Thursday, September 18, 2014

10 Masalah Seputar Penguburan Jenazah


Hukum Menguburkan Jenazah

Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah berkata: “Menguburkan jenazah hukumnya fardhu kifayah berdasarkan ijma’ ” [Al-Majmuu’, 5/282]

Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

اذهبوا فادفنوا صاحبكم

“Pergilah, kuburkanlah sahabat kalian” [HR. Muslim no. 2236]

Bolehkah menguburkan jenazah di rumah?

Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah  berkata: 


“Diperbolehkan menguburkan jenazah di rumah maupun di area pemakaman. Menguburkan jenazah di area pemakaman lebih utama berdasarkan kesepakatan ulama” [Al-Majmuu’, 5/283]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa menguburkan jenazah para sahabatnya di area pemakaman khusus yaitu di pemakaman Baqi’. Adapun kebolehan menguburkan jenazah di rumah, karena Nabi, Abu Bakr dan Umar dikuburkan di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menyandarkan pendapat kebolehannya kepada jumhur ulama. [Fathul Bari no. 432]

Kebolehan yang dimaksud di sini adalah menguburkan jenazah di luar rumah, bukan persis di dalam rumah. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk menjadikan rumah sebagai kuburan.

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: 

“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang membangun kuburan. Seandainya manusia dikuburkan di dalam rumahnya, tentu kuburan dan rumah menjadi satu kesatuan, sedangkan shalat di kuburan terlarang dengan larangan makruh atau bahkan haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘shalat seseorang yang paling utama adalah di rumahnya kecuali shalat wajib’ . Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjadikan rumah-rumah sebagai kuburan. Adapun kuburan Nabi yang berada di dalam rumah Aisyah, maka ini merupakan kekhususan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam” [Siyar Al-A’lam, 8/29]

Bolehkah wanita menguburkan jenazah?

An-Nawawi rahimahullah berkata: 

“Asy-Syafi’i dan para sahabatnya menyatakan bahwa laki-laki lah yang semestinya menguburkan jenazah, meskipun jenazah itu seorang laki-laki atau perempuan. Tidak ada perselisihan dalam permasalahan ini. Para ulama menyebutkan adanya dua ‘illat: pertama, seperti yang disebutkan oleh penulis kitab, yaitu karena laki-laki lebih kuat dan lebih cakap dalam membawa (jenazah –pen). Kedua, jika perempuan diserahi tugas menguburkan jenazah, hal itu dapat menyebabkan tersingkapnya sebagian badannya (aurat -pen).“ [Al-Majmuu’, 5/288]

Siapakah yang lebih berhak menguburkan jenazah?

Para ulama menyatakan bahwa orang yang paling berhak menguburkan jenazah adalah karib kerabatnya. Allah ta’ala berfirman:

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ

Dan orang-orang yang memiliki ikatan rahim (kekerabatan –pen), sebagian mereka lebih berhak kepada sebagian yang lain” [QS. Al-Anfal: 75]

Jika diurutkan dari yang terdekat sebagai berikut: ayah dari mayit, kakeknya, anak laki-lakinya, cucu laki-lakinya, saudara laki-lakinya, pamannya, anak dari pamannya, dan seterusnya.

Para ulama berselisih, siapakah yang lebih berhak menguburkan jenazah seorang suami, istri ataukah kerabat laki-laki suami. Ibnu Hazm rahimahullah lebih menguatkan pendapat yang mendahulukan kerabat suami dari istrinya berdasarkan keumuman ayat di atas. [Al-Muhalla no. 585]

Bolehkah laki-laki menguburkan jenazah wanita yang bukan mahramnya?

Jawabnya boleh, laki-laki yang tidak menggauli istrinya pada malam sebelumnya lebih didahulukan dari laki-laki yang menggauli istrinya. Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari, saat menghadiri pemakaman putrinya,  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أيكم لم يقارف الليلة

“Siapa diantara kalian yang tidak menggauli (istrinya –pen) malam kemarin?”

Abu Thalhah berkata: “Aku”. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فانزل في قبرها

“Turunlah ke liang lahat kuburnya”.  Maka Abu Thalhah turun dan menguburkan putri nabi. [HR. Al-Bukhari no. 1285 dari Anas radhiyallahu’anhuma]

Memperdalam dan Memperluas Liang Lahat

Dalil disunahkannya memperdalam dan memperluas liang lahat adalah dua hadits. Pertama, hadits Hisyam bin Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang para syuhada Uhud:

احفرو ا وأعمقوا وأحسنوا وادفنوا الإثنين والثلاثة في القبر

“Galilah, perdalam, perbaiki, kuburkanlah dua atau tiga orang dalam satu liang lahat” [HR. Ahmad (4/19), An-Nasa’i (4/83) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 734]

Kedua, hadits dari salah seorang Anshar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه

“Perluaslah wilayah bagian kedua kakinya, perluaslah wilayah bagian kepalanya” [HR. Abu Daud no. 3332, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 744 dan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad no. 1483]

Batas minimal kedalaman penggalian liang lahat adalah sampai jenazah terlindungi dari galian binatang buas dan tidak tercium bau dari luar.

Melepas Ikatan Tali Kafan

Penggunaan tali kafan saat pengurusan jenazah bertujuan untuk mengikat mayat agar tidak terlepas dari kain kafannya, sehingga saat jenazah berada di liang lahat, ikatan tersebut tidak dibutuhkan lagi. Adapun sangkaan orang-orang awam bahwa mayat yang tidak dilepas tali kafannya akan gentayangan dan menjadi pocong, hal itu adalah khurafat yang dapat merusak aqidah seorang muslim. Sebab berbicara dalam perkara ghaib harus bersandar pada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih.

Memiringkan Jenazah Menghadap Kiblat

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: 

“Dalam liang lahat, jenazah diletakkan miring bertumpu pada bagian tubuh yang kanan, wajahnya dihadapkan ke arah kiblat, kepalanya berada di sebelah kanan kiblat dan kedua kakinya berada di sebelah kiri kiblat. Ini merupakan amalan kaum muslimin sejak masa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallah hingga hari ini.” [Al-Muhalla no. 560]

An-Nawawi rahimahullah berkata: 

“Para ulama telah bersepakat bahwa disunahkan meletakkan jenazah miring bertumpu pada bagian tubuh yang kanan. Seandainya jenazah itu bertumpu pada bagian tubuh yang kiri, selama masih menghadap ke arah kiblat, hal itu tidak apa-apa, hanya saja menyelisihi yang lebih utama” [Al-Majmuu’, 5/293]

Doa yang Dibaca Saat Meletakkan Jenazah dalam Liang Lahat

بسم الله وبالله وعلى ملة رسول الله

“Dengan menyebut nama Allah, demi Allah dan di atas agama Rasulullah” [HR. Al-Hakim, 1/366 dengan sanad shahih. Seluruh perawinya adalah perawi Al-Bukhari dan Muslim kecuali Muhammad bin Isma’il, ia adalah perawi At-Tirmidzi dan An-Nasa’i yang tsiqah lagi hafizh]

Jika jenazah memasang gigi emas, apakah giginya ditanggalkan (dicopot) sebelum dikuburkan?

Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah berkata: 

“Jika mampu untuk ditanggalkan sebelum penguburan dan tidak menimbulkan mudharat pada jenazah, maka lebih baik ditanggalkan. Namun jika jenazah telah dikubur dan gigi emas itu belum sempat ditanggalkan, maka tidak boleh menggali kembali kuburnya untuk menanggalkan gigi emas tersebut” [Fatawa Al-Lajnah, 8/365]

Demikian pula yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hanya saja jika ahli waris sepakat ingin mengambil gigi emas itu, mereka boleh menggali kembali kuburnya setelah mayat itu terurai, karena tindakan membuang harta dengan sia-sia dilarang oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam. [Majmu ‘ Fatawa Al-Utsaimin, 17/88]

Allahua’lam

Sumber: Fathul ‘Allam, 2/346-354


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 23 Dzulqa’dah 1435    

No comments:

Post a Comment