Apakah kalau kita menjawab salam, suara kita harus terdengar oleh orang yang mengucapkan salam kepada kita ataukah boleh suaranya lirih hanya kita yang mendengar?
Jawab:
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا
بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk ke dalam selain rumah kalian,
hingga kalian meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya“ [An-Nur:
27]
Allah berfirman:
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا
عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً
“Dan apabila
kalian masuk ke dalam rumah, maka ucapkanlah salam kepada diri kalian, salam
dari Allah yang penuh berkah dan baik“ [An-Nur: 61]
Allah berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا
بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
“Dan apabila
kalian disalami, maka jawablah dengan ucapan slaam yang lebih baik atau
balasnya dengan salam yang semisalnya. Sesungguhnya Allah akan menghitung sgala
sesuatu “ [An-Nisaa’: 86]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Allah telah menciptakan Adam dengan
tinggi 60 hasta, kemudian berfirman:
”Pergilah kamu,
berikan salam kepada para malaikat dan dengarkan jawaban mereka atas salam
engkau. Salammu dan salam seluruh anak keturunanmu. Maka Adam berkata:”Asalamu’alaikum!”
Para malaikat menjawab :”Assalamu’alaika wa rahmatullah!”. Para Malaikat menambahkan
kalimat rahmatullah… Al-Hadits.[1]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Kalian tidak akan masuk kedalam Surga
hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian dikatakan beriman hingga kalian
saling mencintai. Ketahuilah, aku akan memberitahukan kepada kalilan sesuatu
yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai. Yaitu
tebarkanlah salam diantara kalian.”[2]
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :”Hak muslim atas muslim lainnya ada enam.”
Ditanyakan kepada beliau :”Apa itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab :”Apabila
kalian bertemu dengan muslim yang lain, maka ucapkan salam kepadanya …” Al-Hadits.
[3]
Di antara
adab-adab mengucapkan salam :
1. Diantara perkara
yang disunnahkan adalah membiasakan diri untuk saling memberi dan menyampaikan
salam serta kewajiban untuk menjawabnya.
Dalil yang
menunjukkan hal ini sangat banyak, sebagaiman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam diatas. Demikian pula berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhuma, dan dalil itu yang telah
populer sudah mencukupi dari nash-nash lainnya. Adapun menjawab salam, maka
hukumnya adalah wajib. Seorang muslim diharuskan untuk menjawab salam jika
tidak maka dia akan berdosa. Dalil-dalil yang menunjukkan tentang wajibnya
menjawab salam sangat banyak. Diantaranya firman Allah :
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا
بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
“Dan apabila
kalian disalami, maka jawablah dengan ucapan slaam yang lebih baik atau
balasnya dengan salam yang semisalnya. Sesungguhnya Allah akan menghitung sgala
sesuatu“ [An-Nisaa’: 26]
Ibnu Hazm dan Ibnu
Abdil Barr serta Asy-Syaikh Taqiyudin telah mengutip ijma’ wajibnya menjawab
salam.[4]
Pertanyaan: Apabila seseorang memberikan kepada
jama’ah, apakah setiap orang dari jama’ah tersebut diwajibkan untuk menjawab
salamnya atau cukup salah seorang dari mereka saja ?
Jawab: Apabila seseorang mengucapkan salam
kepada jama’ah, maka apabila setiap orang dari jama’ah itu menjawab, itulah
yang lebih utama. Akan tetapi jika satu orang saja dari mereka yang menjawab
salam sedangkan yang lainnya diam, maka yang lainnya sudah tidak dituntut lagi.[5]
Diriwayatkan dari
Ali bin Abi Thalib, beliau berkata :”Salam seseorang dari jama’ah sudah
mewakili jama’ah jikalau mereka melewati lainnya dan salam salah seorang
diantara semua yang duduk sudah mewakili
”[6]
2. Sifat salam.
a. Paling utama : Assalamua’alaikum
wa rahmatullahi wabarakatuh.
b. Kemudian
berikutnya : Assalamua’alaikum wa rahmatullah.
c. Dan yang
selanjutnya : Assalamua’alaykum.
Dalilnya adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasannya
seseorang melewati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau
sedang duduk dalam majelis, maka laki-laki itu berkata :”Assalamu ’alaikum!”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Dia telah mendapatkan
sepuluh kebaikan.” Kemudian seorang laki-laki lain berlalu sambil berkata
:”Assalamu ‘alaikum warahmatullah” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :”Dia telah mendapatkan dua puluh kebaikan.” Kemudian berlalu laki-laki
yang lain dan berkata: ”Assalamua ’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :Dia telah mendapatkan tiga puluh
kebaikan”[7]
Adapun sifat dari
menjawab salam sama seperti ucapan orang yang memberikan salam atau dengan yang
lebih baik berdasarkan firman Allah:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا
بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
“Dan apabila
kalian disalami, maka jawablah dengan ucapan salam yang lebih baik atau
balasnya dengan salam yang semisalnya. Sesungguhnya Allah akan menghitung sgala
sesuatu“ [An-Nisaa’: 26]
Dan hendaklah
menjawab salam dengan bentuk yang plural atau yang lebih sempurna walaupun
hanya kepada satu orang saja, dengan ucapan “wa’alaikum salam wa rahmatullahi
wabarakatuh “.
Pertanyaan: Apabila seorang yang memberikan salam
telah mengucapkan salam dengan sempurna yakni sampai pada kalimat wabarakatuh,
apakah disyariatkan untuk memberikan tambahan setelahnya ketika menjawab salam
untuk memenuhi zhahir ayat “Biahsani minha” – yang lebih baik dari salam
tersebut - seperti dengan menambahkan kalimat “wamagfiratuhu wa ihsaanuhu
“ serta lain sebaginya?
Jawab: Setelah kalimat wabarakatuh tidak
ditmabahkan sesuatupun ketika menjawab salam walaupun orang yang memberikan
salam mengucapkannya sampai kalimat wabarakatuh. Ibnu Abdil Barr berkata, “Ibnu
Abbas dan Ibnu Umar berkata, “Hentikan ucapan salam itu pada kalimat
al-barakah, sebagaimana penjelasan Allah ta’ala tentang hamba-Nya yang shaleh.
Allah berfirman:
رَحْمَتُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ
أَهْلَ الْبَيْتِ
“Rahmat Allah
dan barakah-Nya kepada kalian wahai penghuni rumah“ [Hud: 73]
Keduanya tidak
menyukai seseorang yang menambahkan ucapan salam setelah kalimat wabarakatuh.[8]
3. Makruh
hukumnya mengucapkan salam hanya dengan kalimat ‘Alaikas salam”
Beberapa
hadits-hadist shahih yang menjelaskan tentang perkara ini. Diantaranya hadits
yang telah diriwayatkan oleh Jabir bin Salim Al-Hujaimiy radhiallahu ‘anhu.
Bahwasannya ia berkata: “Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
mengucapkan ‘Alaika as-salam”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Janganlah kamu mengatakan ‘Alaika As-Salam, akan tetapi katakanlah
As-salaamu ‘Alaika”.[9]
Abu Daud
meriwayatkan dengan lafazh, “Aku mendatangi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Alaika As-Salam Wahai
Rasulullah: “ Beliau bersabda: “Janganlah kamu mengatakan ‘Alaika As-Salam,
karena sesungguhnya ‘Alaika As-Salam itu untuk orang yang telah mati”.[10]
Hadist-hadits
diatas menunjukan kepada makruhnya mengucapkan salam dengan kalimat ‘Alaika
As-Salam”. Dan sebagian ulama merinci pembagian dalam penjelasan ini dan kami
telah merasa cukup dengan keterangan hadits yang sudah terang dan jelas.
4. Disunahkan
mengulangi salam sampai tiga kali apabila salam itu disampaikan kepada jama’ah
yang banyak, atau ketika ragu apakah mereka mendengar salamnya.
Diriwayatkan dari
Anas radhiallahu ‘anhu bahwasanya Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berbicara, maka beliau mengulangnya sampai tiga kali, dan jika beliau
mendatangi sekelompok kaum, maka beliau mengucapkan salam sampai tiga kali”.[11]
An-Nawawi berkata: - (setelah hadits ini) - “Perkara ini berlaku ketika
jama’ahnya sangat banyak”.[12]
Ibnu Hajar
menambahkan: “Yaitu apabila disangka bahwa salam itu belum didengar, maka boleh
untuk mengulangi salam dua atau tiga kali dan tidak diperbolehkan lebih dari
tiga kali”[13].
5. Disunnahkan
untuk mengeraskan suara ketika memberi salam, begitu pula sebaliknya.
Sungguh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk tentang mengucapkan
salam dengan suara yang keras, begitu juga bagi orang yang menjawabnya. Bagi
yang mengucapkan salam dengan suara pelan tidak akan mendapatkan pahala,
kecuali pada keadaan yang dikcualikan sebagaimana akan disebutkan nantinya.
Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab Al-Adab karya beliau, atsar Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhu. Dari jalan Tsabit bin Ubaid, dia berkata: “Saya mendataagi
sebuah majlis dan didalamnya terdapat Ibnu Umar dan ia berkata, “Jika kamu mengucapkan
salam, maka perdengarkanlah, karena sesungguhnya salam engkau akan
mendatangkan keberkahan dan kebaikan”.[14]
Ibnul Qayyim
menjelaskan: “Bahwa diantara petunjuk
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau senantiasa memperdengarkan
jawaban salam kepada yang mengucapkan slaam kepada beliau”.[15]
Ibnu Hajar
berkata: “Perintah untuk menyebarkan salam merupakan argumen bahwa salam
dengan suara lirih tidaklah cukup, melainkan disyaratkan untuk dikeraskan,
sedikitnya mesti memperdengarkan awal salam dan jawabannya. Tidak cukup
hanya sebatas isyarat dengan tangan atau selainnya.
An-Nawawi berkata:
“ Minimal ucapan salam hingga dikatakan telah menunaikan Sunnah pengucapan
salam adalah dengan mengeraskan suara, sehingga yang diberi salam mendengarkan
ucapan salam tersebut. Apabila dia tidak mendengar salam tadi, maka tidaklah
dikatakan telah mengucapkan salam, dan tidak diwajibkan menjawab salam baginya.
Dan sedikitnya jawaban salam yang wajib adalah dengan mengeraskan suara
hingga terdengar oleh orang yang mengucapkan salam. Apabila dia tidak
mendengarnya, maka kewajiban menjawab salam belum terpenuhi.” [16]
6. Diantara
sunnah adalah menyamaratakan salam, maksudnya adalah mengucapkan salam kepada
orang yang kita kenal maupun kepada orang yang tidak kita kenal.
Berdasarkan hadits
yang diriwayatkan didalam Ash-Shahihain dan selainnya, dari Abdullah bin Amr
radhiallahu ‘anhu, bahwasannya seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam: “Apakah amalan yang paling baik didalam Islam?” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Memberi makan, mengucapkan salam
kepada orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal”.[17]
Hadits ini berisi
anjuran untuk menyampaikan dan menyebarkan salam diantara manusia, karena
padanya terdapat kemashlahatan yang sangat besar diantaranya adanya untuk
menyatukan sesama kaum muslimin dan menentramkan hati bagi yang lainnya.
Sebaliknya jika memberikan salam hanya kepada orang orang yang tertentu saja,
artinya hanya kepada orang –orang yang dikenal. Maka perbuatan seperti ini
bukan perbuatan yang terpuji bahkan memberikan salam hanya kepada orang-orang
tertentu saja merupakan tanda-tanda hari kiamat.
Dalam musnad Imam
Ahmad terdapat hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwasannya beliau
berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Sesungguhnya
diantara tanda-tanda hari kiamat adalah jika ucapan salam disampaikan hanya
terhadap orang yang dikenalnya saja”. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan:
“Seseorang mengucapkan salam kepada seseorang lainnya, dan tidaklah ia
mengucapkan salam itu kecuali hanya kepada orang yang dikenalnya saja”.[18]
7. Disunahkan bagi
yang datang mendahului mengucapkan salam.
Ini adalah perkara
yang sangat populer dan tersebar ditengah-tengah manusia, dan sekian banyak
nash syara’ mendukung amalan terseut. Dimana sunnahnya mengucapkan salam adalah
bagi seseorang yang datang/mengunjungi mendahului dalam memberikan salam tanpa
saling menunggu. Dan telah lalu pembahasan tentang tiga orang yang datang
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata yang pertama:
“Assalamu ’alaikum warahmatullahi wa barakatuh, dan yang kedua berkata:
“Assalaamu ’alaikum warahmatullah, kemudian yang ketiga mengatakan: “Assalaamu
’alaikum”.
An-Nawawi berkata:
“Adapun apabila mendatangi beberapa orang yang sedang duduk-duduk atau yang
duduk sendiri, maka hendaklah yang mendatangi memulai salam kepada terlebih
dahulu kepada setiap orang yang didatanginya baik seorang anak yang masih kecil atau orang yang sudah dewasa, sedikit maupun
banyak[19].
8. Disunnahkan
orang yang berkendara memberikan salam kepada orang yang berjalan kaki, orang
yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang banyak dan yang kecil
kepada yang besar.
Berkaitan dengan
masalah itu, ada beberapa hadits yang shahih sebagai dalil diantaranya hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersdabda: “Hendaklah orang yang
berkendara memberi salam kepada yang berjalan dan yang berjalan kepada yang
duduk dan yang kecil kepada yang besar”.[20] Pada riwayat
Al-Bukhari: “Hendaklah memberi salam
yang kecil kepada yang besar dan yang berjalan kepada yang duduk dan yang
sedikit kepada yang banyak”.[21]
Sebagian ulama
telah menjelaskan tentang hikmah mereka didahulukan untuk mengucapkan, ulama
tersebut mengatakan, “Salamnya anak kecil kepada orang dewasa merupakan hak
orang dewasa untuk dihormati dan dimuliakan dan ini merupakan adab yang
sepantasnya untuk dijalankan. Demikian pula salamnya orang yang berada diatas
kendaraan kepada orang yang berjalan akan mengantarkan sikap tawadhu’ pada diri
seseorang yang berada diatas kendaraan dan menjauhkannya dari kesombongan. Dan
salamnya orang yang berjalan kepada orang yang sedang duduk hukumnya disamakan dengan tuan rumah. Serta salamnya orang yang
sedikit kepada orang yang banyak adalah merupakan hak bagi mereka karena mereka
memiliki hak yang besar”[22].
Pertanyaan: Apakah seseorang yang menyalahi hukum
tersebut mendapatkan akibat dari perbuatannya, semisal jika yang besar
mengucapkan salam kepada anak kecil, yang duduk kepada yang berjalan, yang
berjalan kepada yang berkendara, dan yang banyak kepada yang sedikit?
Jawab: Tidak ada dosa bagi orang yang menyalahi
tuntunan Sunnah tersebut akan tetapi dia telah meninggalkan yang utama. Al–Maaziri
berkata: “Tidak mengharuskan seseorang yang meninggalkan perkara yang Sunnah
terjerumus pada suatu yang makruh, melainkan hanya sebatas meninggalkan perkara
yang lebih utama. Maka apabila seseorang yang dianjurkan untuk memulai salam,
namun yang lainnya mendahului, maka yang ornag yang dianjurkan memulai slaam
tersebut telah meninggalkan amalan yang Sunnah sementara orang lain yang
melakukannya telah melakukan amalan yang sunnah. Kecuali apabila ia mendahuluinya maka diapun meninggalkan perkara yang
disunahkan juga”[23].
Pertanyaan: Apabila bertemu orang yang sama-sama
berjalan atau yang sama-sama berkendara, siapakah yang lebih dahulu untuk
memberikan salam?
Jawab: Jika demikian keadaanya, maka hendaklah
yang lebih muda memberikan salam kepada yang lebih dewasa berdasarkan hadits
yang telah lalu. Seandainya umur mereka sama, dan juga dari sisi manapun mereka
sama, maka yang lebih baik diantara mereka berdua adalah yang paling pertama
memulai salam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Yang
lebih baik dari keduanya adalah yang pertama memberikan salam”.[24]
Diriwayatkan dari
hadist dua orang yang saling memboikot satu dengan lainnya, dan berdasarkan
hadits Jabir, beliau berkata: “Jika bergabung (bertemu) dua orang yang sedang
berjalan, maka yang pertama memulai salam adalah yang paling uatama”.[25]
Pertanyaan: Apabila bertemu dua orang yang sedang
berjalan kemudian ada yang menghalanginya seperti pohon atau pagar dan yang
lainnya, apakah disyariatkan bagi mereka untuk mengucapkan salam jika bertemu
lagi?
Jawab: Ya, disyariatkan bagi mereka untuk saling
mengucapkan salam walaupun mereka bertemu berulang kali, setelah tidak ada yang
menghalangi. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhia;;ahu ‘anhu,
bahwasannya dia berkata: “Apabila seorang dari kalian bertemu saudaranya maka
ucapkanlah salam kepadanya, apabila ada penghalang diantara mereka seperti,
pohon atau pagar atau batu, kemudian mereka bertemu lagi maka hendaklah mereka
saling memberikan salam.”[26]
9. Mengucapkan
salam kepada wanita yang bukan mahram atau wanita asing.
Sebagian ulama
melarang seorang laki-laki memberikan salam kepada wanita asing dan sebagian
membolehkannya jika dipercaya aman dari fitnah. Sebagian ulama memberikan
penjelasan lebih rinci berkaitan dengan perkara ini: Apabila wanita asing
tersebut adalah seorang wanita muda dan cantik maka ini tidak diperbolehkan,
akan tetapi jika kepada wanita yang sudah tua maka itu diperbolehkan.
Inilah pendapat
yang dikemukakan oleh Imam Ahmad. Shaleh berkata, “Saya bertanya kepada ayahku:
“Bolehkan memberikan salam kepada perempuan?”, maka beliau menjawab: “Adapun
jika ia seorang wanita yang tua, maka itu dibolehkan dan jika ia seorang pemudi
maka janganlah kamu berbicara dengannya”.[27]
Ibnul Qayyim
memberi klarifikasi seputar permasalahan ini, yaitu memberi salam kepada wanita
yang telah tua, wanita-wanita mahram dan selain mereka dan inilah pendapat yang
terpilih. Sementara alasan larangan sudah jelas, yaitu untuk menutupi
jalan-jalan yang akan mengarahkan kepada perbuatan maksiat dan dikhawatirkan
terjadinya fitnah”.[28]
Sedangkan yang
diriwayatkan dari sahabat semuanya terindikasi aman dari fitnah. Misalnya pada
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hazm dari bapaknya dari Sahl dia berkata,
“ … adalah seorang wanita yang mengirimkan
barang dagangannya – korma di Madinah -, maka dia membawa umbi-umbian dan menaruhnya disebuah
bejana dan mengumpulkan biji-bijian dari gandum. Apabila kami telah selesai
mengerjakan shalat jum’at maka kami berpaling pulang dan mengucapkan salam
kepadanya. Dan wanita tersebut menyodorkan kepada kami – diantara barang
dagangannya - dan kamipun senang dengan hal itu lalu kami tidaklah tidur siang
dan makan siang kecuali shalat Jum’at”.[29]
10. Disunnahkan
memberi salam kepada anak-anak kecil.
Hal ini dalam
rangka mengajari dan melatih mereka sejak dini tentang adab-adab syar’i, dan
yang melakukannya telah meneladani Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu telah
mengabarkan kepada kami, beliau mengatakan: “Aku berjalan bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami melewati
anak-anak yang sedang bermain kemudian beliau mengucapkan salam kepada
mereka”.[30]
Ucapan salam
kepada anak kecil akan menuntun jiwa seseorang kepada sifat tawadhu’ dan
kelembutan dalam menghadapi anak-anak.
Pertanyaan: Apabila seorang yang telah baligh (dewasa)
mengucapkan salam kepada anak kecil atau sebaliknya apakah hukumnya wajib untuk
menjawab salam?
Jawab: Apabila seorang laki-laki dewasa memberikan
salam kepada anak-anak, maka bukan suatu kewajiban bagi anak-anak untuk
menjawab salamnya dikarenakan anak kecil bukan orang yang terkena kewajiban. Berbeda
jika seorang anak kecil memberi salam kepada seorang yang baligh, maka wajib
bagi orang yang telah dewasa untuk menjawab salam dari anak yang masih kecil
dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.[31]
11. Memberikan
salam kepada orang yang terjaga dan disekitarnya ada orang yang sedang tidur.
Hendaknya
orang yang memberikan salam untuk
merendahkan suaranya sebatas untuk didengar oleh yang terjaga dan tidak sampai
membengunkan orang yang sedang tidur. Hal ini berdasarkan hadits Miqdad bin
Al-Aswad radhiallahu ‘anhu dan pada hadits tersebut, beliau berkata: “ …
Setelah kami memerah susu dan setiap orang dari kami meminum bagian mereka
masing-masing dan kami memberikan bagian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Beliau – Miqdad –berkata: “Lalu beliau datang diwaktu malam dan mengucapkan
salam tanpa membangunkan yang sedang tidur dan hendaklah memperdengarkan
salamnya kepada yang tidak tidur …”[32]
Pada hadits ini
terdapat adab Nabawiyah yang sangat tinggi dimana beliau memperhatikan keadaan orang yang sedang tidur agar tidak
terganggu tidurnya dan pada saat yang bersamaan beliau juga tidak melewatkan
keutamaan salam !.
12. Dilarang
mengucapakan salam kepada Ahli Kitab.
Kita telah
dilarang melalui lisan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah untuk
memulai mengucapkan salam kepada kepada ahli kitab, beliau bersabda: “Janganlah
kalian memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani apabila kalian
bertemu dengan salah seorang diantara mereka dijalanan maka desaklah dia
kebagian jalan yang lebih sempit”.[33] Setelah larangan yang jelas ini tidak
seorangpun diperkenankan memberi komentar.
Pertanyaan: Apabila kita membutuhkan mereka apakah
diperbolehkan memberikan salam kepada Ahli Kitab ?
Jawab: Hadits di atas telah jelas menunjukkan
larangan mengucapkan salam kepada mereka, akan tetapi jika hal itu sangat
dibutuhkan maka hendaklah menyapa mereka selain dengan ucapan salam, mungkin
dengan mengucapkan selamat pagi, selamat sore dan lainnya.
Ibnu Muflih
mengatakan Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan: “Apabila dia menyapanya dengan
selain ucapan salam yang membuat mereka senang, maka ini tidaklah mengapa.” [34]
An-Nawawi berkata,
“Abu Said – Yakni Al-Mutawalli – berkata: “Apabila seseorang berkeinginan untuk
mengucapkan salam kepada seorang kafir dzimmi, dia boleh melakukannya selain
ucapansalam, dapat dilakukannya dengan mengatakan : Hadaakallah – semoga Allah
memberimu petunjuk – atau An’amallahu shabaahaka - semoga Allah memberikan
kenikmatan kepadamu dipagi hari ini -. Saya berkata (An-Nawawi): “Pendapat yang
diutarakan oleh Abu Said tidak mengapa baginya jika diperlukan, dengan
mengatakan: - shubihta bil-khair -semoga pagi anda baik, atau – as-sa’adah - pagi yang tenang
atau – al-‘afiyah - dengan kesehatan atau – as-surur- semoga Allah
menggembirakan kamu pada pagi ini atau mengatakan semoga Allah memberikan kesenangan
dan nikmat padamu pada pagi hari ini atau dengan mengatakan yang lainnya yang
semisal dengan ini.
Adapun jika tidak
diperlukan, pendapat yang terpilih untuk tidak mengucapkan sesuatu kepadanya.
Karena hal itu akan membuat ia senang dan menampakkan sikap persahabatan,
sedangkan kita diperintahkan untuk bersikap dan berbicara tegas kepada mereka
dan melarang kita untuk bergaul dan menampakkannya. Wallahu a’lam”.[35]
13. Menjawab
salam kepada Ahli Kitab dengan mengucapkan Wa’alaikum
Diterangkan pada
hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasululllah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Apabila seorang ahli kitab memberikan salam kepadamu maka
jawablah dengan mengatakan wa’alaikum”.[36]
Hadits ini
memberikan penjelasan kepada kita tentang tata cara menjawab salam yang
disampaikan oleh Ahli kitab yakni dengan mengatakan Wa’alaikum”.
Pertanyaan: Apabila kita mendengar ahlil kitab
mengucapkan salam kepada kita dengan mengatakan “Assalamu ’alaikum, dengan
lafazh yang jelas apakah kita harus menjawab dengan ucapan, “Wa ’alaikum, untuk
mengamalkan hadits ini atau dengan mengatakan Wa ’alaikum salam?
Jawab:
Sebagian ulama berpendapat apabila kita telah memastikan lafazh salam
tersebut dan tidak diragukan lagi, maka sepatutnya bagi kita untuk memjawab
salam tersebut. Mereka berpendapat: Inilah makna sebenarnya dari keadilan,
sedangkan Allah memerintahkan kita untuk berbuat adil dan melakukan perbuatan
terpuji.[37]
Sedangkan menurut pendapat ulama yang lain, dan ini pendapat yang terpilih, bahwasannya,
hendaklah kita menjawab salam ahlu Kitab dengan mengamalkan hadits shahih dan
yang jelas dengan jawaban: wa’alaikum.[38]
14. Bolehnya
memberi salam kepada sebuah majlis yang bercampur antara kaum muslimin dan kaum
kafir.
Pembolehan ini
dapat disadur dari perbuantan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Bukhari
dan Muslim dan selainnya meriwayatkan: “ bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam suatu saat menungangi seekor
keledai dengan pelana yang terbuat dari beludru. Dan beliau membonceng
dibelakang beliau Usamah bin Zaid. Saat itu beliau hendak menjenguk Sa’d bin
‘Ubadah di Bani al-Haarits bin Al-Khazraj – dan kejadian tersebut sebelum
perang Badar-. Hingga beliau melintasi sebuah majlis yang bercampur antara kaum
muslimin dan kaum musyrikin para penyembah berhala dan juga kaum Yahudi.
Diantara mereka
terdapat Abdullah bin Ubay bin Salul. Dan pada majlis tersebut juga terdapat
Abdullah bin Rawahah. Dan ketika majlis tersebut terkena semburan debu,
Abdullah bin Ubay menutup hidungnya dengan pakaian jubahnya, kemudian dia
berkata : Janganlah kalian menyebabkan kami berdebu. Lalu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam turun kehadapan
mereka dan mengjaak mereka untuk
beribadah hanya kepada Allah dan membacakan Al-Qur`an kepada mereka ... Al-Hadits
“[39]
Memulai salam
kepada sekumpulan kaum yang terdapat didalamnya kaum muslimin dan kaum kafir,
disepakati pemboleannya. Demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi[40].
Hadits ini tidaklah bertentangan dengan hadits yang melarang memulai salam
kepada Ahli Kitab . Karena hadits itu berkaitan apabila yang diberi salam adalah
kafir dzimmi atau kepada sekumpula Ahli Kitab. Adapun disini, majlis tersebut
terdapat kaum msulimin, olehnya itu diperbolehkan pengucapan salam kepada suatu
majlis yang bercampur antara kaum muslimin dan kaum musyrikin dengan niat salam
tersebut hanya kepada kaum muslimin.
Ditanyakan kepada
Imam Ahmad rahimahullah: “Kami bermualah dengan kaum Yahudi dan Nashrani dan
kami juga mendatangi kediaman mereka dan disekeliling mereka terdapat kaum
muslimin, bolehkah kami mengucapkan salam kepada fmereka ? Beliau menjawab:
Boleh, dan anda meniatkan salam tersebut hanya kepada kaum muslimin” [41].
An-nawawi
mengatakan: “Apabila seseorang melewati skeumpulan orang yang berbaur antara
kaum muslimin datau seorang muslim dan kafir , maka sunnahnya adalah mengucapkan
salam kepada mereka dan meniatkan salam tersebut kepada kaum muslimin atau
muslim tersebut.”[42]
Pertanyaan: Apakah ketika memberi salam kepada
sekelompok orang yang bercampur padanya muslim dan kafir dengan mengucapkan: ‘Assalamu’ala
man ittaba’al huda” - keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk -?
Jawab: “Tidak boleh mengatakans demikian kepada
sekumpulan orang yang didalamnya terdapat kaum muslimin dan kafir , akan
tertapi ucapkanlah salam kepada mereka dengan meniatkan salam tersebut untuk
kaum muslimin sebagaimana penjelasan di atas. Semakna dengan penjelasan ini, sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Utsaimin :”Apabila kaum Muslimin dan Nashrani berkumpul,
hendaklah mengucapkan salam “Assalamu ’alaikum” dengan maksud untuk kaum
musliminnya [43]
15. Boleh memberikan
salam dengan isyarat karena udzur.
Pada asalnya
memberikan salam dengan isyarat adalah terlarang, dikarenakan hal itu termasuk
kebiasaan dari ahlul kitab. Sedangkan kita telah diperintahkan untuk
menyelisihi mereka dan tidak bertasyabuh – menyerupai- dengan mereka.
At-Tirmidzi telah
mengeluarkan sebuah riwayat hadits tentang larangan memberi salam hanya dengan
isyarat, karena itu merupakan syiar dari ahlul Kitab. At-Tirmidzi menghukumi
hadits ini sebagai hadits yang gharib.
Al-Hafidz Ibnu
Hajar berkata pula tentang hadits ini, pada sanadnya terdapat kelemahan, akan
tetapi an-Nasaa`i meriwayat sebuah hadits dengan sanad yang jayyid dari Jabir
secara marfu’ : “ Janganlah kalian memberikan salam dengan caranya orang
Yahudi, dikarenakan salam mereka dengan isyarat kepala dan telapak tangan serta
dengan isyarat”.[44]
Namun hadits ini
terbantahkan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asma’ binti Yaziid,
beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melambaikan tangannya
kepada wanita sambil menyampaikan salam”.[45]
Akan tetapi hadits
ini dipahami bahwa lambaian tangan beliau sambil pengucapan salam. An-Nawawi
mengatakan, setelah menyebutkan hadits At-Tirmidzi: “ Hadits ini
kemungkinannya, bahwa Nbai Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatukan antara lafazh salam dengan isyarat
beliau dengan tangan. Dan yang menguatkan hal ini , riwayat Abu Ad-Darda` pada
hadits ini, dan beliau mengatakan pada riwayatnya: “ Dan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengucapkan salam
kepada kami “[46]
[47]
Al-Hafidz mengatakan:
“Larangan mengucapkan salam dengan memakai isyarat berlaku kusus bagi yang
mampu untuk melafazhkan salam secara indera dan syara’. Jika tidak maka
mengucapkan salam dengan isyarat disyariatkan bagi seseorang yang sibuk dengan suatu kesibukan yang menghalanginya
dari pengucapan lafazh jawaban salam, seperti seorang yang tengah shalat,
seorang yang jauh ataukah seseorang yang busi demikian pula bagi seseorang yang
tuli “[48]
16. Bolehnya
mengucapkan salam kepada seseorang yang sedang shalat dan bolehnya menjawab –
bagi yang shalat – dengan isyarat.
Suatu yang
diperbolehkan diantaranya mengucapkan salam kepada seseorang yang sedang
shalat. Hal ini shahih dari pembenaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi para sahabat beliau. Dimana mereka –
para sahabat – emngucapkan salam kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sementara beliau sedang
mengerjakan shalat, dan beliau tidak mengingkari hal itu. Pembenaran beliau ini
menunjukkan bolehnya amalan tersebut.
Diantaranya pada
hadits Habi radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “ Rasulullah sekali waktu
menyuruhku untuk suatu keperluan, lalau ketika saya kembali, saya menjumpai
beliau tengah beribadah – Qutaibah
–yaitu Ibnu Sa’id, pent –mengatakan: Sedang shalat -, lalu saya mengucapkan
salam kepada beliau. Dan beliau memberi isyaratkan kepadaku. Setelah beliau
menyelesaikan shalatnya beliau memanggilku dna mengatakan: “ Sesungguhnya
engkau memberi salam kepadaku namun saya tengah dalam keadaan shalat “. Dan
beliau waktu itu menghadap kearah timur [49].
Hadits lainnya:
Hadits Shuhaib, beliau emngatakan: “ Saya melewati Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, disaat beliau sedang mengerjakan shalat, maka saya
mengucapkan salam kepada beliau, dan beliau membalas salamku dengan isyarat.
Beliau berkata: Saya tidak mengetahui kecuali beliau mengisyaratkan hanya
dengan jari beliau. [50]
Hadits-hadits ini
dan juga hadits lainnya menunjukkan bolehnya mengucapkan salam kepada seseorang
yang tengah mengerjakan shalat, dan dia membalasnya hanya dengan isyarat.
Pertanyaan: Bagaimana sifat/cara menjawab salam ketika
dalam shalat?
Jawab: Tidak ada pembatasan cara dan sifat
ketika kita menjawab salam dengan isyarat ketika dalam shalat. Apabila kita
kembalikan kepada perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka caranya
bermacam-macam, terkadang beliau berisyarat dengan jari berdasarkan hadits dari
Suhaib yang telah lalu. Terkadang juga
beliau berisyarat dengan tangannya sebagaimana hadist Jabir.[51]
Terkadang juga
beliau berisyarat dengan telapak tangan sebagaimana hadist dari Abdullah bin
Umar, dimana beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar
untuk pergi ke Masjid Quba’ kemudian beliau shalat didalamnya, lalu datanglah
beberapa orang dari kalangan Anshar dan mengucapkan salam kepada beliau, lalu
aku berkata kepada Bilal, “Bagaimana cara Rasulullah menjawab salam mereka
sedangkan beliau sedang shalat? Bilal menjawab: “Beliau mengatakan begini, dan
beliau meluruskan telapak tangannya. Kemudian Ja’far bin Aun meluruskan telapak
tangannya dan menjadikan telapak tangan berada dibawah dan punggung tangan
berada diatas”.[52]
Didalam ‘Aun
Al-Ma’bud disebutkan: “Ketahuilah bahwa menjawab salam dengan isyarat pada
hadits ini adalah dengan cara telapak tangan, sedangkan dari hadits Jabir
dengan tangan, dari pada hadits Ibnu Umar dari Suhaib dengan jari telunjuk. Dan
didalam hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, dengan lafazh
bahwa beliau menganggukkan kepalanya, dan dalam riwayat lain dengan menolak
mempergunakan kepalanya. Riwayat-riwayat ini jika diselarskan, menunjukkan
bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesekali mengamalkan yang ini
dan sekali waktu dengan yang lainnya, sehingga semua amalan itu diperbolehkan.
Wallahu a’lam.[53]
17. Boleh
memberi salam kepada orang yang sedang membeca Al-Qur`an dan wajib untuk
menjawabnya.
Memberi salam
kepada orang yang sedang disibukan dengan membeca Al-Qur`an sebagian ulama
melarangnya dan sebagian yang lain membolehkannya. Yang benar adalah pendapat
yang membolehkannya. Karena tidak ada dalil yang dapat mengeluarkan seseorang
yang sedang membaca Al-Qur`an dari keumuman nash-nash syara’ yang menganjurkan
untuk menyebar salam dan yang menunjukkan wajibnya membalas salam.
Seseorang yang
sedang menyibukkan dirinya dengan dzikir yang paling tinggi nilainya yakni
membaca Al-Qur`an, buka penghalang
baginya untuk tidak diberi salam dan wjaibnya membalas salam tersebut juga
tetap wajib waginya
Al-Lajnah
Ad-Daimah menyatakan dalam slaah satu fatwa pada sebuah pertanyaan: Bolehnya
seorang yangmembaca Al-Qur`an untuk memulai salam dan wajib baginya untuk
menjawab salam. Dikarenakan tidak ada
satupun dalil syar’i yang shahih yang melarang hal itu. Dan hukum asalhnya
adalah berpegang dengan keumuman dalil yang mensyariatkan memulai salam dan
wajibnya membalas salam kepada seseorang yang mengucapkan salam hingga ada
dalil yangmengkhususkan hal itu [54]
18. Makruh
mengucapkan salam kepada orang yang sedang berada dalam WC.
Dalil yang
menunjukkan larangan ini adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhu, bahwasannya seorang melalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sedangkan beliau sedang kencing, lalu orang tersebut mengucapkan
salam kepada beliau dan beliau tidak menjawabnya”.[55]
Berdasarkan dalil
ini ulama telah bersepakat [56]
atas makruhnya menjawab salam bagi orang yang sedang berada dalam wc, baik
sedang kencing atau sedang menunaikan hajat (buang air). Dan disukai bagi orang
yang diberikan salam sementara dia masih berada di wc untuk terus menyelesaikan
hajatnya dan menjawab salam tersebut setelah berwudhu`sebagai bentuk
keteladanan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Muhajir bin
Qunfudz radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa beliau mendatangi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau sedang kencing, kemudian dia
mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi
Rasulullah tidak menjawab salamnya sampai beliau berwudhu`, lalu beliau meminta
udzur kepadanya, dan mengatakan : “Sesungguhnya aku tidak suka untuk berzikir
kepada Allah ‘azza wajalla kecuali dalam keadaan suci”. Atau beliau mengatakan,
“kecuali dengan bersuci”.[57]
19. Disunnahkan
mengucapkan salam ketika masuk kedalam rumah.
Apabila rumah
dalam keadaan kosong, sebagian ulama dari generasi sahabat dan selainnya
berpendapat sunnahnya seseorang mengucapkan salam kepada dirinya sendiri
jikalau rumah tersebut da;am keadaan kosong. Diriwayatkan dari Abdullah bin
Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Apabila seseorang masuk kerumah yang
tidak ditinggali, hendaklah ia mengucapkan: “Assalaamu’alaina wa ‘ala
ibaadillahi shaalihin”.[58]
Diriwayatkan dalil
yang serupa dengan hadits diatas dari Mujahid dan selain keduanya.[59]
Ibnu Hajar
berkata: “ Termasuk kedalam keumuman hadits yang mengajurkan untuk menyebarkan
salam adalah mengucapkan salam kepada dirinya sendiri ketika ia masuk kedalam
rumahnya yang tidak ada seorangpun didalamnya. Berdasarkan firman Allah ta’ala
:
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا
عَلَى أَنْفُسِكُمْ
“Dan apabila
kalian masuk kedalam rumah, maka ucapkanlah salam kepada diri kalian“
[An-Nuur: 61]
Begitu juga jika
ia masuk kedalam rumahnya yang tidak ada orang lain didalam rumah kecuali
keluarganya, maka disunnahkan bagi anda untuk mengucapkan salam kepada mereka
juga. Diriwayatkan dari Abi Az-Zubair bahwa ia mendengar Jabir berkata, “Jika
seseorang masuk kedalam rumahnya, hendalklah ia mengucapkan salam kepada
keluarganya untuk mengaharap keberkahan dan kebaikan dari sisi Allah ta’ala”.[60]
Mengucapkan salam
ketika masuk kerumah ini bukanlah merupakan kewajiban. Ibnu Juraij berkata,
“Aku berkata kepada Atha’, “Apakah wajib mengucapkan salam ketika masuk atau
keluar rumah?” Beliau menjawab, “Tidak, karena tidak satupun atsar yang
menyebutkan tentang wajib ucapan salam tersebut, akan tetapi disukai jika
dilakukan dan hendaklah tidak melupakannya”.[61]
Demikianlah bahwa
tidak ada dalil tentang hal itu, akan tetapi untuk mencari keutamaan,
sepantasnyalah bagi seorang muslim yang telah mengetahui keutamaanya untuk
melakukannya. Dan diantara keutamaannya adalah tercantum pada hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Tiga orang yang seluruhnya dijamin oleh Allah
hidupnnya dan jika mati dijamin oleh Allah masuk surga, yaitu orang yang jika
masuk kedalam rumah dengan mengucapkan salam, maka Allah ta’ala menjamin orang
tersebut. Dan barang siapa yang keluar untuk pergi ke masjid maka Allah t’aala
menjamin orang tersebut. Dan seseorang yang keluar dijalan Allah, maka Allah
menjamin orang tersebut”.[62]
20. Menjawab
salam kepada orang yang mengirimkan salan kepadanya dan dan kepada yang
dititipi salam.
Perkara ini telah
diterangkan didalam As-Sunnah. Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya Ayahku menitipkan salam kepada
anda “, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ ’Alaika dan
‘ala Abiika as-salam”.[63]
Dan pada hadits
‘Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: “Jibril menitipkan salam
kepadamu” Aku berkata, “Wa’alaihis-salam warahmatullah”.[64]
Dan pada hadits
yang lain juga dikatakan bahwa Jibril menitipkan salam kepada Khadijah.
Al-Hafidz berkata: “Sesungguhnya ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyampaikan salam Allah kepada nya melalui Jibril maka Khadijah berkata : “
Innallaha Huwa As-Salam wa Minhu As-Salam wa ‘Alaika as-salam wa ‘ala Jibril
as-salam”.[65]
Kesimpulan dari semua
hadits-hadits ini, dapat diambil kesimpulan bahwa menjawab salam kepada orang
yang menitipkannya bukanlah merupakan sebuah kewajiban akan tetapi hanya sebuah
perkara yang disukai.
Ibnu Hajar berkata:
“Saya tidak melihat pada hadits ‘Aisyah, bahwasannya beliau membalas salam
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu bukan merupakan perkara
yang wajib”.[66]
Faedah: Ibnu Abdil
Barr berkata: “Berkata seseorang kepada Abi Dzar: “Fulan menyampaikan/menitipkan
salam kepadamu” Maka Abu Dzar menjawab: “Salam itu adalah sebuah hadiah yang
baik dan yang ringan untuk dipikul”.[67]
21.
Mendahulukan shalat tahiyyat al-masjid sebelum mengucapkan salam ketika
seseorang masuk kedalam masjid.
Seseorang yang
masuk kemasjid, disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah tahiyyat al-masjid
terlebih dahulu sebelum mengucapkan salam kepada orang yang berada didalam
masjid. Pada hadits sahabat yang keliru dalam pengerjaan shalatnya, yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid kemudian seseorang masuk kedalam masjid
lalu mengerjakan shalat, kemudian dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan mengucapkan salam kepadanya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab salamnya dan bersabda: “Kembalilah, dan shalatlah !
sesungguhnya kamu belum melaksanakan shalat (sampai tiga kali)…Al-Hadits “.[68]
Ibnul Qayyim
Al-Jauzi berkata: “Dan diantara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah orang yang masuk kedalam Masjid
dan dia langsung melaksanakan shalat dua rakaat tahiyyat al-masjid, kemudian
dia mendatangi orang-orang yang ada dimasjid lalu mengucapkan salam kepada
mereka. Dengan demikian shalat tahiyyat al-masjid didahulukan dari pada
mengucapkan salam kepada orang yang ada dalam masjid. Hal ini dikarenakan
tahiyyat al-masjid adalah hak Allah ta’ala sedangkan mengucapkan salam kepada
orang-orang itu adalah hak mereka, hak Allah dalam keadaan yang seperti ini
lebih berhak untuk didahulukan, kemudian beliau mengutip hadist sahabat yang
keliru dalam shalatnya sebagai dalil atas ulasan beliau.
Kemudian Ibnul
Qayyim melanjutkan: “Rasulullah mengingkari shalatnya namun beliau tidak
mengingkari salamnya yang diakhirkan setelah melaksanakan shalat tahiyyat
al-masjid”.[69]
Saya berkata: “Ini
adalah ketentuan bagi orang yang masuk kemasjid dan di dalamnya ada sekelompok
orang yang sedang duduk-duduk atau ada halaqah ilmu atau selainnya. Maka yang
disunahkan baginya adalah mendahulukan dua rakaat shalat tahiyyat al-masjid,
kemudian setelah selesai shalat barulah ia mendatangi mereka dan menyampaikan
salam kepada mereka. Adapun jika masuk masjid sementara orang-orang tersebut
masih melakukan shalat, hendaklah dia memberikan salam kepada mereka terlebih
dahulu baru melaksanakan shalat tahiyyat al-masjid atau melakukan apa yang
telah ditetapkan padanya. Wallahu a’lam.
22. Makruh
mengucapkan salam ketika mendengarkan khutbah jum’at.
Dalil dari masalah
ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhialallahu ‘anhu
bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Jika kamu
mengatakan kepada temanmu pada hari Jum’at, “Diamlah!” sementara imam masih
menyampaikan khutbahnya maka kamu telah lalai”.[70]
Berdasarkan hal
ini maka tidak disyariatkan memberikan salam kepada siapapun ketika khatib
masih menyampaikan khutbah, demikianlah yang telah diperintahlkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni agar semua makmum diam ketika
sedang mendengarkan khutbah imam pada hari Juma’at.
Pertanyaan: “Apabila seseorang masuk ke masjid pada
hari jum’at kemudian mengucapkan salam kepada jama’ah yang ada didalamnya,
apakah wajib bagi makmum yang berada didalam untuk menjawab salam tersebut?
Jawab: Al-Lajnah Ad-Daa’imah menyatakan: “Tidak
diperbolehkan bagi siapa saja ketika masuk masjid untuk mengucapkan salam pada
hari Jum’at sedangkan imam sedang menyampaikan khutbah, dan bagi yang berada
didalam masjid tidak diperbolehkan menjawab salam disaat imam khuthbah. Akan tetapi
jikalau dia memjawabnya dengan isyarat maka hal tersebut diperbolehkan”[71].
Pertanyaan: Apakah
yang harus dilakukan seorang makmun seseorang yang berada di sampingnya
mengucapkan salam kepadanya dan menyalaminya disaat imam sedang khuthbah?
Jawab: Al-Lajnah Ad-Daa’imah menyatakan:
“Berjabatan tangan saja tanpa berbicara. Kemudian menjawab salam ketika imam istirahat/selesai
khutbah pertama. Apabila dia engucapkan salam sementara imam sedang khuthbah
yang kedua, maka anda menjawab salamnya setelah khathib menyelesaikan khuthbah
yang kedua”.[72]
23.
Mendahulukan salam sebelum berbicara.
Adapun para
As-Salaf Ash-Shaleh jika mereka saling bertemu, maka mereka mendahulukan salam
sebelum bicara dan saling bertanya tentang keadaan mereka dan kebutuhan mereka.
An-Nawawi berkata,
“Yang termasuk Sunnah, jika eorang muslim mengucapkan salam sebelum dia
berbicara. Hadist-hadits yang shahih serta amalan ulama Salaf dan ulama
kontemporer sudah demikian populernya menyepakati hal itu. Inilah pendapat yang
dijadikan acuan dalam pasal pembahasan ini. Adapun hadits, sebagaimana yang
telah kami riwayatkan didalam kitab At-Tirmidzi dari Jabir radhiallahu ‘anhu,
beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ucapkan
salam sebelum berbicara”. Akan tetapi hadits ini dha’if. At-Tirmidzi
mengatakan: “ Hadits ini hadits munkar”.[73]
24. Salam
kepada pelaku maksiat dan pelaku bid’ah
Adapun pelaku
maksiat, maka hendaklah mengucapkan salam kepada mereka dan menjawab salamnya
ketika mereka mengucapkan salam kepada kita. An-Nawawi berkata: “ Ketahuilah
bahwasannya seorang muslim yang tidak terkenal sebagai pelaku kefasikan dan
bid’ah, maka hendaklah mengucapkan salam kepadanya dan wajib menjawab salamnya.[74]
Pertanyaan: Jika dia telah dikenali sebagai seorang
pelaku maksiat dan kefasikan serta pelaku bid’ah, apakah akan dikatakan untuk
meninggalkan ucapan salam kepadanya ?
Jawab: “Apabila hal itu akan memberikan mashlahat
kepada pelaku maksiat tersebut yaitu dia akan meninggalkan kemaksiatan, apabila
tidak diberi salam ataukah dengan tidak menjawab salamnya. Apabila hal tersebut
untuk suatu kemashlahatan maka salam dapat ditinggalkan dan tidak diucapkan
kepadanya agar sipelaku maksiat berhenti dari perbuatannya.
Adapun jikalau
yang terjadi sebaliknya, dan besar kemungkinan dalam persepsi kita, bahwa
kemasiatannya akan bertambah, maka kita tidak mengapa mengucapkan salam
kepadanya dan menjawab salamnya untuk meminimalisir mafsadat. Karena tidak ada
mashalat yang tercapai. Dan masalah ini dasarnya kembali kepada masalah
pemboikotan –yaitu kepada pelaku maksiat dan bid’ah, pent-
Sedangkan
kepada pelaku bid’ah. Sesungguhnya
bid’ah sendiri terbagi menjadi dua bagian. Ada bid’ah mukafirrah (yang
menyebabkan pelakunya kafir) dan yang tidak menyebabkan pelakunya kafir. Maka
bagi pelaku bid’ah mukaffirah, tidak diperbolehkan mengucapkan salam kepadanya
dalam keadaan apapun. Dan bagi pelaku bid’ah yang atidak menyebabkan pelakunya
kafir, maka hukumnya serupa dengan hukum bagi pelaku maksiat sebagaimana yang
telah dijelaskan diatas.
Kami akan menyadur
perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin tentang masalah pemboikotan
terhadap pelaku bid’ah. Penjelasan beliau ditujukan kepada masalah yang
berkaitan dengan mengucapkan salam kepada pelaku bid’ah. Namun masalah tersebut
tidak ada perbedaannya, karena masalah pemboikotan juga mencakup peninggalan
ucapan salam dan menjawabnya.
Asy-Syaikh
berkata: “Adapun memboikot mereka (pelaku bid’ah) , maka itu tergantung kepada
kebid’ahannya, jika bid’ahnya itu mukaffirah, maka wajib untuk memboikotnya.
Akan tetapi jika bukan merupakan bid’ah mukaffirah maka pemboikotan terhadapnya
bergantung terhadap mashlahat yang tercapai, jika ada maka kita melakukannya
dan jika tidak terdapat mashalahat dalam pemboikotan tersebut maka kita meninggalkannya.
Hal tersebut dikarenakan asal pada seorang mukmin adalah pengharaman dalam
memboikotnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak
halal bagi seorang mukmin untuk tidak menegur saudaranya lebih dari tiga hari”.[75]
Dalil masalah ini
adalah hadits Ka’ab bin Malik radhialahu ‘anhu yang sangat panjang ketika
beliau menyelisihi tidak ikut berjihad bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan taubat beliau kepada Allah. Pada hadits tersebut Ka’ab berkata:
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kaum muslimin untuk
berbicara kepada salah seorang dari tiga orang yang telah menyelisihi beliau,
maka orang-orang pun meninggalkan kami dan mereka berubah sikap mereka kepada
kami. Sehingga bumi ini terasa sempit bagi, tidaklah sebagaimana yang telah
saya ketahui. Kami pun berada dalam keadaan demikian sleama lima puluh malam.
Adapun kedua
temanku, keduanya berdiam diri dan duduk dirumah mereka berdua menangis.
Sedangkan saya, saya adalah yang paling muda dan paling gigih diantara mereka.
Sayapun menghadiri shalat bersama kaum muslimin, dan berada dipasar, namun
tidak seorangpun yang menyapaku. Dan saya mendatangi Rasululah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam
kepada beliau, sementara beliau masih berada ditempat duduk beliau selepas
mengerjakan shalat. Maka saya bertanya kepada diriku: Apakah beliau
menggerakkan kedua bibirnya menjawab salamku atau tidak ? “[76]
25. Disunnahkan
untuk mengucapkan salam ketika bubar dari majelis.
Sebagaimana
disunnahkannya mengucapkan salam ketika hendak mendatangi suatu majlis maka
begitu pula disunnahkan untuk menyampaikan salam ketika hendak meninggalkan
majlis. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Jika
seseorang mendatangi majlis, maka hendaklah ia mengucapkan salam ketika hendak
berdiri maka hendaknya dia mengucapkan salam. Dan salam yang pertama tidaklah
lebih utama dari salam yang terakhir “[77]
Sumber:
al-atsariyyah.com
[1] HR. Al-Bukhari
no.3326 dan Muslim no 2841.
[2] HR. Muslim dalam
bab Penjelasan tentang tidak akan masuk surga kecuai orang yang beriman. No 54.
[3] HR. Muslim
no.2162.
[4] Lihat Al-Adab Asy-Syar’iyah
(1/356) cetakan Muasasah Ar-Risalah.
[5] Lihat Syarh Shahih
Muslim An-Nawawi cetakan Daar Al-Fikr, Fathul Baari, hadits no.6231, cetakan Daar
Ar-Rayyan, dan Al-Adab Asy-Syar’iyah.
[6] HR. Abu Daud
no.5210. Syaikh Al-Albani berkata :”Hadits ini shahih.” Dan diriwayatkan juga
oleh Ibnu Abdil Bar dengan menyandarkannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan beliau menyifatkannya bahwa hadits ini hasan. Karena di dalamnya
terdapat Sa’id bin Khalid Al-Khuza’i. Beliau berkata: "(Sanadnya) tidak
mengapa.” Dan sungguh jamaah mendhaifkan hadits ini. (At-Tamhid : juz 5 hal 290
cetakan Daar Ath-Thayyibah.) Dan didalam Irwa’ Al-Ghalil, Asy-Syaikh Al-Albani
menganggap hadits ini hasan, dan beliau membawakan pendapat An-Naisabury
(hadits ini hasan). Kemudian beliau menggabungkan beberapa jalan sebagai
penguat hadits ini. Beliau berkata pada pembahasan lain : Dikarenakan hadits
ini memiliki penguat, maka dia terangkat derajatnya menjadi hasan. Akan tetapi
ini secara dhahir.
Wallahu a’lam.” (Al-Irwa’,
hadits no.778). Peringatan : Bab ini sangat panjang, dikarenakan diamnya jamaah
atas penshahihan hadits ini. Jika salah seorang diantara mereka menolakknya,
maka yang lain pun akan mengetahuinya. Wallahu taufiq.
[7] HR. At-Tirmidzi
no.2689 dan beliau berkata :”Hadits hasan shahih gharib”, dan diriwayatkan
Al-Bukhari dalam adabul mufrad no 986, dan albani berkata :”Hadits ini shahih.”
Dan diriwayatkan juga oleh Ahmad no.19446, dan Ad-Darimi no.2640.
[8] At-Tamhid (5/293)
[9] HR.At-Tirmidzi no.
2722 beliau berkata hadits hasan shahih
[10] Sunan Abu Daud
hadits no.5209 Al-Albaniy berkata hadits ini shahih.
[11] HR. Al-Bukhari
no.6244
[12] Maksudnya adalah
sebagian mereka ada yang belum mendengar dan maksud………(Ibnu Hajar berkata dalam
Fathul Baari (11/29) dan perkataan An-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin (Bab Kaifa
Salam hal.291) Penerbit Daarul Ilmi Al-Kutub, cetakan ke duabelas th.1409 H.
[13] Fathul Baari
hadits no.6244 (11/29) Lihat juga tentang perkara ini pada kita Zaadul Maad
(2/418) Penertbit Muasasah Ar-Risalah.
[14] Al-Adab Al-Mufrad
hadits no.1005. Al-Albani mengatakan:
shahih sanadnya, demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam
shahih Adab Al-Mufrad hal.385.
[15] Zaad Al-Maad
(2/419)
[16] Al-Adzkar hal.304
dan 355 dan beliau telah banyak mengutip, disebabkan banyaknya orang-orang yang
menggampangkan dalam menjawab salam, maka jika seorang muslim tidak
memperhatikannya ia akan mendapat dosa karenanya.
[17] Perkataan ini di
kaitkan kepada kaum muslimin dan bukan yang lainnya, maka tidak masuk padanya
orang kafir karena tidak akan diterima do’a untuk mereka.
[18] HR.Al-Bukhari
no.12 dan Muslim no.39
[19] Al-Adzkar hal.370
[20] HR.Al-Bukhari 6232
dan Muslim 2160
[21] HR.Al-Bukhari
no.6231
[22] Lihat Fathul Baari
(19/11)
[23] Fathul Baari
(19/11)
[24] HR. Al-Bukhari
(6077)
[25] HR. Al-Bukhari
dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad (994) dan Ibnu Hajar menshahihkan sanadnya dalam
Fathul Baari (11/18) Dan Asy-Syaikh Al-Albaniy menshahihkannya dalam shahih
Adabul Mufrad (1146)
[26] HR.Abu Daud (5200)
dengan dua sanad yang salah satunnya marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam) sedangkan yang satu lagi mauquf (sampai kepada sahabat) dan Al-Albaniy
berkata, “Shahih secara mauquf dan secara marfu’)
[27] Al-Adab Asy-Syar’iyah
(1/352)
[28] Zaad Al-Maad (2 /
411 - 412)
[29] HR. Al-Bukhari
(6248)
[30] HR. Al-Bukhari
(6147) dan Muslim (2168) dan lafazh hadits diatas adalah lafazh beliau.
[31] Syarh Shahih
Muslim oleh An-Nawawi Jilid 7 bab 13 hal.123 dan Fathul Baari (11/35)
[32] HR. Muslim (2055)
dan ini bagian dari hadits yang sangat panjang.
[33] HR. Muslim no.2167
[34] Al-Adab Asy-Syar’iyah 1 / 391 )
[35] Al-Adzkar hal.362-367
[36] HR. Bukhari (6258)
dan Muslim (2163)
[37] Ahkam Ahli Dzimmah
(1/345-346) Ramadi lin-Nasyri, cetakan pertama tahun 1418H, dan lihat fatawa al
aqidah oleh ibnu ‘Utsaimin hal.235-236. Dan As-Silsilah Ash-Shahihah oleh Al- Albani (2/327-330).
[38] Lihat Fatawa Al-Lajnah
ad-Daa`imah (3/312) fatwa no.11123.
[39] HR. Al-Bukhari (6254 ) dan Muslim ( 1798 )
[40] Syarh Shahih Muslim jild 6 ( 12 / 125 )
[41] Al-Adab Asy-Syar’iyah ( 1 / 390 )
[42] Al-Adzkar karya An-Nawawi hal. 367
[43] Fatawa Al-Aqidah
hal 237. cetakan Daar Al-Jiil.
[44] Fathul Baari (
11/16 )
[45] HR. At-Tirmidzi
(2697) dan lafazh ini adalah lafazh
riwayat beliau, Ahmad (27014) dan Ibnu Majah (3701), Ad-Darimi (2637), dan
Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad (1003, 1047) dan Al-Albaniy berkata:
hadits shahih.
[46] HR. Abu Daud (
5204 )
[47] Al-Adzkar hal. 356
[48] Fathul Baari ( 11 / 16 )
[49] HR. Muslim ( 540 )
[50] HR. Abu Daud ( 925 ). Al-Albani mengatakan:
Shahih. Shahih Abu Daud ( 818 )
[51] HR. Abu Daud (926)
ini adalah hadits Muslim yang telah lalu (540)
dan telah dijelaskan riwayat Abu Daud yakni padanya terdapat penjelasan
bahwa menjawab salam ketika sedang shalat itu dengan tangan.
[52] HR. Abu Daud (927)
Al-Albaniy mengatakan: hadist Hasan
Shahih, Shahih Abi Daud no.820.
[53] ‘Aun al-Ma’bud , syarah sunan Abu Daud (jilid
12 juz 3 hal.128) terbitan Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah
[54] Fatawa Al-Lajnah
Ad-Daimah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyath wal Iftaa (4/83)
[55] HR.Muslim no.370
[56] Lihat Syarah Muslim karya An-Nawawi ( jilid
2 4 / 55 )
[57] HR. Abu Daud dan
lafazh ini lafazh riwayat beliau (17) Asy-Syaikh
Al-Albaniy berkata hadist ini shahih, dan berkata Ibnu Muflih pada salah satu
jalan, “Isnadnya jayyid”, Al-Adab Asy-Syar’iyah (1/355), Ahmad (18555),
An-An-Nasaa`i (38), Ibnu Majah (351) dan Ad-Darimi (2641)
[58] Al-Adab Al-Mufrad
oleh Al-Bukhari (1055) dan dikeluarkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah. Berkata
Al-Hafidz Ibnu Hajar “sanadnya hasan”
(Fathul Baari 11/22) demikian juga Asy-Syaikh Al-Albaniy mengatakan sanadnya
hasan pada Shahih Al-Adab Al-Mufrad.
[59] Lihat Tafsir Ibnu
Katsir (3/305) Cetakan Daar Ad-Da’wah
[60] Al-Adab Al-Mufrad
(1095) Al-Albani mengatakan: hadits ini
shahih.
[61] Tafsir Ibnu Katsir
(305/3)
[62] Adabul Mufrad
(1094) Asy-Syaikh Al-Albani berkata hadits ini Shahih.
[63] HR. Abu Daud
(5231) dan Albaniy menghasankannya , Ahmad (22594)
[64] HR. Al-Bukhari
(6253)
[65] Al-Hafidz didalam
Fathul Baari menyandarkan hadits ini, kepada riwayat An-Nasaa`i dari hadits
Anas. Lihat Fathul Baari (11/14) (7/172)
[66] Fathul Baari
(11/14)
[67] Al-Adab Asy-Syar’iyah (1/393)
[68] HR. Al-Bukhari
(7939)
[69] Zaad Al-Ma’ad
(2/413-414)
[70] HR.Al-Bukhari
no.934
[71] Fatwa Al-Lajnah
Ad-Daa`imah Lilbuhuts Al-Ilmiyah wal-Iftaa` (8/243)
[72] Fatwa Al-Lajnah
Ad-Daa`imah Lilbuhuts Al-Ilmiyah wal-Iftaa` (8/246)
[73] Al-Adzkar hal.312.
[74] Al-Adzkar hal.364
[75] Fatawa Al-Aqidah
hal.614
[76] HR. Al-Bukhari
no.4418.
[77] HR. At-Tirmidzi
no.2861 dan beliau berkata, “Hadits ini hasan”. Dan diriwaytakan juga oleh Abu
Daud (5208), Al-Albaniy berkata hadits hasan shahih, Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad
(1008) Dan Ath-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar (1351) penerbit Muasasah Ar-Risalah
mantab. sangat bermanfaat. terima kasih
ReplyDelete