Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ
يَخْطُبُ قَائِمًا
“bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan khutbah dalam keadaan berdiri…” [HR.
Al-Bukhari no. 936 dan Muslim no. 863]
Ibnu Rajab
rahimahullah berkata: “Para ulama berselisih tentang khutbah dalam keadaan
duduk, sebagian ulama berpendapat tidak sah. Ini merupakan pendapat
Asy-Syafi’i, dihikayatkan salah satu riwayat dari Malik dan Ahmad…Kebanyakan
ulama berpendapat khutbah sah-sah saja dilakukan dengan duduk, meskipun khatib
mampu berdiri, namun hukumnya makruh. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah,
Malik, pendapat yang masyhur dari Ahmad dan para ulama Hanabilah, serta Ishaq“
Ibnu Abdil
Barr rahimahullah berkata: “Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa khutbah
harus dilakukan dalam keadaan berdiri bagi siapa yang mampu berdiri”
Ibnu Rajab
mengomentari perkataan Ibnu Abdil Barr di atas, “Barangkali kesepakatan (ijma’)
yang dimaksud oleh beliau adalah ijma’ ulama tentang lebih utamanya khutbah
dalam keadaan berdiri”[Fathul Bari, 5/474]
[2] Duduk
diantara Dua Khutbah
Asy-Syafi’i
dan para ulama Syafi’iyyah berpendapat duduk diantara dua khutbah hukumnya wajib,
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya. Beliau
senantiasa duduk diantara dua khutbah, tidak ada nukilan lain selain perbuatan
ini dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sunah,
karena perbuatan nabi (mujarrad fi’il)
saja tidak cukup untuk diambil hukum wajib, harus ada perintah dalam ucapan.
Allahua’lam [Al-Majmuu’,4/515]
[3] Apakah
Khutbah Termasuk Syarat Sah Shalat Jum’at?
Jumhur
ulama berpendapat bahwa khutbah Jum’at termasuk syarat sah shalat Jum’at.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْع
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila
kalian diseru untuk menunaikan shalat
Jum’at, maka bersegeralah kepada dzikrullah dan tinggalkan jual-beli”
[QS. Al-Jumu’ah: 9]
Khutbah
Jum’at adalah dzikrullah yang dimaksud dalam ayat di atas, karena berisi
ayat-ayat Al-Qur’an, shalawat nabi dan untaian nasehat. Lafadz “bersegeralah” dalam ayat di atas
adalah perintah, sedangkan perintah dalam syariat pada asalnya bermakna wajib.
Demikian pula Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya
seumur hidup beliau, hal ini lebih menguatkan disyaratkannya khutbah Jum’at.
[4]
Membaca Tahmid, Shalawat Nabi, Ayat Al-Qur’an dan Menyampaikan Nasehat Dalam
Khutbah
Syafi’iyyah[1] dan
Hanabilah[2]
berpendapat bahwa keempatnya merupakan rukun khutbah, sedangkan Malikiyyah[3] dan
Hanafiyyah[4]
berpendapat sunah saja. Pendapat sunah inilah yang dikuatkan oleh Ibnu
Taimiyyah[5], Ibnu
Hazm[6], Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani,
As-Sa’di dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah.
[5]
Perkataan Khatib “Amma Ba’du” Setelah Membaca Tahmid dan Shalawat Nabi di
Pembukaan Khutbah
Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata:
وَيَقُولُ: "أَمَّا بَعْدُ, فَإِنَّ خَيْرَ
اَلْحَدِيثِ كِتَابُ اَللَّهِ, وَخَيْرَ اَلْهَدْيِ هَدْي مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ
اَلْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَة
“Nabi
mengatakan (saat berkhutbah –pen): amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan
adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.
Seburuk-buruk perkara adalah perkara
yang diada-adakan (bid’ah), dan setiap bid’ah adalah sesat” [HR. Muslim]
Al-Imam
Al-Bukhari rahimahullah membuat bab dalam kitab Shahih-nya:
باب من قال في الخطبة بعد الثناء: أما بعد
“Bab
Seorang Mengucapkan Amma Ba’du dalam Khutbah setelah Memuji (Allah)”
Ibnu Rajab
rahimahullah menjelaskan tentang adab-adab khutbah dalam ucapannya: “Kemudian
memisahkan antara tahmid, pujian dan perkataan setelahnya dengan ucapan amma
ba’du sebagai syiar bahwa seluruh permasalahan ini (materi khutbah –pen),
meskipun begitu mulia dan agung, tetaplah harus diletakkan setelah tahmid dan
pujian kepada Allah. Inilah tujuan dari ucapan ini, seluruh permasalahan
penting dalam urusan agama dan dunia disampaikan setelah tahmid.” [Fathul
Bari, 5/484]
[6] Mengangkat
Suara Saat Menyampaikan Khutbah
Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا
خَطَبَ, احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ, وَعَلَا صَوْتُهُ, وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ, حَتَّى
كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْش
“Apabila Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah kedua matanya memerah, suaranya
meninggi, bertambah kemarahannya, seakan-akan beliau sedang memberikan
peringatan kepada pasukan perang…” [HR. Muslim]
Ibnu
Qudamah rahimahullah berkata: “Disunahkan untuk mengangkat suaranya agar dapat
didengar oleh manusia” [Al-Mughniy, 3/178].
[7]
Apakah Khatib Harus dalam Keadaan Suci Saat Menyampaikan Khutbah?
Pendapat
Asy-Syafi’i fil jadiid dan salah satu riwayat dari Ahmad menyatakan
disyaratkannya suci. Sedangkan
Asy-Syafi’i fil qadiim, riwayat yang masyhur dari Ahmad, Malik, Abu Hanifah dan Dawud berpendapat bukan syarat, karena ketiadaan dalil yang mewajibkannya. [Al-Mughniy,
3/177 dan Al-Majmuu’, 4/515]
[8]
Khatib Duduk Saat Adzan Dikumandangkan
Jabir bin
Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ
يَخْطُبُ قَائِمًا, ثُمَّ يَجْلِسُ, ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا
“bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dalam keadaan berdiri, kemudian duduk,
kemudian berdiri, kemudian beliau berkhutbah dengan berdiri…” [HR. Muslim no.
862]
Ibnu Rajab
rahimahullah berkata: “Duduknya imam pada hari Jum’at saat ia naik di atas
mimbar hingga muadzin menyelesaikan adzannya termasuk sunah, umat Islam telah
menerimanya dan mengamalkannya dari masa ke masa sebagai warisan dari salaf.
Tidak ada perselsihan diantara ulama bahwa hal itu tidak wajib”
[9] Mempersingkat
Khutbah dan Memanjangkan Shalat
Ammar bin
Yasir radhiyallahu ‘anhuma berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ طُولَ صَلَاةِ اَلرَّجُلِ, وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ
مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ
“Sesungguhnya
panjang shalat seseorang dan khutbahnya yang singkat merupakan tanda dari
pemahaman agamanya yang benar” [HR. Muslim no. 869]
An-Nawawi
rahimahullah berkata: “Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits lain
yang memeritahkan untuk meringankan shalat, karena yang dimaksud dalam hadits
ini adalah shalat itu terhitung panjang apabila dibandingkan dengan khutbah.
Bukanlah yang dimaksud dalam hadits adalah memperpanjang shalat hingga memberatkan
makmum” [Syarh Shahih Muslim hadits no. 869]
Ibnu
Qudamah rahimahullah berkata: “Disunahkan memperpendek khutbah sebagaimana
diriwayatkan dari Ammar…” [Al-Mughniy, 3/179]
Panjang dan
pendek yang dimaksud di sini adalah pertengahan, tidak terlalu panjang, tidak
pula terlalu pendek. Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata:
كنت أصلي مع النبي فكانت صلاته قصدا وختبته قصدا
“Aku
pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, shalat beliau
pertengahan dan khutbah beliau juga pertengahan” [HR. Muslim no. 866]
[10]
Apabila Khatib membaca ayat Sajdah saat khutbah, apakah disyariatkan untuk
turun dari mimbar kemudian sujud tilawah?
Malik tidak
memperbolehkannya, karena sujud tilawah hanyalah sunah, sedangkan khutbah
Jum’at wajib. Tidak sepantasnya hal yang sunah menyibukkan dari sesuatu yang
wajib. Sementara jumhur ulama berpendapat tetap disyariatkannnya sujud tilawah
saat khutbah[7].
Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu:
أن النبي قرأ على المنبر يوم الجمعة سورة ص فلما جاء السجدة نزل فسجد وسجد
الناس معه
“bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membaca surat Shad di atas mimbar pada
hari Jum’at, ketika telah sampai ayat sajdah, beliau turun dan sujud, kemudian
manusia sujud bersama beliau” [HR. Abu Daud no. 1410 dan dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i dalam Ash-Shahih Al-Musnad no. 417]
[11]
Hukum Berbicara Saat Khutbah Berlangsung
Hukumnya
haram menurut pendapat Ahmad, Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i fil qadiim,
Al-Auza’i, Atha’, Mujahid, dan lainnya. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ: أَنْصِتْ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ
وَالْإِمَامِ يَخْطُبُ, فَقَدْ لَغَوْت
“Apabila
engkau berkata kepada temanmu “diamlah” pada hari Jum’at saat imam sedang
berkhutbah, sungguh engkau telah berbuat sia-sia.” [HR. Al-Bukhari no. 935 dan
Muslim no. 851]
Dalam
riwayat lain disebutkan dengan lafazh:
وَاَلَّذِي يَقُولُ لَهُ: أَنْصِتْ, لَيْسَتْ لَهُ
جُمُعَة
“Seorang
yang mengatakan “diam” kepada yang lain, tidak ada jum’at baginya” [HR. Ahmad
dan dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram no. 454]
[12]
Kapankah Makmum Wajib Diam?
Jumhur
ulama berpendapat bahwa kewajiban diam bagi makmum dimulai saat Khatib
menyampaikan Khutbah sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Umar bin Al-Khathab
radhiyallahu ‘anhu, dikuatkan pula dengan riwayat hadits Abu Hurairah di atas.
Sementara Al-Hakam dan Abu Hanifah berpendapat makmum wajib diam semenjak
khatib telah keluar. [Fathul Bari, 5/501]
[13]
Jika berbicara saat khutbah haram, apakah boleh
berisyarat kepada yang lain jika ada keperluan?
Ibnu Rajab
rahimahullah berkata: “Tidak ada perselisihan diantara ulama tentang kebolehan
berisyarat, kecuali apa yang dihikayatkan dari Thawus, ia memakruhkannya. Namun
pendapat itu keliru, karena isyarat saat shalat saja diperbolehkan, maka
isyarat saat khutbah lebih layak untuk diperbolehkan” [Fathul Bari,
5/496]
[14] Apabila khatib menyebut nama Rasulullah saat khutbah, apakah makmum boleh
mendoakan shalawat (membaca shallallahu ‘alaihi wasallam)?
Para ulama
memiliki dua pendapat dalam permasalahan ini:
Pertama, boleh membaca shalawat nabi. Ini
merupakan pendapat Malik, Ahmad, Ishaq dan Abu Yusuf. Mereka berdalil dengan
keumuman hadits:
البخيل من ذكرت عنده ولم يصلي علي
“Seorang
yang bakhil adalah orang yang disebutkan namaku, namun ia tidak bershalawat
padaku” [HR. At-Tirmidzi no. 3546, hasan]
Pendapat
ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah[8]
Kedua, tetap diam mendengarkan khutbah
tanpa bershalawat kepada nabi. Ini merupakan pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Abu
Hanifah, Muhammad bin Al-Hasan, Al-Laits, Malik dalam salah satu riwayat dan
Asy-Syafi’i.[9]
Mereka berdalil dengan keumuman hadits larangan berbicara saat khutbah.
Saya
pribadi lebih condong kepada pendapat kedua. Alasan saya, seandainya ada yang
membuat kegaduhan di masjid, bolehkah kita menegurnya dengan mengatakan
“diamlah” saat khutbah berlangsung? Tentu jawabnya tidak boleh, sebagaimana hal
itu dilarang dalam nash hadits.
Bukankah
ucapan tersebut termasuk dalam keumuman perintah amar ma’ruf nahi munkar?
Alasan itu saja tidak cukup, ucapan “diamlah” tetaplah dilarang, bahkan
meskipun ucapan tersebut hanya terdiri dari satu kata. Allahua’lam. Pendapat
ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah.
[15] Seorang
yang sengaja berbicara saat khutbah, apakah ia shalat Jum’at atau shalat Zhuhur?
Ishaq bin
Rahawaih rahimahullah berkata: “Ia dikhawatirkan tidak mendapatkan pahala
Jum’at”. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata: “ia memohon ampun kepada Allah (istighfar),
kemudian shalat (Jum’at)”. Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Tidak ada seorang
ulama pun yang menyelisihi pendapat tersebut yaitu ia tetap shalat Jum’at,
bukan shalat Zhuhur” [Fathul Bari, 5/500]
[16]
Seorang yang tidak dapat mendengarkan khutbah karena tuli, jauh dari khatib
atau alasan yang lain, apa yang harus ia lakukan?
Para ulama
memiliki tiga pendapat dalam permasalahan ini:
Pertama, ia berdzikir dan membaca Al-Qur’an
sendiri. Ini merupakan pendapat Alqamah, Atha’, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i,
Asy-Syafi’i, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad dan Ishaq.
Kedua, ia wajib diam, tidak boleh
berbicara. Ini merupakan pendapat Az-Zuhri, Al-Auza’i, Malik dan Abu Hanifah.
Ketiga, ia tidak wajib diam, boleh
berbicara. Ini merupakan pendapat Urwah bin Az-Zubair, sebagian Syafi’iyyah dan
Al-Qadhi Abu Ya’la.
Kesimpulannya,
silahkan ia berdzikir atau membaca Al-Qur’an secara perlahan, tanpa mengganggu
yang lain, karena kewajiban diam hanyalah bagi orang yang dapat mendengarkan
khutbah. Jika ia diam, hal itu pun baik. Allahua’lam.
[17]
Bolehkah menjawab orang bersin dan menjawab salam saat khutbah berlangsung?
Permasalahan
ini hampir sama dengan pembahasan menjawab shalawat nabi pada point no. 14.
Pendapat ulama yang lebih kuat adalah tidak perlu menjawab orang bersin maupun
menjawab salam berdasarkan keumuman larangan berbicara saat khutbah. Ini
merupakan pendapat Atha’, Malik, Al-Auza’i, Ahmad dalam satu riwayat dan
sebagian Syafi’iyyah. Allahua’lam
[18]
Bolehkah Shalat Tahiyyatul Masjid saat khutbah berlangsung?
Jabir
radhiyallahu’anhu berkata:
دَخَلَ رَجُلٌ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ, وَالنَّبِيُّ - صلى
الله عليه وسلم - يَخْطُبُ . فَقَالَ: "صَلَّيْتَ?" قَالَ: لَا. قَالَ:
"قُمْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْن
“Seorang
laki-laki masuk masjid pada hari Jum’at dalam keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam sedang berkhutbah, Nabi bertanya: “Apakah engkau sudah shalat
(tahiyyatul masjid –pen)?”. Ia menjawab: “belum”. Nabi berkata: “Bangun dan
shalatlah dua raka’at”. [HR. Al-Bukhari no. 931 dan Muslim no. 875]
[19] Apakah Khatib disyariatkan shalat Tahiyyatul Masjid sebelum berkhutbah?
Tidak
disyariatkan, karena demikianlah yang diamalkan oleh Nabi dan Al-Khulafa
Ar-Rasyidin. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam masuk masjid kemudian langsung
naik mimbar menyampaikan khutbah. Pendapat yang menyatakan disunahkan shalat
tahiyyatul masjid adalah pendapat yang lemah.
An-Nawawi
rahimahullah mengingkari pendapat tersebut dengan menyatakan: “ghariib, syadz,
tertolak” [Raudhah Ath-Thalibin, 2/33]
[20]
Khatib Disunahkan Sekaligus Menjadi Imam Shalat
Ini
merupakan pendapat Ahmad, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i dan Sufyan Ats-Tsauri.
Dalilnya adalah lafazh dalam riwayat hadits [وَالْإِمَامِ يَخْطُبُ]. Hal ini menunjukkan bahwa
yang bertindak sebagai imam adalah orang yang menyampaikan khutbah.
Allahua’lam,
semoga bermanfaat.
Sumber:
Fathul ‘Allam, 2/128-143
Ditulis
oleh Abul-Harits di Madinah, 5 Rabi’ul Awwal 1436
No comments:
Post a Comment