Wednesday, May 14, 2014

Mengambil Pelajaran dari Istri Shalihah (Istri Syuraih Al-Qadhi)

Seorang ulama yang bertakwa Asy-Sya’bi rahimahullah suatu ketika duduk bersama Syuraih Al-Qadhi rahimahullah. Asy-Sya’bi bertanya kepada Syuraih perihal keadaannya di rumah. Maka Syuraih bercerita: “Selama dua puluh tahun tidak ada anggota keluargaku yang membuatku marah.” Asy-Sya’bi menyahut: “Bagaimana bisa?” Syuraih berkata: “malam pertamaku bersama istriku, aku melihat perangai yang baik dan wajah yang sangat cantik, lalu aku berkata dalam hati: ‘Saya akan bersuci dan shalat dua rakaat sebagai sujud syukur kepada Allah’. Ketika aku salam dari shalat, ternyata aku mendapati istriku shalat di belakangku dan salam bersamaku.

Ketika rumah telah sepi dari sahabat dan handai tolan, aku berdiri mendekatinya untuk melakukan apa yang sewajarnya dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Tapi dia berkata: ‘Tunggu sebentar wahai Abu Umayyah.’ Lalu dia mulai berbicara: ‘Segala puji bagi Allah, saya memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya dan saya ucapkan shalawat atas Muhammad dan keluarganya. Sesungguhnya aku adalah wanita yang masih asing tentang dirimu, belum banyak tahu tentang akhlakmu. Maka beritahukanlah kepadaku apa saja yang engkau sukai agar aku melaksanakannya dan apa saja yang engkau benci agar aku bisa menghindarinya.’

Dia melanjutkan: ‘Sesungguhnya di kalangan kaummu ada wanita yang layak untuk engkau nikahi, begitupun di kalangan kaumku ada pula kaum laki-laki yang sekufu’ denganku. Akan tetapi jika Allah menghendaki suatu perkara, maka terjadilah. Engkau telah memiliki diriku, maka berbuatlah sesuai dengan yang diperintahkan Allah kepadamu, rujuk dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Demikian yang bisa saya sampaikan, aku memohon ampunan kepada Allah untukku dan untukmu.’

Syuraih berkata: “Demi Allah wahai Asy-Sya’bi, alangkah butuhnya aku terhadap khutbah tersebut.” Akupun berkata: “Alhamdulillah, saya memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas Nabi, wa ba’du: Sungguh engkau telah mengatakan suatu ucapan yang jika engkau konsekuen niscaya akan mendapatkan bagianmu, (yakni akan mendapatkan kebaikan yang banyak untukmu), akan tetapi jika engkau mengingkarinya, maka ucapan itu menjadi hujjah atasmu.”

Kemudian Syuraih berkata: “Aku menyukai ini dan itu, ini dan itu, dan aku membenci ini dan itu, jika engkau melihat suatu kebaikan maka sebarkanlah dan jika engkau melihat keburukan dariku maka rahasiakanlah.”

Kemudian istriku berkata: “Bagaimana kadar yang kau sukai untuk mengunjungi keluargaku?” Aku manjawab: “Aku tidak suka jika mertuaku bosan terhadapku.” (Aku tidak suka mengunjungi mereka terus-menerus yang membuat mereka bosan terhadapku)

Istriku berkata: “Siapakah yang engkau sukai di antara tetanggamu sehingga dia boleh memasuki rumahmu dan boleh saya izinkan masuk? Siapa pula di antara mereka yang tidak engkau sukai?”

Saya menjawab: “Keluarga Fulan termasuk orang-orang shalih, keluarga Fulan termasuk kaum yang shalih, maka izinkan mereka masuk. Akan tetapi keluarga Fulan dan keluarga Fulan adalah kaum yang buruk perangai, jangan kau izinkan masuk.”

Syuraih melanjutkan ceritanya: “Maka malam itu saya bermalam bersamanya dengan malam yang sangat indah, selama satu tahun saya hidup berdampingan dengannya belum pernah aku melihatnya kecuali dalam keadaan yang aku sukai dan aku harapkan.

Ketika memasuki tahun kedua, aku kembali dari majelis qadhi ke rumahku, ternyata ada seorang wanita di rumahku. Lalu aku bertanya: “Siapakah tamu ini?” Mereka menjawab: “Dia adalah ibu mertuamu.” Ibu menoleh kepadaku dan bertanya: “Bagaimana menurutmu perlakuan istrimu wahai Abu Umayyah?” aku menjawab: “Dia adalah sebaik-baik istri.”

Ibu mertua berkata: “Wahai abu Umayyah, sesungguhnya seorang istri itu keadaannya tidak akan buruk ketika dalam dua keadaan, yakni jika dia melahirkan seorang anak atau berbahagia di sisi suaminya (yakni merasa dicintai suami dan merasa diperhatikan olehnya). Demi Allah, seorang laki-laki tidak akan pernah ditimpa keburukan dari seorang istri yang mau dibimbing. Maka didiklah istrimu dan bimbinglah sekehendakmu.”

Syuraih berkata: “Lalu saya tinggal bersama istriku selama dua puluh tahun, aku tidak pernah menghukumnya sedikitpun kecuali sekali saja, itupun ternyata saya yang salah, kemudian dia telah wafat, semoga Allah merahmatinya.”

(Disalin dari buku Istri Shalihah Anugerah Terindah hal. 73-77, karya Abdul Malik Al-Qasim) http://www.mahad-alfaruq.com/contoh-istri-yang-shalihah/

No comments:

Post a Comment