Monday, January 28, 2013

Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu?


Terdapat dua hadits dalam permasalahan ini yang dzahirnya bertentangan. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menyebutkan kedua hadits tersebut dalam Bulughul Maraam bab “Nawaqidhul Wudhu”. Berikut teks haditsnya,

1. Hadits Busrah bin Shafwan radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaknya ia berwudhu.”[Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 181, An-Nasa’i no. 100, At-Tirmidzi no. 82, Ibnu Majah no. 479, Ahmad 6/406, Ibnu Hibban no. 212]

Hadits ini dishahihkan oleh Al-Bukhari,  Ahmad[1], Ibnu Ma’in, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hazimi, Al-Baihaqi dan Al-Albani[2] rahimahumullah.

2. Hadits Thalq bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “ada seorang laki-laki yang berkata: aku menyentuh kemaluanku atau ada seorang laki-laki yang menyentuh kemaluannya ketika shalat. Apakah ia wajib berwudhu?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا, إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ

“Tidak, kemaluan hanyalah bagian dari anggota tubuhmu.”[Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 182 dan 183, At-Tirmidzi no. 85, Ibnu Majah no. 483, Ahmad no. 43, Ibnu Hibban no. 207]

Hadits ini dishahihkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud, 1/334.

Sisi pendalilan dari hadits pertama adalah perintah nabi kepada Busrah untuk berwudhu ketika ia menyentuh kemaluannya. Sedangkan perintah dalam syariat pada asalnya bermakna wajib hingga terdapat dalil yang memalingkan dari kewajibannya. Hal ini memberikan konsekuensi wudhunya batal. Seandainya wudhunya tidak batal, tentu nabi tidak memerintahkannya untuk berwudhu.

Adapun sisi pendalilan hadits kedua, ketika ada seorang laki-laki yang bertanya pada nabi, apakah ia harus berwudhu ketika menyentuh kemaluannya? Nabi menyatakan bahwa ia tidak harus berwudhu, karena kemaluan sama seperti anggota tubuh yang lain, tidak membatalkan wudhu jika disentuh. Keadaannya sama seperti kita menyentuh kaki, telinga, dan anggota tubuh yang lain. Bukankah wudhu kita tidak batal?

Oleh karena itu , para ulama memiliki empat pendapat dalam permasalahan ini:

[Pendapat Pertama] Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu.

Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Ishaq bin Rahawaih, Sa’id bin Al-Musayyab, ‘Atha bin Abi Rabah, Thawus, ‘Urwah bin Az-Zubair, Sulaiman bin Yasar, Aban bin Utsman, Mujahid, Makhul, Jabir bin Zaid, As-Sya’bi, Al-Hasan, ‘Ikrimah, Az-Zuhri, Al-Auza’i, Laits bin Sa’ad, Dawud Adz-Dzahiri dan Ath-Thabari rahimahumullah.

Dari kalangan sahabat, Umar bin Al-Khattab, Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Al-Barra’ bin ‘Azib, Jabir bin Abdillah dan Sa’ad bin Abi Waqash radhiyallahu ‘anhum. [Al-Istidzkar, 1/24]

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وإذا أفضى الرجل ببطن كفه إلى ذكره ليس بينها وبينه ستر وجب عليه الوضوء

“Jika seorang menyentuh kemaluannya dengan perut telapak tangannya tanpa ada penghalang, maka ia wajib berwudhu.”[Al-Umm, 19/1]

Al-Mawardi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

ومس الفرج هو القسم الخامس من أقسام ما يوجب الوضوء

“Menyentuh kemaluan merupakan pembatal wudhu yang kelima dari hal-hal yang mewajibkan wudhu”[Al-Hawi Al-Kabir Syarh Mukhtashar Al-Muzanni, 1/189]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

فعن أحمد فيه روايتان إحداهما ينقض الوضوء

“Ahmad memiliki dua riwayat (pendapat) dalam permasalahan ini, riwayat pertama membatalkan wudhu”[Al-Mughni, 1/116]

Al-Mardawi rahimahullah berkata:

الصحيح من المذهب أن مس الذكر ينقض مطلقا وعليه جماهير الأصحاب

“Pendapat yang benar dalam madzhab, menyentuh kemaluan membatalkan wudhu secara mutlak. Ini merupakan pendapat kebanyakan para ulama Hanabilah”[Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih minal Khilaf fi Madzhab Al-Imam Ahmad, 1/202]

Ibnu Abdil Barr Al-Maliki rahimahullah berkata:

تحصيل المذهب عند المالكيين من أهل المغرب أن من مس ذكره بباطن الكف أو الراحة أو بباطن الأصابع دون حائل انتقض وضوءه

“Kesimpulan dalam madzhab ulama Malikiyyah dari penduduk Maghrib. Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya dengan perut telapak tangan maupun jari-jarinya tanpa ada penghalang maka wudhunya batal.”[Al-Istidzkar, 1/250]

Mereka lebih mendahulukan hadits Busrah bin Shafwan ketimbang hadits Thalq bin ‘Ali dengan beberapa alasan:

1. Hadits Busrah bin Shafwan lebih shahih dari hadits Thalq bin ‘Ali. Sebagian perawi hadits Busrah adalah perawi kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, berbeda dengan perawi hadits Thalq. Tidak ada satupun perawinya yang dipakai oleh Al-Bukhari atau Muslim dalam Ash-Shahihain.

2. Hadits Thalq dimansukh oleh Hadits Busrah. Karena Thalq bin ‘Ali bertemu nabi ketika beliau mmbangun Masjid An-Nabawi di permulaan Islam lalu ia kembali ke negerinya, sedangkan Busrah masuk Islam pada tahun penaklukan Makkah (Fathu Makkah). Sehingga hadits Busrah lebih akhir dari hadits Thalq.

3. Hukum asal dalam bab ini adalah segala sesuatu tidak dapat membatalkan wudhu kecuali ada dalil syar’i yang menyatakan batal. Hadits Thalq sesuai dengan hukum asal dalam bab, sedangkan hadits Busrah mengeluarkan dari hukum asal sehingga lebih didahulukan.

4. Penilaian Imam Al-Bukhari rahimahullah tentang hadits Busrah,

هو أصح شيء في هذا الباب

“Hadits Busrah merupakan hadits yang paling shahih dalam bab ini.”[Bulughul Maraam dalam keterangan hadits no. 79]

5. Terdapat hadits-hadits lain yang mendukung makna hadits Busrah,

- Hadits Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ

“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaknya ia berwudhu”[Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi 1/130, Ath-Thahawi 1/45]

- Hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ مَسَّتْ فَرْجَهَا فَلْتَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya hendaknya ia berwudhu, wanita manapun yang menyentuh kemaluannya hendaknya ia berwudhu.”[Dikeluarkan oleh Ahmad 2/223, Ad-Daraquthni hal. 54 dan Al-Baihaqi 1/322]

Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Hazm dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah dalam Ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zadul Mustaqni’ kaset keempat.

[Pendapat Kedua] Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu.

Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Rabi’ah, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Tsaur, Ibnu Sahnun, Ibnul Mundzir dan para ulama Kufah rahimahumullah.

Dari kalangan sahabat, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, ‘Ammar bin Yasir, ‘Abdullah bin Abbas, Hudzaifah, Imran bin Hushain dan Abu Ad-Darda radhiyallahu ‘anhum.[At-Tamhid, 17/201]

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:

أما أهل العراق فجمهور علمائهم على أن لا وضوء في مس الذكر وعلى ذلك مضى أسلافهم بالكوفة والبصرة

“Adapun penduduk Iraq, kebanyakan ulama mereka berpendapat seorang yang menyentuh kemaluan, tidak batal wudhunya. Demikian pula para ulama sebelum mereka di Kufah dan Bashrah.”[Al-Istidzkar, 1/250]

Mereka lebih mendahulukan hadits Thalq bin ‘Ali ketimbang hadits Busrah bin Shafwan karena pernyataan Ali bin Al-Madini (guru Imam Al-Bukhari) dan At-Tirmidzi terhadap hadits Thalq berikut,

Ali bin Al-Madini rahimahullah berkata:

هو أحسن من حديث بسرة

“Hadits ini lebih baik dari hadits Busrah”[Bulughul Maraam dalam keterangan hadits no. 78]

At-Tirmidzi rahimahullah berkata:

هذا الحديث أحسن شيء روي في هذا الباب

“Hadits ini merupakan hadits paling baik yang diriwayatkan dalam bab ini”

[Pendapat Ketiga] Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu jika disertai syahwat.

Ini merupakan salah satu riwayat pendapat dari Imam Ahmad dan Malik. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah dan Syaikh Al-Bassam dalam Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maraam.

Karena hadits Busrah dan hadits Thalq, keduanya shahih, maka tidak diperbolehkan kita mengambil satu hadits lalu menolak hadits yang lain.

Mereka menjamak kedua hadits tesebut dengan memahami perintah berwudhu dalam hadits Busrah bin Shafwan bagi seorang yang menyentuh kemaluannya disertai syahwat. Lalu hadits Thalq bin ‘Ali dipahami bahwa nabi tidak memerintahkannya berwudhu karena ia menyentuh kemaluannya tanpa disertai syahwat.

Jika seorang menyentuh kemaluannya tanpa disertai syahwat maka keadaannya sama seperti ia menyentuh anggota tubuh yang lain. Apakah ketika seorang menyentuh telinga, hidung dan kakinya disertai syahwat??

Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:

إن كان المس بدون شهوة فهو لا ينقض؛ لأنه يكون كما لو مسّ بضعة أخرى من بدنه، وإن كان المس بشهوة؛ فالعمل على حديث بسرة

“Jika ia menyentuh kemaluannya tanpa disertai syahwat maka tidak membatalkan wudhu karena keadaannya sama seperti ia menyentuh anggota tubuh yang lain. Namun jika ia menyentuhnya dengan syahwat maka hadits Busrah (lebih didahulukan –pen-) dalam amal”[Shahih Abu Daud, 1/334]

[Pendapat Keempat] Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu, namun disunahkan berwudhu setelahnya.

Ini merupakan salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad dan dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah.

Alasan pendapat ini hampir sama dengan pendapat ketiga, dari sisi pengamalan terhadap kedua hadits.

Mereka memahami perintah berwudhu dalam hadits Busrah bukan merupakan perintah yang wajib. Seandainya bermakna wajib, tentu nabi tidak memberikan keringanan kepada seorang laki-laki yang bertanya dalam hadits Thalq untuk tidak berwudhu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

 وَالْأَظْهَرُ أَيْضًا أَنَّ الْوُضُوءَ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ مُسْتَحَبٌّ لَا وَاجِبٌ وَهَكَذَا صَرَّحَ بِهِ الْإِمَامُ أَحْمَد فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ وَبِهَذَا تَجْتَمِعُ الْأَحَادِيثُ وَالْآثَارُ بِحَمْلِ الْأَمْرِ بِهِ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ لَيْسَ فِيهِ نَسْخُ قَوْلِهِ : { وَهَلْ هُوَ إلَّا بَضْعَةٌ مِنْك ؟ } وَحَمْلُ الْأَمْرُ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ أَوْلَى مِنْ النَّسْخِ

“Yang nampak (lebih kuat) bahwa berwudhu ketika menyentuh kemaluan hukumnya sunah, tidak wajib. Pendapat ini secara tegas dinyatakan oleh Imam Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat beliau. Dengan metode ini, maka hadits-hadits dan atsar dalam bab ini dapat dijamak. Memahami perintah nabi dalam hadits Busrah bermakna sunah lebih utama dari menasikh hadits [وَهَلْ هُوَ إلَّا بَضْعَةٌ مِنْك]”[Majmuu’ Al-Fataawaa, 21/241]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

لا ينقض سواء كان لشهوة أو لغير شهوة..لكن الأفضل له أن يتوضأ جمعا بين حديث بسرة وطلق بن علي

“Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu, sama saja apakah ia menyentuhnya dengan syahwat atau tanpa syahwat. Namun yang lebih utama baginya adalah berwudhu setelah itu, agar dapat menjamak hadits Busrah dan hadits Thalq bin Ali.”[Silsilah Liqaa’ Al-Baab Al-Maftuuh, kaset ke 65 side B]

Tarjih

Tidak diragukan lagi bahwa metode menjamak kedua hadits lebih utama dari metode tarjih yaitu mengambil sebagian hadits lalu meninggalkan hadits yang lain. Penulis lebih condong pada pendapat keempat dalam menjamak kedua hadits dalam bab ini. Karena perincian pendapat ketiga yang membedakan ketika menyentuh dengan “syahwat atau tanpa syahwat” tidak disebutkan dalam nash-nash hadits.  Allahua’lam


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 16 Rabi’ul Awwal 1434 H



[1] Masa’il Imam Ahmad, hal. 309
[2] Irwa’ul Ghalil, 1/151 no. 117

No comments:

Post a Comment