Saturday, December 27, 2014

20 Permasalahan Seputar Khutbah Jum’at

[1] Apakah Khatib Wajib Berdiri Ketika Berkhutbah?

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata:

أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا

“bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan khutbah dalam keadaan berdiri…” [HR. Al-Bukhari no. 936 dan Muslim no. 863]

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Para ulama berselisih tentang khutbah dalam keadaan duduk, sebagian ulama berpendapat tidak sah. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, dihikayatkan salah satu riwayat dari Malik dan Ahmad…Kebanyakan ulama berpendapat khutbah sah-sah saja dilakukan dengan duduk, meskipun khatib mampu berdiri, namun hukumnya makruh. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, pendapat yang masyhur dari Ahmad dan para ulama Hanabilah, serta Ishaq“

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: “Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa khutbah harus dilakukan dalam keadaan berdiri bagi siapa yang mampu berdiri”

Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Abdil Barr di atas, “Barangkali kesepakatan (ijma’) yang dimaksud oleh beliau adalah ijma’ ulama tentang lebih utamanya khutbah dalam keadaan berdiri”[Fathul Bari, 5/474]

[2] Duduk diantara Dua Khutbah

Asy-Syafi’i dan para ulama Syafi’iyyah berpendapat duduk diantara dua khutbah hukumnya wajib, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya. Beliau senantiasa duduk diantara dua khutbah, tidak ada nukilan lain selain perbuatan ini dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sunah, karena  perbuatan nabi (mujarrad fi’il) saja tidak cukup untuk diambil hukum wajib, harus ada perintah dalam ucapan. Allahua’lam [Al-Majmuu’,4/515]

[3] Apakah Khutbah Termasuk Syarat Sah Shalat Jum’at?

Jumhur ulama berpendapat bahwa khutbah Jum’at termasuk syarat sah shalat Jum’at. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْع

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat  Jum’at, maka bersegeralah kepada dzikrullah dan tinggalkan jual-beli” [QS. Al-Jumu’ah: 9]

Khutbah Jum’at adalah dzikrullah yang dimaksud dalam ayat di atas, karena berisi ayat-ayat Al-Qur’an, shalawat nabi dan untaian nasehat. Lafadz “bersegeralah” dalam ayat di atas adalah perintah, sedangkan perintah dalam syariat pada asalnya bermakna wajib. Demikian pula Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya seumur hidup beliau, hal ini lebih menguatkan disyaratkannya khutbah Jum’at.

[4] Membaca Tahmid, Shalawat Nabi, Ayat Al-Qur’an dan Menyampaikan Nasehat Dalam Khutbah

Syafi’iyyah[1] dan Hanabilah[2] berpendapat bahwa keempatnya merupakan rukun khutbah, sedangkan Malikiyyah[3] dan Hanafiyyah[4] berpendapat sunah saja. Pendapat sunah inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah[5], Ibnu Hazm[6], Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, As-Sa’di dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah.

[5] Perkataan Khatib “Amma Ba’du” Setelah Membaca Tahmid dan Shalawat Nabi di Pembukaan Khutbah

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata:

وَيَقُولُ: "أَمَّا بَعْدُ, فَإِنَّ خَيْرَ اَلْحَدِيثِ كِتَابُ اَللَّهِ, وَخَيْرَ اَلْهَدْيِ هَدْي مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ اَلْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَة

“Nabi mengatakan (saat berkhutbah –pen): amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara  adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah), dan setiap bid’ah adalah sesat” [HR. Muslim]

Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah membuat bab dalam kitab Shahih-nya:

باب من قال في الخطبة بعد الثناء: أما بعد

“Bab Seorang Mengucapkan Amma Ba’du dalam Khutbah setelah Memuji (Allah)”

Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan tentang adab-adab khutbah dalam ucapannya: “Kemudian memisahkan antara tahmid, pujian dan perkataan setelahnya dengan ucapan amma ba’du sebagai syiar bahwa seluruh permasalahan ini (materi khutbah –pen), meskipun begitu mulia dan agung, tetaplah harus diletakkan setelah tahmid dan pujian kepada Allah. Inilah tujuan dari ucapan ini, seluruh permasalahan penting dalam urusan agama dan dunia disampaikan setelah tahmid.” [Fathul Bari, 5/484]

[6] Mengangkat Suara Saat Menyampaikan Khutbah

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا خَطَبَ, احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ, وَعَلَا صَوْتُهُ, وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ, حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْش

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah kedua matanya memerah, suaranya meninggi, bertambah kemarahannya, seakan-akan beliau sedang memberikan peringatan kepada pasukan perang…” [HR. Muslim]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Disunahkan untuk mengangkat suaranya agar dapat didengar oleh manusia” [Al-Mughniy, 3/178].

[7] Apakah Khatib Harus dalam Keadaan Suci Saat Menyampaikan Khutbah?

Pendapat Asy-Syafi’i fil jadiid dan salah satu riwayat dari Ahmad menyatakan disyaratkannya suci.  Sedangkan Asy-Syafi’i fil qadiim, riwayat yang masyhur dari Ahmad, Malik, Abu Hanifah dan Dawud berpendapat bukan syarat, karena ketiadaan dalil yang mewajibkannya. [Al-Mughniy, 3/177 dan Al-Majmuu’, 4/515]

[8] Khatib Duduk Saat Adzan Dikumandangkan

Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata:

أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا, ثُمَّ يَجْلِسُ, ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا

“bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dalam keadaan berdiri, kemudian duduk, kemudian berdiri, kemudian beliau berkhutbah dengan berdiri…” [HR. Muslim no. 862]

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Duduknya imam pada hari Jum’at saat ia naik di atas mimbar hingga muadzin menyelesaikan adzannya termasuk sunah, umat Islam telah menerimanya dan mengamalkannya dari masa ke masa sebagai warisan dari salaf. Tidak ada perselsihan diantara ulama bahwa hal itu tidak wajib”

[9] Mempersingkat Khutbah dan Memanjangkan Shalat

Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ طُولَ صَلَاةِ اَلرَّجُلِ, وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ

“Sesungguhnya panjang shalat seseorang dan khutbahnya yang singkat merupakan tanda dari pemahaman agamanya yang benar” [HR. Muslim no. 869]

An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits-hadits lain yang memeritahkan untuk meringankan shalat, karena yang dimaksud dalam hadits ini adalah shalat itu terhitung panjang apabila dibandingkan dengan khutbah. Bukanlah yang dimaksud dalam hadits adalah memperpanjang shalat hingga memberatkan makmum” [Syarh Shahih Muslim hadits no. 869]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Disunahkan memperpendek khutbah sebagaimana diriwayatkan dari Ammar…” [Al-Mughniy, 3/179]

Panjang dan pendek yang dimaksud di sini adalah pertengahan, tidak terlalu panjang, tidak pula terlalu pendek. Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata:

كنت أصلي مع النبي فكانت صلاته قصدا وختبته قصدا

“Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, shalat beliau pertengahan dan khutbah beliau juga pertengahan” [HR. Muslim no. 866]

[10] Apabila Khatib membaca ayat Sajdah saat khutbah, apakah disyariatkan untuk turun dari mimbar kemudian sujud tilawah?

Malik tidak memperbolehkannya, karena sujud tilawah hanyalah sunah, sedangkan khutbah Jum’at wajib. Tidak sepantasnya hal yang sunah menyibukkan dari sesuatu yang wajib. Sementara jumhur ulama berpendapat tetap disyariatkannnya sujud tilawah saat khutbah[7]. Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu:

أن النبي قرأ على المنبر يوم الجمعة سورة ص فلما جاء السجدة نزل فسجد وسجد الناس معه

“bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membaca surat Shad di atas mimbar pada hari Jum’at, ketika telah sampai ayat sajdah, beliau turun dan sujud, kemudian manusia sujud bersama beliau” [HR. Abu Daud no. 1410 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i dalam Ash-Shahih Al-Musnad no. 417]

[11] Hukum Berbicara Saat Khutbah Berlangsung

Hukumnya haram menurut pendapat Ahmad, Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i fil qadiim, Al-Auza’i, Atha’, Mujahid, dan lainnya. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ: أَنْصِتْ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ وَالْإِمَامِ يَخْطُبُ, فَقَدْ لَغَوْت

“Apabila engkau berkata kepada temanmu “diamlah” pada hari Jum’at saat imam sedang berkhutbah, sungguh engkau telah berbuat sia-sia.” [HR. Al-Bukhari no. 935 dan Muslim no. 851]

Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafazh:

وَاَلَّذِي يَقُولُ لَهُ: أَنْصِتْ, لَيْسَتْ لَهُ جُمُعَة

“Seorang yang mengatakan “diam” kepada yang lain, tidak ada jum’at baginya” [HR. Ahmad dan dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram no. 454]

[12] Kapankah Makmum Wajib Diam?

Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban diam bagi makmum dimulai saat Khatib menyampaikan Khutbah sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, dikuatkan pula dengan riwayat hadits Abu Hurairah di atas. Sementara Al-Hakam dan Abu Hanifah berpendapat makmum wajib diam semenjak khatib telah keluar. [Fathul Bari, 5/501]

[13] Jika berbicara saat khutbah haram, apakah boleh  berisyarat kepada yang lain jika ada keperluan?

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Tidak ada perselisihan diantara ulama tentang kebolehan berisyarat, kecuali apa yang dihikayatkan dari Thawus, ia memakruhkannya. Namun pendapat itu keliru, karena isyarat saat shalat saja diperbolehkan, maka isyarat saat khutbah lebih layak untuk diperbolehkan” [Fathul Bari, 5/496]

[14] Apabila khatib menyebut nama Rasulullah saat khutbah, apakah makmum boleh mendoakan shalawat (membaca shallallahu ‘alaihi wasallam)?

Para ulama memiliki dua pendapat dalam permasalahan ini:

Pertama, boleh membaca shalawat nabi. Ini merupakan pendapat Malik, Ahmad, Ishaq dan Abu Yusuf. Mereka berdalil dengan keumuman hadits:

البخيل من ذكرت عنده ولم يصلي علي

“Seorang yang bakhil adalah orang yang disebutkan namaku, namun ia tidak bershalawat padaku” [HR. At-Tirmidzi no. 3546, hasan]

Pendapat ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah[8]

Kedua, tetap diam mendengarkan khutbah tanpa bershalawat kepada nabi. Ini merupakan pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Muhammad bin Al-Hasan, Al-Laits, Malik dalam salah satu riwayat dan Asy-Syafi’i.[9] Mereka berdalil dengan keumuman hadits larangan berbicara saat khutbah.

Saya pribadi lebih condong kepada pendapat kedua. Alasan saya, seandainya ada yang membuat kegaduhan di masjid, bolehkah kita menegurnya dengan mengatakan “diamlah” saat khutbah berlangsung? Tentu jawabnya tidak boleh, sebagaimana hal itu dilarang dalam nash hadits.

Bukankah ucapan tersebut termasuk dalam keumuman perintah amar ma’ruf nahi munkar? Alasan itu saja tidak cukup, ucapan “diamlah” tetaplah dilarang, bahkan meskipun ucapan tersebut hanya terdiri dari satu kata. Allahua’lam. Pendapat ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah.

[15] Seorang yang sengaja berbicara saat khutbah, apakah ia shalat Jum’at atau shalat Zhuhur?

Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata: “Ia dikhawatirkan tidak mendapatkan pahala Jum’at”. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata: “ia memohon ampun kepada Allah (istighfar), kemudian shalat (Jum’at)”. Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Tidak ada seorang ulama pun yang menyelisihi pendapat tersebut yaitu ia tetap shalat Jum’at, bukan shalat Zhuhur” [Fathul Bari, 5/500]

[16] Seorang yang tidak dapat mendengarkan khutbah karena tuli, jauh dari khatib atau alasan yang lain, apa yang harus ia lakukan?

Para ulama memiliki tiga pendapat dalam permasalahan ini:

Pertama, ia berdzikir dan membaca Al-Qur’an sendiri. Ini merupakan pendapat Alqamah, Atha’, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Asy-Syafi’i, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad dan Ishaq.

Kedua, ia wajib diam, tidak boleh berbicara. Ini merupakan pendapat Az-Zuhri, Al-Auza’i, Malik dan Abu Hanifah.

Ketiga, ia tidak wajib diam, boleh berbicara. Ini merupakan pendapat Urwah bin Az-Zubair, sebagian Syafi’iyyah dan Al-Qadhi Abu Ya’la.

Kesimpulannya, silahkan ia berdzikir atau membaca Al-Qur’an secara perlahan, tanpa mengganggu yang lain, karena kewajiban diam hanyalah bagi orang yang dapat mendengarkan khutbah. Jika ia diam, hal itu pun baik. Allahua’lam.

[17] Bolehkah menjawab orang bersin dan menjawab salam saat khutbah berlangsung?

Permasalahan ini hampir sama dengan pembahasan menjawab shalawat nabi pada point no. 14. Pendapat ulama yang lebih kuat adalah tidak perlu menjawab orang bersin maupun menjawab salam berdasarkan keumuman larangan berbicara saat khutbah. Ini merupakan pendapat Atha’, Malik, Al-Auza’i, Ahmad dalam satu riwayat dan sebagian Syafi’iyyah. Allahua’lam

[18] Bolehkah Shalat Tahiyyatul Masjid saat khutbah berlangsung?

Jabir radhiyallahu’anhu berkata:

دَخَلَ رَجُلٌ يَوْمَ اَلْجُمُعَةِ, وَالنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - يَخْطُبُ . فَقَالَ: "صَلَّيْتَ?" قَالَ: لَا. قَالَ: "قُمْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْن

“Seorang laki-laki masuk masjid pada hari Jum’at dalam keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkhutbah, Nabi bertanya: “Apakah engkau sudah shalat (tahiyyatul masjid –pen)?”. Ia menjawab: “belum”. Nabi berkata: “Bangun dan shalatlah dua raka’at”. [HR. Al-Bukhari no. 931 dan Muslim no. 875]

[19] Apakah Khatib disyariatkan shalat Tahiyyatul Masjid sebelum berkhutbah?

Tidak disyariatkan, karena demikianlah yang diamalkan oleh Nabi dan Al-Khulafa Ar-Rasyidin. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam masuk masjid kemudian langsung naik mimbar menyampaikan khutbah. Pendapat yang menyatakan disunahkan shalat tahiyyatul masjid adalah pendapat yang lemah.

An-Nawawi rahimahullah mengingkari pendapat tersebut dengan menyatakan: “ghariib, syadz, tertolak” [Raudhah Ath-Thalibin, 2/33]

[20] Khatib Disunahkan Sekaligus Menjadi Imam Shalat

Ini merupakan pendapat Ahmad, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i dan Sufyan Ats-Tsauri. Dalilnya adalah lafazh dalam riwayat hadits [وَالْإِمَامِ يَخْطُبُ]. Hal ini menunjukkan bahwa yang bertindak sebagai imam adalah orang yang menyampaikan khutbah.

Allahua’lam, semoga bermanfaat.

Sumber: Fathul ‘Allam, 2/128-143


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 5 Rabi’ul Awwal 1436




[1] Al-Majmuu’, 4/519 dan 522
[2] Al-Inshaf, 2/366
[3] Al-Mudawwanah, 1/537
[4] Bada’ius Shana’i’, 1/590
[5] Al-Ikhtiyarat hal. 79
[6] Al-Muhalla no. 527
[7] Al-Mughniy, 3/180-181 dan Al-Majmuu’, 4/514
[8] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 8/247
[9] Fathul Bari, 5/497-498

No comments:

Post a Comment