Saat membaca
sebuah status di forum share faidah ilmu BBG As-Sunnah, muncul keganjalan di
hati saya. Di sana terdapat pertanyaan fiqih seputar masalah nafaqah yang
dijawab oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi hafizhahullah, berikut redaksi
pertanyaannya:
“MENAFKAHI IBU ATAU ISTRI
Tanya:
Apabila seorang laki-laki telah menikah,kepada siapakah nafkah dan
tanggungjawabnya yang lebih utama, istri
ataukah ibunya?
Jawab:
Seorang
anak lelaki yang menikah tentu tanggung jawabnya kepada istrinya, kecuali bila
tak ada lagi yang bertanggung jawab kepada kebutuhan ibunya, maka sang ibu
menjadi tanggung jawab anaknya. Bila kebutuhan ibu yang demikian berbenturan
dengan kebutuhan istri, maka dia lebih mengedepankan kebutuhan ibunya, karena
hak ibunya yang besar terhadap dirinya, bahkan hal itu sampai diulangi Rasul
shallallahu 'alaihi wasallam sebanyak tiga kali, sebagaimana dalam hadits Abu
Hurairah radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim. Wallahu a'lam bish shawab. (Ustadz
Abdul Mu'thi)” [Disalin dari forum
BBG As-Sunnah di sini]
Dalam artikel ini, saya
berusaha meluruskan jawaban dari Al-Ustadz hafizhahullah yang saya pandang
keliru, karena diantara kewajiban seorang muslim adalah menyampaikan nasehat
kepada saudaranya. Hal ini bukan dalam rangka membuka aib seorang muslim atau ingin
merendahkan kehormatannya, namun sebagai pengamalan terhadap firman Allah ta’ala
dan hadits Rasulullah berikut:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukminin” [QS. Adz-Dzariyat:]
Dari Abu Ruqayyah Tamim
Ad-Dariy radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Agama
adalah nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa wahai Rasulullah?”. Rasulullah
menjawab:
لله, و
لكتابه, و لرسوله, و لأئمة المسلمين, و عامتهم
“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum”. [HR. Muslim]
Semoga tulisan ini
tidak disalah-pahami sebagai bentuk pelecehan dan mengumbar aib seorang ustadz.
Sebab para ulama telah menjelaskan dalam berbagai fatwanya, cara meluruskan kesalahan
yang telah tersebar adalah menyampaikannya di khalayak, agar kaum muslimin yang
terlanjur salah paham mendapatkan pencerahan dan rujuk kepada kebenaran.
Berbeda ketika kesalahan tersebut belum tersebar, mungkin nasehat itu cukup disampaikan secara pribadi.
Diantara adab yang juga
tidak boleh dilupakan saat meluruskan kesalahan seorang yang berilmu adalah tidak
menggunakan kata-kata kasar, membongkar aib, bernada merendahkan, dan
seterusnya, karena diantara hak seorang yang berilmu adalah dimuliakan dan
dihormati atas jerih payahnya dalam berdakwah menyeru manusia kembali kepada Allah subhanahu
wata’ala.
Barangkali kesalahannya
yang sedikit hanyut dalam kebaikan-kebaikannya yang banyak. Tidak ada seorang
pun yang luput dari kesalahan, dan sebaik-baik manusia adalah yang bertaubat
dari kesalahannya.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
mengingatkan para penuntut ilmu tentang hal ini:
وقد شاع في هذا العصر أن كثيرا من
المنتسبين إلى العلم والدعوة إلى الخير يقعون في أعراض كثير من إخوانهم الدعاة
المشهورين , ويتكلمون في أعراض طلبة العلم والدعاة والمحاضرين . يفعلون ذلك سرا في
مجالسهم . وربما سجلوه في أشرطة تنشر على الناس , وقد يفعلونه علانية في محاضرات
عامة في المساجد , وهذا المسلك مخالف لما أمر الله به ورسوله من جهات عديدة
“Telah tersebar di masa ini, banyak orang yang menyandarkan
dirinya kepada ilmu dan dakwah kepada kebaikan, mereka menodai kehormatan banyak saudara
mereka para da’i yang dikenal (mendakwahkan manhaj salaf). Mereka berbicara untuk menjatuhkan kehormatan para penuntut ilmu, para da’i dan para
penceramah. Mereka melakukan
itu secara sembunyi-sembunyi di majelis-majelis
mereka, terkadang merekamnya dan menyebarkannya di khalayak.
Terkadang mereka juga melakukannya terang-terangan dalam ceramah umum di
masjid-masjid. Ini merupakan metode yang menyelisihi perintah Allah ta’ala dan
Rasul-Nya dari banyak sisi.” [Uslub An-Naqd baina Du’at
wa Ta’qib]
Kembali ke point permasalahan, disebutkan di atas ada seorang penanya yang bertanya
tentang kondisi seorang laki-laki yang telah menikah, nafkah siapakah yang lebih didahulukan, istri atau ibu? Kemudian
Al-Ustadz hafizhahullah menjawab hak ibu lebih besar dari hak istri, sehingga
nafkah kepada ibu lebih didahulukan daripada nafkah kepada istri, demikian
jawaban beliau secara makna.
Saya memiliki beberapa
catatan atas pernyataan Al-Ustadz:
Pertama, memang benar bahwa seorang ibu memiliki hak yang
besar atas anaknya, dimana sang anak juga berkewajiban
menanggung nafkah kedua orang tuanya terkhusus ibu.
Allah ta’ala berfirman:
وقضى
ربك ألا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا
“Rabb-mu telah mewasiatkan (mewajibkan) agar kalian jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan agar berbuat baik (ihsan) kepada kedua orang tua” [QS. Al-Isra’: 23]
Diantara perbuatan
ihsan adalah memberikan nafkah kepada
keduanya di saat mereka membutuhkan, apalagi di saat tidak ada orang lain yang
bertanggung jawab menafkahi mereka selain anaknya.
Allah ta’ala juga
berfirman:
وصاحبهما
في الدنيا معروفا
“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang ma’ruf” [QS. Luqman: 15]
Juga diantara perbuatan
yang ma’ruf kepada orang tua adalah mencukupi kebutuhan mereka. Al-Imam Ibnul
Mundzir rahimahullah menukilkan ijma’ tentang kewajiban anak untuk menafkahi
orang tuanya apabila tidak ada orang lain yang dapat menafkahi mereka
Imam Ibnul Mundzir
rahimahullah berkata:
وأجمعوا
على أن نفقة الوالدين اللذين لا كسب لهما ولا مال واجبة في مال الولد
“Para ulama telah bersepakat bahwa nafkah untuk kedua orang tua yang tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki harta adalah wajib dari harta anaknya” [Al-Mughni, 11/373]
Namun nafkah anak untuk
kedua orang tuanya dihukumi wajib apabila memenuhi tiga syarat, sebagaimana
yang dijelaskan oleh fuqaha’:
Syarat pertama: kedua orang tuanya faqir (miskin), tidak memiliki harta
maupun penghasilan.
Apabila orang tuanya
berkecukupan atau memiliki penghasilan sendiri, maka tidak ada kewajiban nafkah
atas anaknya[1],
karena pada asalnya nafkah kepada orang tua termasuk dalam bab ihsan (berbuat
baik), apabila tidak dibutuhkan, maka hukumnya tidak wajib.
Hanya saja para ulama
berselisih tentang kondisi orang tua faqir yang wajib dinafkahi, apakah
disyaratkan keduanya tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan ? Al-Malikiyyah
dan Al-Hanabilah mempersyaratkan keduanya tidak mampu bekerja dan tidak berpenghasilan,
sementara Al-Hanafiyyah dan Asy-Syafi’iyyah tidak mempersyaratkannya, karena seorang
anak yang mengharuskan orang tua yang telah tua renta untuk berkerja mencari
nafkah dalam keadaan dirinya berkecukupan, tidak mencerminkan sifat seorang
anak yang berbakti.[2]
Syarat kedua: kondisi anak yang berkecukupan, syarat ini telah disepakati
oleh fuqaha’.
Apabila kondisi ekonomi
sang anak tidak mampu, ia tidak wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya.
Syarat ketiga: sang anak memiliki harta yang berlebih setelah
mencukupi kebutuhan dirinya, anak dan istrinya.
Apabila harta sang anak
hanya cukup sebatas kebutuhan dirinya, anak dan istrinya, maka sang anak tidak
berkewajiban menafkahi orang tuanya. Point ketiga ini dipersyaratkan oleh
Al-Hanafiyyah, Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah.[3]
Kedua, ketika berbenturan antara nafkah untuk orang tua
(ayah ibu) dan nafkah untuk istri, nafkah siapakah yang lebih didahulukan?
Al-Ustadz menjelaskan
bahwa nafkah untuk ibu lebih didahulukan dari istri, karena hak ibu yang lebih
besar bagi sang suami, kemudian Al-Ustadz menyebutkan sebuah hadits nabi secara
makna. Namun pendalilan ini keliru, Allahua'lam.
Berkenaan dengan permasalahan ini, terdapat nash hadits yang lebih jelas untuk
menjawab pertanyaan penanya.
Dari Jabir radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ
فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ
أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ
“Mulailah dari dirimu, infakkanlah untuk dirimu, jika masih tersisa sesuatu maka untuk keluargamu, jika untuk keluargamu masih tersisa, maka untuk kerabat-kerabatmu” [HR. Muslim no. 997]
Juga disebutkan dalam
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Berinfaklah”. Seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah
aku memiliki satu dinar”. Rasulullah berkata: “Infakkanlah untuk dirimu”,
Laki-laki itu berkata: “Aku masih memiliki yang lain”.
Rasulullah berkata:
Infakkanlah sisanya untuk istrimu”. Laki-laki itu berkata: “Aku masih memiliki
yang lain”. Rasulullah berkata: “Infakkanlah sisanya untuk anakmu”. Laki-laki
itu menimpali: “Aku masih memiliki yang lain”. Rasulullah berkata: “Infakkanlah
untuk pembantumu”. Laki-laki itu berkata: “Aku masih memiliki yang lain”.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alai wasallam berkata:
أَنْتَ أَبْصَرُ
“Engkau yang lebih tau” [HR. Abu Daud no. 1681 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 895]
Sejenak kita membaca
penjelasan para ulama dalam memahami hadits-hadits di atas. Imam Al-Khaththabi
rahimahullah berkata:
هَذَا التَّرْتِيب إِذَا
تَأَمَّلْته عَلِمْت أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَآله وَسَلَّمَ قَدَّمَ
الْأَوْلَى فَالْأَوْلَى وَالْأَقْرَب فَالْأَقْرَب
“Apabila engkau memperhatikan urutan ini, engkau akan mengetahui bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendahulukan orang yang lebih berhak dan yang lebih berhak setelahnya (dalam infak), demikian pula beliau mendahulukan orang yang lebih dekat dan yang lebih dekat” [‘Aunul Ma’bud, 5/67]
Imam Al-Muhallab
rahimahullah berkata:
النَّفَقَة عَلَى
الْأَهْل وَاجِبَة بِالْإِجْمَاعِ , وَإِنَّمَا سَمَّاهَا الشَّارِع صَدَقَة
خَشْيَة أَنْ يَظُنُّوا أَنَّ قِيَامهمْ بِالْوَاجِبِ لَا أَجْر لَهُمْ فِيهِ ,
وَقَدْ عَرَفُوا مَا فِي الصَّدَقَة مِنْ الْأَجْر فَعَرَّفَهُمْ أَنَّهَا لَهُمْ
صَدَقَة , حَتَّى لَا يُخْرِجُوهَا إِلَى غَيْر الْأَهْل إِلَّا بَعْد أَنْ
يَكْفُوهُمْ ; تَرْغِيبًا لَهُمْ فِي تَقْدِيم الصَّدَقَة الْوَاجِبَة قَبْل
صَدَقَة التَّطَوُّع
“Nafkah kepada keluarga adalah wajib berdasarkan ijma’. Pembuat syariat menamakan nafkah dengan istilah sedekah karena dikhawatirkan manusia akan menyangka bahwa menunaikan nafkah yang wajib tidak ada pahalanya bagi mereka. Sungguh mereka telah mengetahui bahwa bersedekah mendatangkan pahala, demikian pula nafkah yang mereka keluarkan akan bernilai sedekah, agar mereka tidak mengeluarkan hartanya kepada selain keluarga, kecuali setelah kebutuhan keluarganya tercukupi. Juga sebagai motivasi bagi mereka agar mendahulukan sedekah yang wajib dari sedekah yang sunah” [Fathul Bari, 9/623]
Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata:
إذا اجتمع على الشخص الواحد محتاجون ممن تلزمه نفقتهم ، نظرَ: إن وفَّى
ماله أو كسبه بنفقتهم فعليه نفقة الجميع قريبهم وبعيدهم .وإن لم يفضل
عن كفاية نفسه إلا نفقة واحد ، قدَّم نفقة الزوجة على نفقة الأقارب ...لأن نفقتها
آكد ، فإنها لا تسقط بمضي الزمان ، ولا بالإعسار
“Apabila terkumpul pada satu orang kewajiban menafkahi orang-orang
yang memang menjadi tanggungannya, maka dilihat, jika harta dan penghasilannya
cukup untuk menafkahi mereka seluruhnya, maka ia wajib menafkahi mereka, baik
kerabat yang dekat maupun kerabat yang jauh. Apabila (hartanya) cukup untuk menafkahi
dirinya dan tersisa hanya untuk nafkah satu orang, maka ia lebih mendahulukan
nafkah istri dari nafkah kerabatnya.. Nafkah untuk istri lebih ditekankan
karena kewajiban menafkahi istri tidak gugur dengan berlalunya waktu, juga
tidak gugur dalam kondisi sulit sekalipun” [Raudhatut Thalibin, 9/93]
Imam Al-Mardawi rahimahullah
berkata:
الصَّحِيحُ مِنْ
الْمَذْهَبِ : وُجُوبُ نَفَقَةِ أَبَوَيْهِ وَإِنْ عَلَوَا ، وَأَوْلَادِهِ وَإِنْ
سَفَلُوا بِالْمَعْرُوفِ ...إذَا فَضَلَ عَنْ نَفْسِهِ وَامْرَأَتِهِ
“Yang benar dalam madzhab (Hambali), wajibnya menafkahi kedua orang tuanya dan kakek-neneknya ke atas, demikian pula wajib menafkahi anak-anaknya dan cucu-cucunya sampai ke bawah dengan cara yang ma’ruf… apabila nafkah untuk dirinya dan istrinya masih tersisa” [Al-Inshaf, 9/392]
Imam Asy-Syaukani rahimahullah
berkata:
وقد انعقد الإجماع على
وجوب نفقة الزوجة ، ثم إذا فضل عن ذلك شيء فعلى ذوي قرابته
“Telah terjadi ijma’ tentang kewajiban menafkahi istri, kemudian apabila hartanya masih tersisa, maka diberikan kepada kerabatnya” [Nailul Authar, 6/381]
Point permasalahan yang
diperselisihkan ulama hanyalah tentang nafkah untuk istri dan anak, mana yang
lebih didahulukan?
Asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah berkata:
فالصواب أنه يبدأ بنفسه
، ثم بالزوجة ، ثم بالولد ، ثم بالوالدين ، ثم بقية الأقارب
“Yang benar, ia mulai dari dirinya, kemudian istri, kemudian anak, kemudian orang tua, kemudian kerabatnya yang tersisa” [Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 5/194]
Demikian ulasan ringkas
yang bisa dituliskan, semoga bermanfaat bagi penulis dan para pembaca,
sekaligus sebagai masukan untuk Al-Ustadz hafizhahullah.
Allahua’lam,
wabillahittaufiq
No comments:
Post a Comment