Sebelum mengaku sebagai salafy sejati, Anda wajib mengetahui siapakah sebenarnya salafy sejati. Apa sifat-sifat yang dimiliki seorang salafy sejati, apa kriteria yang diberikan ulama untuk menjadi salafy sejati. Dan yang terakhir, apakah Anda termasuk salafy sejati seperti yang disifatkan para ulama?
Saturday, November 28, 2015
Bolehkah Mendoakan Tarahhum (Ucapan Rahimahullah) Untuk Nabi?
Doa yang lazim dibaca saat mendengar nama nabi adalah shalawat dan salam yaitu ucapan shallallahu 'alaihi wasallam. Namun apabila seorang muslim hendak mendoakan nabi dengan ucapan rahimahullah, bolehkah?
Jawabnnya boleh,
dalilnya adalah hadits Al-A'rabiy. Dahulu ada seorang A'rabiy (Arab badui) yang
kencing di pojok masjid. Melihat hal itu, para sahabat hendak menghardiknya,
namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mencegah mereka.
Setelah
A'rabiy itu selesai kencing, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan
nasehat kepadanya dengan lembut dan hikmah, hingga A'rabiy tadi berdoa kepada
Allah:
اللهم ارحمني ومحمدا ولا ترحم معنا أحدا
"Ya
Allah rahmatilah aku dan Muhammad, janganlah Engkau merahmati seorang pun
selain kami"
Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لقد حجرت واسعا
"Sungguh
engkau telah menyempitkan (rahmat Allah) yang luas" [HR. Al-Bukhari dan
Muslim, dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu]
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengingkari doa tarahhum yang dibaca Arab badui. Beliau hanya mengingkari sikap A'rabiy yang membatasi doa rahmat hanya untuk dirinya dan nabi saja.
Al-Hafizh
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Sebagian ulama berdalil dengan hadits
ini untuk membolehkan tarahhum (ucapan rahimahullah) kepada nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana hal itu merupakan pendapat jumhur
ulama" [Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6/463]
Allahua'lam,
semoga bermanfaat
Friday, November 27, 2015
Apakah Istighfar Tanpa Disertai Taubat Bermanfaat?
“Apakah istighfar tanpa taubat bermanfaat?”
Jawab:
Asy-Syaikh Dr. Sulaiman bin Salimullah Ar-Ruhailiy hafizhahullah berkata:
التحقيق مِن أقوال أهل العلم في المسألة: أنّ الاستغفار لا يخلو من حالَين
الحال الأولى: أن يكون مِن باب استغفار الغير للمذنِب؛ مثل استغفار الملائكة لمَن قَعَدَ في المصلى ما لَمْ يُحدِث تقول: «اللهم اغفر له، اللهم ارحمه»، ومثل استغفار الحي للميت؛ بدليل: أنه مطلوبٌ شرعًا للميت؛ ومَا دام أنه طُلِبَ شرعًا فلابد أن يكون نافعًا، فقد قال النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- لمّا مات النجاشيُّ «استغفروا لأخيكم»، والمعلوم انّ الميت لا يتوب، فهذا الاستغفار ينفع بلا توبة مِن المذنب.
الحال الثانية: استغفار المذنِب بنفسِه دون توبة من الذنب. والصَّحيح أنه ينفع صاحِبَه بشرط أن يكون نابعًا مِن خوف الله، أمّا إذا كان باللسان فقط دون استشعارِ القلب فإنه لا ينفع صاحبه.
وإذا اجتمعت التوبة والاستغفار فهو الكمال
“Pendapat yang paling tepat diantara pendapat ulama dalam permasalahan ini, istighfar tidak lepas dari dua kondisi:
Kondisi pertama, istighfar (memohon ampunan) untuk orang lain yang terjatuh dalam dosa, seperti istighfar para malaikat untuk orang-orang yang duduk di tempat shalatnya selama ia belum berhadats. Malaikat mendoakan “Ya Allah ampunilah dia, ya Allah berilah rahmat kepadanya”. Demikian pula istighfar dari orang yang hidup untuk orang yang mati, hal itu sangat ditekankan dalam syariat. Segala sesuatu yang dituntut dalam syariat, pasti akan memberikan manfaat.
Saat An-Najasyi wafat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
استغفروا لأخيكم
“Mintakanlah ampun (istighfar) untuk saudara kalian”[1]
Telah diketahui bahwa orang yang mati tidak bisa bertaubat. Dalam keadaan ini, istighfar tanpa disertai taubat akan bermanfaat bagi orang yang terjatuh dalam dosa.
Kondisi kedua, istighfar (memohon ampunan) untuk dirinya sendiri yang terjatuh dalam dosa, tanpa disertai taubat dari dosa tersebut. Pendapat yang benar, hal itu bermanfaat baginya dengan syarat, istighfar yang ia baca bersumber dari rasa takut kepada Allah (khauf). Adapun jika hanya sekedar di lisan tanpa ada pengaruh di hati, maka hal itu tidak bermanfaat baginya. Apabila taubat dan istighfar terkumpul (dalam diri seorang hamba), maka hal itu lebih sempurna” [Syarh Al-Washiyyatus Shughraa]
Saturday, November 14, 2015
Menjawab Syubhat Kyai Idrus Ramli dalam Melegalkan Bid’ah Hasanah
Saat Wahabi
berdalil dengan hadits “setiap bid’ah adalah sesat” untuk menggenalisir semua
bid’ah, seringkali Kyai Idrus Ramli menjawabnya dengan perkataan Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits tersebut. Berikut redaksi hadits
yang dimaksud beserta keterangan perkataan An-Nawawi rahimahullah,
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah
adalah sesat” [HR. Muslim no. 867]
Kyai Idrus
Ramli berkata saat menukil perkataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah:
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ. (الإمام
الحافظ النووي، شرح صحيح مسلم، ٦/١٥٤).
“Sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah
kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu
sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.”
(al-Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 6/154)”
Oleh
karena hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah redaksi general yang
jangkauan hukumnya dibatasi, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah (baik)
dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Lebih rinci lagi, bid’ah itu terbagi
menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hukum Islam yang lima; wajib,
sunnat, haram, makruh dan mubah” [Dinukil dari blog Idrusramli.com]
Pernyataan
Kyai Idrus Ramli dapat dijawab dari dua sisi:
Friday, November 13, 2015
Menolak Lamaran Lelaki Shalih, Bolehkah?
Tanya:
"Ada lelaki
soleh meminang seorang akhwat. Tapi akhwat ini kurang respon dengannya. Mungkin
karena prtimbangan fisik. Dia sama sekali tidak menilai buruk akhlak dan agama
lelaki ini. Orangnya rajin bekerja dan tanggung jawab. Karakternya lugu. Tapi
kurang sreg saja. Apakah akhwat ini berdosa?
Jazakumullah
khairan.."
Jawab:
Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du. Tidak
menyukai orang sholeh, latar belakangnya ada dua:
Pertama, tidak suka yang
sifatnya manusiawi. Misalnya, tidak suka dengan wajahnya yang kurang indah
dipandang, atau karakternya yang pelit atau kasar.
Kedua, tidak suka karena
agamanya. Dia tidak ada yang bermasalah secara fisik. Tapi dia benci setiap
lelaki berjenggot, atau lelaki yang rajin shalat jamaah di masjid, atau lelaki
yang suka puasa sunah, dst.
Sehingga
rasa tidak sukanya muncul karena orang ini mengamalkan sunah atau karena dia
dai yang mengajarkan tauhid. Ada beberapa orang yang mereka tidak menyukai Umar
bin Khatab karena karakter beliau yang sangat tegas. Meskipun mereka mencintai
Umar karena keshalihannya.
Dulu ada
sahabat sangat soleh, dijamin masuk surga oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
namanya Tsabit bin Qais bin Syammas. Beliau menikah dengan Jamilah bintu
Abdillah. Suatu ketika Jamilah pernah melihat suaminya berjalan bersama deretan
para sahabat. Dia terheran, tidak ada lelaki yang lebih jelek dari pada
suaminya. Hingga dia merasa tidak tahan untuk bersama Tsabit, karena takut
tidak bisa menunaikan hak suaminya.
Beliau lapor
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ أَمَا
إِنِّى مَا أَعِيبُ عَلَيْهِ فِى خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ وَلَكِنِّى أَكْرَهُ
الْكُفْرَ فِى الإِسْلاَمِ
“Ya
Rasulullah, Tsabit bin Qais, saya sama sekali tidak keindahan akhlak dan
agamanya yang bagus. Namun saya khawatir kkufur dalam islam.” [HR. Bukhari
5273, Nasai 3476, dan yang lainnya]
Kemudian
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh istrinya untuk
mengembalikan maharnya. Lalu Tsabit diminta menjatuhkan talak untuknya.
Rasa tidak
suka semacam itu, sifatnya manusiawi. Semua orang tentu mengharapkan pasangan
yang menyejukkan pandangannya. Baik lelaki maupun wanita. Sehingga jika ini ada
dalam diri seseorang, dia tidak berdosa.
Berbeda
dengan tidak suka kepada seseorang karena agama. Dia membenci orang itu, bukan
karena bawaan sifat manusiawi. Namun karena dia komitmen dengan agama. Dia
lebihi suka dengan pasangan, yang sama-sama jauh dari agama.
Beberapa
lelaki, serasa sepet jika melihat wanita berhijab. Yang bikin sepet, jilbabnya
bukan wajahnya. Beberapa wanita, serasa sepet ketika melihat lelaki berjenggot.
Yang bikin sepet jenggotnya bukan wajahnya.
Anda bisa
bayangkan, andaikan manusia semacam ini hidup di zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabat. mereka setiap hari akan merasa sepet
ketika melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.
Mereka memelihara jenggot, pakaiannya di atas mata kaki. Sementara semua
wanitanya berhijab.
Jika manusia
semacam ini hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mungkin mereka
akan bergabung dengan komunitas yahudi di luar kota Madinah, agar tidak sepet
melihat wanita berjilbab atau lelaki berjenggot.
Kebencian
semacam ini berbahaya. Bisa menghapus amal, dan menggiring pelakunya kepada
kekufuran. Allah berfirman,
وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَهُمْ وَأَضَلَّ
أَعْمَالَهُمْ . ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Orang-orang
yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal
mereka. Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa
yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala)
amal-amal mereka.” [QS. Muhammad: 8–9]
Fatwa Dr.
Shalih Al-Fauzan hafizhahullah
Beliau
pernah ditanya, bolehkah menolak pinangan lelaki shalih, karena tidak cinta
Jawaban
beliau,
إذا كنت لا ترغبين الزواج من شخص؛ فلا إثم عليك،
ولو كان صالحًا؛ لأن الزواج مبناه على اختيار الزوج الصالح مع الارتياح النفسي
إليه ؛ إلا إذا كنت تكرهينه من أجل دينه؛ فإنك تأثمين في ذلك من ناحية كراهة
المؤمن، والمؤمن تجب محبته لله ، ولكن لا يلزمك مع محبتك له دينًا أن تتزوجي منه
مادمت لا تميلين إليه نفسيًا . والله أعلم
“Menolak
menikah dengan seseorang, tidak berdosa, meskipun dia orang soleh. Karena
menikah prinsipnya adalah memilih pasangan yang soleh dan adanya rasa cinta
dari hati. Kecuali jika anda tidak suka dengannya karena agamanya. Maka anda
berdosa dalam hal ini, karena anda membenci orang mukmin. Sementara orang
mukmin wajib dicintai karena Allah. Akan tetapi, anda tidak harus menikah
dengannya, selama anda tidak ada rasa cinta. Allahu a’lam” [Al-Muntaqa min
Fatawa Dr. Shalih Al-Fauzan, 3/226]
Allahu
a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Istri Menuntut Suami Menambah Frekuensi Hubungan Intim
Tanya:
“Bolehkah
istri menuntut agar suami lebih aktif berhubungan? Misalnya
minimal tiap hari sekali. Makasih”
Jawab:
“Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kita ambil
satu peristiwa yang terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tersebutlah
seorang sahabat bernama Rifaah al-Quradzi. Dia menikahi seorang wanita bernama
Tamimah bintu Wahb. Setelah beberapa lama menjalani kehidupan berumah tangga,
Rifaah menceraikan istrinya, cerai tiga. Setelah usai iddah, Tamimah menikah
dengan Abdurahman bin Zabir al-Quradzi. Namun ternyata Tamimah tidak mencintai
Abdurrahman. Dia hanya jadikan itu kesempatan agar bisa balik ke Rifa’ah.
Hingga
wanita ini mengadukan masalah suaminya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dia datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
memakai kerudung warna hijau.
Mulailah si
wanita ini mengadukan,
وَاللَّهِ مَا لِي إِلَيْهِ مِنْ ذَنْبٍ ، إِلَّا
أَنَّ مَا مَعَهُ لَيْسَ بِأَغْنَى عَنِّي مِنْ هَذِهِ – وَأَخَذَتْ هُدْبَةً مِنْ
ثَوْبِهَا –
“Suami saya
ini orang baik, pernah berbuat dzalim kepada saya. Cuma punya dia, tidak
bisa membuat saya puas dibanding ini.” Sambil dia pegang ujung bajunya.”
Maksud
Tamimah, anu suaminya itu loyo. Tidak bisa memuaskan dirinya. Seperti ujung
baju itu.
Ketika tahu
istrinya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdurahman
datang dengan membawa dua anaknya, dari pernikahan dengan istri sebelumnya.
Abdurahman
bawa dua anak untuk membuktikan bahwa dia lelaki sejati. Mendengar aduhan istri
keduanya ini, Abdurrahman langsung protes,
كَذَبَتْ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنِّي
لَأَنْفُضُهَا نَفْضَ الأَدِيمِ ، وَلَكِنَّهَا نَاشِزٌ ، تُرِيدُ رِفَاعَةَ
“Istriku
dusta ya Rasulullah, saya sudah sungguh-sungguh dan tahan lama. Tapi wanita ini
nusyuz, dia pingin balik ke Rifaah (suami pertamanya).”
Mendengar
aduhan mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya tersenyum. [HR.
Bukhari 5825 dan Muslim 1433]
Senyum
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap laporan kasus ini, karena
beliau heran. Dan beliau tidak melarangnya atau memarahi pasangan ini,
menunjukkan bahwa beliau membolehkan melakukan laporan semacam ini. Sekalipun
ada unsur vulgar.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وتبسّمه صلى الله عليه وسلم كان تعجبا منها ، إما
لتصريحها بما يستحيي النساء من التصريح به غالبا… ويستفاد منه جواز وقوع ذلك
"Senyum
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena beliau heran. Bisa jadi karena beliau melihat wanita ini berterus terang pada hal-hal yang pada umumnya seorang wanita akan malu mengungkapkannya… dan disimpulkan dari hadis ini, bolehnya melakukan semacam ini." [Fathul
Bari, 9/466]
Yang kita
garis bawahi dalam kasus ini, Tamimah menggugat suaminya dengan alasan masalah
ranjang. Artinya itu bukan suatu yang bernilai maksiat, atau tidakan tercela.
Mengadukan
Suami Karena Kurang Rajin
Dari hadits
ini, sebagian ulama menyimpulkan bahwa istri boleh menuntut suami untuk
meningkatkan intensitas hubungan. Kita simak
keterangan Ibnul Mulaqqin rahimahullah,
وفيه: أن للنساء أن يطلبن أزواجهن عند الإمام بقلة
الوطء ، وأن يعرضن بذلك تعريضًا بينًا كالصريح ، ولا عار عليهن في ذلك
"Dalam hadits
ini terdapat kesimpulan bahwa istri boleh mengadukan suami mereka kepada pihak
berwenang, karena kurang rajin berhubungan. Dia boleh sampaikan itu dengan
terang-terangan. Dan itu tidak tercela." [At-Taudhih li Syarh Al-Jami’ As-Shahih,
27/653]
Allahu
a’lam.”
Dijawab oleh
Ustadz Ammi Nur Baits hafizhahullah (Dewan
Pembina Konsultasisyariah.com)
Wednesday, November 11, 2015
Petaka Ustadz Muda Karena Menerima Curhat Wanita Bersuami
Ini kisah nyata yang terjadi di dekat kampung halaman saya. Hiduplah seorang ikhwan yang tumbuh di lingkungan pondok
pesantren. Sehari-harinya ia sibuk mengaji. Bahkan saat ustadz senior
berhalangan mengajar, ia diberikan amanah untuk menggantikan ustadz mengisi
kajian. Bisa dikatakan, ia adalah ustadz muda yang berbakat.
Musibah itu
bermula saat ada seorang ummahat (wanita bersuami) yang ingin berkonsultasi
tentang masalah rumah tangganya, saya tidak tahu persis masalahnya, mungkin
berkaitan dengan kekurangan yang ada pada suaminya. Hari demi hari berlalu, minggu
demi minggu mereka lewati, namun cerita curhat sang ummahat belum juga selesai.
Tumbuhlah benih-benih cinta diantara mereka berdua, padahal si ummahat adalah
wanita bersuami beranak tiga atau empat, saya agak lupa.
Menurut kesaksian teman-teman akhwat dari ummahat tersebut, ia bahkan biasa melakukan kontak melalui telpon seluler dengannya. Terdengar suara sang ummahat yang lembut dan mendayu saat menelepon sang ikhwan, hingga membuat teman-teman sebayanya terheran-heran.
Akhirnya,
sang ummahat meminta cerai pada suaminya. Cerita cinta diantara mereka berdua
sudah tersebar di mana-mana. Hingga suami dari ummahat itu terpaksa harus rela
melepaskan istrinya karena tidak kuasa menanggung sakit hati dan malu. Apa
yang bisa ia perbuat jika dirinya tidak lagi memiliki tempat di hati istrinya.
Bahkan cinta seorang istri yang seharusnya ia dapatkan, telah diberikannya
kepada laki-laki lain. Tidak ada pilihan lain selain menerima gugatan cerainya.
Sungguh malang nasib sang suami, dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan, seluruh
anaknya justru ikut ayahnya. Sang istri meninggalkannya membawa tangan hampa
demi menikahi laki-laki pujaannya. Allahulmusta’an
Penderitaannya
sang suami semakin bertambah ketika keinginan sang istri benar-benar
diwujudkan. Sekarang ia telah resmi menikah dengan sang ikhwan, seorang ustadz
muda yang belum berpengalaman dalam hal dakwah. Seluruh ikhwan dan akhwat di
lingkungan itu, bahkan ustadz senior yang merupakan guru ngajinya hanya bisa
mengelus dada mendengar kabar menyayat hati tersebut. Kita tidak bisa berbuat
apa-apa. Nasehat demi nasehat sudah banyak disampaikan, namun cinta terlarang
membutakan mereka berdua.
Problem
dakwah semacam ini bukanlah masalah yang sepele, masalahnya sungguh rumit. Apa
yang harus kita lakukan, apakah memisahkan antara dua mempelai pengantin baru,
kemudian memaksanya kembali pada suami pertama? Ini mustahil. Sehingga ustadz senior
menitipkan pertanyaan kepada salah seorang teman di Madinah untuk disampaikan
kepada para ulama di Madinah, demi mencari solusi yang tepat.
Beberapa
waktu yang lalu, kebetulan teman saya itu diberikan kesempatan bisa berhaji
bersama Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah, ia juga sempat bertemu
dengan Asy-Syaikh Abdurrazaq Al-Badr hafizhahullah. Sedikit selingan, saya ingin berbagi cerita tentang sifat tawadhu’ Asy-Syaikh Abdurrazaq
hafizhahullah. Seringkali saat Asy-Syaikh Abdurrazaq dihadapkan pada pertanyaan
yang berat, beliau tidak segan untuk berkata:
هذا يسأل إلى الوالد
“Pertanyaan
ini semestinya ditanyakan kepada ayahanda”.
Maksudnya, beliau tidak berkenan menjawab, dan melemparkan pertanyaan itu kepada sang
ayah yaitu Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad.
Demikian
pula sang ayah, saat sesi tanya jawab dars ba’da maghrib di Masjid Nabawi, berulang
kali saya mendengar fatwa Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah saat
menjawab pertanyaan:
هذا يسأل إلى اللجنة
“Pertanyaan
ini perlu ditanyakan kepada (lembaga fatwa) Al-Lajnah Ad-Da’imah”, atau dengan
redaksi yang semakna.
Kedua ulama
rabbani, sang ayah dan sang anak benar-benar membuatku takjub, subhanallah. Padahal
sekiranya pertanyaan itu disodorkan kepada ustadz, tentu mudah bagi seorang
ustadz menjawabnya. Sifat tawadhu’ dan rasa takut kepada Allah
menghalangi ulama untuk menjawab pertanyaan tanpa ilmu, bahkan meskipun mereka berhak berijtihad dalam menjawab. Jika ijtihadnya benar memperoleh dua pahala,
jika keliru tetap memperoleh satu pahala tanpa harus menanggung dosa. Namun
demikianlah hikmah yang dimiliki oleh para ulama kita.
Kembali ke
alur kisah, akhirnya temen saya itu berhasil menemui kedua ulama tersebut,
kemudian ia menyampaikan titipan pertanyaan berkaitan dengan permasalahan. Ia telah bertanya kepada Asy-Syaikh Abdurrazaq hafizhahullah, dan jawaban
syaikh hanya ucapan a’udzubillah (aku berlindung kepada Allah). Ia juga
bertanya kepada Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, fatwa yang ia dapatkan juga
ucapan a’udzubillah (aku berlindung kepada Allah). Sepulang haji, ia
kembali ke Madinah.
Saya hanya
bisa menunggu di Madinah, menanti kepulangan teman saya itu. Jujur, saya pribadi
sangat menanti fatwa dari para ulama terkait masalah ini, demi mendulang faidah yang
berharga dari warisan para nabi. Setelah kami bertemu, saya meminta fatwa dan
meminta penjelasannya, kemudian ia menyampaikan fatwa itu kepadaku. Meskipun
jawaban fatwa begitu singkat, namun di dalamnya terkandung pelajaran berharga yang
tidak mungkin saya dapatkan di saat saya hanya duduk membaca tumpukan
kitab-kitab fatwa dan adab.
Dari kisah
di atas, kita dapat mengambil beberapa pelajaran:
[1] Seorang
ustadz muda tidak semestinya menerima curhat akhwat atau wanita bersuami,
apalagi kalo ia sendiri belum menikah. Bagaimana ia akan memberikan solusi?
Kata pepatah, seorang yang tidak memiliki, mana mungkin ia akan memberi.
[2] Problem
rumah tangga hendaklah diserahkan kepada ustadz-ustadz senior yang usia mereka
telah matang, ilmu dan pengalaman dakwah mereka telah diketahui
[3] Jika
engkau dihadapkan kepada pertanyaan yang berat, jangan segan untuk
melemparkannya kepada orang yang lebih berilmu darimu.
[4] Mengenal sifat tawadhu’ para ulama kita dan kehati-hatian mereka dalam
berfatwa. Jika para ulama kita telah mengeluarkan fatwa, yakinlah bahwa fatwa
itu telah dibangun di atas ilmu. Jangan sekali-kali dirimu meremehkan fatwa
ulama.
[5]
Pentingnya seorang da’i dan ustadz memahami fiqh dakwah, ia harus tau sampai
dimana kadar keilmuannya. Ia harus tahu pertanyaan mana yang mampu ia jawab,
dan pertanyaan mana yang tidak perlu ia jawab.
[6] Saat
seorang da’i atau ustadz salah melangkah
dalam menyelesaikan suatu problem permasalahan, musibah dan mala petaka harus
siap ditanggungnya. Bisa jadi ada anak-anak yang akan kehilangan ibunya, ada
suami yang akan kehilangan istri yang sangat dicintai, ada hati-hati yang dilanda
pilu dan terluka dalam waktu yang panjang, bahkan ia sendiri bisa terjun ke
dalam jurang kebinasaan tanpa disadari
[7] Dalam
kisah di atas juga terdapat peringatan bagi para ikhwan, akhwat dan ummahat
(wanita bersuami) agar menjauhi segala sesuatu yang dapat menyebabkan fitnah, baik
melalui kontak telpon dan sms dengan laki-laki yang bukan mahram, maupun melalui
sarana jejaring sosial. Seorang yang beruntung adalah seorang yang
dijauhkan dari fitnah-fitnah.
Allahua’lam,
semoga dapat diambil hikmahnya…
Ditulis oleh
Abul-Harits di Madinah, 29 Muharram 1437
Bolehkah Wanita Memakai Parfum Keluar Rumah?
Asy-Syaikh
Muqbil Al-Wadi'i rahimahullah berkata: "Jika wanita memakai parfum agar
manusia (laki-laki yang bukan mahram) bisa mencium bau wanginya, maka ia adalah
pezina[1] sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ta'ala
a'nhu[2]
Dan jika ia
berdandan keluar rumah tanpa menampakkan perhiasannya di depan laki-laki (yang
bukan mahram), ia hanya menampakkannya di antara akhwat-akhwat yang amanah dan
aman, maka hal itu tidak apa-apa insya Allah" [As'ilah Nisa'il Hajj]
Allahua'lam, semoga bermanfaat
______________________
[1] Bukan
pezina secara hakiki yang dijatuhkan hukuman had karena perbuatannya tersebut,
namun ia memiliki kemiripan dengan pezina dari beberapa sisi.
Al-Munawi
rahimahullah berkata: "Jika wanita memakai parfum, kemudian melewati
sekumpulan laki-laki (yang bukan mahram), ia bisa membangkitkan syahwat
laki-laki dan mendorong mereka untuk melihatnya. Setiap laki-laki yang melihat
wanita tersebut, maka matanya telah berzina. Wanita itu berdosa karena
memancing pandangan laki-laki kepadanya dan membuat hati laki-laki menjadi
gelisah. Ia merupakan penyebab zina mata, sehingga ia pantas disebut pezina.”
(Faidhul Qadir, 5/27)
[2]
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى
قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
Tuesday, November 10, 2015
Wahai Muslimah, Dengan Siapakah Engkau Akan Menikah di Surga?
Dalam sekian
banyak ayat Al-Qur’an, Allah ta’ala menjanjikan bidadari yang cantik jelita
untuk diperistri oleh laki-laki yang
beriman lagi bertakwa di dunia. Lalu bagaimana dengan wanita muslimah, dengan
siapa mereka akan menikah di surga? Apabila ia belum pernah menikah di dunia,
apakah di surga ia memiliki suami?
Jawabnya;
wanita muslimah juga akan menikah di surga insya Allah, karena beberapa alasan:
Pertama, kenikmatan surga tidak
terbatas untuk laki-laki saja, bahkan laki-laki dan wanita akan merasakan
kenikmatan yang sama di surga
Allah ta’ala
berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ
أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا
يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Barangsiapa
yang beramal shalih dari kalangan laki-laki atau wanita dalam keadaan ia
beriman, maka mereka akan masuk ke dalam surga. Mereka tidak akan dizhalimi
sedikitpun” [QS. An-Nisaa’: 124]
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى
وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa
yang beramal shalih dari kalangan laki-laki atau wanita dalam keadaan ia
beriman, maka Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik. Kami akan
memberikan kepada mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka lakukan”
[QS. An-Nahl: 97]
Diantara
kenikmatan terbesar bagi penghuni surga adalah menikah.
Kedua, para penghuni surga
akan mendapatkan seluruh apa yang mereka inginkan.
Allah ta’ala
berfirman:
وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ
الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Di
dalamnya (surga) terdapat segala apa yang diinginkan jiwa dan apa yang menjadi
penyejuk mata. Dan kalian akan kekal di dalamnya” [QS. Az-Zukhruf: 71]
ولَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ
وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ
“Di
dalamnya (surga), kalian akan memperoleh segala apa yang diinginkan oleh jiwa
kalian dan di dalamnya, kalian akan memperoleh apa yang kalian minta” [QS.
Fushilat: 31]
Menikah adalah
impian setiap pemuda lajang dan gadis, bahkan suami yang telah beristri pun terkadang
masih terbetik di hatinya keinginan menikahi wanita lain. Oleh karena itu,
wanita muslimah pun akan mendapatkan apa yang mereka inginkan di surga, jika
mereka ingin menikah.
Ketiga, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa tidak ada pemuda atau
pemudi lajang di surga.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وما
في الجنة أعزب
“Tidak ada
(pemuda atau pemudi) lajang di surga” [HR. Muslim no. 2834]
Jika
demikian, dengan siapakah mereka akan menikah di surga nanti?
Seorang wanita
muslimah tidak lepas dari beberapa kondisi berikut:
[1] Ia wanita muslimah yang
belum sempat menikah di dunia.
Allah akan
menikahkannya dengan laki-laki penghuni surga yang disukainya
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
وإذا لم تتزوج في الدنيا : فإن الله تعالى يزوجها
ما تقر به عينها في الجنة ، فالنعيم في الجنة ليس مقصوراً على الذكور
“Apabila ia
belum menikah di dunia, maka Allah ta’ala akan menikahkannya dengan suami yang
menjadi penyejuk matanya di surga. Kenikmatan surga tidak terbatas untuk
laki-laki saja” [Majmuu’ Al-Fatawaa, jilid 2 pertanyaan no. 178]
[2] Ia wanita muslimah yang
telah menikah, namun suaminya tidak ditakdirkan sebagai penghuni surga.
Misalkan sang suami murtad setelah menikahinya, kemudian mati.
Allah juga akan
menikahkannya dengan laki-laki penghuni surga yang disukainya
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahulah berkata:
فالمرأة إذا كانت من أهل الجنة ولم تتزوج ، أو كان
زوجها ليس من أهل الجنة : فإنها إذا دخلت الجنة فهناك من أهل الجنة من لم يتزوجوا
من الرجال ، وهم - أعني من لم يتزوجوا من الرجال – لهم زوجات من الحور ، ولهم
زوجات من أهل الدنيا إذا شاءوا واشتهت ذلك أنفسهم
“Wanita
penghuni surga yang belum sempat menikah (di dunia) atau wanita yang suaminya
bukan termasuk penghuni surga, apabila wanita itu masuk ke dalam surga, dan di
surga terdapat laki-laki yang belum sempat menikah (di dunia). Maka laki-laki
tersebut akan memiliki istri-istri dari kalangan bidadari dan istri dari
kalangan wanita dunia, jika mereka menginginkanya..” [Majmuu’ Al-Fatawaa jilid
2 pertanyaan no. 177]
[3] Ia wanita muslimah yang
telah menikah, kemudian suaminya meninggal, dan ia tidak menikah lagi sepeninggal
suaminya
Di surga
nanti, ia akan menikah dengan suaminya di dunia. Dalilnya adalah firman Allah
ta’ala:
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ أَنْتُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ تُحْبَرُونَ
“Masuklah
kalian dan istri-istri kalian ke dalam surga dalam keadaan bahagia” [QS.
Az-Zukhruf: 70]
[4] Ia wanita muslimah yang
telah menikah, kemudian suaminya meninggal, dan ia menikah lagi dengan
laki-laki lain
Di surga
nanti, ia akan bersama suaminya yang terakhir menurut pendapat ulama yang lebih
kuat. Dari Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
أيما إمرأة توفي عنها زوجها فتزوجت بعده فهي لآخر أزواجها
“Wanita (istri) manapun yang suaminya
meninggal, kemudian ia menikah lagi sepeninggalnya, maka ia milik suaminya yang
terakhir” [HR. Ath-Thabarani no. 3130, shahih]
Sahabat
Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu pernah berpesan kepada istrinya:
إِن سرَّكِ أَن تَكُونِي زَوْجَتي فِي الْجنَّة ؛
فَلَا تزوَّجي بَعْدي ؛ فَإِن الْمَرْأَة فِي الْجنَّة لآخِرِ أزواجها فِي
الدُّنْيَا ، فَلذَلِك حَرُم عَلَى أزاوج النَّبِي - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم -
أَن ينكحن بعده ؛ لِأَنَّهُنَّ أَزوَاجه فِي الْجنَّة
“Jika engkau
ingin menjadi istriku di surga, janganlah menikah sepeninggalku. Karena di
surga, seorang wanita adalah milik suaminya yang terakhir di dunia. Oleh karena
itu, Allah mengharamkan (kaum mukminin) menikahi istri-istri nabi sepeninggal
beliau, karena mereka adalah istri-istri beliau di surga” [Al-Badrul Munir,
7/457]
Sepeninggal
Abu Ad-Darda’, istri beliau yaitu Ummu Ad-Darda’ dipinang oleh Mu’awiyah
radhiyallahu ‘anhum, namun Ummu Ad-Darda' menolaknya seraya menyebutkan hadits Abu Ad-Darda’
di atas dan berkata:
وما كنت لأختارك على أبي الدرداء
“Aku lebih
memilih Abu Ad-Darda’ darimu” [Mu’jam
Al-Ausath, 3/275]
Pendapat
ulama lain, ia boleh memilih mana yang ia sukai diantara suaminya, adapula
pendapat yang menyatakan ia akan menikah dengan suami yang memiliki akhlak
terbaik di antara mereka.
Allahua’lam,
semoga bermanfaat
Sunday, November 8, 2015
Memahami Hadits Larangan Wanita Melepaskan Pakaian di Luar Rumah
Dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ وَضَعَتْ ثِيَابَهَا فِي
غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا فَقَدْ هَتَكَتْ سِتْرَ مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ
“Wanita
manapun yang melepaskan pakaiannya di luar rumah suaminya, sungguh ia telah
menyingkap penutup antara dirinya dan Allah”
[HR. Abu Daud no. 4010, At-Tirmidzi no. 2803 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2710]
[HR. Abu Daud no. 4010, At-Tirmidzi no. 2803 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2710]
Sepintas
membaca hadits di atas, dipahami bahwa seorang muslimah tidak boleh melepas
pakaiannya di luar rumah secara mutlak, bahkan saat ia berada di
toilet umum sekalipun. Benarkah demikian?
Al-Imam Al-Munawi
rahimahullah berkata:
( وضعت ثيابها في غير بيت زوجها ) كناية عن تكشفها للأجانب ، وعدم تسترها
منهم ،
( فقد هتكت ستر ما بينها وبين الله عز وجل ) لأنه تعالى أنزل لباسا ليوارين به سوأتهن ، وهو لباس التقوى ، وإذا لم يتقين الله ، وكشفن سوأتهن ، هتكن الستر بينهن وبين الله تعالى
( فقد هتكت ستر ما بينها وبين الله عز وجل ) لأنه تعالى أنزل لباسا ليوارين به سوأتهن ، وهو لباس التقوى ، وإذا لم يتقين الله ، وكشفن سوأتهن ، هتكن الستر بينهن وبين الله تعالى
“Melepaskan
pakaiannya di luar rumah suaminya adalah kinayah ketika ia membuka pakaiannya
di hadapan lelaki asing (yang bukan mahram) serta tidak menutup auratnya dari
mereka.
Sungguh ia
telah menyingkap penutup antara dirinya dan Allah ‘azza wajalla, karena Allah
ta’ala menurunkan pakaian untuk menutup aurat mereka yaitu pakaian ketakwaan.
Apabila ia tidak bertakwa kepada Allah, maka ia telah membuka auratnya dan
tersingkaplah penutup antara dirinya dan Allah ta’ala” [Faidhul Qadir, 3/176]
والظاهر أن نزع الثياب عبارة عن تكشفها للأجنبي
لينال منها الجماع أو مقدماته ، بخلاف ما لو نزعت ثيابها بين نساء مع المحافظة على
ستر العورة ، إذ لا وجه لدخولها في هذا الوعيد
“Makna yang
benar dari lafazh “melepaskan pakaian” adalah membuka auratnya diantara lelaki
asing dengan tujuan bersetubuh atau pendahuluan sebelum bersetubuh. Berbeda
ketika ia melepaskan pakaiannya diantara wanita, namun tetap menutup aurat, tidak
ada pendalilan untuk memasukkan keadaan tersebut dalam ancaman hadits ini.”
[Faidhul Qadir, 3/ 189]
Para ulama
Al-Lajnah Ad-Da’imah berkata:
مراده صلى الله عليه وسلم والله أعلم : منعها من
التساهل في كشف ملابسها في غير بيت زوجها على وجه تُرى فيه عورتها ، وتتهم فيه
لقصد فعل الفاحشة ونحو ذلك ، أما خلع ثيابها في محل آمن ، كبيت أهلها ومحارمها
لإبدالها بغيرها ، أو للتنفس ونحو ذلك من المقاصد المباحة البعيدة عن الفتنة- فلا
حرج في ذلك
“Makna yang
dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam -Allahua’lam- adalah larangan bagi
wanita agar tidak bermudah-mudahan melepaskan pakaiannya di luar rumah suaminya
hingga auratnya terlihat atau dengan niat melakukan zina atau dengan tujuan
yang semisal. Adapun melepaskan pakaiannnya di tempat yang aman, seperti di
rumah keluarganya, di rumah mahramnya untuk ganti baju atau untuk keperluan
yang diperbolehkan dan tidak dikhawatirkan terjadi fitnah, hal itu tidak
masalah” [Fatawa Al-Lajnah, 17/ 224]
Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
الأقرب والله أعلم أن المراد بذلك إذا خلعتها
للفاحشة والشر، أو لعدم المبالات حتى يراها الرجال، أما إذا خلعتها لمصلحة في بيت
أخيها أو بيت أبيها أو بيت محرمٍ لها، أو بيت مأمون عند أخواتها في بيت ليس فيه
خطر في تغيير ملابسها، أو للتحمم والاغتسال على وجهٍ ليس فيه إظهار العورة للناس
وليس فيه خطر فالأقرب والله أعلم أنه لا حرج في ذلك
“Makna yang
lebih dekat pada kebenaran –Allahua’lam- adalah ketika wanita tersebut
melepaskan pakaiannya dengan tujuan zina dan melakukan perbuatan keji atau
ketika ia tidak memperhatikan auratnya hingga terlihat oleh lelaki.
Adapun saat
ia melepaskan pakaian di rumah saudara laki-lakinya, di rumah ayahnya, di rumah
mahramnya, di rumah saudara perempuannya maupun di rumah yang aman untuk
berganti pakaian atau untuk keperluan mandi dan buang air dengan tetap menjaga
auratnya dari pandangan manusia, serta tidak khawatir terjadi fitnah, hal itu
tidak masalah Allahua’lam.” [http://www.ibnbaz.org.sa/mat/10932]
Asy-Syaikh
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:
فقد بلغني أن بعض المتنطعات من النساء يمتنعن من
وضع الخمارأمام المسلمات في غير بيتها ، فكنت أنكر ذلك ؛ لمخالفته رخصة الله لهن
في مثل قوله تعالى : {وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آَبَائِهِنَّ ... } الآية ، إلى أن قال :
{أَوْ نِسَائِهِنَّ} ، فكنت أتساءل عن سبب ذاك التشدد ؟! حتى وجدت هذا الحديث
{أَوْ نِسَائِهِنَّ} ، فكنت أتساءل عن سبب ذاك التشدد ؟! حتى وجدت هذا الحديث
“Sungguh
telah sampai berita kepadaku bahwa sebagian wanita yang ghuluw dalam beragama,
ia tidak mau membuka kerudungnya di depan wanita-wanita muslimah di luar rumahnya.
Aku pun mengingkarinya, karena hal itu menyelisihi rukhshah (keringangan) yang
Allah berikan kepada mereka, seperti firman Allah ta’ala:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ ...
“Janganlah
mereka (wanita muslimah) menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami-suaminya
atau ayahnya…” hingga firman Allah “…dan wanita-wanita dari kalangan
mereka (muslimah)”
Aku pun
bertanya-tanya tentang penyebab sikap ekstrim ini, hingga aku menemukan hadits
tersebut…” [Silsilah Adh-Dhaifah no. 2616]
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
هذا إن صح فالمراد أن المرأة تضع ثيابها في حال
يخشى أن يطلع عليها من لا يحل له الاطلاع عليها
“Jika hadits
ini shahih, maknanya adalah wanita yang melepaskan pakaiannya saat
dikhawatirkan auratnya terlihat oleh orang-orang yang tidak halal melihatnya”
[Fatawa Nur ‘ala Darb no. 9460]
Allahua’lam,
semoga bermanfaat
Subscribe to:
Posts (Atom)