Pertama, Tergesa-gesa dalam Men-tahdzir Ulama
dan Mengkritik Ijtihad Mereka
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
ثم إن
الكبير من أئمة العلم إذا كثر صوابه ، وعلم تحريه للحق ، واتسع علمه ، وظهر ذكاؤه
، وعرف صلاحه وورعه واتباعه يغفر له زللة ، ولا نضلله ونطرحه وننسى محاسنه ، نعم :
لانقتدي به في بدعته وخطئه ونرجو له التوبة من ذلك
“Kemudian para ulama kibar dari imam para ahli imu, jika
mereka memiliki kebenaran yang banyak, diketahui ketundukannya pada kebenaran,
luas ilmunya, nampak kecerdasannya, diketahui kebaikan dan sifat wara’-nya,
serta ittiba’-nya pada sunnah, maka dimaafkan kesalahan-kesalahannya.
Kami tidak menyesatkan mereka, tidak pula membuang mereka. Kami tidak melupakan
kebaikan-kebaikannya. Iya, kami tidak mengikuti bid’ah dan kesalahannya. Kami
berharap agar ia bertaubat dari kesalahannya.” [Siyar Al-A’lam An-Nubalaa’,
5/271]
Adz-Dzahabi rahimahullah juga berkata:
مازال
الأئمة يخالف بعضهم بعضاً، ويرد هذا على هذا ، ولسنا ممن يذم العالم بالهوى والجهل
“Para ulama senantiasa berselisih dan saling menulis
bantahan satu sama lain, kita bukanlah termasuk orang-orang yang mencela ulama dengan hawa
nafsu dan kejahilan” [Siyar Al-A’lam An-Nubalaa’,19/342]
اعلم
أنه ينبغي لكل مكلف أن يحفظ لسانه عن جميع الكلام إلا كلاما تظهر مصلحة فيه
“Ketahuilah bahwa wajib bagi setiap mukallaf
(baligh dan berakal) untuk menjaga lisannya dari seluruh perkataan, kecuali
perkataan yang mengandung maslahat” [Al-Adzkar hal. 528]
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
وإنما
يمدح العالم بكثرة ماله من الفضائل ، فلا تدفن المحاسن لورطةٍ، ولعله رجع عنها .
وقد يغفر له في استفراغه الوسع في طلب الحق ولاحول ولا قوة إلا بالله
“Sesungguhnya seorang ulama dipuji hanyalah karena
memiliki keutamaan yang banyak. Janganlah engkau mengubur kebaikan-kebaikannya
dengan kesalahannya, barangkali ia akan rujuk dari kesalahannya, atau
barangkali kesalahannya telah diampuni berkat jerih payahnya dalam mencari
kebenaran. Tidak ada upaya kecuali karena pertolongan Allah” [Siyar Al-A’lam
An-Nubalaa’,16/285]
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata:
وإن كان
مراد الراد على العالم إظهار عيبه وتنقصه وإظهار قصوره في العلم ونحو ذلك كان
محرما
“Jika tujuan dari seorang yang membantah ulama adalah
menampakkan aibnya, meremehkannya, menampakkan kebodohan ilmu seorang ulama dan
alasan lain yang semisal, maka hukumnya haram” [Al-Farq Baina An-Nashihah
wat Ta’yiir hal. 25]
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata:
وليس
أحد من أفراد العلماء إلا وله نادرة ينبغي أن تغمر في جنب فضله وتجتنب
“Tidak ada seorang pun dari ulama, kecuali memiliki
kesalahan yang jarang terjadi. Kita wajib melihat sisi keutamaannya dan
menjauhi (tidak mencela mereka –pen)” [Subulus Salaam, 1/168]
Kedua, Berambisi Meraih Kepemimpinan dan Kekuasaan
Allah ta’ala berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأَرْضِ وَلا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan
untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [QS. Al-Qashash: 83]
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
ما من
أحد أحب الرياسة إلا حسد وبغى وتتبع عيوب الناس وكره أن يذكر أحد بخير
“Tidaklah seseorang mencintai kepemimpinan kecuali ia
akan hasad, berbuat zalim, mencari-cari aib manusia dan tidak suka jika
kebaikan orang lain disebutkan” [Jami’ Al-Bayan no. 971]
Adz-Dzahabi rahimahullah memperingatkan dari sifat
ini,
فهذا
داء خفي سار في نفوس الفقهاء
“Ini adalah penyakit samar yang terdapat dalam jiwa-jiwa
para fuqahaa” [As-Siyar, 18/192]
Malik bin Dinar rahimahullah berkata:
من تعلم
العلم للعمل كسره ومن تعلمه لغير العمل زاده فخرا
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu untuk diamalkan, maka
ilmu itu akan membuatnya tawadhu'. Barangsiapa yang mempelajari ilmu tidak untuk
diamalkan, maka ilmu itu akan menambahkan kesombongan dalam dirinya” [Jami’
Al-Bayan no. 987, Iqtidha’ Al-‘Ilmi wal ‘Amal hal. 22-23 dengan
sanad yang hasan]
Sikap yang mencerminkan akhlak seorang
penuntut ilmu adalah tawadhu’ (rendah hati), alangkah indahnya jika setiap penuntut ilmu memiliki sifat ini.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Sedekah tidak akan mengurangi harta. Tidak
ada seorang pun yang memaafkan (kesalahan orang lain –pen), melainkan Allah
akan menambah kemuliaannya. Tidak ada seorang pun yang bersikap tawadhu’ (rendah
hati) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” [HR. Muslim no. 2588]
Dari Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bersikap tawadhu’,
agar tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak ada
seorang pun yang berbuat zhalim pada yang lain.” [HR. Muslim no. 2865]
Ibrahim bin Al-Asy’ats berkata: “Aku bertanya pada Al-Fudhail bin ‘Iyadh tentang makna tawadhu’ ”. Beliau menjawab:
أن تخضع للحق وتنقاد له ممن سمعته ولو كان أجهل الناس لزمك أن تقبله منه
Abdullah bin Al-Mu’taz rahimahullah berkata:
المتواضع
في طلاب العلم أكثرهم علما كما أن المكان المنخفض أكثر البقاع ماء
“Penuntut ilmu yang memiliki sifat tawadhu’ adalah
yang paling berilmu diantara mereka, sebagaimana tempat yang rendah lebih banyak
menyimpan air (dari tempat yang tinggi -pen)” [Al-Jami’ Liakhlaq Ar-Rawi no. 345 (1/198)]
Ketiga, Mendebat Semua Orang yang Menyelisihinya
Tanpa Ilmu dan Tanpa Tujuan Mencari Kebenaran (Debat Kusir)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjanjikan surga bagi orang-orang yang meninggalkan
perdebatan karena Allah, meskipun ia berada di pihak yang benar.
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku akan menjamin sebuah rumah di tepi
surga bagi siapa yang meninggalkan perdebatan, meskipun ia berada di atas kebenaran.
Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi siapa yang meninggalkan kedustaan,
meskipun ia hanya bergurau. Aku juga menjamin rumah di surga yang paling tinggi
bagi siapa yang memiliki akhlak yang baik.” [HR. Abu Daud no. 4800 dan dihasankan oleh
Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1464]
Sebaliknya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan ancaman bagi orang-orang yang kegemarannya berdebat tanpa didasari ilmu dan
tanpa ada tujuan mencari kebenaran
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Tidaklah suatu kaum tersesat setelah dahulu
berada di atas petunjuk kecuali setelah didatangkan perdebatan diantara mereka, kemudian beliau membaca ayat ini,
مَا
ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ
“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan
maksud berdebat saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” [HR. At-Tirmizi no.
3253, Ibnu Majah no. 47, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’
no. 5633]
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ
“Sesungguhnya orang yang paling dimurkai
Allah adalah orang yang paling keras permusuhannya lagi suka berdebat”. [HR. Al-Bukhari no.
2457 dan Muslim no. 2668)
Para ulama pun
telah memperingatkan dari model debat semacam ini,
Al-Auza’i rahimahullah berkata:
إذا أراد
الله بقوم شرا ألزمهم الجدل ومنعهم العمل
“Jika Allah menginginkan kejelekan pada suatu kaum, maka
Allah akan membiasakan mereka untuk berdebat dan menghalangi mereka dalam
beramal” [Jami’ Al-Bayan no. 1777 (2/934), Syarh Ushul Al-‘Itiqad no.
296]
Ada seorang laki-laki bertanya pada Al-Hakam bin
‘Utaibah:
ما حمل
أهل الأهواء على هذا؟
“Apa yang membuat ahlul-bid’ah berada di atas
kesesatannya?”
Ia menjawab:
الخصومة
“Perdebatan” [As-Sunnah (2/137), Asy-Syari’ah
no. 121 dan Dzammul Al-Kalam (5/62)]
Yahya bin Ayyub rahimahullah berkata:
إذا
أراد الله أن لا يعلم عبده أشغله بالأغاليط
“Jika Allah menginginkan untuk menjauhkan ilmu dari
hamba-Nya, maka Allah akan menyibukannya dengan perdebatan” [Al-Muwafaqaat,
4/311]
Mu’awiyah bin Qurrah rahimahullah berkata:
الخصومة
في الدين تحبط الأعمال
"Perdebatan
dalam agama menghapuskan amal” [Syarh Ushul I’tiqad no. 221, As-Sunnah
no. 98 dan Asy-Syari’ah no. 121]
Muslim bin Yasaar rahimahullah berkata:
إياكم
والمراء فإنه ساعة جهل العالم وبها يبتغي الشيطان زلته
“Berhati-hatilah kalian dari perdebatan, karena itu
adalah saat-saat nampaknya kebodohan seorang yang berilmu. Dengan perdebatan,
setan berusaha menggelincirkan seorang yang berilmu” [Asy-Syari’ah no.
118]
Abdul Kariim Al-Jazariy rahimahullah berkata:
ما خاصم
ورع قط في الدين
“Tidak ada seorang wara’ pun yang suka berdebat
dalam permasalahan agama” [Asy-Syari’ah no. 129 dan Al-Ibanah
Al-Kubraa no.123]
Rabi’ Al-Madkhali hafizhahullah
berkata:
إن من
يتحدث عن الفرق على خلاف منهج أهل الحديث في الجرح والتعديل لا بد أن يتحدث بحكم
الظن والهوى لأنه لا منهج لديه يثبت به ما يدين به
“Sesungguhnya barangsiapa yang berbicara tentang
kelompok-kelompok dengan menyelisihi manhaj ahlul-hadits dalam al-jarh
dan at-ta’dil, maka ia pasti memberikan hukum berdasarkan persangkaan
dan hawa nafsu. Sebab ia tidak memiliki manhaj yang kokoh dalam beragama” [Al-Majmu’
Al-Waadhih hal. 189]
Keempat, Membicarakan Permasalahan Fitnah di Tengah
Orang-orang Awam dan Orang yang Baru Mengenal Dakwah
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu berkata:
حدثوا الناس بما يعرفون أتريدون أن يكذب
الله ورسوله
“Berbicaralah kepada
manusia dengan bahasa yang dapat mereka pahami. Apakah kalian suka jika Allah
dan Rasul-Nya didustakan?” [HR. Al-Bukhari no. 127]
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
إن شرار
عباد الله الذين يجيؤون بشرار المسائل يفتنون بها عباد الله
“Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang paling buruk adalah
orang-orang yang datang membawa permasalahan yang paling buruk untuk melakukan fitnah terhadap hamba-hamba Allah” [Al-Ibanah hal. 154]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata:
والواجب
أمر العامة بالجمل الثابتة بالنص والإجماع ومنعهم من الخوض في التفصيل الذي يوقع
بينهم الفرقة والإختلاف فإن الفرقة والإختلاف من أعظم ما نهى الله ورسوله
“Wajib untuk menyampaikan ungkapan-ungkapan shahih yang
berasal dari nash dan ijma’ kepada orang-orang awam, kemudian melarang
mereka agar tidak berlebihan dalam mengetahui rincian permasalahan (fitnah
–pen) yang dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan diantara mereka. Sebab
perpecahan dan perselisihan adalah perkara terbesar yang dilarang oleh Allah
dan rasul-Nya” [Majmuu’ Al-Fatawa, 12/237]
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata:
وفيه
التنبيه أن العلم لا يودع عند غير أهلها ولا يحدث به إلا من يعقله ولا يحدث القليل
الفهم بما لا يحتمله
“Dalam hadits ini terdapat peringatan agar tidak
menyampaikan permasalahan (fitnah –pen) selain kepada ahlinya, tidak
membicarakannya kecuali pada orang-orang yang dapat memahaminya, serta tidak
menyampaikannya pada orang-orang yang kurang pemahamannya” [Fathul Baari,
12/154]
Kelima, Memaksakan Pendapat Dalam Permalasahan
Ijtihadiyyah
Sulaiman bin Musa Al-Asydaq rahimahullah berkata:
يجلس
إلى العالم ثلاثة : رجل ياخذ كل ما يسمع ورجل لا يحفظ شيئا وهو جليس العالم ورجل
ينتقي وهو خيرهم
“Ada tiga golongan manusia yang duduk di sisi seorang
ulama: pertama, seorang yang mengambil seluruh apa yang ia dengar. Kedua,
seorang yang tidak menghafal sedikitpun. Ketiga, seorang yang dapat
memilah-milah, ia lah yang terbaik diantara mereka” [Jamii’ Al-Bayan no.
1548, At-Tamhiid (1/79) dan Al-Jami’ Liakhlaq Ar-Rawi no. 1470,
shahih]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
نوالي
علماء المسلمين ونتخير من أقوالهم ما وافق الكتاب والسنة ونزنها بهما لا نزنهما
بقول أحد كائنا من كان ولا نتخذ من دون الله ورسوله رجلا يصيب ويخطئ فنتبعه في كل
ما قال
“Kami mencintai para ulama muslimin, kami memilih
perkataan mereka yang lebih mencocoki Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kami menimbang
perkataan mereka dengan keduanya, namun kami tidak menimbang Al-Qur’an dan
As-Sunnah dengan perkataan seorang pun dari mereka. Kami tidak menjadikan
seseorang yang terkadang benar dan terkadang keliru sebagai sekutu bagi Allah
dan rasul-Nya, tidak pula kami mengikuti seluruh apa yang ia katakan” [Al-Furusiyyah
hal. 343]
"Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikan
masalah ijtihadiyyah adalah perkara yang tidak ada kejelasan dalilnya. [I’lamul
Muwaqi’in, 3/287]
Ketahuilah bahwa masalah
khilafiyyah itu bertingkat-tingkat. Ada ikhtilaf yang disebabkan karena
perbedaan makna kalimat-kalimatnya saja, ada pula ikthtilaf yang disebabkan
oleh jelasnya kelemahan salah satu pendapat. Dalam khilafiyyah yang seperti ini,
kita wajib mengingkari pendapat yang lemah, bahkan pengingkaran ini dapat
membatalkan keputusan seorang hakim.
Namun di antara masalah
khilafiyyah ada perkara-perkara yang rumit, dalil dari kedua belah pihak sangat
kuat, pendapat-pendapat mereka saling berdekatan, dasar dari masing-masing pendapat adalah perbedaan pemahaman dalam pengambilan hukum syar’i. Inilah yang disebut
masalah ijtihadiyyah. [Dharurarul Ihtimam hal. 100]
Bagaimana kita
menyikapinya?
Hal yang wajib ditempuh:
1. Perlu adanya saling
nasehat-menasehati antara kedua orang yang berbeda pendapat dengan cara diskusi
ilmiah yang membuahkan kebenaran dengan menjelaskan sisi pendalilan atau sudut
pandang dan dalil dari masing-masing pendapat.
2. Jika salah satunya tidak
puas dengan apa yang dikemukakan oleh saudaranya, maka jangan sampai berbuah
pada kekerasan, pengingkaran dan perpecahan.
3. Jika ketidak-puasannya tidak dibangun di atas hujjah, namun karena ta’ashub madzhab, hawa
nafsu dan sejenisnya, maka perselisihan semacam ini boleh diingkari, karena yang menjadi ukuran adalah penyelisihannya
terhadap dalil. [Dharuratul Ihtimam, hal. 101]
Diriwayatkan dalam Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah menyeru para shahabatnya ketika selesai Perang Ahzab dengan
kemenangan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُصَلِّيَنَ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ
فِي بَنِي قُرَيْظَةَ.
“Jangan sekali-kali salah
seorang kalian shalat ashar, kecuali di tempat Bani Quraidhah!!
Namun ketika manusia khawatir
kehilangan waktu ashar, sebagian mereka ada yang shalat di tengah jalan sebelum
sampai ke tempat Bani Quraidhah, sedangkan sebagian lainnya berkata: “Tidak,
kami tidak akan shalat, kecuali di tempat yang telah diperintahkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kami, walaupun telah lewat waktu”. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pun tidak menyalahkan kedua belah pihak. [Fathul
Bari, 7/3407 dan Syarh An-Nawawi, 12/97]
Demikianlah masing-masing para shahabat mengerjakan apa yang benar menurut keyakinannya, sahabat yang satu tidak menyalahkan yang lainnya.
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata:
“Jika engkau melihat
seseorang beramal dengan satu amal ibadah yang masih diperselisihkan, sedangkan
engkau berpendapat lain, maka jangan engkau melarangnya” [Al-Faqiih wal
Mutafaqqih, 2/69]
Ungkapan-ungkapan semisal
ini tentunya diterapkan dalam konteks masalah ijtihadiyyah, bukan dalam semua
masalah khilafiyyah.
Yahya bin Sa’id
al-Anshari rahimahullah berkata:
“Para ahli fatwa masih
terus mengeluarkan fatwa mereka. Sebagian menyatakan halal dan sebagian lainnya
menyatakan haram (dengan ijtihad mereka -pen). Ulama yang menghalalkan tidaklah
menyatakan bahwa ulama yang mengharamkan akan binasa. Demikian pula sebaliknya,
tidaklah ulama yang mengharamkan menyatakan bahwa ulama yang menghalalkan akan
binasa.” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, lihat Dharuratul
Ihtimam hal. 102]
Seluruh ungkapan di atas
berlaku dalam masalah ijtihadiyyah yang muncul dari para ulama yang memang
layak untuk berijtihad. Dalam masalah-masalah seperti ini tidak ada
pengingkaran, kecuali hanya sekedar diskusi dan saling menasehati. [Dharuratul
Ihtimam hal. 102]” (Ditulis oleh Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed hafizhahullah
dalam Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 136/Th. III 18 Rabi’ul Awwal 1428 H/06
April 2007 M)
Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata:
ومما
ينافي الأدب ما تراه من بعض طلبة العلم أنه حال الإختلاف يأتي إلى أخيه من طلاب
العلم والدعاة وربما إلى من هو أعلم منه ويقول له : ماذا تقول في مسالة كذا وكذا ؟
من مسائل يسع فيه الخلاف بل بعضهم يتجرا فيقول : أخرج ما في قلبك أنت خبيث ما دمت
لا تصرح !! فهؤلاء الذين يخشى عليهم في المستقبل
“Diantara hal yang meniadakan adab adalah saat engkau
melihat sebagian penuntut ilmu berselisih, lalu ia mendatangi saudaranya dari
para penuntut ilmu dan da’i, bahkan ia datang kepada orang yang lebih berilmu
darinya, kemudian berkata: “Apa pendapatmu tentang masalah ini dan itu?”
(dari permasalahan ijtihadiyyah).
Bahkan sebagian mereka berbuat tidak santun sambil berkata: “keluarkanlah apa yang
ada dalam hatimu, engkau adalah seorang yang jelek, jika engkau tidak mau tegas
(mengambil sikap –pen)”. Mereka adalah orang-orang yang dikhawatirkan
(keadaannya –pen) di masa mendatang” [Al-Ibanah hal. 165]
Keenam, Tidak Mengetahui Perbedaan dalam Menyikapi
“Penyimpangan” dan “Kesalahan” Seorang Ulama atau Penuntut Ilmu
Berikut beberapa perbedaan antara “Kesalahan” dan
“Penyimpangan”:
1. Tidak ada seorang ulama pun yang selamat dari
kesalahan.
2. Kesalahan itu tidak akan mengurangi kemuliaan seorang
ulama
3. Kesalahan itu diberikan udzur
4. Ulama atau penuntut ilmu yang terjatuh dalam kesalahan
dinasehati dengan lembut dan menggunakan metode yang baik
5. Memperingatkan kaum muslimin agar tidak mengambil
kekeliruan pendapatnya [Al-Ibanah hal. 142]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata:
فإذا لم
يحصل النور الصافي بأن لم يوجد إلا النور الذي ليس بصاف وإلا بقي الإنسان في
الظلمة فلا ينبغي
“Jika tidak ada cahaya yang sempurna dan murni, namun yang ada
hanyalah cahaya yang tidak sempurna, (maka hal itu tidaklah mengapa –pen). Jika
tidak demikian, maka manusia akan tetap berada dalam kegelapan, ini tidak
semestinya terjadi” [Majmuu’ Al-Fatawa, 10/364]
Abu Hilal Al-‘Askari rahimahullah berkata:
فإنه
لم يعر من الخطأ إلا من عصم الله جل ذكره . وقد قالت الحكماء : الفاضل من عُدت
سقطاته ، وليتنا أدركنا بعض صوابهم أو كنا ممن يميز خطأهم
"Tidak
seorang pun yang terbebas dari kesalahan kecuali orang-orang yang diberikan ke-makshum-an
oleh Allah jalla dzikruhu. Para ahli hikmah berkata: “Orang yang
memiliki keutamaan adalah seorang yang bisa dihitung kesalahannya.” Duhai
seandainya kita mau melihat kebenaran-kebenaran yang ada pada mereka atau kita
termasuk orang-orang yang mampu memilah-milah kesalahan mereka” [Syarh Ma
Yaqa’u fihit Tashiif hal. 6]
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
ولو
أنا كلما أخطأ إمام في اجتهاده في آحاد المسائل خطأ مغفوراً له ، قمنا عليه ،
وبدعناه وهجرناه لما سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن منده ، ولا من هو أكبر منهما ،
والله هو هادي الخلق إلى الحق ، وهو أرحم الراحمين ، فنعوذ بالله من الهوى
والفظاظة
“Seandainya setiap ulama yang berijtihad, kemudian keliru
dalam suatu permasalahan, kita sikapi, kita vonis mubtadi’ dan kita
boikot (hajr), niscaya tidak ada seorang pun ulama yang akan selamat, tidak
Ibnu Nashr, tidak Ibnu Mandah, tidak pula ulama yang lebih tinggi kedudukannya
dari keduanya. Allah lah yang memberikan hidayah manusia pada kebenaran, Dialah
adalah dzat yang paling penyayang diantara orang-orang yang memiliki kasih
sayang. Kita berlindung pada Allah dari hawa nafsu dan sikap keras” [Siyar
Al-A’lam An-Nubalaa’,14/40]
ولو أن
كل من أخطأ في اجتهاده - مع صحة إيمانه وتوخيه لاتباع الحق - أهدرناه وبدعناه ،
لقل من يسلم من الأئمة معنا
“Seandainya setiap ulama yang keliru dalam ijtihadnya,
bersamaan dengan keimanannya yang benar dan ketundukkannya dalam mengikuti
kebenaran, lalu kita boikot dan divonis mubtadi’, sungguh sedikit dari
para ulama kita yang akan selamat” [Siyar Al-A’lam An-Nubalaa’,14/374]
وما من
شرط العالم أنه لا يخطئ
“Bukanlah termasuk syarat ulama, ia tidak terjatuh dalam
kesalahan” [Siyar Al-A’lam An-Nubalaa’,19/339]
أخطأ
ابن خزيمة في حديث الصورة ، ولا يطعن عليه بذلك بل لا يؤخذ عنه هذا
“Ibnu Khuzaimah telah keliru dalam menafsirkan hadits
“Ash-Shurah”. Tidak boleh mencela beliau dengan sebab ini, bahkan beliau tidak
pantas dicela” [Siyar Al-A’lam An-Nubalaa’,20/88]
Diantara hal yang perlu diperhatikan sebelum memvonis
kesalahan pada seorang ulama atau penuntut ilmu adalah tatsabbut
(teliti) dalam menerima berita.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ومن
أراد أن ينقل مقالة عن طائفة فليسم القائل والناقل وإلا فكل أحد يقدر على الكذب
فقد تبين كذبه فيما نقله عن أهل السنة
“Barangsiapa yang ingin menukil perkataan suatu kaum,
hendaklah ia menyebutkan nama orang yang berkata serta orang yang menukil. Jika
tidak demikian, sungguh setiap orang mampu untuk berdusta. Bahkan telah nampak
kedustaannya saat ia menukil dari ahlus-sunnah” [Minhaajus Sunnah,
2/518]
Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah
berkata:
وعليهم
إيرادها بنصها وذكرمصدرها وليتحروا فيما إذا كان قد تراجع القائل عن مقالته فلا
تدخل في النقد ولا يحمل الكلام ما لا يتحمله
“Mereka (orang yang menulis bantahan –pen) wajib
menyebutkan nash dan sumber perkataannya, berhati-hatilah jika orang
yang dibantah telah rujuk dari kesalahannya. Janganlah engkau melanjutkan
bantahan, jangan pula memahami perkataannya dengan pemahaman yang tidak sesuai
dengan apa yang ia maksudkan” [Al-Ibanah hal. 148]
Sedangkan penyimpangan seorang ulama atau penuntut ilmu
dapat diketahui dengan beberapa hal:
1. Melakukan kesengajaan dalam menyelisihi Al-Qur’an dan
As-Sunnah
2. Bersikukuh di atas penyimpangannya
3. Membangun kecintaan dan permusuhan (al-wala’
dan al-baraa’) di atasnya
4. Mendakwahkan
penyimpangannya pada kaum muslimin
Bagaimanakah metode dalam menyikapi para ulama yang terjatuh
dalam penyimpangan?
1. Wajib men-tahdzir (memperingatkan) manusia dari
penyimpangannnya dengan memperhatikan maslahat dan mafsadah,
2. Di-hajr (boikot), jika maslahat mengharuskan
demikian
3. Turun derajatnya dari tingkatan ulama, serta dihukumi
sebagai ahlul-bid’ah dan hizbiyyun
4. Tidak dijadikan tempat sandaran dalam menuntut ilmu,
meminta fatwa dan meminta nasehat. [Al-Ibanah hal. 142]
Penting untuk diketahui, ijtihad dalam memvonis "ahlul-bid'ah" terhadap seorang ulama atau penuntut ilmu dikembalikan kepada para ulama kibar. Para penuntut ilmu tidak memiliki hak sedikitpun untuk berijtihad dalam permasalahan ini.
Allahua’lam, semoga bermanfaat...
Sumber: Kitab Al-Ibanah 'an Kaifiyyah At-Ta'amul Ma'al Khilaf baina Ahlis-Sunnah wal Jama'ah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 4 Rajab 1435
Alhamdulillah, nasehat yang sangat indah. Barokallahu fikum.
ReplyDeleteSemoga aja para da'i dan penuntut ilmu berusaha menjauhi akhlak yg jelek ini agar dakwah salafiyah bisa lbh baik.
ReplyDelete