Sebagian orang yang anti terhadap dakwah salafiyyah
melemparkan syubhat: ”Istilah yang digunakan
oleh para ulama’ untuk menamakan kedudukan para ulama’ yang benar adalah Ahli
Sunnah dan Jama’ah. Istilah Ahli Sunnah dan Jama’ah adalah istilah
yang telah diijmak oleh para ulama’ generasi Salaf untuk menamakan golongan
yang benar. Manakala istilah al-Salafiyyah yang digunakan oleh golongan
Wahhabi pada hari ini untuk melambangkan dan menamakan golongan yang benar
[menurut sangkaan mereka] adalah satu bid’ah yang tercela bahkan tidak
pernah digunakan oleh generasi Salafus Soleh untuk menamakan golongan yang
benar” [Blogger SalafyTobat]
Demikianlah para musuh dakwah tauhid, mereka sangat
alergi dengan istilah as-salafiyyah, hanya karena istilah ini digunakan
oleh Wahhabi. Tidakkah mereka ingat sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Sesungguhnya sebaik-baik
salaf bagimu adalah aku” [HR. Al-Bukhari no. 6285 dan Muslim no. 2450 , dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha]
Sebelum Wahhabi
menggunakan istilah ini, berabad-abad sebelumnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam telah mendidik putri kecintaan beliau, Fatimah dan memberikan
nasihat padanya menggunakan istilah ini. Lantas mereka berani menggolongkan istilah
ini sebagai bid’ah yang tercela!! Ini merupakan sikap yang lancang dan tidak
santun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Adapula sebagian orang
yang beranggapan bahwa istilah as-salafiyyah hanya akan membuat
pengelompokkan (hizbiyyah) dalam tubuh kaum muslimin. Sebagian orang menamakan
kelompoknya “Salafy”, sebagian menamakan kelompoknya “Ikhwanul Muslimin”,
sebagian yang lain menamakan kelompoknya “Jama’ah Tabligh” dan seterusnya. Bukankah
ini termasuk bentuk hizbiyyah!!
Pernyataan tersebut dapat
dijawab dari beberapa sisi:
Bukankah mereka tidak
mengingkari nisbah kepada Asy-Syafi’i yang kemudian diistilahkan dengan
“Asy-Syafi’iyyah”, atau nisbah kepada Abu Hanifah yang kemudian diistilahkan
dengan “Al-Hanafiyyah” serta nisbah kepada Malik bin Anas yang diistilahkan
dengan “Al-Malikiyyah”.
Jika nisbah kepada seorang
ulama yang memiliki keutamaan diperbolehkan, kenapa menisbahkan diri kepada
Rasulullah dan para sahabat nabi yang telah dipastikan lebih utama dari
Asy-Syafi’i, Malik dan Abu Hanifah terlarang??
Allah ta’ala
berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ
مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم
“Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan
Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha
kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah telah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS.
At-Taubah: 100]
Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
خَيْرُ النَاسِ قَرْنِي ثُمَّ الذِيْنَ
يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia
adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi setelahnya (tabi’in), kemudian
generasi setelahnya (tabi’ut tabi’in)” [HR. Al-Bukhari no. 3651 dan Muslim no.
2533]
Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata:
إِنَّ اللهَ نَظَرَ فِي قُلُوْبِ
الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ
قُلُوْبِ الْعِبَادِ، فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، ثُمَّ
نَظَرَ فِي قُلُوْبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ، فَوَجَدَ قُلُوْبَ
أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوْبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ
يُقَاتِلُوْنَ عَلَى دِيْنِهِ، فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ
اللهِ حَسَنٌ، وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّئٌ
“Sesungguhnya Allah
melihat hati para hamba-Nya, maka Allah mendapati Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam memiliki hati yang paling baik diantara hati hamba-Nya, hingga
Allah memilihnya untuk diri-Nya, serta mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya.
Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad, maka Allah mendapati
para sahabatnya memiliki hati yang paling baik diantara hati hamba-Nya.
Oleh karena itu, Allah
menjadikan mereka sebagai para pendamping Nabi-Nya yang berperang demi membela
agama-Nya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), maka hal
itu baik di sisi Allah, dan apa yang dipandang buruk oleh mereka, maka hal itu
juga buruk di sisi Allah.” [HR. Ahmad no. 3600 (1/379) dan dishahihkan
sanadnya oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir]
Kedua, kandungan makna dalam penamaan-penamaan
tersebut hanyalah menunjukkan tuntunan Islam yang murni yaitu Al-Qur’an dan
As-Sunnah tanpa ada penambahan sedikit pun atau pengurangan.
Ketiga, penamaan-penamaan ini mempunyai asal dalil
dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keempat, penamaan-penamaan ini hanyalah muncul untuk
membedakan antara pengikut kebenaran dan para pengekor hawa nafsu serta golongan-golongan sesat, sekaligus sebagai bantahan terhadap bid’ah dan kesesatan
mereka, serta menepis kebingungan yang melanda umat.
Adz-Dzahabi berkata saat
menyebutkan biografi Al-Imam Ad-Daraquthniy rahimahumallah,
وصح عن الدارقطني أنه قال: ما شئ أبغض إلي من علم الكلام
قلت: لم يدخل الرجل أبدا في علم الكلام ولا الجدال، ولا خاض في ذلك،
بل كان سلفيا،
“Telah shahih ternukil dari Ad-Daraquthni bahwa ia berkata: “Tidak ada sesuatu
pun yang lebih aku benci dari ilmu kalam (filsafat –pen)”
Aku (Adz-Dzahabi -pen) berkata: “Beliau sama sekali tidak pernah
mempelajari dan mendalami ilmu kalam maupun perdebatan, bahkan beliau adalah
seorang salafy.” [Siyar A’lam An-Nubala’, 16/457]
Adz-Dzahabi berkata saat menyebutkan biografi Al-Imam Ibnu Ash-Shalah
Asy-Syafi’i rahimahumallah,
قال أبو حفص بن الحاجب في معجمه: إمام ورع
وافر العقل حسن السمت متبحر في الأصول والفروع بارع في الطلب حتى صار يضرب به
المثل واجتهد في نفسه في الطاعة والعبادة.
قلت: وكان سلفيًّا حسن الاعتقاد كافًّا عن تأويل المتكلمين
مؤمنًا بما ثبت من النصوص غير خائض ولا معمق
“Abu Hafsh bin Al-Hajib berkata dalam Al-Mu’jam: “beliau adalah
seorang imam yang wara’, berakal, memiliki akhlak mulia, luas pengetahuannya
dalam ilmu ushul dan furu’, bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu hingga
beliau menjadi permisalan dalam kesungguhan dalam ketaatan dan ibadah.”
Aku (Adz-Dzahabi –pen) berkata: “Beliau adalah seorang salafy,
memiliki aqidah yang lurus, jauh dari ta’wil para ahli kalam, beriman kepada
nash-nash yang shahih tanpa berlebihan dan berdalam-dalam untuk membahasnya” [Tadzkiratul
Huffazh, 4/149]
Dalam kitab biografi yang lain, Adz-Dzahabi berkata:
ابن الصلاح الإمام الحافظ شيخ الإسلام تقي
الدين أبو عمرو عثمان ابن الشيخ صلاح الدين عبد الرحمن بن عثمان بن موسى الكردي
الشهرزوري الشافعي. صاحب كتاب علوم الحديث وشرح مسلم وغير ذلك.
وكان من أعلام الدين أحد فضلاء عصره في التفسير والحديث والفقه
مشاركا في عدة فنون متبحراً في الأصول والفروع يضرب به المثل سلفياً زاهداً حسن الاعتقاد
وافر الجلالة. مات في خامس عشري ربيع الآخر سنة ثلاث وأربعين وستمائة
“Ibnu Ash-Shalah Al-Imam Al-Hafizh Syaikhul Islam Taqiyuddin Abu ‘Amr
Utsman bin Asy-Syaikh Shalahuddin Abdurrahman bin Utsman bin Musa Al-Kurdi
Asy-Syahrazuri Asy-Syafi’i, pemiliki kitab ‘ulumul hadits, Syarh Muslim dan
selainnya.
Beliau adalah ulama terkemuka, salah seorang fudhala’ di zamannya dalam
bidang tafsir, hadits, fiqh, ikut andil dalam berbagai bidang ilmu, luas
pengetahuannya dalam ushul dan furu’ yang pantas menjadi permisalan, seorang salafy
yang zuhud, memiliki aqidah yang lurus dan berwibawa, wafat pada tanggal 25
Rabi’ul Akhir 643 H.” [Thabaqat Al-Huffazh, 1/104]
Saat menyebutkan biografi di atas, Adz-Dzahabi memberikan rekomendasi
“salafy” kepada Al-Imam Ad-Daraquthni dan Al-Imam Ibnu Ash-Shalah karena keduanya
memiliki aqidah yang lurus, yaitu saat keduanya tidak memperdalam ilmu kalam
(filsafat), meninggalkan perdebatan, serta tidak menta’wil ayat dan hadits yang
menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang diyakini oleh salaf umat ini.
Adz-Dzahabi rahimahullah juga berkata saat menyebutkan biografi
Al-Imam Az-Zubaidi rahimahumallah,
مولده سنة ستين وأربع مئة.
وقدم دمشق بعد الخمس مئة، فوعظ بها، وأخذ
يأمر بالمعروف، فلم يحتمل له الملك طغتكين، وكان نحويا فقيرا قانعا متألها، ثم قدم
دمشق رسولا من المسترشد في شأن الباطنية، وكان حنفيا سلفيا
“Dilahirkan pada tahun 460 H, menetap di Dimasyq setelah tahun 500 H.
Beliau memberikan nasehat dan melakukan amar ma’ruf, namun raja saat itu enggan
menerima nasehatnya. Beliau adalah pakar nahwu, seorang yang faqir, memiki
sifat qana’ah, ahli ibadah, pernah diutus untuk mendakwahi kelompok Al-Bathiniyyah,
beliau adalah seorang salafy yang bermadzhab Hanafiy” [Siyar A’lam
An-Nubala’, 20/317]
Perhatikan nukilan di atas, Al-Imam Adz-Dzahabi membedakan antara nisbah
kepada madzhab fiqih dan nisbah kepada salaf. Beliau menisbahkan madzhab fiqh
Az-Zubaidi kepada madzhab Hanafi, sedangkan dalam permasalahan aqidah dan firaq
(kelompok-kelompok Islam), Adz-Dzahabi menilai Az-Zubaidi sebagai seorang
salafy untuk memisahkan beliau dari aqidah sesat Al-Bathiniyyah, Allahua’lam.
Kelima, ikatan wala` (loyalitas)
dan baro` (permusuhan) bagi orang-orang yang bernama dengan
penamaan ini, hanyalah ikatan wala` dan baro` di
atas Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah) bukan ikatan wala` dan baro` karena
seorang tokoh, pemimpin, kelompok dan lainnya.
Keenam, tidak ada fanatisme bagi orang-orang yang
memakai penamaan-penamaan tersebut selain kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam karena pemimpin dan panutan mereka hanyalah satu,
yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berbeda dengan
orang-orang yang menisbahkan dirinya ke penamaan-penamaan bid’ah, fanatisme
mereka untuk golongan, kelompok, atau pemimpin.
Ketujuh, penamaan-penamaan ini sama sekali tidak
akan menjerumuskan ke dalam suatu bid’ah, maksiat maupun hal yang tercela
menurut pandangan syari’at (Hukmu’ Intima’ karya Asy-Syaikh Bakr Abu
Zaid rahimahullah, ketujuh point utama di atas diambil dari buku “Jihad
Bukan Kenistaan”)
Kedelapan, nisbah kepada istilah “salafy” mengandung
keutamaan dan kemuliaan. Para ulama salaf mengunakan istilah ini untuk saling memberikan
pujian satu sama lain.
Berikut penggunaan istilah
ini oleh ulama salaf dalam konteks “pujian” terhadap ulama lain:
1. Adz-Dzahabi berkata
saat menyebutkan biografi Al-Imam Ibnu Al-Majdi rahimahumallah,
الامام العالم الحافظ المتقن القدوة
الصالح سيف الدين أبو العباس أحمد ابن المحدث الفقيه مجد الدين عيسى ابن
الامام العلامة موفق الدين عبد الله بن أحمد بن محمد بن قدامة، المقدسي الصالحي
الحنبلي. ولد سنة خمس وست مئة وكان ثقة ثبتا، ذكيا، سلفيا، تقيا، ذا ورع وتقوى
“Al-Imam Al-Alim Al-Hafizh
Al-Mutqin Al-Qudwah Ash-Shalih Saifuddin Abu Al-Abbas Ahmad, anak dari seorang
Muhaddits Faqiih Majduddin Isa bin Al-Imam Al-Allamah Muwafaquddin Abdullah bin
Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi Ash-Shalihi Al-Hambali. Dilahirkan
pada tahun 605 H…
Beliau adalah seorang yang
tsiqah, tsabat, cerdas, salafy, bertakwa, memiliki sifat wara’ dan
takwa” [Siyar A’lam An-Nubala’, 23/118]
2. Adz-Dzahabi berkata
saat menuliskan biografi Ibnu Hubairah Al-Hambali rahimahumallah,
ابن هبيرة * الوزير الكامل، الامام العالم العادل، عون الدين، يمين
الخلافة، أبو المظفر يحيى بن محمد بن هبيرة بن سعيد بن الحسن بن جهم،
الشيباني الدوري العراقي الحنبلي، صاحب التصانيف
طلب العلم، وجالس الفقهاء، وتفقه بأبي الحسين بن القاضي أبي يعلى
والادباء، وسمع الحديث، وتلا بالسبع، وشارك في علوم الاسلام، ومهر في اللغة، وكان
يعرف المذهب والعربية والعروض، سلفيا أثريا، ثم إنه أمضه الفقر، فتعرض
للكتابة
“Ibnu Hubairah Al-Waziir
Al-Kamil Al-Imam Al-Alim Al-Adil penolong agama, tangan kanan khalifah, Abu
Al-Mizhfar Yahya bin Muhammad bin Hubairah bin Sa’ad bin Al-Hasan bin Jahm
Asy-Syaibani Ad-Dauri Al-Iraqi Al-Hambali, penulis kitab-kitab (terkenal –pen)…
Beliau menuntut ilmu,
duduk di sisi fuqaha’, berguru kepada Abu Al-Husain bin Al-Qadhi Abu
Ya’ala seorang sastrawan, mendengar hadits dan membacakannya, ikut andil dalam
berbagai ilmu Islam, mahir dalam lughah, menguasai madzhab, bahasa arab
dan ilmu ‘aruudh. Beliau adalah seorang salafy atsariy, kemudian beliau
ditimpa kemiskinan dan mulai menulis..” [Siyar A’lam An-Nubala’, 20/426]
3. Adz-Dzahabi berkata saat menyebutkan biografi Al-Imam Al-Fasawi rahimahumallah,
وما علمت يعقوب الفسوي إلا سلفيا، وقد صنف كتابا صغيرا في
السنة.
قال أبو الشيخ: سمعت أحمد بن محمود بن صبيح يقول: مات يعقوب بن سفيان
بفسا في سنة سبع وسبعين ومئتين، ومات قبل أبي حاتم الرازي بشهر
“Aku tidak mengetahui
Ya’qub Al-Fasawi kecuali seorang salafy, ia telah menulis kitab ringkas
tentang As-Sunnah. Abu Syaikh berkata: “Aku mendengar Ahmad bin Mahmud
bin Shabiih berkata: “Ya’qub bin Sufyan wafat di Fasa’ pada tahun 277 H, ia
wafat sebulan mendahului Abu Hatim Ar-Razi” [Siyar A’lam An-Nubala’, 13/383]
4. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
فالذي يحتاج إليه الحافظ أن يكون تقيا ذكيا، نحويا لغويا، زكيا حييا،
سلفيا، يكفيه أن يكتب بيده
مئتي مجلد، ويحصل من الدواوين المعتبرة خمس مئة مجلد، وأن لا يفتر من طلب العلم
إلى الممات، بنية خالصة وتواضع، وإلا فلا يتعن
“Untuk menjadi seorang Al-Hafizh dibutuhkan seorang yang memiliki
ketaqwaan, kecerdasan, menguasai nahwu dan lughah, memiliki jiwa yang
suci, salafy, cukup baginya menulis seratus jilid kitab dengan
tangannya, memiliki tulisan-tulisan yang diakui (ulama –pen) sebanyak lima
ratus jilid, tidak berhenti menuntut ilmu hingga wafat, serta memiliki niat
yang ikhlas dan sifat tawadhu’. Jika ia tidak memenuhi kriteria tersebut, maka
janganlah berharap banyak” [Siyar A’lam An-Nubala’, 13/380]
5. Adz-Dzahabi berkata saat menyebutkan biografi Al-Imam Izzuddin Abu
Al-Abbas Ahmad bin Ibrahim Al-Wasithiy
كان فقيها سلفيا مفتيا مدرسا عارفا بالقراءات
“Beliau adalah seorang yang faqiih, salafy, mufti, pengajar dan ahli
qira’at” [Thabaqat Asy-Syafi’iyyah, 2/160 karya Ibnu Syuhbah Al-Qadhi rahimahullah]
6. Adz-Dzahabi berkata saat menyebutkan biografi Abu Muhammad bin Al-Bundar
Al-Harimi:
وكان ثقة صالحاً خيراً، ناسكاً، سلفياً
“Beliau adalah serang yang tsiqah, shalih, baik, ahli ibadah, salafy..”
[Tarikh Al-Islaam, 42/185]
7. Adz-Dzahabi berkata saat menyebutkan biogradi Al-Qadhi Abu Al-Hasan Umar
bin Ali Al-Baghdadi:
وكان ورعاً، صالحاً، ديناً، سلفياً. توفي في الثاني والعشرين من
شعبان
“Beliau adalah seorang yang wara’, shalih, memiliki agama yang baik, salafy,
wafat pada tanggal 22 Sya’ban.” [Tarikh Al-Islam, 47/276]
Kesimpulannya, istilah “salafy” bukan merupakan bid’ah yang diada-adakan
oleh Wahhabi. Jika seorang yang mendakwahkan istilah ini otomatis disebut Wahhabi,
maka Al-Imam Ad-Daraquthni, Al-Hafizh Ibnu Ash-Shalah dan Al-Imam Adz-Dzahabi adalah pengikut Wahabi,
bukankah demikian??
Allahua’lam, semoga bermanfaat...
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 13 Rajab 1435
No comments:
Post a Comment