Monday, September 15, 2014

Beberapa Kaidah Syari’at dalam Pengkafiran

  1. Menghukumi suatu perbuatan sebagai kekafiran atau pelakunya telah kafir adalah hukum syar’i
Berbicara tentang kekafiran suatu perbuatan dan pengkafiran pelakunya sama halnya dengan pembicaraan suatu hukum dalam syari’ah, haruslah berdasarkan ilmu (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Sebab Allah Ta’ala telah mengharamkan pembicaraan dalam agama-Nya tanpa didasari ilmu, sebagaimana firman-Nya:

وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ 

“(Allah mengharamkan) kalian berkata atas Allah apa yang tidak kalian ketahui.” [Al-A’rof: 33]

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Makna firman Allah Ta’ala, “(Allah mengharamkan) kalian berkata atas Allah apa yang tidak kalian ketahui”, mencakup pembicaraan tentang nama-nama Allah Ta’ala, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan syari’ah-Nya. Semua bentuk pembicaraan tanpa ilmu telah diharamkan oleh Allah Ta’ala. Dia melarang hamba-hamba-Nya untuk melakukan hal itu, karena dalam perbuatan tersebut terdapat kerusakan yang khusus maupun umum.” [Lihat Tafsir As-Sa’di (hal. 283)]

Maka tidak diragukan lagi bahwa pembicaraan tentang kekafiran dan pengkafiran adalah masalah syari’ah yang harus berdasarkan ilmu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kekafiran adalah hukum syar’i, hanya boleh ditetapkan dengan dalil-dalil syar’iyyah.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (17/78)]

Beliau juga berkata, “Oleh karena itu para ulama Sunnah tidak mengkafirkan (semua) yang menyelisihi mereka, meskipun orang yang menyelisihi itu mengkafirkan mereka, karena (menetapkan) kekafiran adalah hukum syar’i.” [Lihat Ar-Roddu ‘alal Bakri (2/492)]

Beliau juga berkata, “Tidak boleh bagi seseorang untuk mengkafirkan orang yang menyelisihinya, apabila perkataan orang yang menyelisihinya itu bukan termasuk kekafiran menurut syar’i yang berasal dari pemilik syari’ah (yaitu Allah Ta’ala). Walaupun akal bisa saja membedakan pendapat yang benar dan yang salah, namun tidak semua yang salah menurut akal merupakan kekafiran dalam syar’iah, sebagaimana tidak semua yang dianggap benar oleh akal harus dianggap baik dalam syar’iah.” [Lihat Dar-u Ta’arudil ‘Aqli wan Naqli (1/140)]

Beliau juga berkata, “Demikian pula pengkafiran adalah hak Allah Ta’ala, maka tidak boleh mengkafirkan seseorang kecuali yang telah dikafirkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.“ [Lihat Ar-Roddu ‘alal Bakri (2/492)]

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Kekafiran adalah hukum syar’i yang harus kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka apa yang dianggap sebagai kekafiran oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah itulah kekafiran, jika tidak dianggap sebagai kekafiran oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah bukanlah kekafiran. Sehingga tidak harus bahkan tidak boleh mengkafirkan seorang (muslim) sampai jelas dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atas kekafirannya.” [Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin (2/187)]

Oleh karenanya, tidak setiap orang berhak bicara dalam masalah pengkafiran selain para ulama yang benar-benar mendalam ilmunya.

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Menghukumi seseorang telah murtad atau keluar dari agama Islam adalah kewenangan para ulama yang mendalam ilmunya, mereka adalah para hakim di mahkamah syari’ah dan para ahli fatwa yang diakui keilmuannya. 

Sebagaimana pula dalam permasalahan lainnya, berbicara dalam masalah seperti ini bukanlah hak setiap orang, bukan pula hak para penuntut ilmu atau yang menisbatkan diri kepada ilmu agama padahal pemahamannya tentang ilmu agama masih sangat terbatas. Bukanlah hak mereka untuk menghukumi seseorang telah murtad, karena perbuatan tersebut akan melahirkan kerusakan. Bisa jadi mereka memvonis seseorang telah murtad padahal dia tidak murtad. Sedang mengkafirkan seorang muslim yang tidak melakukan salah satu pembatal keislaman sangat berbahaya. 

Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, “wahai kafir” atau “wahai fasik”, padahal dia tidak seperti itu maka perkataan itu kembali kepada orang yang mengucapkannya. Olehnya, yang berhak memvonis murtad hanyalah para hakim syar’i dan ahli fatwa yang diakui keilmuannya. Adapun yang merealisasikan hukumannya adalah pemerintah kaum muslimin, selain itu hanya akan melahirkan kekacauan.” (Lihat Min Fatawa As-Siyasah Asy-Syar’iyyahsoftcopy dari www.sahab.net)

2. Tidak setiap pelaku kekafiran itu kafir

Sangat penting dipahami bahwa tidak setiap muslim yang melakukan kekafiran serta merta menjadi kafir, sampai terpenuhi syarat-syarat pengkafiran (شروط التكفير) dan hilang penghalang-penghalangnya (موانع التكفير).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak setiap orang yang bersalah (melakukan kekafiran) itu menjadi kafir, terlebih dalam permasalahan yang rumit, yang terdapat banyak khilaf padanya.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (16/434)]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ”Kafir mengkafirkan itu termasuk ancaman, karena sesungguhnya walaupun sebuah perkataan itu mendustakan apa yang diucapkan oleh Rasul akan tetapi bisa jadi orang yang mengucapkannya itu baru masuk islam atau tinggal di pedalaman, maka orang seperti ini tidak dikafirkan karena juhud yang ia lakukan sampai ditegakkan padanya hujjah. Boleh jadi orang tersebut belum mendengar nash-nash (yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut kufur), atau mendengarnya namun tidak shahih, atau adanya dalil lain yang mengharuskan ia mentakwilnya walaupun takwilnya tersebut salah.

Saya selalu mengingat hadits yang ada dalam Ash-Shahihain mengenai orang yang berkata,” Jika aku mati bakarlah mayatku kemudian kumpulkan debunya dan buanglah ke laut, demi Allah kalau memang Allah mampu atasku, Dia akan mengadzabku dengan adzab yang tidak ada seorangpun diadzab dengannya.” Lalu mereka pun melakukannya, maka Allah berfirman kepadanya,” Apa yang membawamu berbuat seperti itu ? ia berkata,” Karena takut kepada-Mu.” Maka Allah mengampuni dosanya.

Orang ini telah meragukan kemampuan Allah untuk menghidupkannya setelah menjadi tulang belulang, bahkan ia meyakini tidak akan dikembalikan! ini kufur dengan kesepakatan kaum muslimin, akan tetapi ia bodoh, tidak mengetahui dan ia seorang mukmin yang takut kepada Allah, maka Allah pun mengampuni dosanya. Oleh karena itu, mujtahid yang yang keliru dan bersungguh-sungguh mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, ia lebih layak mendapat ampunan dari orang itu.” [Majmu’ Al-Fatawa, 3/231]

Diantara hujjah yang kuat yang menunjukkan kepada kaidah ini adalah hadits yang dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (9/462 no 18032) dari Ma’mar dari Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Abu Jahm bin Hudzaifah untuk mengambil zakat, lalu ada seseorang yang bertengkar dengannya dalam urusan zakatnya, Abu Jahm pun memukulnya sehingga melukai kepalanya. Lalu mereka mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,” Qishash wahai Rasulullah ! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Buat kalian begini dan begini” namun mereka tidak rela. Beliau bersabda lagi,” Buat kalian begini dan begini” Mereka tetap tidak rela. Beliau bersabda,” Buat kalian begini dan begini” Mereka pun rela menerimanya.

Nabi bersabda, ”Sesungguhnya aku akan berkhutbah kepada manusia untuk mengabarkan keridhaan kalian? mereka menjawab, ”Ya”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah,”Sesungguhnya orang-orang Bani Laits ini mendatangiku meminta qishash, dan aku menawarkan kepada mereka begini dan begini dan mereka pun ridha, apakah kalian ridha? mereka menjawab,”Tidak”.

Melihat itu kaum Muhajirin geram kepada mereka dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh mereka untuk menahan diri, kemudian beliau memanggil mereka dan memberi tambahan dan bersabda,”Apakah kalian ridla ? mereka menjawab,”Ya”. Beliau bersabda,”Sesungguhnya aku akan berkhutbah kepada manusia untuk mengabarkan keridhaan kalian.” Mereka menjawab “ya”. Maka Nabi berkhutbah dan bersabda,”Apakah kalian ridla? Mereka menjawab “Ya”.

Abu Muhammad bin Hazm berkata, ”Dalam hadits ini terdapat pemberian udzur kepada orang yang bodoh, dan bahwasannya ia tidak dikeluarkan dari Islam yang apabila dilakukan oleh orang yang telah tegak hujjah kepadanya menjadikannya ia kafir, karena orang-orang bani Laits itu mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan pendustaan mereka itu adalah kufur yang murni tanpa ada perselisihan ulama, akan tetapi karena kebodohan dan kebaduian, mereka tidak dikafirkan.” [Al-Muhalla, 10/410-411]

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, ”Apabila kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah berhala yang berada di atas kuburan Ahmad Al-Badawi karena kebodohan mereka dan tidak ada yang memperingatkan mereka, bagaimana kami akan mengkafirkan orang yang tidak mempersekutukan Allah jika tidak berhijrah kepada kami.” [Minhaj Ahlil Haq wal Ittiba’ hal. 56]

Beliau juga berkata,” Sesungguhnya yang kami kafirkan adalah orang yang mempersekutukan Allah dalam uluhiyyah-Nya setelah kami tegakkan kepadanya hujjah tentang kebatilan syirik.” [Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul wahhab, 5/60]

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata, “Tidak setiap mukmin yang melakukan kekafiran serta merta bisa dihukumi kafir.” [Ta’liq Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah terhadap hadits no. 3048]

Oleh karenanya, wajib bagi setiap muslim berhati-hati dalam mengkafirkan saudaranya meskipun telah jelas baginya bahwa saudaranya tersebut telah melakukan suatu amalan kekafiran.

3. Pengkafiran terhadap seorang muslim yang melakukan kekafiran terbagi dua bentuk, pengkafiran terhadap perbuatan (takfir muthlaq) dan pengkafiran terhadap pelakunya (takfir mu’ayyan)

Takfir muthlaq adalah mengkafirkan suatu perbuatan kekafiran apabila telah dinyatakan sebagai kekafiran oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak disyaratkan apapun dalam takfir muthlaq selain adanya dalil yang shahih yang menyatakan suatu perbuatan sebagai kekafiran dan adanya istidlal yang benar.

Sedangkan takfir mu’ayyan adalah mengkafirkan pelaku kekafiran. Disyaratkan dalam takfir mu’ayyan ini sejumlah syarat-syarat yang harus terpenuhi dan hilang penghalang-penghalangnya, sebelum menjatuhkan vonis kafir kepada orang tertentu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, 

”Aku telah menjelaskan kepada mereka bahwa apa yang dinukil dari para ulama salaf yang memutlakkan kafir untuk orang yang mengatakan begini dan begitu adalah benar, namun harus dibedakan antara (takfir) mutlak dan mu’ayyan…
Karena sesungguhnya nash-nash Al Qur’an dalam ancaman bersifat mutlak seperti firman Allah ta’ala :

إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِي بُطُوْنِهِمْ نَارًا.


“Sesungguhnya orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya.” (An Nisaa : 10).

Demikian pula semua yang dikatakan padanya : Barangsiapa yang melakukan begini maka bagi dia begini, ini bersifat mutlak dan umum. Semisal dengan apa yang dikatakan oleh ulama salaf : Barangsiapa yang mengatakan begini maka dia begini. Namun individu yang divonis itu tidak terkena ancaman karena adanya taubat, atau kebaikan yang menghapus dosanya atau musibah yang menimpa atau syafa’at yang diterima.

Dan vonis kafir itu termasuk ancaman, karena meskipun sebuah perkataan itu mendustakan apa yang diucapkan oleh Rasul, namun bisa jadi orang yang mengucapkannya itu baru masuk Islam atau tinggal di pedalaman, maka orang seperti ini tidak dikafirkan karena juhud yang ia lakukan sampai ditegakkan padanya hujjah. Boleh jadi orang tersebut belum mendengar nash-nash (yang menyatakan bahwa perbuatan tersebut kufur), atau mendengarnya namun tidak shahih, atau adanya dalil lain yang mengharuskan ia mentakwilnya, meskipun takwilnya keliru.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (3/229-231]

Beliau juga berkata, “Mazhab para imam dalam pengkafiran dibangun atas dasar perincian antara jenis kekafirannya (muthlaq) dan pelakunya (mu’ayyan).” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (23/348)]

Beliau juga berkata, “Takfir muthlaq tidak mengharuskan takfir mu’ayyan, karena bisa jadi sebagian ulama berbicara dalam satu masalah berdasarkan ijtihadnya, lalu mereka keliru dalam masalah tersebut, maka tidaklah mereka dikafirkan. Meskipun bisa saja orang yang melakukan kekafiran itu dikafirkan apabila telah tegak hujjah atasnya.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (35/99)]

Contoh vonis muthlaq, apabila kita mengatakan, “Demonstrasi kepada pemerintah kaum muslimin adalah bid’ah”, atau “Siapa yang melakukan demonstrasi kepada pemerintah kaum muslimin maka dia seorang Ikhwani (pengikut IM) Khariji (yang bermanhaj Khawarij)”.

Ucapan di atas jelas berbeda jika kita mengatakan, “Fulan adalah ahli bid’ah karena dia telah melakukan kebid’ahan” dan “Fulan adalah ahli bid’ah karena dia telah bergabung dengan kelompok bid’ah”. Dua contoh yang terakhir ini adalah vonis mu’ayyan kepada fulan (individu) tertentu yang tidak boleh dilakukan kecuali terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya.

Bahaya Mengkafirkan Seorang Muslim

Wajib menahan diri dari mengkafirkan seorang muslim yang melakukan kekafiran sampai terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan hilang penghalang-penghalangnya, karena mengkafirkan seorang muslim yang tidak layak dikafirkan adalah perbuatan yang sangat berbahaya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan:

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ . فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya, “Wahai kafir”, maka ucapan tersebut pasti kembali kepada salah seorang dari keduanya.” [HR. Al-Bukhari (6103, 6104) dan Muslim (225)]

Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

لاَ يَرْمِى رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوقِ ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِك

“Tidaklah seorang menuduh orang lain dengan kefasikan dan kekafiran, kecuali akan kembali kepada penuduhnya apabila orang yang dituduh tidak seperti itu.” [HR. Al-Bukhari (5698)]

Juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ. وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekafiran, atau mengatakan, “Wahai musuh Allah”, padahal tidak seperti itu, maka (ucapan tersebut) kembali kepadanya.” [HR. Muslim (226)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini sebagai peringatan keras kepada setiap muslim, jangan sampai menuduh saudaranya sesama muslim dengan kekafiran atau kefasikan.” [Lihat Fathul Bari (10/466)]

Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah berkata, “Ini adalah ancaman besar bagi siapa yang mengkafirkan seorang muslim padahal dia tidak kafir.” [Lihat Ihkamul Ahkam (hal. 420)]

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Ketahuilah, menghukumi seorang muslim telah keluar dari Islam dan masuk kepada kekafiran tidaklah sepatutnya dilakukan oleh seorang muslim yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir kecuali dengan bukti yang lebih jelas dari matahari siang”. Lalu beliau menyebutkan hadits-hadits di atas dan berkata, “Maka dalam hadits-hadits ini dan hadits-hadits lain yang semisalnya terdapat peringatan yang paling agung dan nasihat yang paling besar agar berhati-hati dari sikap terburu-buru dalam mengkafirkan.” [Lihat As-Sailul Jarror (4/578)]

Wallahu A’la wa A’lam wa Huwal Musta’an.

Sumber: nasehatonline.wordpress.com

6 comments:

  1. Subhanallahu, antum masih saja bingung antara mu'amallah kita di dunia dengan para pelaku kekafiran dengan nasib mereka di akherat.

    allahul musta'an..

    ya ustadz, semua keterangan nukilan antum sudah ada bantahan dengan jelas dan gamblang oleh para ulama, pemahamannya tidak seperti yg antum sampaikan seperti ini.

    Antum menukil dari nasehatonline, ana nukilkan juga keterangan dari situs ini yang semoga bisa mencerahkan bersama:

    ===================================
    Rukun Laa ilaaha illallah

    Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjelaskan bahwa kalimat Laa ilaaha illallah mencakup dua rukun, yaitu:

    1. An-Nafyu (penafikan) yang terdapat dalam kalimat Laa ilaaha, yang bermakna menafikan atau menganggap salah semua sesembahan selain Allah ta’ala.

    2. Al-Itsbat (penetapan) yang terdapat dalam kalimat illallah, yang bermakna menetapkan atau meyakini bahwa yang berhak disembah hanyalah Allah ta’ala.

    Seorang hamba belum dianggap sebagai muslim sebelum dia mengamalkan dua rukun ini.

    Andaikan ada seorang hamba yang beribadah kepada Allah ta’ala; melakukan sholat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainnya, namun dia tidak meyakini bahwa Allah ta’ala sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dan selain-Nya adalah salah maka dia bukan muslim atau menjadi murtad karena tidak mengamalkan kalimat Laa ilaaha illallah yang merupakan pintu untuk masuk ke dalam Islam.

    Sekarang seseorang melakukan syirik besar bukankah dia membatalkan syahadatnya..

    Bagaimana mungkin antum masih ragu dengan kekafiran seseorang yang menganggap ada sesembahan lain yang boleh disembah walaupun dia melakukan semua rukun islam dan amalan sunnah lainnya, sholat, haji, puasa, zakat.

    Kemungkinan seseorang melakukan syirik akbar jika tidak karena lupa, salah ucap atau erpaksa cuma 2 macam. Dia menjadi ahlu fatroh yang hujjah belum sampai padanya atau dia seorang kafir ketika hujjah sudah sampai,

    apakah ahlu fatroh dihukumi muslim? Dalam mu'amalah kita di dunia dengan mereka?

    ReplyDelete
  2. Allahul musta'an,

    ana tanya ke antum seseorang bersyahadat tapi dia mengatakan nabi muhammad bukanlah nabi. Walaupun dia mentauhidkan Allah, jika dia tidak mengakui nabi Muhammad sebagai nabi apakah antum masih ragu mengkafirkannya...?

    Apalagi untuk perkara yang lebih besar yang merupakan inti dari dakwah para nabi.. tauhid.

    Allahul musta'an

    ReplyDelete
  3. http://www.mufti.af.org.sa/node/2206

    السؤال: هل
    الذين يقعون الآن في بعض صور، وأنواع الشرك الأكبر، مثل: الاستغاثة بغير الله، ودعاء غيره يخرجون من الملة، أم أنهم يعذرون بجهلهم؟

     الجواب: العمل ضلال يبقى الأشخاص حالهم إن كان ما وقع منهم عن تأويل وخطأ فلا بد أن يوضح الحق لهم، وإلا فأعمالهم والحكم عن الدنيا بأحكام الكفار من استغاث بغير الله أو ذبح لغير الله نعامله في الدنيا معاملة الكافر، أما بينه وبين الله فإن كان عن جهل فإن الله أرحم الراحمين، لكنا نعامله في الظاهر بأحكام الكفار، وأما إن كان ذا جهل وتأويل خاطئ؛ فالأمر إلى الله.

    Apakah fatwa dari mufti syaikh alu syaikh belum cukup untuk memuaskan antum?





    ReplyDelete
  4. Ana akan beri bantahan perkataan yang antum nukilkan satu persatu

    ================================
    Oleh karenanya, tidak setiap orang berhak bicara dalam masalah pengkafiran selain para ulama yang benar-benar mendalam ilmunya.

    Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Menghukumi seseorang telah murtad atau keluar dari agama Islam adalah kewenangan para ulama yang mendalam ilmunya, mereka adalah para hakim di mahkamah syari’ah dan para ahli fatwa yang diakui keilmuannya.

    Sebagaimana pula dalam permasalahan lainnya, berbicara dalam masalah seperti ini bukanlah hak setiap orang, bukan pula hak para penuntut ilmu atau yang menisbatkan diri kepada ilmu agama padahal pemahamannya tentang ilmu agama masih sangat terbatas. Bukanlah hak mereka untuk menghukumi seseorang telah murtad, karena perbuatan tersebut akan melahirkan kerusakan. Bisa jadi mereka memvonis seseorang telah murtad padahal dia tidak murtad. Sedang mengkafirkan seorang muslim yang tidak melakukan salah satu pembatal keislaman sangat berbahaya.

    Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, “wahai kafir” atau “wahai fasik”, padahal dia tidak seperti itu maka perkataan itu kembali kepada orang yang mengucapkannya. Olehnya, yang berhak memvonis murtad hanyalah para hakim syar’i dan ahli fatwa yang diakui keilmuannya. Adapun yang merealisasikan hukumannya adalah pemerintah kaum muslimin, selain itu hanya akan melahirkan kekacauan.” (Lihat Min Fatawa As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, softcopy dari www.sahab.net)
    ===============================

    http://alfawzan.af.org.sa/node/9502

    تكفير المعين

    نص السؤال يقول : فضيلة الشيخ وفقكم الله ، هل نحكم على من ذبح لغير الله أو حلف بغير الله بالشرك ؟ أو من عمل أي عمل شركي نحكم عليه بالشرك عينا ؟ وهل لابد من إقامة الحجة عليه قبل الحكم عليه ؟

    http://alfawzan.af.org.sa/node/9443


    تكفير الكافر بعينه


    نص السؤال سائل من الكويت عن طريق الشبكة يقول : هل يجوز تكفير الكافر بعينه: مثال من يقول بتحريف القرآن أو من قال: ليس القرآن بكامل هل نقول له: كافر ، وهو ما زال على قيد الحياة ولم يرجع عن قوله ؟

    http://alfawzan.af.org.sa/node/3940
    تكفير الساحر المعين

    نص السؤال هل يجوز تكفير الساحر المعين ؟

    http://alfawzan.af.org.sa/node/9445
    تكفير المعين


    نص السؤال أحسن الله إليكم صاحب الفضيلة وهذا سائل يقول : هل يكفر المعين إذا أتى ناقضا من نواقض الإسلام العشرة ومن يكفره بذلك ؟

    ===============================

    Jawaban masyaikh sangat tergantung dengan bentuk soalnya...

    kalau soalnya masih umum siapa yang berhak melakukan takfir, jawabannya tentunya seperti yg antum nukilkan (kenapa penulis di nasehatonline tidak menukilkan soalnya? cuman menukilkan jawabannya?) karena seorang muslim dikafirkan tidak hanya karena melakukan syirik akbar tapi juga tindakan tindakan lain yang mungkin masih butuh penelitian mendalam disana.

    Adapun jika soalnya jelas, apakah kita mengkafirkan orang yang menyembah kubur secara khusus yang mana itu merupakah pokok agama ini, yang mana seorang muslim harus mengetahuinya.. lihat jawabannya para masyaikh (bukankah sudah ana nukilkan banyak sekali jawaban masyaikh?_)
    jawabannya jelas.
    Na'am !

    ReplyDelete
  5. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, ”Apabila kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah berhala yang berada di atas kuburan Ahmad Al-Badawi karena kebodohan mereka dan tidak ada yang memperingatkan mereka, bagaimana kami akan mengkafirkan orang yang tidak mempersekutukan Allah jika tidak berhijrah kepada kami.” [Minhaj Ahlil Haq wal Ittiba’ hal. 56]

    Beliau juga berkata,” Sesungguhnya yang kami kafirkan adalah orang yang mempersekutukan Allah dalam uluhiyyah-Nya setelah kami tegakkan kepadanya hujjah tentang kebatilan syirik.” [Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul wahhab, 5/60]

    =================================
    Iqomatul Hujjah disini maksudnya adalah sampainya hujjah !!!


    http://www.alfawzan.af.org.sa/node/9493

    الضابط في إقامة الحجة على عباد القبور


    نص السؤال فضيلة الشيخ : ثبت عن شيخ الإسلام محمد بن عبد الوهاب رحمه الله أنه لا يكفر عباد القبور إلا بعد إقامة الحجة لقوله رحمه الله : وإذا كنا لا نكفر من عبد الصنم الذي على قبر البدوي إلى آخره فهل لإقامة الحجة شروط معينة .. مع دفع الشبهات ...؟

    Adapun kalau memang belum sampai hujjah kepada mereka apakah mereka otomatis dihukumi muslim ataukah ahlu fatroh ???????
    Keterangan syaikh bin baz rahimahullah yang sudah ana nukilkan sangat jelas

    ReplyDelete
  6. Sekarang yang penting bagaimana mu'amalah kita dengan mereka yang mengaku muslim tetapi berbuat syirik akbar..?

    masihkah bermu'amalah muslim dengan muslim?

    ataukah muslim dengan selain muslim (kafir atau ahlu fatroh)

    Ana sendiri (sejak awal ana comment disini, untuk mengatakan kafir harus ulama--> walaupun ana tidak mengingkari bolehnya selain ulama untukl mengatakan kafir)

    adapun mu'amallahnya tetap : tidak sholat dibelakangnya, tidak mensholatinya, dan semua konsekuensi lainnya...

    Allahua'lam

    ReplyDelete