga hadits Busrah lebih akhir dari hadits Thalq.

3. Hukum asal dalam bab ini adalah segala sesuatu tidak dapat membatalkan wudhu kecuali ada dalil syar’i yang menyatakan batal. Hadits Thalq sesuai dengan hukum asal dalam bab, sedangkan hadits Busrah mengeluarkan dari hukum asal sehingga lebih didahulukan.

4. Penilaian Imam Al-Bukhari rahimahullah tentang hadits Busrah,

هو أصح شيء في هذا الباب

“Hadits Busrah merupakan hadits yang paling shahih dalam bab ini.”[Bulughul Maraam dalam keterangan hadits no. 79]

5. Terdapat hadits-hadits lain yang mendukung makna hadits Busrah,

- Hadits Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaknya ia berwudhu”[Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi 1/130, Ath-Thahawi 1/45]

- Hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ مَسَّتْ فَرْجَهَا فَلْتَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya hendaknya ia berwudhu, wanita manapun yang menyentuh kemaluannya hendaknya ia berwudhu.”[Dikeluarkan oleh Ahmad 2/223, Ad-Daraquthni hal. 54 dan Al-Baihaqi 1/322]

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Hazm dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah dalam Ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zadul Mustaqni’ kaset keempat.

[Pendapat Kedua] Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu.

Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Rabi’ah, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Tsaur, Ibnu Sahnun, Ibnul Mundzir dan para ulama Kufah rahimahumullah.

Dari kalangan sahabat, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, ‘Ammar bin Yasir, ‘Abdullah bin Abbas, Hudzaifah, Imran bin Hushain dan Abu Ad-Darda radhiyallahu ‘anhum.[At-Tamhid, 17/201]

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:

أما أهل العراق فجمهور علمائهم على أن لا وضوء في مس الذكر وعلى ذلك مضى أسلافهم بالكوفة والبصرة

“Adapun penduduk Iraq, kebanyakan ulama mereka berpendapat seorang yang menyentuh kemaluan, tidak batal wudhunya. Demikian pula para ulama sebelum mereka di Kufah dan Bashrah.”[Al-Istidzkar, 1/250]

Mereka lebih mendahulukan hadits Thalq bin ‘Ali ketimbang hadits Busrah bin Shafwan karena pernyataan Ali bin Al-Madini (guru Imam Al-Bukhari) dan At-Tirmidzi terhadap hadits Thalq berikut,

Ali bin Al-Madini rahimahullah berkata:

هو أحسن من حديث بسرة

“Hadits ini lebih baik dari hadits Busrah”[Bulughul Maraam dalam keterangan hadits no. 78]

At-Tirmidzi rahimahullah berkata:

هذا الحديث أحسن شيء روي في هذا الباب

“Hadits ini merupakan hadits paling baik yang diriwayatkan dalam bab ini”

[Pendapat Ketiga] Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu jika disertai syahwat.

Ini merupakan salah satu riwayat pendapat dari Imam Ahmad dan Malik. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah dan Syaikh Al-Bassam dalam Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maraam.

Karena hadits Busrah dan hadits Thalq, keduanya shahih, maka tidak diperbolehkan kita mengambil satu hadits lalu menolak hadits yang lain.

Mereka menjamak kedua hadits tesebut dengan memahami perintah berwudhu dalam hadits Busrah bin Shafwan bagi seorang yang menyentuh kemaluannya disertai syahwat. Lalu hadits Thalq bin ‘Ali dipahami bahwa nabi tidak memerintahkannya berwudhu karena ia menyentuh kemaluannya tanpa disertai syahwat.

Jika seorang menyentuh kemaluannya tanpa disertai syahwat maka keadaannya sama seperti ia menyentuh anggota tubuh yang lain. Apakah ketika seorang menyentuh telinga, hidung dan kakinya disertai syahwat??

Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:

إن كان المس بدون شهوة فهو لا ينقض؛ لأنه يكون كما لو مسّ بضعة أخرى من بدنه، وإن كان المس بشهوة؛ فالعمل على حديث بسرة

“Jika ia menyentuh kemaluannya tanpa disertai syahwat maka tidak membatalkan wudhu karena keadaannya sama seperti ia menyentuh anggota tubuh yang lain. Namun jika ia menyentuhnya dengan syahwat maka hadits Busrah (lebih didahulukan –pen-) dalam amal”[Shahih Abu Daud, 1/334]

[Pendapat Keempat] Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu, namun disunahkan berwudhu setelahnya.

Ini merupakan salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad dan dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah.

Alasan pendapat ini hampir sama dengan pendapat ketiga, dari sisi pengamalan terhadap kedua hadits.

Mereka memahami perintah berwudhu dalam hadits Busrah bukan merupakan perintah yang wajib. Seandainya bermakna wajib, tentu nabi tidak memberikan keringanan kepada seorang laki-laki yang bertanya dalam hadits Thalq untuk tidak berwudhu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

 وَالْأَظْهَرُ أَيْضًا أَنَّ الْوُضُوءَ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ مُسْتَحَبٌّ لَا وَاجِبٌ وَهَكَذَا صَرَّحَ بِهِ الْإِمَامُ أَحْمَد فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ وَبِهَذَا تَجْتَمِعُ الْأَحَادِيثُ وَالْآثَارُ بِحَمْلِ الْأَمْرِ بِهِ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ لَيْسَ فِيهِ نَسْخُ قَوْلِهِ : { وَهَلْ هُوَ إلَّا بَضْعَةٌ مِنْك ؟ } وَحَمْلُ الْأَمْرُ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ أَوْلَى مِنْ النَّسْخِ

“Yang nampak (lebih kuat) bahwa berwudhu ketika menyentuh kemaluan hukumnya sunah, tidak wajib. Pendapat ini secara tegas dinyatakan oleh Imam Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat beliau. Dengan metode ini, maka hadits-hadits dan atsar dalam bab ini dapat dijamak. Memahami perintah nabi dalam hadits Busrah bermakna sunah lebih utama dari menasikh hadits [وَهَلْ هُوَ إلَّا بَضْعَةٌ مِنْك]”[Majmuu’ Al-Fataawaa, 21/241]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

لا ينقض سواء كان لشهوة أو لغير شهوة..لكن الأفضل له أن يتوضأ جمعا بين حديث بسرة وطلق بن علي

“Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu, sama saja apakah ia menyentuhnya dengan syahwat atau tanpa syahwat. Namun yang lebih utama baginya adalah berwudhu setelah itu, agar dapat menjamak hadits Busrah dan hadits Thalq bin Ali.”[Silsilah Liqaa’ Al-Baab Al-Maftuuh, kaset ke 65 side B]

Tarjih

Tidak diragukan lagi bahwa metode menjamak kedua hadits lebih utama dari metode tarjih yaitu mengambil sebagian hadits lalu meninggalkan hadits yang lain. Penulis lebih condong pada pendapat keempat dalam menjamak kedua hadits dalam bab ini. Karena perincian pendapat ketiga yang membedakan ketika menyentuh dengan “syahwat atau tanpa syahwat” tidak disebutkan dalam nash-nash hadits.  Allahua’lam


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 16 Rabi’ul Awwal 1434 H



[1] Masa’il Imam Ahmad, hal. 309
[2] Irwa’ul Ghalil, 1/151 no. 117

Tuesday, January 22, 2013

Membongkar Jaringan Syi'ah di Indonesia


SEKILAS DATA SYIAH DI INDONESIA, BACA DAN SEBARKAN !!!
SYIAH MERUPAKAN ANCAMAN YANG SAMA BESARNYA SEPERTI ANCAMAN ZIONIS BAGI UMAT ISLAM, OLEH KARENA ITU, PERLU BAGI KITA UNTUK MENGETAHUI SEJAUH MANA PERAN DAN PENYEBARAN MEREKA DI TENGAH-TENGAH KITA, AGAR KITA SELALU WASPADA DAN BERHATI-HATI TERHADAP BAHAYA DAN MAKAR YANG KELAK SENANTIASA MEREKA LAKUKAN TERHADAP UMAT ISLAM. BERIKUT DATA-DATA SYIAH DI INDONESIA YANG UNTUK SAAT INI BISA KAMI HIMPUN DAN INSYA ALLAH DATA INI AKAN SENANTIASA KAMI UPDATE DI LAIN KESEMPATAN.
YAYASAN
1. Yayasan Fatimah, Condet, Jakarta
2. Yayasan Al-Muntazhar, Jakarta
3. Yayasan Al-Aqilah
4. Yayasan Ar-Radhiyah
5. Yayasan Mulla Shadra, Bogor
6. Yayasan An-Naqi
7. Yayasan Al-Kurba
8. YAPI, Bangil
9. Yayasan Al-Itrah, Jember

Wednesday, January 16, 2013

Menjawab Syubhat Seputar Hadits "Belum Pernah Beramal Kebaikan Sedikitpun"


Penulis kitab Dhabtud Dhawabit fil Iman wa Nawaqidhihi pada hal. 65 berdalil dengan hadits “lam ya’malu khairan qath” untuk menyimpulkan bahwa jinsul a’maal jawarih hanya merupakan kamalul iman atau syarthul kamal atau silahkan memberi penamaan dengan istilah-istilah lain. 

Intinya, iman sah hanya dengan keyakinan hati dan ucapan lisan menurut mereka.

Hadits “lam ya’malu khairan qath” diriwayatkan dari Abu Sa’id Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Tuesday, January 15, 2013

Kisah Syaikh Ibnu Baz dan Nenek Tua di Pelosok Hutan Afrika


Dibawah ini adalah kisah teladan tentang kedermawanan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah yang sedekahnya sampai jauh menembus lebatnya hutan Afrika.

Ali bin ‘Abdullah ad-Farbi berkata:

“Diantara cerita yang paling berkesan kepadaku adalah, ada empat orang dari salah satu lembaga bantuan (kemanusiaan) di Kerajaan Arab Saudi diutus untuk menyalurkan bantuan di pelosok hutan Afrika. Setelah berjalan kali selama empat jam dan setelah lelah berjalan, mereka (4 orang utusan ini, pent.) melewati seorang wanita tua di salah satu kemah dan mengucapkan salam kepadanya lalu memberikannya bantuan. Wanita tua itu bertanya kepada mereka : “Kalian dari negara mana?” Mereka pun menjawab : “Kami dari Kerajaan Arab Saudi.”

Lalu wanita tua itu berkata : “Sampaikan salamku untuk Syaikh Ibnu Baz.” Mereka bertanya, “Semoga Allah merahmati Anda, bagaimana Syaikh Ibnu Baz mengenali Anda sedangkan Anda berada di lokasi yang terpencil dan jauh ini?”

Wanita tua renta itu menjawab : “Demi Allah, sesungguhnya beliau (Syaikh Ibnu Baz) mengirimkan uang 1000 real kepadaku setiap bulan. Setelah aku mengirimkan sepucuk surat kepadanya untuk memohon bantuan dan pertolongan setelah (meminta) pertolongan Alloh عزّوجلّ.” [Tabloid Al-Madinah no 12182]

Semoga kita bisa meneladani kisah beliau ini.


Dinukil oleh Abul-Harits dari kompasiana.com

Nasihat Pernikahan Untuk Putriku


Seandainya Allah subhaanahu wa ta’alaa panjangkan umurku dan memberikan kesempatan kepadaku menyaksikan pernikahan putriku tercinta, kira-kira seperti inilah yang ingin aku sampaikan:
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله , نحمده ونستعينه , ونستغفره , ونعوذ بالله من شرور أنفسنا , ومن سيئات أعمالنا , من يهده الله فلا مضل له , ومن يضلل فلا هادي له , وأشهد أن لاإله إلا الله وحده لاشريك له , وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وسلم .
{ يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون }
{ يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تسألون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا }
{ يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا , يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم , ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما }
Anak-anakku..,
Hari ini akan menjadi satu di antara hari-hari yang paling bersejarah di dalam kehidupan kalian berdua. Sebentar lagi kalian akan menjadi sepasang suami-isteri, yang darinya kelak akan lahir anak-anak yang shalih dan shalihah, dan kalian akan menjadi seorang bapak dan seorang ibu, untuk kemudian menjadi seorang kakek dan seorang nenek, ……insya Allah.
Rentang perjalanan hidup manusia yang begitu panjang … sesungguhnya singkat saja. Begitu pula…liku-liku dan pernik-pernik kerumitan hidup sesungguhnya jugalah sederhana. Kita semua.. diciptakan Allah Subhaanahu wa ta’alaa tidak lain untuk beribadah kepada-Nya. Maka, jika kita semua berharap kelak dapat berjumpa dengan Allah Subhaanahu wa ta’alaa …dalam keadaan Ia ridha kepada kita, hendaklah kita jadikan segala tindakan kita semata-mata di dalam rangka mencari keridhaan-Nya dan menyelaraskan diri kepada Sunnah Nabi-Nya Yang Mulia -Shallallahu alaihi wa sallam-
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
(Maka barangsiapa merindukan akan perjumpaannya dengan robb-nya, hendaknya ia beramal dengan amalan yang sholeh, serta tidak menyekutukan dengan sesuatu apapun di dalam peribadatan kepada robb-nya.)
Begitu pula pernikahan ini, ijab-qabulnya, adanya wali dan dua orang saksi, termasuk hadirnya kita semua memenuhi undangan ini…adalah ibadah, yang tidak luput dari keharusan untuk sesuai dengan syari’at Allah subhaanahu wa ta’alaa.
Oleh karena itu…, kepada calon suami anakku
Saya ingatkan, bahwa wanita itu dinikahi karena empat alasan, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam:

عن أبي هريره رضي الله عنه، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:
تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك
Wanita dinikahi karena empat alasan. Hartanya, keturunannya, kecantikannya,atau agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya selamatlah engkau.”[HR. Muslim]
Maka ambilah nanti putriku sebagai isteri sekaligus sebagai amanah yang kelak kamu dituntut bertanggung jawab atasnya. Dengannya dan bersamanya lah kamu beribadah kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa, di dalam suka…di dalam duka. Gaulilah ia secara baik, sesuai dengan yang diharuskan menurut syari’at Allah. Terimalah ia sepenuh hati, kelebihan dan kekurangannya, karena Allah subhaanahu wa ta’alaa telah memerintahkan demikian:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
"Dan gaulilah isteri-isterimu dengan cara yang ma’ruf. Maka seandainya kalian membenci mereka, karena boleh jadi ada sesuatu yang kalian tidak sukai dari mereka, sedangkan Allah menjadikan padanya banyak kebaikan."[An-Nisaa’:19]
Dan ingatlah pula wasiat Nabi -shallallahu alaihi wa sallam-:
إستوصوا بالنساء خيرا فإنهن عوان عندكم
"Pergaulilah isteri-isteri dengan baik. Karena sesungguhnya mereka itu mitra hidup kalian"
Dan perlakuanmu terhadap isterimu ini menjadi cermin kadar keimananmu, sebagaimana Sabda Nabi -shallallahu alaihi wa sallam-;
أكمل المؤمن إيمانا أحسنهم خلقا و خياركم خياركم لنساءهم (الترمذي عن ابي هريرة)
"Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya"
Dan kamu sebagai laki-laki adalah pemimpin di dalam rumah tangga.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
"Lelaki itu pemimpin bagi wanita disebabkan Allah telah melebihkan yang satu dari yang lainnya dan disebabkan para lelaki yang memberi nafkah dengan hartanya."[An-Nisaa’: 34]
Maka agar kamu dapat memimpin rumah tanggamu, penuhilah syarat-syaratnya, berupa kemampuan untuk menafkahi, mengajari, dan mengayomi. Raihlah kewibawaan agar isterimu patuh di bawah pimpinanmu. Jadilah suami yang bertanggungjawab, arif dan lemah lembut , sehingga isterimu merasa hangat dan tentram di sisimu. Berusahalah sekuat tenaga menjadi teladan yang baik baginya, sehingga ia bangga bersuamikan kamu. Ya, inilah sa’atnya untuk membuktikan bahwa kamu laki-laki sejati, laki-laki yang bukan hanya lahirnya.
Kepada putriku
Saya ingatkan kepadamu akan sabda Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- :
عن أبي هريرة؛ قال:- قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
إذا أتاكم من ترضون خلقه ودينه فزوجوه. إلا تفعلوا تكن فتنة في الأرض وفساد عريض
Jika datang kepadamu (-wahai para orang tua anak gadis-) seorang pemuda yang kau sukai akhlaq dan agamanya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah dan menyebarnya kerusakan di muka bumi.”[HR. Ibnu Majah]
Dan semoga -tentunya- calon suamimu datang dan diterima karena agama dan akhlaqnya, bukan karena yang lain. Maka hendaknya kau luruskan pula niatmu. Sambutlah dia sebagai suami sekaligus pemimpinmu. Jadikanlah perkawinanmu ini sebagai wasilah ibadahmu kepada Allah subhaanahu wa ta’alaa. Camkanlah sabda Nabi -shallallahu alaihi wa sallam-:
لو كنت أمرا أحد ان يسجد لأحد لأمرت المرءة ان تسجد لزوجها (الترم1ي عن ابي هريرة)
"Seandainya aku boleh memerintahkan manusia untuk sujud kepada sesamanya, sungguh sudah aku perintahkan sang isteri sujud kepada suaminya."
Karenanya sekali lagi saya nasihatkan , wahai putriku…
Terima dan sambutlah suamimu ini dengan sepenuh cinta dan ketaatan.
Layani ia dengan kehangatanmu…
Manjakan ia dengan kelincahan dan kecerdasanmu…
Bantulah ia dengan kesabaran dan doamu…
Hiburlah ia dengan nasihat-nasihatmu…
Bangkitkan ia dengan keceriaan dan kelembutanmu…
Tutuplah kekurangannya dengan mulianya akhlaqmu…
Manakala telah kamu lakukan itu semua, tak ada gelar yang lebih tepat disandangkan padamu selain Al Mar’atush-Shalihah, yaitu sebaik-baik perhiasan dunia. Sebagaimana Sabda Nabi -shallallahu alaihi wa sallam-:
الدنيا متاع وخير متاع الدنيا المرأة الصالحة ( مسلم)
"Dunia tak lain adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang sholihah."
Inilah satu kebahagiaan hakiki -bukan khayali- yang diidam-idamkan oleh setiap wanita beriman. Maka bersyukurlah, sekali lagi bersyukurlah kamu untuk semua itu, karena tidak semua wanita memperoleh kesempatan sedemikian berharga. Kesempatan menjadi seorang isteri, menjadi seorang ibu. Terlebih lagi, adanya kesempatan, diundang masuk ke dalam surga dari pintu mana saja yang kamu kehendaki. Yang demikian ini mungkin bagimu selagi kamu melaksanakan sholat wajib lima waktu -cukup yang lima waktu-, puasa -juga cukup yang wajib- di bulan Ramadhan, menjaga kemaluan -termasuk menutup aurat- , dan ta’at kepada suami. Cukup, cukup itu. Sebagaimana sabda Nabi -shallallahu alaihi wa sallam-:
إذا صلت المرأة خمسها وصامت شهرها وحفظت فرجها وأطاعت زوجها
قيل لها: ادخلي الجنة من أي أبواب الجنة شئت (أحمد عن عبدالرحمن بن عوف)
"Jika seorang isteri telah sholat yang lima, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan ta’at kepada suaminya. Dikatakan kapadanya: Silahkan masuk ke dalam Surga dari pintu mana saja yang engkau mau."
Anak-anakku…,
Melalui rangkaian ayat-ayat suci Al-Qur’an dan hadits-hadits nabi yang mulia, kami semua yang hadir di sini mengantarkan kalian berdua memasuki gerbang kehidupan yang baru, bersiap-siap meninggalkan ruang tunggu, dan mengakhiri masa penantian kalian yang lama. Kami semua hanya dapat mengantar kalian hingga di dermaga. Untuk selanjutnya, bahtera rumah-tangga kalian akan mengarungi samudra kehidupan, yang tentunya tak sepi dari ombak, bahkan mungkin badai.
Karena itu, jangan tinggalkan jalan ketaqwaan. Karena hanya dengan ketaqwaan saja Allah subhaanahu wa ta’alaa akan mudahkan segala urusan kalian, mengeluarkan kalian dari kesulitan-kesulitan, bahkan mengaruniai kalian rizki.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
"Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan berikan bagi nya jalan keluar dan mengaruniai rizki dari sisi yang tak terduga."
"Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allahniscaya Allah akan mudahkan urusannya."
Bersyukurlah kalian berdua akan ni’mat ini semua. Allah subhaanahu wa ta’alaa telah mengarunia kalian separuh dari agama ini, Allah subhaanahu wa ta’alaa telah mengarunia kalian kesempatan untuk menjalankan syari’at-Nya yang mulia, Allah subhaanahu wa ta’alaa juga telah mengaruniai kalian kesempatan untuk mencintai dan dicintai dengan jalan yang suci dan terhormat.
Ketahuilah, bahwa pernikahan ini menyebabkan kalian harus lebih berbagi. Orang tua kalian bertambah, saudara kalian bertambah, bahkan sahabat-sahabat kalian pun bertambah, yang kesemua itu tentu memperpanjang tali silaturahmi, memperlebar tempat berpijak, memperluas pandangan, dan memperjauh daya pendengaran. Bukan saja semakin banyak yang perlu kalian atur dan perhatikan, sebaliknya semakin banyak pula yang akan ikut mengatur dan memperhatikan kalian. Maka, barang siapa yang tidak kokoh sebagai pribadi dia akan semakin gamang menghadapi kehidupannya yang baru.
Ketahuilah, bahwa anak-anak yang shalih dan shalihah yang kalian idam-idamkan itu sulit lahir dan tumbuh kecuali di dalam rumah tangga yang sakinah penuh cinta dan kasih sayang. Dan tentunya tak akan tercipta rumah-tangga yang sakinah, kecuali dibangun oleh suami yang shalih dan isteri yang shalihah.
Akan tetapi, wahai anak-anakku, jangan takut menatap masa depan dan memikul tanggung jawab ini semua. Jangan bersedih dan berkecil hati jika kalian menganggap bekal yang kalian miliki sekarang ini masih sangat kurang. Allah subhaanahu wa ta’alaa berfirman:
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan janganlah berkecil hati juga jangan bersedih. Padahal kalian adalah orang-orang yang mulia seandainya sungguh-sungguh beriman.” [Ali Imran: 139]
Ya, selama masih ada iman di dalam dada segalanya akan menjadi mudah bagi kalian. Bukankah dengan pernikahan ini kalian bisa saling tolong-menolong di dalam kebajikan dan taqwa. Bukankah dengan pernikahan ini kalian bisa saling menutupi kelemahan dan kekurangan masing-masing. Bersungguh-sungguhlah untuk itu, untuk meraih segala kebaikan yang Allah subhaanahu wa ta’alaa sediakan melalui pernikahan ini. Jangan lupa untuk senantiasa memohon pertolongan kepada Allah. kemudian jangan merasa tak mampu atau pesimis. Jangan, jangan kalian awali kehidupan rumah tangga ini dengan perasaan lemah !
احرص على ما ينفعك. واستعن بالله ولا تعجز
"Bersungguh-sungguhlah kepada yang bermanfa’at bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan merasa lemah!" [HR. Ibnu Majah]
Terakhir, ingatlah bahwa nikah merupakan Sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, sebagaimana sabdanya:
النكاح من سنتي فمن رغب عن سنتي فليس مني
"Nikah itu merupakan bagian dari Sunnahku. Maka barang siapa berpaling dari Sunnahku, ia bukanlah bagian dari umatku."
Maka janganlah justru melalui pernikahan ini atau setelah aqad ini kalian justru meninggalkan Sunnah untuk kemudian bergelimang di dalam berbagai bid’ah dan kema’shiyatan.
Kepada besanku…
Terimalah masing-masing mereka sebagai tambahan anak bagi kita. Ma’lumilah kekurangan-kekurangannya, karena mereka memang masih muda. Bimbinglah mereka, karena inilah saatnya mereka memasuki kehidupan yang sesungguhnya.
Wajar, sebagaimana seorang anak bayi yang sedang belajar berdiri dan berjalan, tentu pernah mengalami jatuh untuk kemudian bangkit dan mencoba kembali. Maka bantulah mereka sampai benar-benar kokoh untuk berdiri dan berjalan sendiri.
Bantu dan bimbing mereka, tetapi jangan mengatur. Biarkan.., Karena sepenuhnya diri mereka dan keturunan yang kelak lahir dari perkawinan mereka adalah tanggung-jawab mereka sendiri di hadapan Allah subhaanahu wa ta’alaa. Hargailah harapan dan cita-cita yang mereka bangun di atas ilmu yang telah sampai pada mereka.
Keterlibatan kita yang terlalu jauh dan tidak pada tempatnya di dalam persoalan rumah tangga mereka bukannya akan membantu. Bahkan sebaliknya, membuat mereka tak akan pernah kokoh. Sementara mereka dituntut untuk menjadi sebenar-benar bapak dan sebenar-benar ibu di hadapan…dan bagi anak-anak mereka sendiri.
Ketahuilah, bahwa bukan mereka saja yang sedang memasuki kehidupannya yang baru, sebagai suami isteri. Kita pun, para orang tua, sedang memasuki kehidupan kita yang baru, yakni kehidupan calon seorang kakek atau nenek – insya Allah. Maka hendaknya umur dan pengalaman ini membuat kita,…para orang tua, menjadi lebih arif dan sabar, bukannya semakin pandir dan dikuasai perasaan. Pengalaman hidup kita memang bisa jadi pelajaran, tetapi belum tentu harus jadi acuan bagi mereka.
Jika kelak -dari pernikahan ini- lahir cucu-cucu bagi kita. Sayangilah mereka tanpa harus melecehkan dan menjatuhkan wibawa orang tuanya. Berapa banyak cerita di mana kakek atau nenek merebut superioritas ayah dan ibu. Sehingga anak-anak lebih ta’at kepada kakek atau neneknya ketimbang kepada kedua orang tuanya. Sungguh, akankah kelak cucu-cucu kita menjadi anak-anak yang ta’at kepada orang tuanya atau tidak, sedikit banyak dipengaruhi oleh cara kita memanjakan mereka.
Kepada semua, baik yang pernah mengalami peristiwa semacam ini, maupun yang sedang menanti-nanti gilirannya, marilah kita do’akan mereka dengan do’a yang telah diajarkan oleh Nabi -shallallahu alaihi wa sallam-:
بارك الله لك وبارك عليك وجمع بينكما في خير
فأعتبروا يا أولي الأبصار
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ان لاإله إلاأنت أستغفرك وأتوب إليك

Oleh Ustadz Abu Khaulah Zainal Abidin hafidzahullah
Dinukil oleh Abul-Harits dari rumahbelajaribnuabbas.wordpress.com

Saturday, January 12, 2013

18 Perbedaan Malaikat dan Jin


1. Malaikat diciptakan dari cahaya, sedangkan jin diciptakan dari api.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

خلقت الملائكة من نور وخلق الجان من مارج من نار

“Malaikat diciptakan dari cahaya, sedangkan jin diciptakan dari nyala api.”[HR. Muslim no. 2996] dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha

2. Nama-nama para malaikat berbeda dengan nama-nama jin. Nama para malaikat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits yang shahih mengandung makna yang baik dan memiliki kemuliaan. Sedangkan kebanyakan nama-nama jin dan syaithan mengandung makna yang buruk.

3. Allah ta’ala menciptakan malaikat agar senantiasa beribadah kepada-Nya. Mereka tidak memiliki pilihan lain antara taat atau bermaksiat pada Allah. Sedangkan jin diberikan pilihan untuk taat atau bemaksiat pada Allah. Diantara jin ada yang beriman dan ada pula yang kafir. Namun kebanyakan jin lebih memilih kekufuran daripada keimanan.

4. Malaikat tidak pernah bermaksiat pada Allah sekejap mata pun. Sedangkan kebanyakan jin kufur kepada Allah, bahkan golongan jin yang kafir lebih banyak dari golongan manusia.

5. Malaikat tidak memiliki syahwat, tidak makan, tidak minum dan tidak menikah. Sedangkan jin makan, minum dan menikah

6. Malaikat lebih kuat dari jin, bahkan sebagian malaikat kekuatannya tidak bisa dibandingkan dengan seluruh jin sekalipun. Sebagai contoh, Malaikat Maut yang mampu mengambil ruh-ruh di seluruh penjuru bumi dalam sekejap mata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengabarkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4865 bahwa di langit terdapat delapan malaikat yang memikul ‘arsy.

7. Malaikat lebih utama dari jin dari sisi penciptaan, bentuk, keadaan dan amal shalih.

8. Jumlah malaikat sangat banyak, mungkin lebih banyak dari jumlah manusia, jin dan hewan-hewan sekalipun. Diantara mereka ada yang bertugas mengatur alam, sujud, ruku’, bertasbih, beristighfar, dll.

9. Allah menciptakan malaikat untuk mengurus keperluan manusia, sedangkan kebanyakan jin menyesatkan manusia seperti Iblis dan keturunannya.

10. Malaikat juga mengurus keperluan jin sebagaimana yang Allah kehendaki, namun tidak sebaliknya.

11. Malaikat mampu melihat jin tiap waktu, sedangkan jin tidak dapat melihat malaikat. Kecuali jika jin merubah diri menjadi sesuatu yang memungkinkannya untuk melihat malaikat dengan izin Allah. Seandainya jin dapat melihat malaikat, niscaya mereka tidak diperintahkan untuk beriman pada yang ghaib (beriman pada malaikat).

12.  Allah menciptakan malaikat sebelum jin, dalilnya adalah ada diantara malaikat yang bertugas memikul ‘arsy. Sedangkan ‘arsy diciptakan sebelum penciptaan langit, bumi dan segala isinya.

13. Dilihat dari dunia jin, malaikat merupakan alam yang ghaib. Oleh karena itu, Allah mewajibkan pada jin dan manusia untuk beriman pada malaikat

14. Malaikat dapat menguasai, mengalahkan, melihat dan mencabut ruh jin dengan izin Allah. Sedangkan jin tidak dapat menguasai malaikat.

15. Allah mensifati malaikat dengan sifat-sifat yang terpuji dalam Al-Qur’an seperti taat, hamba-hamba yang dimuliakan, tidak menyelisihi perintah Allah, dll. Sedangkan jin disifati dengan sifat-sifat yang buruk seperti was-was, menghiasi amal keburukan, berbuat makar, dzalim, melampaui batas, dll

Allah ta’ala berfirman :

بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ

Bahkan mereka (malaikat –pen-) adalah hamba-hamba yang dimuliakan”[Al-Anbiya’ : 26]

لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Mereka tidak pernah bermaksiat terhadap apa yang Allah perintahkan pada mereka dan senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan.”[At-Tahrim : 6]


16. Malaikat tidak disifati dengan laki-laki maupun wanita, berbeda dengan jin. Kita hanya mensifati malaikat sebagai hamba-hamba dan tentara-tentara (junuud) Allah.

17. Malaikat menolong para nabi, rasul dan orang-orang yang mengikutinya untuk taat pada Allah, berbeda dengan jin.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata;

فمبدأ العلم الحق والإرادة الصالحة من لمة الملك ومبدأ الإعتقاد الباطل والإرادة الفاسدة من لمة الشيطان

“Ilmu yang benar dan keinginan baik timbul dari bisikan malaikat, sedangkan keyakinan batil dan keinginan buruk timbul dari bisikan syaithan” [Al-Majmu’ Al-Fatawa, 4/34]

Malaikat tidak menolong para tukang sihir dan peramal, berbeda dengan jin dan syaithan.

18. Para malaikat tinggal di langit, sedangkan jin tinggal di bumi. Sebagian jin tinggal di tempat-tempat yang kotor dan najis seperti toilet, kandang unta, tempat buang air, dll.

تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْ فَوْقِهِنَّ وَالْمَلَائِكَةُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِمَنْ فِي الْأَرْضِ

Hampir saja langit-langit terbelah, di atasnya para malaikat bertasbih memuji Tuhan mereka dan memohonkan ampun bagi para penduduk bumi.”[Asy-Syura: 5]

Allahua’lam

Disarikan oleh Abul-Harits dari Ahkamut Ta’amul ma’al Jin karya Syaikh Muhammad Al-Imam hafidzahullah

Friday, January 11, 2013

Ini Dalilnya Talqin Setelah Mayit Dikubur

Sebagian kaum muslimin yang bermadzhab Syafi’i di negeri kita senantiasa mengamalkan perbuatan ini yakni mentalqin mayit setelah dikuburkan. Adakah dalil mereka dalam permasalahan ini?

أخرجهُ الطبراني في الكبيرِ (8/298): حدثنا أبو عقيل أنسُ بنُ سلمٍ الخولاني ، حدثنا محمدُ بنُ إبراهيمَ بنِ العلاءِ الحمصي ، حدثنا إسماعيلُ بنُ عياشٍ ، حدثنا عبدُ اللهِ بنُ محمدٍ القرشي ، عن يحيى بنِ أبي كثيرٍ ، عن سعيدِ بنِ عبدِ اللهِ الأودي ، قال: " شهدتُ أبا أمامةَ في النزعِ فقال: " إذا أنا مت فاصنعوا بي كما أمرنا رسولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم فقال: قال رسولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم: " إذا مات الرجل فدفنتموه فليقم أحدكم عند رأسه فليقل: " يا فلان ابن فلانة ! " ، فإنه سيسمع ، فليقل: " يا فلان ابن فلانة ! " ، فإنه سيستوي قاعداً " ، فليقل: " يا فلان ابن فلانة ! " ، فإنه سيقولُ له: " أرشدني رحمك الله ! " ، فليقل: " اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله ، وأن محمداً عبده ورسوله ، وأن الساعة آتية لا ريب فيها ، وأن الله يبعث من في القبور . فإن منكراً ونكيراً عند ذلك كل واحد يأخذ بيد صاحبه ويقول: " قم ، ما تصنعُ عند رجلٍ لقن حجته ؟ " ، فيكونُ اللهُ حجيجهما دونه

Imam Ath-Thabrani rahimahullah berkata: menceritakan pada kami Abu ‘Aqil Anas bin Salam Al-Khaulani, ia berkata: menceritakan pada kami Muhammad bin Ibrahim bin Al-‘Alla’ Al-Himshi, ia berkata: menceritakan pada kami Isma’il bin ‘Iyasy, ia berkata: menceritakan pada kami ‘Abdullah bin Muhammad Al-Qurasyi, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Sa’id bin ‘Abdullah Al-Azdi, ia berkata: “Aku menyaksikan Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu pada saat-saat terakhir,

Beliau berkata: “Jika aku mati, maka perlakukanlah aku sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah pada kami.” Beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika ada seseorang yang mati, lalu kalian menguburkannya. Hendaknya salah seorang kalian berdiri di sisi kepalanya dan ucapkankanlah: “Wahai Fulan bin Fulanah!”, sungguh ia akan mendengar, lalu ucapkanlah: “Wahai Fulan bin Fulanah”, maka ia akan bangun dan duduk. Ucapkanlah: “Wahai Fulan bin Fulanah”, maka ia akan berkata: “Tuntunlah kami semoga Allah merahmati kalian”. Setelah itu ucapkanlah: “Ingatlah apa yang mengeluarkanmu dari dunia, syahadat Lailaha illallah dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Sesungguhnya hari kiamat akan datang, tiada keraguan padanya, lalu Allah akan membangkitkan seluruh yang berada dalam kubur.” Maka Munkar dan Nakir ketika itu memegang tangan satu sama lain dan berkata: “Bangunlah, apa yang akan engkau lakukan di sisi seorang yang telah ditalqin hujahnya?” Maka Allah yang akan mejadi hujjah bagi keduanya.”[Mu’jam Al-Kabir, 8/298]

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah memberikan penilaian terhadap hadits tersebut :

إسنادهُ صالحٌ ، وقد قواهُ الضياءُ في أحكامهِ 
“Sanadnya shalih, Adh-Dhiyaa’ (Al-Maqdisi –pen-) menguatkannya dalam kitab Ahkam-nya”.[Talkhishul Habiir, 2/135]

Berarti mentalqin mayit setelah dikubur bukan bid'ah ya??

Sunday, January 6, 2013

Sahkah Iman Tanpa Amal? (Mereka Tidak Jujur Dalam Menukil Perkataan Syaikhul Islam)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan tentang Ashlul-Imaan dalam perkataannya :

فأصل الإيمان في القلب وهو قول القلب وعمله، وهو إقرار بالتصديق والحب والانقياد وما كان في القلب فلابد أن يظهر موجبه ومقتضاه على الجوارح، وإذا لم يعمل بموجبه ومقتضاه دل على عدمه، أو ضعفه

“Maka ashlul-imaan dalam hati adalah perkataan dan amalan hati, yakni pengakuan bersamaan dengan tashdiiq (pembenaran), kecintaan, inqiyaad (kepatuhan). Iman yang ada dalam hati melazimkan adanya amal dzahir dalam anggota badannya. Ketika ia tidak beramal dengan kewajiban dan konsekuensinya menunjukkan ketiadaan atau lemahnya iman dalam hati.”

Diantara syubhat yang sering mereka bawakan adalah nukilan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berikut :

والتحقيق أن إيمان القلب التام يستلزم العمل الظاهر بحسبه لا محالة ويمتنع أن يقوم بالقلب إيمان تام بدون عمل ظاهر

“Pendapat yang benar bahwa Al-Iman At-Taam dalam hati melazimkan amal dzahir sesuai kadarnya, ini adalah sesuatu yang pasti. Tidak mungkin terdapat Al-Imaan At-Taam dalam hati tanpa sedikitpun amal dzahir (dalam dirinya –pen-).”

Mereka memahami Al-Imaan At-Taam dalam perkataan Syaikhul Islam sebagai iman yang sempurna atau kesempurnaan iman. Jika seorang meninggalkan amalan dzahir secara keseluruhan maka mereka  tidak mengkafirkannya, namun hanya menyatakan ia adalah seorang muslim yang tidak sempurna imannya.

Benarkah demikian yang dipahami oleh Syaikhul Islam rahimahullah??