Monday, May 12, 2014

Istilah “Salafy” dan “Salafiyyah” Bukan Bid’ah (Meluruskan Tuduhan Blogger SalafyTobat)

Sebagian orang yang anti terhadap dakwah salafiyyah melemparkan syubhat: ”Istilah yang digunakan oleh para ulama’ untuk menamakan kedudukan para ulama’ yang benar adalah Ahli Sunnah dan Jama’ah. Istilah Ahli Sunnah dan Jama’ah adalah istilah yang telah diijmak oleh para ulama’ generasi Salaf untuk menamakan golongan yang benar. Manakala istilah al-Salafiyyah yang digunakan oleh golongan Wahhabi pada hari ini untuk melambangkan dan menamakan golongan yang benar [menurut sangkaan mereka] adalah satu bid’ah yang tercela bahkan tidak pernah digunakan oleh generasi Salafus Soleh untuk menamakan golongan yang benar” [Blogger SalafyTobat]

Demikianlah para musuh dakwah tauhid, mereka sangat alergi dengan istilah as-salafiyyah, hanya karena istilah ini digunakan oleh Wahhabi. Tidakkah mereka ingat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ

“Sesungguhnya sebaik-baik salaf bagimu adalah aku” [HR. Al-Bukhari no. 6285 dan Muslim no. 2450 , dari Aisyah radhiyallahu ‘anha]

Sebelum Wahhabi menggunakan istilah ini, berabad-abad sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mendidik putri kecintaan beliau, Fatimah dan memberikan nasihat padanya menggunakan istilah ini. Lantas mereka berani menggolongkan istilah ini sebagai bid’ah yang tercela!! Ini merupakan sikap yang lancang dan tidak santun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adapula sebagian orang yang beranggapan bahwa istilah as-salafiyyah hanya akan membuat pengelompokkan (hizbiyyah) dalam tubuh kaum muslimin. Sebagian orang menamakan kelompoknya “Salafy”, sebagian menamakan kelompoknya “Ikhwanul Muslimin”, sebagian yang lain menamakan kelompoknya “Jama’ah Tabligh” dan seterusnya. Bukankah ini termasuk bentuk hizbiyyah!!

Pernyataan tersebut dapat dijawab dari beberapa sisi:

Pertama, penamaan as-salafiyyah adalah nisbah kepada generasi awal umat Islam yang berada di atas tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukanlah suatu organisasi atau jaringan tertentu.

Bukankah mereka tidak mengingkari nisbah kepada Asy-Syafi’i yang kemudian diistilahkan dengan “Asy-Syafi’iyyah”, atau nisbah kepada Abu Hanifah yang kemudian diistilahkan dengan “Al-Hanafiyyah” serta nisbah kepada Malik bin Anas yang diistilahkan dengan “Al-Malikiyyah”.

Jika nisbah kepada seorang ulama yang memiliki keutamaan diperbolehkan, kenapa menisbahkan diri kepada Rasulullah dan para sahabat nabi yang telah dipastikan lebih utama dari Asy-Syafi’i, Malik dan Abu Hanifah terlarang??

Allah ta’ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah telah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS. At-Taubah: 100]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

خَيْرُ النَاسِ قَرْنِي ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi setelahnya (tabi’in), kemudian generasi setelahnya (tabi’ut tabi’in)” [HR. Al-Bukhari no. 3651 dan Muslim no. 2533]

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ

“Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba-Nya, maka Allah mendapati Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki hati yang paling baik diantara hati hamba-Nya, hingga Allah memilihnya untuk diri-Nya, serta mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad, maka Allah mendapati para sahabatnya memiliki hati yang paling baik diantara hati hamba-Nya.

Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendamping Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), maka hal itu baik di sisi Allah, dan apa yang dipandang buruk oleh mereka, maka hal itu juga buruk di sisi Allah.” [HR. Ahmad no. 3600 (1/379) dan dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir]

Kedua, kandungan makna dalam penamaan-penamaan tersebut hanyalah menunjukkan tuntunan Islam yang murni yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa ada penambahan sedikit pun atau pengurangan.

Ketiga, penamaan-penamaan ini mempunyai asal dalil dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keempat, penamaan-penamaan ini hanyalah muncul untuk membedakan antara pengikut kebenaran dan para pengekor hawa nafsu serta golongan-golongan sesat, sekaligus sebagai bantahan terhadap bid’ah dan kesesatan mereka, serta menepis kebingungan yang melanda umat.

Adz-Dzahabi berkata saat menyebutkan biografi Al-Imam Ad-Daraquthniy rahimahumallah,

وصح عن الدارقطني أنه قال: ما شئ أبغض إلي من علم الكلام

قلت: لم يدخل الرجل أبدا في علم الكلام ولا الجدال، ولا خاض في ذلك، بل كان سلفيا،

“Telah shahih ternukil dari Ad-Daraquthni bahwa ia berkata: “Tidak ada sesuatu pun yang lebih aku benci dari ilmu kalam (filsafat –pen)”

Aku (Adz-Dzahabi -pen) berkata: “Beliau sama sekali tidak pernah mempelajari dan mendalami ilmu kalam maupun perdebatan, bahkan beliau adalah seorang salafy.” [Siyar A’lam An-Nubala’, 16/457]

Adz-Dzahabi berkata saat menyebutkan biografi Al-Imam Ibnu Ash-Shalah Asy-Syafi’i rahimahumallah,

قال أبو حفص بن الحاجب في معجمه: إمام ورع وافر العقل حسن السمت متبحر في الأصول والفروع بارع في الطلب حتى صار يضرب به المثل واجتهد في نفسه في الطاعة والعبادة.
قلت: وكان سلفيًّا حسن الاعتقاد كافًّا عن تأويل المتكلمين مؤمنًا بما ثبت من النصوص غير خائض ولا معمق

“Abu Hafsh bin Al-Hajib berkata dalam Al-Mu’jam: “beliau adalah seorang imam yang wara’, berakal, memiliki akhlak mulia, luas pengetahuannya dalam ilmu ushul dan furu’, bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu hingga beliau menjadi permisalan dalam kesungguhan dalam ketaatan dan ibadah.”

Aku (Adz-Dzahabi –pen) berkata: “Beliau adalah seorang salafy, memiliki aqidah yang lurus, jauh dari ta’wil para ahli kalam, beriman kepada nash-nash yang shahih tanpa berlebihan dan berdalam-dalam untuk membahasnya” [Tadzkiratul Huffazh, 4/149]

Dalam kitab biografi yang lain, Adz-Dzahabi berkata:

ابن الصلاح الإمام الحافظ شيخ الإسلام تقي الدين أبو عمرو عثمان ابن الشيخ صلاح الدين عبد الرحمن بن عثمان بن موسى الكردي الشهرزوري الشافعي. صاحب كتاب علوم الحديث وشرح مسلم وغير ذلك.

وكان من أعلام الدين أحد فضلاء عصره في التفسير والحديث والفقه مشاركا في عدة فنون متبحراً في الأصول والفروع يضرب به المثل سلفياً زاهداً حسن الاعتقاد وافر الجلالة. مات في خامس عشري ربيع الآخر سنة ثلاث وأربعين وستمائة

“Ibnu Ash-Shalah Al-Imam Al-Hafizh Syaikhul Islam Taqiyuddin Abu ‘Amr Utsman bin Asy-Syaikh Shalahuddin Abdurrahman bin Utsman bin Musa Al-Kurdi Asy-Syahrazuri Asy-Syafi’i, pemiliki kitab ‘ulumul hadits, Syarh Muslim dan selainnya.

Beliau adalah ulama terkemuka, salah seorang fudhala’ di zamannya dalam bidang tafsir, hadits, fiqh, ikut andil dalam berbagai bidang ilmu, luas pengetahuannya dalam ushul dan furu’ yang pantas menjadi permisalan, seorang salafy yang zuhud, memiliki aqidah yang lurus dan berwibawa, wafat pada tanggal 25 Rabi’ul Akhir 643 H.” [Thabaqat Al-Huffazh, 1/104]

Saat menyebutkan biografi di atas, Adz-Dzahabi memberikan rekomendasi “salafy” kepada Al-Imam Ad-Daraquthni dan Al-Imam Ibnu Ash-Shalah karena keduanya memiliki aqidah yang lurus, yaitu saat keduanya tidak memperdalam ilmu kalam (filsafat), meninggalkan perdebatan, serta tidak menta’wil ayat dan hadits yang menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang diyakini oleh salaf umat ini.

Adz-Dzahabi rahimahullah juga berkata saat menyebutkan biografi Al-Imam Az-Zubaidi rahimahumallah,

مولده سنة ستين وأربع مئة.
وقدم دمشق بعد الخمس مئة، فوعظ بها، وأخذ يأمر بالمعروف، فلم يحتمل له الملك طغتكين، وكان نحويا فقيرا قانعا متألها، ثم قدم دمشق رسولا من المسترشد في شأن الباطنية، وكان حنفيا سلفيا

“Dilahirkan pada tahun 460 H, menetap di Dimasyq setelah tahun 500 H. Beliau memberikan nasehat dan melakukan amar ma’ruf, namun raja saat itu enggan menerima nasehatnya. Beliau adalah pakar nahwu, seorang yang faqir, memiki sifat qana’ah, ahli ibadah, pernah diutus untuk mendakwahi kelompok Al-Bathiniyyah, beliau adalah seorang salafy yang bermadzhab Hanafiy” [Siyar A’lam An-Nubala’, 20/317]

Perhatikan nukilan di atas, Al-Imam Adz-Dzahabi membedakan antara nisbah kepada madzhab fiqih dan nisbah kepada salaf. Beliau menisbahkan madzhab fiqh Az-Zubaidi kepada madzhab Hanafi, sedangkan dalam permasalahan aqidah dan firaq (kelompok-kelompok Islam), Adz-Dzahabi menilai Az-Zubaidi sebagai seorang salafy untuk memisahkan beliau dari aqidah sesat Al-Bathiniyyah, Allahua’lam.

Kelima, ikatan wala` (loyalitas) dan baro` (permusuhan) bagi orang-orang yang bernama dengan penamaan ini, hanyalah ikatan wala` dan baro` di atas Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah) bukan ikatan wala` dan baro` karena seorang tokoh, pemimpin, kelompok dan lainnya.

Keenam, tidak ada fanatisme bagi orang-orang yang memakai penamaan-penamaan tersebut selain kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena pemimpin dan panutan mereka hanyalah satu, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berbeda dengan orang-orang yang menisbahkan dirinya ke penamaan-penamaan bid’ah, fanatisme mereka untuk golongan, kelompok, atau pemimpin.

Ketujuh, penamaan-penamaan ini sama sekali tidak akan menjerumuskan ke dalam suatu bid’ah, maksiat maupun hal yang tercela menurut pandangan syari’at (Hukmu’ Intima’ karya Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah, ketujuh point utama di atas diambil dari buku “Jihad Bukan Kenistaan”)

Kedelapan, nisbah kepada istilah “salafy” mengandung keutamaan dan kemuliaan. Para ulama salaf mengunakan istilah ini untuk saling memberikan pujian satu sama lain.

Berikut penggunaan istilah ini oleh ulama salaf dalam konteks “pujian” terhadap ulama lain:

1. Adz-Dzahabi berkata saat menyebutkan biografi Al-Imam Ibnu Al-Majdi rahimahumallah,

الامام العالم الحافظ المتقن القدوة الصالح سيف الدين أبو العباس أحمد ابن المحدث الفقيه مجد الدين عيسى ابن الامام العلامة موفق الدين عبد الله بن أحمد بن محمد بن قدامة، المقدسي الصالحي الحنبلي. ولد سنة خمس وست مئة وكان ثقة ثبتا، ذكيا، سلفيا، تقيا، ذا ورع وتقوى

“Al-Imam Al-Alim Al-Hafizh Al-Mutqin Al-Qudwah Ash-Shalih Saifuddin Abu Al-Abbas Ahmad, anak dari seorang Muhaddits Faqiih Majduddin Isa bin Al-Imam Al-Allamah Muwafaquddin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi Ash-Shalihi Al-Hambali. Dilahirkan pada tahun 605 H…

Beliau adalah seorang yang tsiqah, tsabat, cerdas, salafy, bertakwa, memiliki sifat wara’ dan takwa” [Siyar A’lam An-Nubala’, 23/118]

2. Adz-Dzahabi berkata saat menuliskan biografi Ibnu Hubairah Al-Hambali rahimahumallah,

ابن هبيرة * الوزير الكامل، الامام العالم العادل، عون الدين، يمين الخلافة، أبو المظفر يحيى بن محمد بن هبيرة بن سعيد بن الحسن بن جهم، الشيباني الدوري العراقي الحنبلي، صاحب التصانيف

طلب العلم، وجالس الفقهاء، وتفقه بأبي الحسين بن القاضي أبي يعلى والادباء، وسمع الحديث، وتلا بالسبع، وشارك في علوم الاسلام، ومهر في اللغة، وكان يعرف المذهب والعربية والعروض، سلفيا أثريا، ثم إنه أمضه الفقر، فتعرض للكتابة

“Ibnu Hubairah Al-Waziir Al-Kamil Al-Imam Al-Alim Al-Adil penolong agama, tangan kanan khalifah, Abu Al-Mizhfar Yahya bin Muhammad bin Hubairah bin Sa’ad bin Al-Hasan bin Jahm Asy-Syaibani Ad-Dauri Al-Iraqi Al-Hambali, penulis kitab-kitab (terkenal –pen)…

Beliau menuntut ilmu, duduk di sisi fuqaha’, berguru kepada Abu Al-Husain bin Al-Qadhi Abu Ya’ala seorang sastrawan, mendengar hadits dan membacakannya, ikut andil dalam berbagai ilmu Islam, mahir dalam lughah, menguasai madzhab, bahasa arab dan ilmu ‘aruudh. Beliau adalah seorang salafy atsariy, kemudian beliau ditimpa kemiskinan dan mulai menulis..” [Siyar A’lam An-Nubala’, 20/426]

3. Adz-Dzahabi berkata saat menyebutkan biografi Al-Imam Al-Fasawi rahimahumallah,

وما علمت يعقوب الفسوي إلا سلفيا، وقد صنف كتابا صغيرا في السنة.

قال أبو الشيخ: سمعت أحمد بن محمود بن صبيح يقول: مات يعقوب بن سفيان بفسا في سنة سبع وسبعين ومئتين، ومات قبل أبي حاتم الرازي بشهر

“Aku tidak mengetahui Ya’qub Al-Fasawi kecuali seorang salafy, ia telah menulis kitab ringkas tentang As-Sunnah. Abu Syaikh berkata: “Aku mendengar Ahmad bin Mahmud bin Shabiih berkata: “Ya’qub bin Sufyan wafat di Fasa’ pada tahun 277 H, ia wafat sebulan mendahului Abu Hatim Ar-Razi” [Siyar A’lam An-Nubala’, 13/383]

4. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

فالذي يحتاج إليه الحافظ أن يكون تقيا ذكيا، نحويا لغويا، زكيا حييا، سلفيا، يكفيه أن يكتب بيده مئتي مجلد، ويحصل من الدواوين المعتبرة خمس مئة مجلد، وأن لا يفتر من طلب العلم إلى الممات، بنية خالصة وتواضع، وإلا فلا يتعن

“Untuk menjadi seorang Al-Hafizh dibutuhkan seorang yang memiliki ketaqwaan, kecerdasan, menguasai nahwu dan lughah, memiliki jiwa yang suci, salafy, cukup baginya menulis seratus jilid kitab dengan tangannya, memiliki tulisan-tulisan yang diakui (ulama –pen) sebanyak lima ratus jilid, tidak berhenti menuntut ilmu hingga wafat, serta memiliki niat yang ikhlas dan sifat tawadhu’. Jika ia tidak memenuhi kriteria tersebut, maka janganlah berharap banyak” [Siyar A’lam An-Nubala’, 13/380]

5. Adz-Dzahabi berkata saat menyebutkan biografi Al-Imam Izzuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Ibrahim Al-Wasithiy

كان فقيها سلفيا مفتيا مدرسا عارفا بالقراءات

“Beliau adalah seorang yang faqiih, salafy, mufti, pengajar dan ahli qira’at” [Thabaqat Asy-Syafi’iyyah, 2/160 karya Ibnu Syuhbah Al-Qadhi rahimahullah]

6. Adz-Dzahabi berkata saat menyebutkan biografi Abu Muhammad bin Al-Bundar Al-Harimi:

وكان ثقة صالحاً خيراً، ناسكاً، سلفياً

“Beliau adalah serang yang tsiqah, shalih, baik, ahli ibadah, salafy..” [Tarikh Al-Islaam, 42/185]

7. Adz-Dzahabi berkata saat menyebutkan biogradi Al-Qadhi Abu Al-Hasan Umar bin Ali Al-Baghdadi:

وكان ورعاً، صالحاً، ديناً، سلفياً. توفي في الثاني والعشرين من شعبان

“Beliau adalah seorang yang wara’, shalih, memiliki agama yang baik, salafy, wafat pada tanggal 22 Sya’ban.” [Tarikh Al-Islam, 47/276]

Kesimpulannya, istilah “salafy” bukan merupakan bid’ah yang diada-adakan oleh Wahhabi. Jika seorang yang mendakwahkan istilah ini otomatis disebut Wahhabi, maka Al-Imam Ad-Daraquthni, Al-Hafizh Ibnu Ash-Shalah dan Al-Imam Adz-Dzahabi adalah pengikut Wahabi, bukankah demikian??

Allahua’lam, semoga bermanfaat...


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 13 Rajab 1435

No comments:

Post a Comment