Terdapat dua hadits dalam permasalahan ini yang dzahirnya
bertentangan. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menyebutkan
kedua hadits tersebut dalam Bulughul Maraam bab “Nawaqidhul Wudhu”.
Berikut teks haditsnya,
1. Hadits Busrah bin Shafwan radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaknya ia
berwudhu.”[Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 181, An-Nasa’i no. 100, At-Tirmidzi
no. 82, Ibnu Majah no. 479, Ahmad 6/406, Ibnu Hibban no. 212]
Hadits ini dishahihkan oleh Al-Bukhari, Ahmad[1],
Ibnu Ma’in, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hazimi, Al-Baihaqi dan Al-Albani[2]
rahimahumullah.
2. Hadits Thalq bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: “ada seorang laki-laki yang berkata: aku menyentuh kemaluanku atau ada
seorang laki-laki yang menyentuh kemaluannya ketika shalat. Apakah ia wajib
berwudhu?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا, إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ
“Tidak, kemaluan hanyalah bagian dari
anggota tubuhmu.”[Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 182 dan 183, At-Tirmidzi no.
85, Ibnu Majah no. 483, Ahmad no. 43, Ibnu Hibban no. 207]
Hadits ini dishahihkan oleh At-Tirmidzi
dan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud, 1/334.
Sisi pendalilan dari hadits pertama adalah perintah nabi
kepada Busrah untuk berwudhu ketika ia menyentuh kemaluannya. Sedangkan
perintah dalam syariat pada asalnya bermakna wajib hingga terdapat dalil yang
memalingkan dari kewajibannya. Hal ini memberikan konsekuensi wudhunya batal.
Seandainya wudhunya tidak batal, tentu nabi tidak memerintahkannya untuk
berwudhu.
Adapun sisi pendalilan hadits kedua, ketika ada seorang
laki-laki yang bertanya pada nabi, apakah ia harus berwudhu ketika menyentuh
kemaluannya? Nabi menyatakan bahwa ia tidak harus berwudhu, karena kemaluan
sama seperti anggota tubuh yang lain, tidak membatalkan wudhu jika disentuh.
Keadaannya sama seperti kita menyentuh kaki, telinga, dan anggota tubuh yang
lain. Bukankah wudhu kita tidak batal?
Oleh karena itu , para ulama memiliki empat pendapat dalam
permasalahan ini:
[Pendapat Pertama] Menyentuh
kemaluan membatalkan wudhu.
Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari madzhab
Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Ishaq bin Rahawaih, Sa’id bin Al-Musayyab,
‘Atha bin Abi Rabah, Thawus, ‘Urwah bin Az-Zubair, Sulaiman bin Yasar, Aban bin
Utsman, Mujahid, Makhul, Jabir bin Zaid, As-Sya’bi, Al-Hasan, ‘Ikrimah,
Az-Zuhri, Al-Auza’i, Laits bin Sa’ad, Dawud Adz-Dzahiri dan Ath-Thabari rahimahumullah.
Dari kalangan sahabat, Umar bin Al-Khattab, Aisyah, Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Al-Barra’ bin ‘Azib, Jabir bin Abdillah dan Sa’ad bin Abi
Waqash radhiyallahu ‘anhum. [Al-Istidzkar, 1/24]
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
وإذا
أفضى الرجل ببطن كفه إلى ذكره ليس بينها وبينه ستر وجب عليه الوضوء
“Jika seorang menyentuh kemaluannya dengan perut telapak
tangannya tanpa ada penghalang, maka ia wajib berwudhu.”[Al-Umm, 19/1]
Al-Mawardi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
ومس الفرج
هو القسم الخامس من أقسام ما يوجب الوضوء
“Menyentuh kemaluan merupakan pembatal wudhu yang kelima
dari hal-hal yang mewajibkan wudhu”[Al-Hawi Al-Kabir Syarh Mukhtashar
Al-Muzanni, 1/189]
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
فعن
أحمد فيه روايتان إحداهما ينقض الوضوء
“Ahmad memiliki dua riwayat (pendapat) dalam permasalahan
ini, riwayat pertama membatalkan wudhu”[Al-Mughni, 1/116]
Al-Mardawi rahimahullah berkata:
الصحيح
من المذهب أن مس الذكر ينقض مطلقا وعليه جماهير الأصحاب
“Pendapat yang benar dalam madzhab, menyentuh kemaluan
membatalkan wudhu secara mutlak. Ini merupakan pendapat kebanyakan para ulama
Hanabilah”[Al-Inshaf fi Ma’rifati Ar-Rajih minal Khilaf fi Madzhab Al-Imam
Ahmad, 1/202]
Ibnu Abdil Barr Al-Maliki rahimahullah berkata:
تحصيل
المذهب عند المالكيين من أهل المغرب أن من مس ذكره بباطن الكف أو الراحة أو بباطن
الأصابع دون حائل انتقض وضوءه
“Kesimpulan dalam madzhab ulama Malikiyyah dari penduduk
Maghrib. Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya dengan perut telapak tangan
maupun jari-jarinya tanpa ada penghalang maka wudhunya batal.”[Al-Istidzkar,
1/250]
Mereka lebih mendahulukan hadits Busrah bin Shafwan
ketimbang hadits Thalq bin ‘Ali dengan beberapa alasan:
1. Hadits Busrah bin Shafwan lebih shahih dari hadits
Thalq bin ‘Ali. Sebagian perawi hadits Busrah adalah perawi kitab Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim, berbeda dengan perawi hadits Thalq. Tidak ada
satupun perawinya yang dipakai oleh Al-Bukhari atau Muslim dalam Ash-Shahihain.
2. Hadits Thalq dimansukh oleh Hadits Busrah. Karena Thalq
bin ‘Ali bertemu nabi ketika beliau mmbangun Masjid An-Nabawi di permulaan
Islam lalu ia kembali ke negerinya, sedangkan Busrah masuk Islam pada tahun
penaklukan Makkah (Fathu Makkah). Sehingga hadits Busrah lebih akhir dari
hadits Thalq.
3. Hukum asal dalam bab ini adalah segala sesuatu tidak
dapat membatalkan wudhu kecuali ada dalil syar’i yang menyatakan batal. Hadits
Thalq sesuai dengan hukum asal dalam bab, sedangkan hadits Busrah mengeluarkan
dari hukum asal sehingga lebih didahulukan.
4. Penilaian Imam Al-Bukhari rahimahullah tentang
hadits Busrah,
هو أصح شيء في هذا الباب
“Hadits
Busrah merupakan hadits yang paling shahih dalam bab ini.”[Bulughul Maraam
dalam keterangan hadits no. 79]
5. Terdapat hadits-hadits lain yang mendukung makna
hadits Busrah,
- Hadits Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaknya ia
berwudhu”[Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi 1/130, Ath-Thahawi 1/45]
- Hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ مَسَّتْ فَرْجَهَا
فَلْتَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya hendaknya ia
berwudhu, wanita manapun yang menyentuh kemaluannya hendaknya ia berwudhu.”[Dikeluarkan
oleh Ahmad 2/223, Ad-Daraquthni hal. 54 dan Al-Baihaqi 1/322]
Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Hazm dan Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahumallah dalam Ar-Raudhul Murbi’ Syarh Zadul
Mustaqni’ kaset keempat.
[Pendapat Kedua] Menyentuh
kemaluan tidak membatalkan wudhu.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Rabi’ah, Sufyan
Ats-Tsauri, Abu Tsaur, Ibnu Sahnun, Ibnul Mundzir dan para ulama Kufah rahimahumullah.
Dari kalangan sahabat, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin
Mas’ud, ‘Ammar bin Yasir, ‘Abdullah bin Abbas, Hudzaifah, Imran bin Hushain dan
Abu Ad-Darda radhiyallahu ‘anhum.[At-Tamhid, 17/201]
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:
أما
أهل العراق فجمهور علمائهم على أن لا وضوء في مس الذكر وعلى ذلك مضى أسلافهم
بالكوفة والبصرة
“Adapun penduduk Iraq, kebanyakan ulama mereka
berpendapat seorang yang menyentuh kemaluan, tidak batal wudhunya. Demikian
pula para ulama sebelum mereka di Kufah dan Bashrah.”[Al-Istidzkar,
1/250]
Mereka lebih mendahulukan hadits Thalq bin ‘Ali ketimbang
hadits Busrah bin Shafwan karena pernyataan Ali bin Al-Madini (guru Imam
Al-Bukhari) dan At-Tirmidzi terhadap hadits Thalq berikut,
Ali bin Al-Madini rahimahullah berkata:
هو أحسن من حديث بسرة
“Hadits ini lebih baik dari hadits Busrah”[Bulughul
Maraam dalam keterangan hadits no. 78]
At-Tirmidzi rahimahullah berkata:
هذا
الحديث أحسن شيء روي في هذا الباب
“Hadits ini merupakan hadits paling baik yang
diriwayatkan dalam bab ini”
[Pendapat Ketiga] Menyentuh
kemaluan membatalkan wudhu jika disertai syahwat.
Ini merupakan salah satu riwayat pendapat dari Imam Ahmad
dan Malik. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Tamamul
Minnah dan Syaikh Al-Bassam dalam Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maraam.
Karena hadits Busrah dan hadits Thalq, keduanya shahih,
maka tidak diperbolehkan kita mengambil satu hadits lalu menolak hadits yang
lain.
Mereka menjamak kedua hadits tesebut dengan memahami
perintah berwudhu dalam hadits Busrah bin Shafwan bagi seorang yang menyentuh
kemaluannya disertai syahwat. Lalu hadits Thalq bin ‘Ali dipahami bahwa nabi
tidak memerintahkannya berwudhu karena ia menyentuh kemaluannya tanpa disertai
syahwat.
Jika seorang menyentuh kemaluannya tanpa disertai syahwat
maka keadaannya sama seperti ia menyentuh anggota tubuh yang lain. Apakah
ketika seorang menyentuh telinga, hidung dan kakinya disertai syahwat??
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:
إن
كان المس بدون شهوة فهو لا ينقض؛ لأنه يكون كما لو مسّ بضعة أخرى من بدنه، وإن كان
المس بشهوة؛ فالعمل على حديث بسرة
“Jika ia menyentuh kemaluannya tanpa disertai syahwat maka
tidak membatalkan wudhu karena keadaannya sama seperti ia menyentuh anggota tubuh yang lain. Namun
jika ia menyentuhnya dengan syahwat maka hadits Busrah (lebih didahulukan –pen-) dalam
amal”[Shahih Abu Daud, 1/334]
[Pendapat Keempat] Menyentuh
kemaluan tidak membatalkan wudhu, namun disunahkan berwudhu setelahnya.
Ini merupakan salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad dan
dirajihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahumullah.
Alasan pendapat ini hampir sama dengan pendapat ketiga,
dari sisi pengamalan terhadap kedua hadits.
Mereka memahami perintah berwudhu dalam hadits Busrah
bukan merupakan perintah yang wajib. Seandainya bermakna wajib, tentu nabi
tidak memberikan keringanan kepada seorang laki-laki yang bertanya dalam hadits
Thalq untuk tidak berwudhu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata:
وَالْأَظْهَرُ
أَيْضًا أَنَّ الْوُضُوءَ مِنْ مَسِّ الذَّكَرِ مُسْتَحَبٌّ لَا وَاجِبٌ وَهَكَذَا
صَرَّحَ بِهِ الْإِمَامُ أَحْمَد فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ وَبِهَذَا
تَجْتَمِعُ الْأَحَادِيثُ وَالْآثَارُ بِحَمْلِ الْأَمْرِ بِهِ عَلَى
الِاسْتِحْبَابِ لَيْسَ فِيهِ نَسْخُ قَوْلِهِ : { وَهَلْ هُوَ إلَّا بَضْعَةٌ
مِنْك ؟ } وَحَمْلُ الْأَمْرُ عَلَى الِاسْتِحْبَابِ أَوْلَى مِنْ النَّسْخِ
“Yang nampak (lebih kuat) bahwa berwudhu ketika menyentuh
kemaluan hukumnya sunah, tidak wajib. Pendapat ini secara tegas dinyatakan oleh
Imam Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat beliau. Dengan metode ini, maka
hadits-hadits dan atsar dalam bab ini dapat dijamak. Memahami perintah nabi
dalam hadits Busrah bermakna sunah lebih utama dari menasikh hadits [وَهَلْ
هُوَ إلَّا بَضْعَةٌ مِنْك]”[Majmuu’ Al-Fataawaa, 21/241]
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
لا
ينقض سواء كان لشهوة أو لغير شهوة..لكن الأفضل له أن يتوضأ جمعا بين حديث بسرة
وطلق بن علي
“Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu, sama saja
apakah ia menyentuhnya dengan syahwat atau tanpa syahwat. Namun yang lebih
utama baginya adalah berwudhu setelah itu, agar dapat menjamak hadits Busrah
dan hadits Thalq bin Ali.”[Silsilah Liqaa’ Al-Baab Al-Maftuuh, kaset ke
65 side B]
Tarjih
Tidak diragukan lagi bahwa metode menjamak kedua hadits lebih utama dari metode tarjih yaitu mengambil sebagian hadits lalu meninggalkan hadits yang lain. Penulis lebih condong pada pendapat keempat dalam
menjamak kedua hadits dalam bab ini. Karena perincian pendapat ketiga yang
membedakan ketika menyentuh dengan “syahwat atau tanpa syahwat” tidak
disebutkan dalam nash-nash hadits. Allahua’lam
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 16 Rabi’ul Awwal
1434 H
No comments:
Post a Comment