Al-Hafizh An-Nawawi
rahimahullah berkata: “Menguburkan jenazah hukumnya fardhu kifayah berdasarkan
ijma’ ” [Al-Majmuu’, 5/282]
Dalilnya adalah
hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ’alaihi
wasallam bersabda:
اذهبوا فادفنوا صاحبكم
“Pergilah,
kuburkanlah sahabat kalian” [HR. Muslim no. 2236]
Bolehkah
menguburkan jenazah di rumah?
Al-Hafizh An-Nawawi
rahimahullah berkata:
“Diperbolehkan
menguburkan jenazah di rumah maupun di area pemakaman. Menguburkan jenazah di area
pemakaman lebih utama berdasarkan kesepakatan ulama” [Al-Majmuu’, 5/283]
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa menguburkan jenazah para sahabatnya di
area pemakaman khusus yaitu di pemakaman Baqi’. Adapun kebolehan menguburkan
jenazah di rumah, karena Nabi, Abu Bakr dan Umar dikuburkan di rumah Aisyah
radhiyallahu ‘anhum. Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menyandarkan pendapat
kebolehannya kepada jumhur ulama. [Fathul Bari no. 432]
Kebolehan yang
dimaksud di sini adalah menguburkan jenazah di luar rumah, bukan persis di
dalam rumah. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk menjadikan
rumah sebagai kuburan.
Al-Imam Adz-Dzahabi
rahimahullah berkata:
“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang
membangun kuburan. Seandainya manusia dikuburkan di dalam rumahnya, tentu
kuburan dan rumah menjadi satu kesatuan, sedangkan shalat di kuburan terlarang
dengan larangan makruh atau bahkan haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘shalat seseorang yang paling utama adalah di rumahnya kecuali shalat
wajib’ . Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjadikan rumah-rumah sebagai
kuburan. Adapun kuburan Nabi yang berada di dalam rumah Aisyah, maka ini
merupakan kekhususan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam” [Siyar Al-A’lam,
8/29]
Bolehkah
wanita menguburkan jenazah?
An-Nawawi
rahimahullah berkata:
“Asy-Syafi’i dan para sahabatnya menyatakan bahwa
laki-laki lah yang semestinya menguburkan jenazah, meskipun jenazah itu seorang
laki-laki atau perempuan. Tidak ada perselisihan dalam permasalahan ini. Para
ulama menyebutkan adanya dua ‘illat: pertama, seperti yang disebutkan oleh
penulis kitab, yaitu karena laki-laki lebih kuat dan lebih cakap dalam membawa
(jenazah –pen). Kedua, jika perempuan diserahi tugas menguburkan jenazah, hal
itu dapat menyebabkan tersingkapnya sebagian badannya (aurat -pen).“
[Al-Majmuu’, 5/288]
Siapakah yang
lebih berhak menguburkan jenazah?
Para ulama
menyatakan bahwa orang yang paling berhak menguburkan jenazah adalah karib
kerabatnya. Allah ta’ala berfirman:
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ
أَوْلَى بِبَعْضٍ
“Dan orang-orang
yang memiliki ikatan rahim (kekerabatan –pen), sebagian mereka lebih berhak
kepada sebagian yang lain” [QS. Al-Anfal: 75]
Jika diurutkan dari
yang terdekat sebagai berikut: ayah dari mayit, kakeknya, anak laki-lakinya,
cucu laki-lakinya, saudara laki-lakinya, pamannya, anak dari pamannya, dan
seterusnya.
Para ulama berselisih,
siapakah yang lebih berhak menguburkan jenazah seorang suami, istri ataukah kerabat
laki-laki suami. Ibnu Hazm rahimahullah lebih menguatkan pendapat yang
mendahulukan kerabat suami dari istrinya berdasarkan keumuman ayat di atas. [Al-Muhalla
no. 585]
Bolehkah
laki-laki menguburkan jenazah wanita yang bukan mahramnya?
Jawabnya boleh,
laki-laki yang tidak menggauli istrinya pada malam sebelumnya lebih didahulukan
dari laki-laki yang menggauli istrinya. Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,
saat menghadiri pemakaman putrinya, Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أيكم لم يقارف الليلة
“Siapa
diantara kalian yang tidak menggauli (istrinya –pen) malam kemarin?”
Abu Thalhah
berkata: “Aku”. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فانزل في قبرها
“Turunlah ke
liang lahat kuburnya”. Maka Abu Thalhah
turun dan menguburkan putri nabi. [HR. Al-Bukhari no. 1285 dari Anas
radhiyallahu’anhuma]
Memperdalam
dan Memperluas Liang Lahat
Dalil disunahkannya
memperdalam dan memperluas liang lahat adalah dua hadits. Pertama, hadits Hisyam
bin Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
tentang para syuhada Uhud:
احفرو ا وأعمقوا وأحسنوا
وادفنوا الإثنين والثلاثة في القبر
“Galilah,
perdalam, perbaiki, kuburkanlah dua atau tiga orang dalam satu liang lahat”
[HR. Ahmad (4/19), An-Nasa’i (4/83) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Al-Irwa’ no. 734]
Kedua, hadits dari salah
seorang Anshar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أوسع من قبل رجليه أوسع من
قبل رأسه
“Perluaslah wilayah
bagian kedua kakinya, perluaslah wilayah bagian kepalanya” [HR. Abu Daud no.
3332, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 744 dan Asy-Syaikh
Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad no. 1483]
Batas minimal
kedalaman penggalian liang lahat adalah sampai jenazah terlindungi dari galian
binatang buas dan tidak tercium bau dari luar.
Melepas Ikatan
Tali Kafan
Penggunaan tali
kafan saat pengurusan jenazah bertujuan untuk mengikat mayat agar tidak
terlepas dari kain kafannya, sehingga saat jenazah berada di liang lahat, ikatan tersebut tidak dibutuhkan lagi. Adapun sangkaan
orang-orang awam bahwa mayat yang tidak dilepas tali kafannya akan gentayangan
dan menjadi pocong, hal itu adalah khurafat yang dapat merusak aqidah seorang
muslim. Sebab berbicara dalam perkara ghaib harus bersandar pada dalil dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih.
Memiringkan Jenazah
Menghadap Kiblat
Ibnu Hazm
rahimahullah berkata:
“Dalam liang lahat, jenazah diletakkan miring bertumpu
pada bagian tubuh yang kanan, wajahnya dihadapkan ke arah kiblat, kepalanya
berada di sebelah kanan kiblat dan kedua kakinya berada di sebelah kiri kiblat.
Ini merupakan amalan kaum muslimin sejak masa Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallah hingga hari ini.” [Al-Muhalla no. 560]
An-Nawawi
rahimahullah berkata:
“Para ulama telah bersepakat bahwa disunahkan meletakkan
jenazah miring bertumpu pada bagian tubuh yang kanan. Seandainya jenazah itu
bertumpu pada bagian tubuh yang kiri, selama masih menghadap ke arah kiblat,
hal itu tidak apa-apa, hanya saja menyelisihi yang lebih utama” [Al-Majmuu’,
5/293]
Doa yang
Dibaca Saat Meletakkan Jenazah dalam Liang Lahat
بسم الله وبالله وعلى ملة رسول الله
“Dengan
menyebut nama Allah, demi Allah dan di atas agama Rasulullah” [HR. Al-Hakim,
1/366 dengan sanad shahih. Seluruh perawinya adalah perawi Al-Bukhari dan
Muslim kecuali Muhammad bin Isma’il, ia adalah perawi At-Tirmidzi dan An-Nasa’i
yang tsiqah lagi hafizh]
Jika jenazah
memasang gigi emas, apakah giginya ditanggalkan (dicopot) sebelum dikuburkan?
Para ulama Al-Lajnah
Ad-Da’imah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah
berkata:
“Jika mampu untuk ditanggalkan sebelum penguburan dan tidak
menimbulkan mudharat pada jenazah, maka lebih baik ditanggalkan. Namun jika jenazah telah
dikubur dan gigi emas itu belum sempat ditanggalkan, maka tidak boleh menggali
kembali kuburnya untuk menanggalkan gigi emas tersebut” [Fatawa Al-Lajnah,
8/365]
Demikian pula yang
difatwakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hanya saja jika ahli
waris sepakat ingin mengambil gigi emas itu, mereka boleh menggali
kembali kuburnya setelah mayat itu terurai, karena tindakan membuang harta
dengan sia-sia dilarang oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam. [Majmu ‘ Fatawa
Al-Utsaimin, 17/88]
Allahua’lam
Sumber: Fathul ‘Allam,
2/346-354
Ditulis oleh
Abul-Harits di Madinah, 23 Dzulqa’dah 1435
No comments:
Post a Comment