Diantara faktor yang menyebabkan “mereka” keliru dalam memahami
permasalahan iman adalah point-point berikut:
[Pertama] Mereka berpegang
dengan zhahir hadits mutasyabih, kemudian meninggalkan dalil-dalil yang muhkam
Hadits mutasyabih yang saya maksud adalah hadits “masuk surga tanpa amal
sedikitpun” yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Khudri radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
حَتَّى إِذَا خَلَصَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ
النَّارِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ بِأَشَدَّ
مُنَاشَدَةً لِلَّهِ فِي اسْتِقْصَاءِ الْحَقِّ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمْ الَّذِينَ فِي النَّارِ يَقُولُونَ رَبَّنَا
كَانُوا يَصُومُونَ مَعَنَا وَيُصَلُّونَ وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ
أَخْرِجُوا مَنْ عَرَفْتُمْ فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ
خَلْقًا كَثِيرًا قَدْ أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى
رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا مَا بَقِيَ فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ
أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ
دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ
يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا ثُمَّ
يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ دِينَارٍ مِنْ
خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا
لَمْ نَذَرْ فِيهَا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا أَحَدًا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ
وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ
فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا
خَيْرًا وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ يَقُولُ إِنْ لَمْ تُصَدِّقُونِي
بِهَذَا الْحَدِيثِ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ
مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ
أَجْرًا عَظِيمًا } فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتْ الْمَلَائِكَةُ
وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ
الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا
قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا
فَيُلْقِيهِمْ فِي نَهَرٍ فِي أَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ نَهَرُ
الْحَيَاةِ فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ أَلَا
تَرَوْنَهَا تَكُونُ إِلَى الْحَجَرِ أَوْ إِلَى الشَّجَرِ مَا يَكُونُ إِلَى
الشَّمْسِ أُصَيْفِرُ وَأُخَيْضِرُ وَمَا يَكُونُ مِنْهَا إِلَى الظِّلِّ يَكُونُ
أَبْيَضَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّكَ كُنْتَ تَرْعَى بِالْبَادِيَةِ
قَالَ فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي رِقَابِهِمْ الْخَوَاتِمُ يَعْرِفُهُمْ
أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ اللَّهِ الَّذِينَ أَدْخَلَهُمْ اللَّهُ
الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُ ثُمَّ
يَقُولُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَمَا رَأَيْتُمُوهُ فَهُوَ لَكُمْ فَيَقُولُونَ
رَبَّنَا أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ
لَكُمْ عِنْدِي أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُونَ يَا رَبَّنَا أَيُّ شَيْءٍ
أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُ رِضَايَ فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ
أَبَدًا
"Hingga ketika orang-orang
mukmin terbebas dari neraka, maka demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya,
tidaklah salah seorang dari kalian yang begitu gigih memohon kepada Allah di
dalam menuntut al-haq pada hari kiamat untuk saudara-saudaranya yang berada di
dalam neraka. Mereka berseru : ‘Wahai Rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama
kami, shalat bersama kami, dan berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada
mereka : “Keluarkanlah orang-orang yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk
mereka hitam kelam karena terpanggang api neraka, kemudian mereka mengeluarkan
begitu banyak orang yang telah dimakan neraka sampai pada pertengahan betisnya
dan sampai kedua lututnya.
Kemudian mereka berkata :
‘Wahai Rabb kami, tidak tersisa lagi seseorang pun yang telah engkau
perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka
barangsiapa yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dinar, maka
keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan jumlah yang begitu banyak, kemudian mereka
berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak meninggalkan di dalamnya seorangpun yang
telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah
kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat
setengah dinar, maka keluarkanlah dia’. Maka mereka pun mengeluarkan jumlah
yang banyak. Kemudian mereka berkata lagi : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak
menyisakan di dalamnya seorang pun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’.
Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka siapa saja yang kalian
temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dzarrah, keluarkanlah’. Maka
merekapun kembali mengeluarkan jumlah yang begitu banyak. Kemudian mereka
berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya kebaikan sama sekali”. Abu
Sa'iid Al-Khudriy berkata : "Jika kalian tidak mempercayai hadits ini
silahkan kalian baca ayat :‘Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang
walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah
akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’ (QS.
An-Nisaa’ : 40).
Allah lalu berfirman:
‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah memberi syafa’at.
Sekarang yang belum memberikan syafa’at adalah Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian
Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah
mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan,
dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. Allah kemudian melemparkan
mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut dengan sungai kehidupan.
Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji yang tumbuh di aliran
sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di bebatuan atau pepohonan
mengejar (sinar) matahari.
Kemudian mereka (yang tumbuh
layaknya biji) ada yang berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang
berada di bawah bayangan akan berwarna putih". Para sahabat kemudian
bertanya : "Seakan-akan engkau sedang menggembala di daerah orang-orang
badui ?”. Beliau melanjutkan :"Mereka kemudian keluar seperti mutiara,
sementara di lutut-lutut mereka terdapat cincin yang bisa diketahui oleh
penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang Allah merdekakan dan
Allah masukkan ke dalam surga tanpa amalan yang pernah mereka amalkan dan
kebaikan yang mereka lakukan. Allah kemudian berfirman : ‘Masuklah kalian
ke dalam surga. Apa yang kalian lihat maka itu akan kalian miliki’. Mereka pun
menjawab : ‘Wahai Rabb kami, sungguh Engkau telah memberikan kepada kami
sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari penduduk
bumi’. Allah kemudian berfirman : ‘(Bahkan) apa yang telah Kami siapkan untuk
kalian lebih baik dari ini semua’. Mereka kembali berkata : ‘Wahai Rabb, apa
yang lebih baik dari ini semua!’. Allah menjawab : "Ridla-Ku, selamanya
Aku tidak akan pernah murka kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 183]
Kata mereka, “saya
berpegang dengan zhahir hadits ini”.
Pada hakikatnya makna
ungkapan tersebut adalah “meskipun ada
seorang yang tidak mau mengamalkan syariat-syariat Islam sedikitpun, tidak
shalat, tidak puasa, tidak zakat, tidak menuntut ilmu, melakukan berbagai macam
dosa besar dan perbuatan keji, ia tetaplah seorang muslim yang mendapatkan
janji surga. Saya berpegang dengan zhahir hadits "masuk surga tanpa amal
sedikitpun" !!!”.
Syubhat tersebut dapat
dijawab dari beberapa sisi:
1. Tidak selamanya
berpegang dengan zhahir hadits “mutasyabih” dibenarkan dalam permasalahan
aqidah.
Kenapa kelompok Khawarij
dan Mu’tazilah tersesat aqidahnya hingga meyakini kekekalan para pelaku dosa
besar di neraka?
Jawabnya. Karena mereka
mengambil zhahir ayat-ayat dan hadits mutasyabih kemudian meninggalkan yang
muhkam. Khawarij dan Mu’tazilah berdalil dengan ayat-ayat berikut untuk
mendukung kebid’ahannya,
Allah ta’ala
berfirman berkenaan dengan para pemakan riba,
وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (tidak mengambil riba
-pen), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang-orang yang
kembali (mengambil riba), maka mereka adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” [QS.
Al-Baqarah: 275]
Allah ta’ala
juga berfirman berkenaan dengan para pelaku pembunuhan,
وَمَنْ يَقْتُلْ
مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ
عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Barangsiapa
yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah Jahannam,
ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya serta menyediakan azab yang besar
baginya.”
[QS. An-Nisaa’: 93]
Khawarij
dan Mu’tazilah menutup mata dari ayat Al-Qur’an yang lain bahwa dosa membunuh
dan memakan riba berada di bawah dosa syirik,
Allah ta’ala
berfirman
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (jika pelakunya mati sebelum bertaubat
–pen) dan mengampuni dosa-dosa di bawahnya bagi siapa yang dikehendaki-Nya”
[QS. An-Nisaa’: 48]
Mereka
juga menutup mata bahwa para pelaku pembunuhan dan pemakan riba masih berstatus
muslim, sebagaimana Allah ta’ala jelaskan dalam firman-Nya,
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Jika terdapat dua kelompok mukminin yang saling membunuh, maka
damaikanlah antara keduanya” [QS. Al-Hujuraat: 9]
Dalam ayat di atas, Allah masih menyebut pihak yang saling bertikai dan
membunuh dengan sebutan “mukminin”.
Selain itu mereka juga meninggalkan ijma’ salaf dalam permasalahan ini
sebagaimana yang dinukilkan oleh Al-Imam Ibnu Abdil Barr.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata:
اتَّفق أهل السنة والجماعة – وهم
أهل الفقه والأثر – على أنَّ أحداً لا يُخرجه ذنبُه – وإن عظُمَ – من الإسلام
“Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah –mereka adalah
ahlul-fiqh wal-atsar - telah bersepakat bahwa seseorang tidaklah dikeluarkan
dari wilayah Islam akibat dosa yang dilakukannya – meskipun itu dosa besar
–“ [At-Tamhiid, 16/315]
Begitu pula tokoh-tokoh penyebar pemikiran Murji’ah
Kontemporer, mereka berpegang dengan hadits “mutasyabih”. Mereka menyatakan
bahwa orang-orang yang hanya bersyahadat di lisannya namun tidak mau beramal
shalih sedikitpun tetap akan mendapatkan janji surga berdalil dengan hadits
mutasyabih tersebut.
Dalih mereka jelas-jelas bertentangan dengan ayat-ayat muhkam yang sangat banyak
dalam Al-Qur’an.
Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا
خَالِدُونَ
“Orang-orang
yang beriman serta beramal shalih, mereka itulah penghuni surga. mereka
kekal di dalamnya” [QS. Al-Baqarah: 82]
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا
“Orang-orang
yang beriman serta beramal shalih, kelak akan Kami memasukkan mereka dalam
surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Janji Allah pasti benar” [QS. An-Nisaa’: 122]
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang
yang beriman serta beramal shalih, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada
diri seseorang melainkan menurut kesanggupannya. mereka itulah
penghuni-penghuni surga, mereka
kekal di dalamnya.” [QS. Al-A’raaf: 42]
وَعَدَ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ
“Allah telah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, bagi mereka
ampunan dan pahala yang besar” [QS. Al-Ma’idah: 9]
Ayat-ayat
lain yang semakna tidak terhitung jumlahnya dalam Al-Qur’an. Mafhuum
dari ayat di atas adalah Allah tidak akan menjanjikan maghfirah (ampunan)
dan pahala surga bagi orang-orang yang tidak mau beriman serta beramal shalih.
Hanya orang kafirlah yang pantas mendapatkan predikat ini, karena seorang muslim
sebesar apapun dosanya, ia masih diharapkan mendapatkan ampunan dan janji
surga.
Al-Imam Al-Marwazi rahimahullah berkata:
فكل آية وعد الله المؤمنين فيها الجنة، وبشرهم
بها، فإنما أراد الذين عملوا الصالحات
“Setiap ayat yang berisi kabar
gembira serta janji surga dari Allah kepada orang-orang beriman hanyalah diperuntukkan bagi
orang-orang yang beramal shalih” [Ta’zhiim Qadris Shalah, 2/567]
2. Jika mereka benar-benar
berpegang dengan zhahir hadits tersebut, seharusnya mereka juga menyatakan
bahwa orang kafir pun akan dikeluarkan dari neraka. Karena orang kafir tidak
memiliki amal sedikitpun di akhirat.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
telah menyinggung pembahasan ini ketika menjelaskan hadits tersebut, beliau berkata:
وتمسك به
بعضهم في تجويز إخراج غير المؤمنين من النار ورد بوجهين..
“Sebagian mereka berdalil dengan hadits ini
untuk menyatakan bahwa selain orang-orang yang beriman (orang kafir –pen-)
pun akan dikeluarkan dari neraka. Perkataan mereka dapat dibantah dari dua
sisi…” [Fathul Bari, 13/438]
Kenapa mereka mengecualikan orang
kafir dari zhahir hadits tersebut?
Jika mereka menjawab: “ayat-ayat
yang muhkam dalam Al-Qur’an menyatakan bahwa orang kafir akan kekal di neraka,
sehingga dikecualikan dari zhahir hadits tersebut”.
Kita katakan: “ijma’ salaf tentang
“kekafiran seorang yang meninggalkan seluruh a’mal jawarih” juga merupakan
dalil yang muhkam dalam permasalahan ini. Kenapa mereka tidak mau mengambil
ijma’ salaf?”.
Perlu diketahui bahwa pendalilan
menggunakan ijma’ yang qath’i lebih didahulukan dari istinbath
dari ayat Al-Qur’an dan hadits, karena ijma’ tidak mengalami nasakh
(penghapusan hukum) sedangkan Al-Qur’an dan hadits masih memiliki kemungkinan nasakh.
Alasan kedua karena mustahil para ulama seluruhnya bersepakat di atas
kesesatan, berbeda jika seorang mengambil pendalilan sepihak dari ayat
Al-Qur’an dan hadits, peluang kesalahan ber-istinbath baginya terbuka
lebar.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَجْتَمِعُواْ أُمَّتِيْ عَلىَ ضَلاَلَةٍ
“Umatku tidak akan berkumpul di
atas kesesatan” [HR. At-Tirmidzi no. 2167]
Nukilan-nukilan
ijma’ salaf dalam permasalahan ini insya Allah akan saya sebutkan dalam point
pembahasan kedua.
3.
Ungkapan “tidak beramal sedikitpun” dalam hadits yang shahih dan bahasa
Arab tidak selalu bermakna zhahir. Terkadang ungkapan tersebut juga digunakan
untuk sesuatu yang bermakna tidak sempurna.
Diantara
contoh penggunaan ungkapan ini dalam hadits,
- Hadits Asma’ bin Yazid Al-Anshariyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berwasiat pada para wanita:
لَعَلَّ إِحْدَاكُنَّ تَطُولُ أَيْمَتُهَا مِنْ
أَبَوَيْهَا، ثُمَّ يَرْزُقُهَا اللَّهُ زَوْجًا، وَيَرْزُقُهَا مِنْهُ وَلَدًا،
فَتَغْضَبُ الْغَضْبَةَ فَتَكْفُرُ فَتَقُولُ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا
قَطُّ
“Mungkin ada salah seorang diantara kalian
yang telah lama menyendiri (melajang) bersama orang tuanya, lalu Allah
memberinya rizki berupa seorang suami dan memberinya
anak dari suaminya itu. Namun ketika ia marah kepada suaminya ia berbuat kufur
dengan mengatakan: “Aku tidak pernah melihat kebaikan sedikitpun darimu.”[HR.
Al-Bukhori dalam Al-Adabul Mufrad no. 1048, dan dishahihkan Al-Albani dalam
Ash-Shahihah no. 823]
Apakah sang istri tersebut
benar-benar tidak pernah melihat kebaikan sedikitpun dari suaminya?
- Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan
dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ
أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ
يُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ
نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ
"Pada hari kiamat
akan didatangkan seorang penghuni neraka yang paling nikmat hidupnya di dunia,
lantas ia dicelupkan ke dalam neraka dengan sekali celupan. Kemudian ia ditanya
“wahai anak Adam apakah kamu pernah melihat kebaikan (di dunia –pen)?
apakah kamu pernah mencicipi kenikmatan? maka dia menjawab, 'tidak, wahai
Tuhanku”
Apakah orang yang disebutkan dalam
hadits di atas benar-benar tidak pernah melihat kebaikan di dunia dan tidak
pernah merasakan kenikmatan dunia meskipun sedikit?
- Al-Imam
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahih keduanya dari Abu Sa’id Al-Khudri
dan Sa’id bin Malik bin Sinan radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ
قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ
فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ
نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ
مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ
عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟
فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ، انْطَلِقْ إِلَى
أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ فَاعْبُدِ اللهَ
مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ. فَانْطَلَقَ
حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ
مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ
الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ. وَقَالَتْ
مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ. فَأَتَاهُمْ
مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ
الْأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوهُ
فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ
الرَّحْمَةِ. قَالَ قَتَادَةُ: فَقَالَ الْحَسَنُ: ذُكِرَ لَنَا أَنَّهُ لَمَّا
أَتَاهُ الْمَوْتُ نَأَى بِصَدْرِهِ
Dahulu,
di zaman orang-orang sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang telah membunuh
99 jiwa. Dia pun bertanya tentang orang yang paling alim di muka bumi ketika
itu, lalu ditunjukkan kepadanya tentang seorang rahib (pendeta, ahli ibadah).
Maka dia pun mendatangi rahib tersebut lalu mengatakan bahwa sesungguhnya dia
telah membunuh 99 jiwa, apakah ada taubat baginya?
Ahli
ibadah itu berkata: “Tidak.” Seketika laki-laki itu membunuhnya. Maka dia pun
menggenapi dengan itu (membunuh rahib) menjadi 100 jiwa. Kemudian dia
menanyakan apakah ada orang yang paling alim di muka bumi ketika itu? Lalu
ditunjukkanlah kepadanya tentang seorang yang berilmu. Maka dia pun mengatakan
bahwa sesungguhnya dia telah membunuh 100 jiwa, apakah ada taubat baginya?
Orang alim itu berkata: “Ya. Siapa yang menghalangi dia dari taubatnya?
Pergilah ke daerah ini dan ini. Karena sesungguhnya di sana ada orang-orang
yang senantiasa beribadah kepada Allah, maka beribadahlah kamu kepada Allah
bersama mereka. Dan jangan kamu kembali ke negerimu, karena negerimu itu adalah
negeri yang buruk/jahat.”
Maka
dia pun berangkat. Akhirnya, ketika tiba di tengah perjalanan datanglah
kematian menjemputnya, (lalu dia pun mati). Maka berselisihlah malaikat rahmat
dan malaikat azab tentang dia.
Malaikat
rahmat mengatakan: “Dia sudah datang dalam keadaan bertaubat, menghadap kepada
Allah dengan sepenuh hatinya.”
Sementara
malaikat azab berkata: “Sesungguhnya dia belum pernah mengerjakan amal
kebaikan sama sekali.”
Datanglah
seorang malaikat dalam wujud seorang manusia, lalu mereka jadikan dia (sebagai
hakim pemutus) di antara mereka berdua. Maka kata malaikat itu: “Ukurlah jarak
antara (dia dengan) kedua negeri tersebut. Maka ke arah negeri mana yang lebih
dekat, maka dialah yang berhak membawanya.”
Lalu
keduanya mengukurnya, dan ternyata mereka dapatkan bahwa orang itu lebih dekat
kepada negeri yang diinginkannya. Maka malaikat rahmat pun segera membawanya.”
Dalam hadits di atas malaikat azab menyatakan bahwa pembunuh
100 jiwa tersebut belum pernah beramal kebaikan sama sekali. Padahal pembunuh
itu telah menyatakan taubat dengan hati dan lisannya di hadapan seorang alim,
kemudian berjalan menuju negeri yang baik dalam rangka berhijrah fi sabilillah.
Jika orang-orang yang masuk surga tanpa amal kebaikan yang
dimaksud adalah seperti yang disebutkan dalam hadits taubatnya pembunuh 100
jiwa, tentu pemahaman ini lebih tepat. Namun yang menjadi masalah besar, mereka
menyatakan bahwa orang-orang yang meninggalkan seluruh amal jawarih tanpa
udzur juga termasuk dalam cakupan hadits “mutasyabih” artinya orang-orang
yang tidak mau beramal shalih juga akan mendapatkan janji surga berdasarkan
zhahir hadits !!!
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
ولا يجزىء باطن لا ظاهر له إلا إذا تعذّر بعجز أو إكراه وخوف
هلاك
“Tidak sah (iman –pen-) dalam batin tanpa (iman –pen-) yang zhahir.
Kecuali jika ia memiliki udzur karena lemah, terpaksa maupun khawatir
akan terbunuh” [Al-Fawa’id hal.
283]
Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah menyatakan,
والمقصود هنا أنه لم يثبت المدح إلا
على إيمان معه العمل ، لا على إلى إيمان خال عن عمل. فهذا كلام شيخ الإسلام في
الإيمان ، ومن نقل عنه غير ذلك فهو كاذب عليه .
وأما ما جاء في الحديث أن قوما يدخلون
الجنة لم يعملوا خيرا قط فليس هو عاما لكل من ترك العمل وهو يقدر عليه . وإنما هو
خاص بأولئك ؛ لعذر منعهم من العمل ، أو لغير ذلك من المعاني التي تلائم النصوص
المحكمة وما أجمع عليه السلف الصالح في هذا الباب
“Yang dimaksud disini adalah tidak
terdapat pujian (dalam syariat) kecuali jika disertai iman dan amal. bukan
sebatas iman yang kosong dari amal. Inilah perkataan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah dalam
permasalahan iman. Barangsiapa yang menukil selain itu dari Syaikhul Islam maka
ia telah berdusta atas beliau.
Adapun yang terdapat dalam hadits Syafa’at bahwa ada suatu kaum
yang masuk surga “tanpa
beramal kebaikan sedikitpun”, hadits itu tidak
berlaku umum bagi setiap orang yang meninggalkan amal sedangkan ia mampu melakukannya.
Namun hadits itu khusus bagi
mereka yang memiliki udzur karena terhalang dalam beramal atau sebab yang lain, karena
nash-nash yang muhkam dan ijma’ salafus shalih telah jelas dalam
bab ini.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
معنى قوله: ( لم
يعملوا خيراً قط ) أنهم ما عملوا أعمالاً صالحة، لكن الإيمان قد وقر في قلوبهم،
فإما أن يكون هؤلاء قد ماتوا قبل التمكن من العمل؛ آمنوا ثم ماتوا قبل أن يتمكنوا
من العمل، وحينئذ يصدق عليهم أنهم لم يعملوا خيراً قط.
“Makna sabda nabi “tidak pernah beramal
kebaikan sedikitpun” adalah meskipun mereka belum pernah beramal shalih,
namun iman dalam hati mereka telah kokoh. Kemungkinan mereka mati sebelum
sempat melakukan amal shalih, yakni mereka beriman lalu mati sebelum sempat
beramal. Dalam keadaan tersebut maka dibenarkan bahwa mereka belum pernah
beramal kebaikan sedikitpun” [Fatawa Al-Aqidah no. 123 cet. Darul
Minhaj]
Syaikh Shalih
Al-Fauzan hafidzahullah pernah ditanya,
هناك بعض الأحاديث
التي يستدل بها البعض على أن من ترك جميع الأعمال بالكلية فهو مؤمن ناقص الإيمان
.. كحديث ( لم يعملوا خيراً قط ) وحديث البطاقة وغيرها من الأحاديث ؛ فكيف الجواب
على ذلك ؟
الجواب
هذا من
الاستدلال بالمتشابه ، هذه طريقة أهل الزيغ الذين قال الله سبحانه وتعالى عنهم : (
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ )
، فيأخذون الأدلة المتشابهة ويتركون الأدلة المحكمة التي تفسرها وتبينها .. فلا بد
من رد المتشابهة إلى المحكم، فيقال من ترك العمل لعذر شرعي ولم يتمكن منه حتى مات
فهذا معذور ، وعليه تحمل هذه الأحاديث .. لأن هذا رجل نطق بالشهادتين معتقداً لهما
مخلصاً لله عز وجل ، ثم مات في الحال أو لم يتمكن من العمل ، لكنه نطق بالشهادتين
مع الإخلاص لله والتوحيد كما قال صلى الله عليه وسلم : ( من قال لا إله إلا الله
وكفر بما يعبد من دون الله فقد حرم دمه وماله ) .. وقال : ( فإن الله حرم على
النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله ) ، هذا لم يتمكن من العمل مع
انه نطق بالشهادتين واعتقد معناهما وأخلص لله عز وجل، لكنه لم يبق أمامه فرصة
للعمل حتى مات فهذا هو الذي يدخل الجنة بالشهادتين ، وعليه يحمل حديث البطاقة
وغيره مما جاء بمعناه ، والذين يُخرجون من النار وهم لم يعملوا خيراً قط لأنهم لم
يتمكنوا من العمل مع أنهم نطقوا بالشهادتين ودخلوا في الإسلام، هذا هو الجمع بين
الأحاديث.
Pertanyaan:
“Terdapat beberapa hadits yang dijadikan
dalil oleh sebagian orang untuk menyatakan bahwa seorang yang meninggalkan
seluruh amal (jawarih) secara total maka ia adalah seorang mu’min yang
berkurang imannya. Misalkan hadits “lam
ya’malu khairan qath”, hadits bithaqah dan selainnya.
Bagaimanakah menjawabnya?”
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahullah menjawab :
“Ini adalah
pendalilan dengan hadits mutasyabih yang merupakan cara pendalilan
orang-orang yang menyimpang, sebagaimana Allah subhanahu wata’ala telah menyatakan tentang keadaan
mereka,
فَأَمَّا
الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ
“Adapun
orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka lebih
mengikuti apa-apa yang mutasyabih”.
Mereka mengambil
dalil-dalil yang mutasyabih lalu meninggalkan dalil-dalil muhkam yang menafsirkan dan menjelaskan
dalil-dalil mutasyabih tersebut.
Wajib bagi kita untuk mengembalikan dalil-dalil mutasyabih kepada yang muhkam.
Barangsiapa yang meninggalkan
seluruh amal jawarih disebabkan udzur syar’i yang menghalanginya maka ia
mendapatkan udzur (tidak dihukumi kafir –pen)... karena ia tidak memiliki
kesempatan untuk beramal hingga ajal menjemputnya. Tipe orang seperti inilah
yang akan dimasukkan ke dalam surga hanya dengan modal syahadatnya. Dan makna
inilah yang terkandung dalam hadits bithaqah dan hadits-hadits lain yang serupa…” [As’ilah wa Ajwibah fi
Masaa’il Al-Iman wal Kufr dari www.alfawzan.af.org.sa]
Ini jika mereka mau
memahami zhahir hadits “mutasyabih” sesuai dengan makna hadits yang lain,
hingga diambil kesimpulan pemahaman yang tepat. Namun mereka tetap bersikeras
berpegang dengan zhahir hadits mutasyabih, tanpa mau menoleh pada dalil-dalil
yang lain dari Al-Qur’an, hadits dan ijma’ salaf. Allahulmusta’an
Kemudian dalam bahasa
Arab, ungkapan “tidak beramal kebaikan sedikitpun” juga digunakan dalam
mengungkapan sesuatu yang tidak sempurna dalam artian tidak menyempurnakan
amalnya.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata:
هذه اللفظة : ( لم يعملوا خيرا قط ) من
الجنس الذي يقول العرب ، ينفي الاسم عن الشيء لنقصه عن الكمال والتمام ، فمعنى هذه
اللفظة على هذا الأصل : لم يعملوا خيرا قط على التمام والكمال ، لا على ما أوجب
عليه وأمر به ، وقد بينت هذا المعنى في مواضع من كتبي
“Lafadz “tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun”
termasuk dalam perkataan yang sering diungkapkan orang arab untuk menafikan
penamaan sesuatu yang tidak sempurna. Maka
makna lafadz ini pada asalnya adalah “tidak pernah beramal kebaikan dengan
sempurna”. Tidak sesuai dengan apa yang diwajibkan dan diperintahkan
padanya. Aku telah menjelaskan makna ini dalam beberapa tempat dalam
kitab-kitabku.” [Kitab At-Tauhiid,
2/732]
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:
أن قوله في هذا الحديث : ( لم يعمل حسنة قط
) ، أو ( لم يعمل خيرا قط لم يعذبه ) إلا ما عدا التوحيد من الحسنات والخير ، وهذا
سائغ في لسان العرب جائز في لغتها ، أن يؤتى بلفظ الكل والمراد البعض
“Perkataan nabi dalam hadits “tidak
pernah beramal kebaikan sedikitpun” atau “tidak pernah beramal kebaikan
lalu ia tidak diazab” kecuali tauhid. Ungkapan semisal ini juga boleh
digunakan dalam lisan dan bahasa arab, ketika seorang menyatakan lafadz yang menafikan keseluruhan
namun yang dimaksudkan hanya menafikan sebagian.” [At-Tamhiid,
18/40]
Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam rahimahullah berkata:
كلام العرب المستفيض عندنا غير مستنكر في إزالة العمل عن
عامله إذا عمله على غير حقيقة، ألا ترى أنهم يقولون للصانع إذا كان ليس بمحكم
لعمله: ما صنعت شيئاً و لا عملت شيئاً، و إنما وقع معناه هاهنا على نفي التجويد لا
على الصنعة نفسها، فهو عامل عندهم بالاسم، و غير عامل بالإتقان
“Perkataan orang-orang arab yang menafikan amal bagi para
pekerjanya ketika mereka tidak melaksanakan tugas dengan baik, tidaklah
diingkari menurut kami. Bukankah engkau sering melihat mereka berkata pada
seorang yang pekerjaanya tidak beres “kamu belum melakukan apa-apa, kamu belum
beramal (bekerja –pen-) sama sekali”. Perkataan mereka hanya menafikan
kesempurnaan, tidak menafikan pekerjaan yang telah mereka lakukan. Mereka telah
beramal di satu sisi, namun belum menyempurnakan amalnya di sisi lain.” [Kitab Al-Iman hal. 41]
4. Rasulullah menyebutkan hadits dengan lafadz [فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّا] artinya “lalu dikeluarkan dari neraka suatu kaum yang tidak beramal kebaikan sedikitpun”. Sehingga hadits ini tidak berlaku umum, namun hanya berlaku bagi orang-orang tertentu yang Allah kehendaki. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan udzur syar'i dan terhalang dalam beramal. Karena Rasulullah tidak menyatakan “lalu dikeluarkan dari neraka setiap orang yang tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun”. Sedangkan dalam kaidah ushul fiqh dinyatakan bahwa “waqi’atul ‘ain laa tufiidul ‘umuum” artinya peristiwa/kejadian tertentu yang disebutkan dalam hadits tidak berlaku umum.
Diantara bentuk udzur syar'i meninggalkan amal yang pelakunya dimaafkan oleh syariat adalah:
- Seorang kafir yang bersyahadat di detik-detik menjelang sakaratul maut. Tentu ia belum sempat beramal sedikitpun, namun telah memiliki iman dalam hatinya. Hingga Allah memasukkannya ke dalam surga karena kemurnian rahmat-Nya. Berbeda dengan kaum muslimin yang lain, untuk menggapai surga mereka harus berletih-letih dalam beramal.
- Berita nabi dalam sebuah hadits tentang dicabutnya ilmu pada akhir zaman, hingga seorang muslim tidak mengetahui ajaran Islam sedikitpun kecuali kalimat “Lailaha illallah” yang mereka warisi dari nenek moyangnya. Mereka meninggalkan amal ketika itu karena kebodohan.
Dari uraian di atas, maka pendalilan mereka dengan zhahir
hadits mutasyabih telah terbantahkan walhamdulillah, baik
dari sisi pemahaman terhadap hadits maupun dari sisi penggunaan ungkapan
tersebut secara bahasa.
[Kedua] Mereka menyelisihi ijma’ salaf dalam permasalahan ini,
bahkan berupaya untuk membatalkan ijma’ tersebut dengan membawakan perkataan
ulama yang bukan pada mahallun niza’ (letak perselisihan).
Berikut diantara para ulama salaf yang menukilkan ijma’:
Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
وكان
الإجماع من الصحابة و التابعين من بعدهم ومن أدركناهم يقولون الإيمان قول وعمل
ونية لا يجزئ واحد من الثلاثة إلا بالأخر
“Para
sahabat, tabi’in setelah mereka dan para ulama yang aku ketahui, mereka telah
bersepakat (ijma’) bahwa iman adalah perkataan, amal dan niat. Tidak sah hanya mencukupkan salah satu dari yang
lain (ketiganya harus terkumpul –pen-).” [Kitab Al-Iman hal.197]
Imam Sahl bin Abdillah
At-Tustari rahimahullah pernah ditanya tentang definisi iman,
lalu beliau menjawab:
هو قول ونية وعمل وسنة ؛ لأن الإيمان إذا كان قولاً بلا عمل فهو
كفر ، وإذا كان قولاً وعملاً بلا نية فهو نفاق ، وإذا كان قولاً وعملاً ونية بلا
سنة فهو بدعة
“Iman adalah perkataan, niat,
amal dan sunah. Jika dalam iman hanya terdapat perkataan (syahadat –pen-) tanpa amal, maka ia kafir. Jika
hanya terdapat perkataan, amal tanpa niat, maka ia munafiq. Jika hanya terdapat
perkataan, amal, niat tanpa sunah, maka itu bid’ah”
Pernyataan di atas
dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fatawa, 7/171
dan Ibnu Bathah dalam Al-Ibanah,
2/148. Kedua kitab tersebut merupakan kitab ushul aqidah Ahlussunnah.
Imam Al-Ajurri rahimahullah berkata:
ولا تجزئ معرفة بالقلب والنطق باللسان حتى يكون معه عمل
بالجوارح
“Tidak sah ma’rifah dalam hati dan
perkataan lisan (syahadat –pen) hingga ia beramal dengan amal jawarih” [Arba’ina
Haditsan hal. 137]
Imam Ibnu Baththah rahimahullah berkata:
وأن الله لا يقبل قولاً إلا بعمل
“Allah tidak akan menerima perkataan (syahadat –pen-) kecuali
dengan amal” [Al-Ibanah, 2/795]
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
بل القرآن والسنة مملوءان بما يدل على أن الرجل لا يثبت له حكم
الإيمان إلا بالعمل مع التصديق
“Bahkan Al-Qur’an dan As-Sunnah
dipenuhi oleh ayat-ayat yang menunjukkan bahwa seorang tidak tetap padanya
hukum keimanan hingga ia beramal disertai
pembenaran” [Majmu’ Al-Fatawa, 7/128]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
ولا يجزىء باطن لا ظاهر له إلا إذا تعذّر بعجز أو إكراه وخوف
هلاك
“Tidak sah (iman –pen-) dalam batin tanpa (iman –pen-) yang zhahir.
Kecuali jika ia memiliki udzur karena lemah, terpaksa maupun khawatir akan
terbunuh” [Al-Fawa’id hal.
283]
Al-Humaidi rahimahullah berkata:
وأخبرت
أن ناسا يقولون من اقر بالصلاة والزكاة والصوم والحج ولم يفعل من ذلك شيئا حتى
يموت ويصلى مستدبر القبلة حتى يموت فهو مؤمن ما لم يكن جاحدا إذا علم أن تركه ذلك
فيه إيمانه إذا كان مقرا بالفرائض واستقبال القبلة فقلت هذا الكفر الصراح وخلاف
كتاب الله وسنة رسوله وعلماء المسلمين
“Diberitakan padaku bahwa ada sekelompok manusia yang menyatakan “barangsiapa
yang mengakui kewajiban shalat, zakat, puasa dan haji namun tidak mau
mengamalkannya sedikitpun hingga mati, tidak pula shalat menghadap kiblat
hingga mati, maka ia adalah seorang mukmin, selama ia tidak juhuud (mengingkarinya).
Ia memiliki iman selama meyakini kewajibannya dan meyakini kewajiban (shalat)
menghadap kiblat.
Aku katakan: ini kekafiran yang nyata, menyelisihi kitab Allah, sunah
rasul-Nya dan para ulama muslimin” [Syarh Ushul I’tiqaad, 5/887 karya Al-Lalika'i, Kitab As-Sunnah, 3/586 karya Al-Khallal dan Majmuu’
Al-Fatawaa, 7/209]
Ijma' dalam
permasalahan ini juga dinukilkan oleh Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam dalam Kitabul Iman hal. 18-19
Namun sangat disayangkan, mereka
mencoba membatalkan ijma’ salaf dalam permasalahan ini. Mereka menukilkan
perkataan sebagian ulama yang seolah-olah membatalkan ijma’ salaf serta
mendukung keyakinan bid’ah mereka. Nukilan perkataan ulama yang mereka bawakan
telah saya jawab di artikel berikut:
Ada sedikit tambahan dalam
memahami istilah ashlul-iman dalam perkataan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah. Sebelum memahami perkataan beliau, harus diketahui bahwa Syaikhul
Islam mendefinisikan ashlul-iman sedikit berbeda dengan definisi ulama
yang lain.
Syaikhul Islam rahimahullah
berkata:
وهو مركب – أي الإيمان – من أصل لا يتم بدونه، ومن واجب ينقص بفواته نقصا يستحق صاحبه
العقوبة، ومن مستحب يفوت بفواته علو الدرجة
“Iman terdiri dari ashl yang tidak sempurna
iman kecuali dengannya, kemudian (iman) wajib yang jika berkurang akan menyebabkan
pelakunya terancam azab, kemudian (iman) mustahhab
yang jika berkurang akan menurunkan ketinggian derajatnya” [Majmuu’
Al-Fatawa, 7/637]
Ashlul-iman menurut definisi Syaikhul Islam adalah
bagian dalam iman yang tidak sempurna iman seseorang kecuali
dengannya. Jika dipahami secara zhahir dari perkataan beliau, maka al-iman
al-wajib dan al-iman al-mustahab juga termasuk dalam definisi ashlul-iman.
Kenapa? Karena iman seseorang tidak dikatakan sempurna hingga ia menyempurnakan
al-iman al-wajib dan al-iman al-mustahabb. Definisi ini
melazimkan masuknya seluruh amal jawarih baik yang wajib maupun yang sunah
dalam ashlul-iman, dalam artian jika seorang muslim meninggalkan
sebagian amal yang sifatnya wajib ataupun meninggalkan amal yang sifatnya
sunah, maka ashlul-iman akan hilang. Ini adalah pemahaman Khawarij yang
batil
Jadi, perlu diteliti lebih dalam ketika
Syaikhul Islam menyebutkan istilah “sempurna” dalam perkataannya. Harus
dipahami dengan perkataan-perkataan beliau dalam tempat yang lain dalam
kitab-kitabnya. Sayangnya, mereka tidak berbuat demikian, mereka hanya menukil
perkataan Syaikhul Islam yang seolah-olah mendukung keyakinan mereka.
Diantara kesalahan mereka dalam point
ini adalah menganalogikan ijma’ salaf dalam permasalahan iman dengan ijma’
ulama dalam permasalahan shalat. Kemudian mereka menyebutkan khilaf ulama yang
mu’tabar tentang permasalahan shalat, lalu membatalkan nukilan ijma’ sebagian
ulama dalam permasalahan shalat. Setelah itu, mereka berupaya mengqiyaskan
pembatalan ijma’ tersebut dalam permasalahan iman. Allahulmusta’an.
Ketika mereka membatalkan ijma’ dalam
permasalahan shalat, hal itu wajar menurut saya, karena permasalahan ini memang
masuk dalam koridor fiqh yang notabene banyak terjadi perselisihan pendapat di
kalangan ulama. Namun kali ini mereka mencoba membatalkan ijma’ dalam
permasalahan aqidah, terkhusus ijma’ dalam permasalahan iman yang dinukil oleh
para ulama dalam kitab-kitab ushul aqidah ahlus-sunnah. Sebut saja disebutkan
dalam kitab Al-Iman dan Majmuu Al-Fatawaaa karya Ibnu Taimiyyah, Al-Ibanah karya Ibnu Baththah, Asy-Syari’ah
karya Al-Ajurri, Ushul I’tiqad Ahlissunnah karya Al-Lalika’i, As-Sunnah
karya Imam Ahmad maupun Abdullah anaknya, Syarhus-Sunnah karya
Al-Baghawi, dan lainnya.
[Ketiga] Mereka berdalil dengan perkataan sebagian ulama ketika membahas hukum
meninggalkan afraad a’maal (sebagian amal tertentu), sebagai contoh:
- Perkataan Al-Imaam Ahmad rahimahullah,
dari anaknya –Shaalih bin Ahmad– berkata:
سألت أبي عمن يقول : الإيمان يزيد
وينقص، ما زيادته ونقصانه ؟. فقال : زيادته بالعمل ونقصانه بترك العمل، مثل تركه :
الصلاة والحج وأداء الفرائض......
Aku pernah
bertanya kepada ayahku tentang orang yang berkata : ‘Iman itu bisa bertambah
dan berkurang. Apakah penambahan dan pengurangannya ?’. Ia (Ahmad) menjawab :
‘Penambahannya adalah dengan amal dan pengurangannya adalah dengan
meninggalkan amal. Contoh meninggalkan amal adalah : shalat, haji, dan
penunaian berbagai kewajiban....” [Masaailu Al-Imaam Ahmad bi-Riwayaat
Abil-Fadhl Shaalih, 2/119]
Tidak ada
yang diperselisihkan bahwa seorang muslim yang meninggalkan haji, puasa dan
sebagian kewajiban syariat, iman mereka akan berkurang.
-
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
وقد اتفق المسلمون على أنه من لم يأت
بالشهادتين فهو كافر، وأما الأعمال الأربعة فاختلفوا في تكفير تاركها،
“Dan kaum
muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang tidak
mengucapkan dua kalimat syahadat, maka ia kafir. Adapun amal-amal yang empat,
para ulama berselisih pendapat akan pengkafiran yang meninggalkannya......” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 7/302].
- Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah berkata:
أركان الإسلام الخمسة : أولها
الشهادتان، ثم الأركان الأربعة؛ إذا أقر بها، وتركها تهاونا؛ فنحن وإن كان قاتلناه
على فعلها، فلا نكفرها. والعلماء اختلفوا في كفر التارك لها كسلا من غير جحود، ولا
نكفر إلا ما أجمع عليه العلماء - كلهم - ، وهو الشهادتان
“Rukun Islam
yang lima, awalnya adalah dua kalimat syahadat, kemudian rukun Islam yang
empat (shalat, zakat, puasa, dan haji -pent).
Jika ia mengikrarkannya, kemudian ia meninggalkannya dengan meremehkannya, maka
kami –meskipun memerangi pelakunya– tidak mengkafirkannya. Dan ulama berselisih
pendapat tentang kekafiran orang yang meninggalkannya karena malas tanpa adanya
pengingkaran. Dan kami tidaklah mengkafirkan kecuali apa-apa yang telah
disepakati ulama seluruhnya, yaitu : (meninggalkan) syahadat” [Ad-Durarus-Saniyyah,
1/102]
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah
pernah ditanya sebagai berikut:
العُلماءُ الذينَ
قَلوا بعدم كُفْرِ مَنْ تَرَكَ أَعمالَ الْجوارح - مع تَلَفُّظِهِ بالشهادتين،
ووجودِ أصلِ الْإيمان القلبي؛ هل هم من المُرجئة ؟!
“Ulama yang berpendapat tidak kafirnya orang
yang meninggalkan amal-amal jawaarih (anggota badan) yang bersamaan dengan
orang tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat dan keberadaan ashlul-iimaan
di hatinya; apakah mereka (ulama tersebut) termasuk golongan Murji’ah?”.
Beliau menjawab:
هذا من أهل السنة
والجماعة؛ فمن ترك الصيام، أو الزكاة، أو الحج : لا شك أڽَّ ذلك كبيرة عند
العلماء؛ ولكن على الصواب : لا يكفر كفرا أكبر.
أما تركُ الصلاة :
فالراجح : أنه كافر كفرا أكبر إذا تعمد تركها.
وأما تركُ الزكاة
والصيام والحج : فإنه كفر دون كفر.
“Mereka ini termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Barangsiapa yang meninggalkan puasa, zakat, atau haji; maka tidak
diragukan bahwa hal itu termasuk dosa besar menurut para ulama. Akan tetapi yang
benar dalam permasalahan ini: Tidak dikafirkan dengan kufur akbar (murtad).
Adapun permasalahan meninggalkan shalat, yang raajih: Ia dihukumi kafir akbar
apabila sengaja meninggalkannya. Sedangkan meninggalkan zakat, puasa, dan haji;
maka ia adalah kufrun duuna kufrin (kufur ashghar)” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 28/144-145].
Meninggalkan
afraad a’maal dalam rukun Islam adalah khilaf yang mu’tabar
diantara ahlus-sunah. Ini adalah perkara yang disepakati. Sehingga sebagian
perkataan ulama yang mereka bawakan tidak tepat (tidak nyambung). Atau
barangkali mereka menggunakan qiyas aulawiyah, kata mereka, jika
meninggalkan afraad a’maal dalam rukun Islam saja tidak dikafirkan,
apalagi meninggalkan amal-amal yang berkedudukan di bawahnya!!. Jadi,
kesimpulannya “meninggalkan seluruh amal jawarih tidak dikafirkan selama ia
masih bersyahadat”.
Mereka
menyatakan demikian entah karena lupa atau berpura-pura tidak tahu tentang adanya keterkaitan antara ashlul-iman
dan a’maal jawarih. Mereka menyangka bahwa ketiadaan amal jawarih tidak akan berpengaruh
terhadap iman yang ada dalam hati (ashlul-iman) hingga terucaplah apa
yang mereka katakan.
[Keempat] Keyakinan mereka yang rusak bahwa ashlul-iman dan amal jawarih
tidak memiliki keterkaitan.
Point
pembahasan ini telah saya sebutkan di artikel Keterkaitan
Ashlul-Iman dan A'mal Jawarih
[Kelima] Mengingkari istilah-istilah yang dipakai oleh para ulama dalam
permasalahan iman dengan tujuan agar para pembaca tidak memahami permasalahan
ini dengan baik. Setelah itu, mereka leluasa memasukkan pemahaman-pemahaman
bid’ahnya pada para pembaca.
Diantaranya adalah pengingkaran mereka terhadap istilah “jinsul a’mal
jawarih” atau “syarat keshahihan iman”. Mereka mengingkari kedua istilah
tersebut agar para pembaca tidak dapat membedakan perkataan ulama yang sedang
membahas hukum meninggalkan jinsul a’maal dan meninggalkan afraad
a’maal.
Asy-Syaikh Abdul Aziiz bin Baz rahimahullah berkata:
أن جنس العمل لابد منه لصحة الإيمان عند السلف جميعاً. لهذا
الإيمان عندهم قول وعمل واعتقاد, لا يصح إلا بها مجتمعة
“Para salaf seluruhnya telah bersepakat bahwa jinsul ‘amal merupakan syarat sahnya iman. Karena iman
menurut definisi mereka adalah ucapan, amal dan i’tiqad. Tidak sah iman
seseorang tanpa terkumpul padanya ucapan, amal (jawarih) dan i’tiqad” [Jariidah
Ar-Riyadh edisi 12506]
Asy-Syaikh
Zaid bin Muhammad Al-Madkhali hafidzahullah berkata :
الصنف الخامس:عموم المرجئة الذين أخرجوا العمل عن مسمى
الإيمان ,وادعوا أن من حصل له مجردا لتصديق فتصديقه
هذا باق على حاله لا يتغير سواء أتى بشيء من الطاعات أم
لا,وسواء اجتنب المعاصي أوارتكبها,فهم لم يفرقوا بين جنس العمل -والذي يعد شرطاً
في صحة الإيمان عند أهل السنة- وبين آحاد العمل وأفراده والذي يعد تاركه غير
مستكمل الإيمان
“Kelompok kelima: Kebanyakan Murji’ah
yang mengeluarkan amal dari iman. Mereka menyangka bahwa ketika seorang tashdiq (membenarkan syahadat dalam hatinya
–pen-), maka tashdiq tersebut akan senantiasa ada dalam hatinya
dan tidak mungalami perubahan meskipun ia melakukan amal ketaatan ataupun
tidak. Dan meskipun ia terjatuh dalam maksiat ataupun tidak. Mereka tidak membedakan antara jinsul ‘amal –yang merupakan syarat keshahihan iman
menurut Ahlus-Sunnah- dan sebagian amal yang jika ditinggalkan hanya mengurangi
kesempurnaan iman” [Al-Ajwibah As-Sadidah
‘alal As’ilah Ar-Rasyidah : 7
cetakan Daar Al-Minhaaj
Al-Mishriyyah]
Asy-Syaikh Shalih Alu Asy-Syaikh hafizhahullah berkata :
وهذا متّفق مع قولهم في الإيمان : الإيمان قول وعمل واعتقاد، ويعنون بالعمل جنس
العمل،
“Yang dimaksud (salaf) dengan istilah al-‘amal adalah jinsul ‘amal. Ini adalah
perkara yang telah disepakati dalam permasalahan iman. Iman adalah ucapan, amal
dan i’tiqad.” [Syarh Al-Arba’in An-Nawawi]
Asy-Syaikh Prof. Dr.
Abdullah bin Ibrahim Az-Zahim (Dosen Fakultas Syariah di Universitas Islam
Madinah) hafizhahullah berkata:
قال
الشيخ الدكتور عبد الله بن إبراهيم الزاحم (مقدمة كتاب التبيان لعلاقة العمل بمسمى
الإيمان: ح) :"فإني أود التنبيه على عبارة الحافظ ابن حجر رحمه الله حين أراد
التفريق بين قول أهل السنة وقول المعتزلة في تعريف الإيمان وبيان حده ... إذ قد فهم منها بعض الفضلاء أن الأعمال الصالحة كلها شرط كمال عند
السلف. وهذا خطأ يقع فيه كثير من طلاب العلم ممن لم يمحص قول السلف في هذا الباب ،
فإن هذه العبارة عند السلف يراد بها آحاد الأعمال لا جنسها ، أي : أن كل عمل من
الأعمال الصالحة عندهم شرط لكمال الإيمان ، خلافاً للمعتزلة الذين يرون أن كل عمل
شرط لصحة الإيمان ، لأن الإيمان عند السلف يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية ، وليس
مرادهم : أن جنس الأعمال شرط لكمال الإيمان ، ولأن هذا يقتضي صحة الإيمان بدون أي
عمل ، وهذا لازم قول المرجئة ، وليس قول أهل السنة".
“Aku memberikan catatan pada ungkapan Al-Hafizh Ibnu Hajar ketika ingin
membedakan antara ucapan Ahlus-Sunah dan Mu’tazilah dalam pengertian iman dan
menjelaskan batasannya. Ketika sebagian fudhala’ memahami bahwa seluruh amalan shalih
termasuk syarthul kamal dalam pandangan salaf. Ini adalah
kesalahan yang terjatuh padanya banyak para penuntut ilmu yang belum mendalami
ucapan salaf dalam bab ini. Karena ungkapan yang semacam ini yang
dimaksudkan oleh salaf hanyalah sebagian amal bukan jinsul ‘amal…bukanlah maksud
ucapan salaf bahwa jinsul-‘amal termasuk syarat kesempurnaan iman, karena hal ini melazimkan
sahnya iman tanpa melakukan amalan sedikitpun. Dan ini adalah kelaziman dari
ucapan murji’ah dan bukan ucapan Ahlus-Sunah."
Asy-Syaikh Dr. Abdullah
bin Muhammad Al-Qarni hafizhahullah berkata:
وقال
الشيخ الدكتور عبد الله بن محمد القرني في (مقدمة كتاب التبيان لعلاقة العمل بمسمى
الإيمان: ذ):"فمن ظن أن دخول الجنة يمكن أن يكون لمن أقرَّ بالشهادتين ولم
يلتزم بأي عمل في الظاهر ــ مع عدم العذر في ذلك ــ فإنه يلزمه إخراج العمل عن
مسمى الإيمان ، وموافقة المرجئة في هذا الباب"
“Barangsiapa yang menyangka bahwa seorang bisa masuk ke dalam surga hanya
dengan mengikrarkan syahadatain tanpa
beramal sedikitpun dari amalan dzahir –tanpa udzur- maka kelaziman dari ucapannya adalah mengeluarkan
amal dari iman, sama persis dengan pemikiran Murji’ah dalam bab ini”
Saya
telah membahasnya di artikel:
[Keenam] Mereka tidak mengambil aqidah ahlusunnah dalam permasalahan iman dari kitab-kitab
ulama salaf, namun mengambil aqidah mereka dari tulisan para penuntut ilmu shighaar
Para ulama kibar yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah berkata:
وتوصي
بالرجوع في ذلك إلى كتب السلف الصالح ، وأئمة الدين المبنية على الكتاب والسنة ،
وأقوال السلف ، وتحذر من الرجوع إلى الكتب المخالفة لذلك ، وإلى الكتب الحديثة
الصادرة عن أناس متعالمين لم يأخذوا العلم عن أهله ومصادره الأصيلة . وقد اقتحموا
القول في هذا الأصل العظيم من أصول الاعتقاد وتبنوا مذهب المرجئة ، ونسبوه ظلما
إلى أهل السنة والجماعة ولبسوا بذلك على الناس ، وعززوه عدوانا بالنقل عن شيخ
الإسلام ابن تيمية - رحمه الله تعالى- وغيره من أئمة السلف بالنقول المبتورة ،
وبمتشابه القول وعدم رده إلى المحكم من كلامهم . وإننا ننصحهم أن يتقوا الله في
أنفسهم وأن يثوبوا إلى رشدهم ولا يصدعوا الصف بهذا المذهب الضال ، واللجنة أيضا
تحذر المسلمين من الاغترار والوقوع في شراك المخالفين لما عليه جماعة المسلمين أهل السنة والجماعة . وفق الله الجميع
للعلم النافع والعمل الصالح والفقه في الدين ، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله
وصحبه أجمعين
“Al-Lajnah mewasiatkan untuk kembali
kepada kitab-kitab salafus shalih dan ulama Islam yang dibangun di atas
Al-Qur’an, As-Sunah dan ucapan salaf, serta memperingatkan dari kitab-kitab
yang menyelisihi salaf dan kitab-kitab baru yang ditulis oleh sebagian orang
yang masih belajar. Mereka tidak mengambil ilmu dari para ulama dan sumber
aslinya.
Mereka telah merusak ushul i’tiqad yang agung ini dan membangunnya di
atas pemahaman Murji’ah lalu menyandarkan secara zhalim kepada Ahlus-Sunah wal
Jama’ah, serta menipu manusia
dengan hal tersebut. Mereka juga menyandarkan secara zalim nukilan-nukilan
mereka kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan para ulama salaf dengan nukilan
yang terpotong, mengambil perkataan yang mutasyabih dan tidak mengembalikannya kepada
perkataan yang muhkam.
Sungguh kami menasehatkan kepada mereka
untuk bertakwa kepada Allah dan kembali kepada kebenaran. Janganlah mereka
menjadi shaf terdepan dalam membela aqidah yang batil ini. Lajnah juga
memperingatkan kaum muslimin agar tidak tertipu dan membantu mereka dalam
menyebarkan aqidah yang menyelisihi jama’atul muslimin Ahlu Sunnah wal
Jama’ah. Semoga Allah
memberikan ilmu yang bermanfaat, amal shalih dan pemahaman yang benar dalam
agama dengan taufik dari-Nya. Shalawat dan salam tercurah pada nabi kita
Muhammad, keluarganya, sahabatnya dan kaum muslimin seluruhnya.”
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata:
"Di dalam kitab salaf terdapat kecukupan, kita tidak lagi membutuhkan tulisan-tulisan baru yang berisi keraguan dan menimbulkan perbincangan dalam permasalahan yang agung ini. Fitnah (irja’) ini telah mati, maka tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk memunculkannya kembali. Agar tidak menimbulkan celah bagi para tukang fitnah dan perusak untuk (menebar fitnah) di antara Ahlus-Sunnah." [Muqaddimah Raf'ul Laimah]
[Ketujuh] Mereka meninggalkan pemahaman para ulama kibar dalam permasalahan ini,
kemudian bersandar pada akal-akal mereka yang lemah. Nasihat-nasihat para ulama
kibar pun tidak digubris, bahkan mereka semakin gencar menyebarkan kebid’ahannya,
baik dalam bentuk tulisan berbahasa arab maupun artikel-artikel berbahasa
Indonesia
Saya telah menyebutkan nasihat-nasihat para ulama kibar terhadap mereka di
arikel berikut:
Jika Al-Qur'an dan As-Sunnah saja bisa dipelintir dan dipahami dengan pemahaman yang sesat, tentunya perkataan ulama juga tidak mustahil diselewengkan maknanya. Hal ini menunjukkan pada kita tentang wajibnya untuk kembali kepada pemahaman para ulama yang kokoh keilmuannya, terutama dalam permasalahan aqidah.
[Kedelapan] Mereka berdalil dengan perkataan ulama namun dengan memotongnya, sehingga
kesimpulan yang diambil pun berbeda dengan hakikatnya
Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah
menyatakan tentang mereka:
تقوّل على ابن تيمية
“Ia berbuat kedustaan terhadap Ibnu Taimiyyah”
حرف النقل عن ابن
كثير
“Ia merubah nukilan perkataan Ibnu Katsir”
صاحب آراء و مسلك
مزري في تحريف كلام أهل العلم
“Pemilik pemikiran dan metode yang menyimpang dalam
menta’wil perkataan para ulama”. [Fatawaa Al-Lajnah Ad-Da’mah]
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata:
يكتفي بنقل طرف من كلام أهل العلم و يترك الطرف الآخر
“Ia hanya
menukilkan perkataan ulama dari satu tempat, namun meninggalkan perkataan ulama
tersebut dalam tempat yang lain” [Muqaddimah Ar-Raf’ul La’imah]
Asy-Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi hafidzahullah berkata:
يبتر كلام أهل العلم
“Ia memotong
perkataan ulama” [Muqaddimah Ar-Raf’ul La’imah]
Di sini saya akan menyebutkan beberapa buktinya:
1. Mereka memotong perkataan Asy-Syaikh Abdul-Lathiif bin Abdurrahman bin
Hasan rahimahullah,
Syaikh ‘Abdul-Lathiif bin ‘Abdirrahmaan bin Hasan bin Muhammad bin
‘Abdil-Wahab memberikan kesimpulan :
والخلاصة؛
أن الخلاف في أعمال الجوارح : هل يكفر ؟ أو : لا يكفر : واقع بين أهل السنة.....
“Dan
kesimpulannya, bahwasannya dalam permasalahan amal-amal anggota badan
(a’maalul-jawaarih) : apakah mengkafirkan atau tidak mengkafirkan (bagi orang
yang meninggalkannya); merupakan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan
Ahlus-Sunnah” [Ad-Durarus-Saniyyah, 1/479].
Nukilan lengkapnya adalah berikut,
فأهل السنَة :
مجمعون على أنَه لا بدَ من عمل القلب الذي هو : محبَته , ورضاه , و انقياده , و
المرجئة تقول يكفي التصديق , فقط , ويكون به مؤمنا , و الخلاف في أعمال الجوارح هل
يكفر أو لا يكفر واقع بين أهل السنَة و المعروف عند السلف : تكفير من ترك أحد
المباني الإسلامية , كالصلاة , والزكاة , و الصيام , و الحجَ و القول الثاني :
أنَه لا يكفر إلاَ من جحدها , و الثالث : الفرق بين الصلاة و غيرها و هذه الأقوال
معروفة
“[Maka
Ahlus-Sunnah bersepakat harus terdapat amalan hati (dalam iman –pen-) yaitu
kecintaan, ridha dan inqiyad (kepatuhan). Adapun Murji’ah menyatakan
cukup seorang tashdiq maka ia telah teranggap beriman] Perbedaan
pendapat dalam a’mal jawarih apakah mengkafirkan atau tidak, terjadi dalam
lingkup Ahlus-Sunnah. [Yang ma’ruf di kalangan salaf adalah mengkafirkan
seorang yang meninggalkan salah satu dari rukun Islam (yang empat –pen) seperti
shalat, zakat, puasa dan haji. Adapun pendapat kedua menyatakan tidak
kafir kecuali jika disertai juhud (pengingkaran). Pendapat ketiga membedakan
antara shalat dan rukun-rukun Islam yang lain, pendapat ini juga ma’ruf.” [Ad-Durar
As-Saniyyah, 1/479-480]
Kenapa mereka memotong perkataan Asy-Syaikh? Jawabnya, barangkali
penyataan sebelum kalimat “perbedaan pendapat dalam a’mal jawarih apakah mengkafirkan
atau tidak, terjadi dalam lingkup Ahlus-Sunnah” akan membongkar keyakinan
Murji’ahnya karena Asy-Syaikh dengan tegas mensyaratkan amalan hati dalam ashlul-iman,
sedangkan seorang yang meninggalkan seluruh amal jawarih mustahil memiliki
amalan hati. Kemudian pernyataan setelahnya memberikan penjelasan bahwa yang
dimaksud perbedaan pendapat dalam lingkup ahlus-sunnah oleh Asy-Syaikh adalah
perbedaan dalam meninggalkan rukun Islam yang empat.
2. Memotong perkataan Imam Az-Zuhri berikut,
وَقَالَ الزُّهْرِيُّ
نَرَى أَنَّ الْإِسْلَامَ الْكَلِمَةُ وَالْإِيمَانَ الْعَمَلُ
“Kami berpendapat bahwa Islam
adalah kalimat (syahadat) dan iman adalah amal”.
Kenapa demikian? Karena agar terkesan
bahwa amal bukanlah syarat keshahihan iman, sehingga jika ada seorang yang
meninggalkan jinsul a’maal maka ia masih memiliki syahadat yaitu Islam !!
Ternyata Syaikhul Islam rahimahullah menukil perkataan Az-Zuhri tersebut
dengan sedikit tambahan dari apa yang mereka sebutkan,
Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata:
كنا
نقول الإسلام بالإقرار والإيمان بالعمل , والإيمان قول وعمل قرينان لا ينفع أحدهما إلا بالأخر
“Kami
menyatakan bahwa Islam adalah syahadat dan iman adalah amal. Iman adalah
perkataan dan amal, keduanya sangat dekat. Tidak
bermanfaat mencukupkan salah
satunya tanpa yang lain.” [Majmu’ Al-Fataawa, 7/295]
3. Memotong perkataan Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah,
…حد الكفر الجامع لجميع أجناسه وأنواعه وأفراده هو
جحد ما جاء به الرسول أو جحد بعضه
“Batasan kekufuran menyeluruh yang mencakup
seluruh jenis, macam dan masing-masing bagiannya adalah “juhud” terhadap
apa yang datang dari Rasul atau juhud pada sebagiannya” [At-Tahdzir min
Fitnatit Takfir hal. 11]
Berikut nukilan lengkap perkataan Syaikh
As-Sa’di,
[المرتد هو الذي كفر بعد إسلامه بقولٍ أو فعلٍ أو اعتقادٍ أو
شكٍّ ، و]حد الكفر الجامع لجميع أجناسه وأنواعه وأفراده هو جحد ما جاء به الرسول
أو جحد بعضه
“[Kemurtadan yaitu kafir setelah keislamannya
baik dengan perkataan, perbuatan, keyakinan, keraguan] dan batasan
kekufuran menyeluruh yang mencakup seluruh jenis, macam dan masing-masing
bagiannya adalah “juhud” (pengingkaran) terhadap apa yang datang dari Rasul
atau juhud pada sebagiannya” [Al-Irsyad ila Ma’rifatil Ahkam]
Pada awalnya mereka ingin berdalil dengan
perkataan Syaikh As-Sa’di bahwa kekufuran hanya terbatas pada “juhud” dengan memotong
perkataan beliau. Padahal pada kalimat sebelumnya, secara tegas Syaikh As-Sa’di
menyatakan bahwa kekufuran dapat terjadi dengan perkataan, perbuataan dan
keyakinan. Namun akhir-akhir ini mereka
pun mengakui dalam perkembangan tulisan-tulisannya bahwa kekufuran tidak
terbatas dalam “juhud” (pengingkaran) saja. Hanya saja mereka tidak mau
mengakui kekeliruaannya dalam tulisan-tulisannya yang dulu, terutama tatkala
memberikan rekomendasi terhadap kitab Ihkaamut Taqriir karya Murad
Syukri yang berisi pembatasan kekufuran hanya dalam “juhud” dan “takdziib”.
Jika mereka masih mengelak tidak
membatasi kekufuran dalam “juhud” dan “takdziib”, kenapa mereka masih memotong
perkataan Ibnu Hazm berikut,
الكفر صفة
من جحد شيئاً مما افترض الله تعالى الإيمان به بعد قيام الحجة عليه ببلوغ الحق
إليه…
“Kekufuran
merupakan sifat orang-orang yang mengingkari (juhud) terhadap apa yang Allah
ta’ala wajibkan dan tidak beriman padanya, setelah ditegakannya hujjah dan
disampaikannya kebenaran padanya…” [At-Tahdzir min Fitnatit Takfir hal.
7]
Berikut nukilan lengkap perkataan Ibnu Hazm,
الكفر صفة من جحد
شيئاً مما افترض الله تعالى الإيمان به بعد قيام الحجة عليه ببلوغ الحق إليه .
[بقلبه دون لسانه ، أو بلسانه دون قلبه ، أو بهما معاً أو عمل عملاً جاء النص بأنه
مخرجٌ له بذلك عن اسم الإيمان]
“Kekufuran merupakan sifat orang-orang yang
mengingkari (juhud) terhadap apa yang Allah ta’ala wajibkan dan tidak beriman
padanya, setelah ditegakannya hujjah dan disampaikan kebenaran padanya [dengan
pengingkaran dari hatinya tanpa lisan atau dengan lisannya tanpa keyakinan
dalam hati atau pengingkaran dengan hati dan lisannya secara bersamaan atau dengan
melakukan amal yang dapat mengeluarkannya dari cakupan keimanan berdasarkan
nash]” [Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, 1/49]
[Kesembilan] Memiliki sikap ta’ashub (fanatisme) terhadap syaikh-nya, sehingga tidak
mau secara jujur mengakui kesalahan yang dikritik dari syaikh-nya dalam permasalahan
ini.
[Kesepuluh] Membuat kedustaan terhadap para ulama untuk mengesankan bahwa pemahaman
mereka tidak ghariib dalam permasalahan ini
Diantaranya adalah memalsukan fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam kitab
Al-As’ilah Al-Iraqiyah dan kedustaan yang lain, mereka mengesankan seolah-olah Asy-Syaikh Rabii’
Al-Madkhali memiliki pemahaman yang sama dengan mereka dalam permasalahan iman.
Karena Asy-Syaikh Rabi’ memiliki kesamaan dengan mereka dari sisi pengingkaran
terhadap istilah jinsul a’maal dan pernyataan bahwa ashlul-imaan
adalah i’tiqaad, sedangkan amal jawarih adalah kamaluul iman.
Sungguh
ini merupakan sebuah kezaliman. Pernyataan bahwa “ashlul-imaan adalah i’tiqaad,
sedangkan amal jawarih adalah kamaluul iman” masih terlalu global dan
masih dapat ditarik kesimpulan yang bercabang. Jika makna perkataan tersebut
adalah sahnya iman tanpa amal, maka inilah yang bertentangan dengan ijma’ salaf.
Namun jika yang beliau (Asy-Syaikh Rabii’) maksud bahwa ashlul-iman
adalah amalan hati sedangkan afraad a’mal jawarih seperti zakat, haji,
puasa, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad merupakan kamaalul imaan, maka
ungkapan ini betul. Saya telah menyebutkan perkataan Asy-Syaikh Rabi’ tatkala
menepis tuduhan keji mereka dalam artikel Pengingkaran Syaikh
Rabi’ terhadap Istilah “Jinsul A’maal” dan Makna Perkataan Beliau
Mudah-mudahan bermanfaat, wabillahittafiq
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 15 Rabii’ul Awwal 1435
No comments:
Post a Comment