Wednesday, May 28, 2014

Bolehkah Membicarakan Pemimpin yang Berkuasa di Wilayah Lain?

Yang diwajibkan taat kepada pemimpin pada suatu daerah hanyalah penduduk daerah tersebut. Adapun warga dari luar daerah tersebut tidaklah diharuskan untuk taat kepada pemimpin tersebut, tidak secara sya’i tidak pula secara undang-undang. Semua warga hanyalah diwajibkan taat kepada pemerintah yang tertinggi, yaitu Presiden. Oleh karena itu, apabila ada warga dari luar daerah pemerintah tersebut membicarakan pemerintah itu, maka itu tidak menjadi masalah” [Cetak tebal dan garis miring dari saya]

Saya akan memberikan contoh agar permasalahannya lebih jelas, misalkan Ali adalah seorang warga Jawa Timur, karena ia hanya diwajibkan taat kepada Gubernur Jawa Timur beserta jajaran Pemerintah Daerahnya, lalu ia membicarakan aib Gubernur Jogjakarta, lalu mengeksposnya di khalayak umum. Ia menganggap perbuatan itu boleh-boleh saja dan tidak menyalahi syariat…

Benarkah ungkapan di atas?

Jawabnya: keliru, meskipun nash-nash yang berkaitan dengan mendengar dan taat hanyalah berlaku bagi pemimpin muslim yang menguasai wilayah tempat ia berada, namun hal itu tidak melazimkan kebolehan membicarakan penguasa wilayah lain. Berikut beberapa alasannya:

[Pertama] Ketaatan pada penguasa muslim adalah satu permasalahan, dan membicarakan aib penguasa, baik penguasa di wilayahnya maupun penguasa di wilayah lain merupakan permasalahan berbeda. Keduanya tidaklah sama, jadi Anda harus cermat dalam memahami permasalahan ini…

Nash-nash dalam hadits dan perkataan ulama salaf terkait larangan membicarakan penguasa berlaku umum, baik penguasa di wilayahnya maupun penguasa di wilayah lain.    

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

السُّلْطَانُ ظِلُّ اللهِ فِي الْأَرْضِ، فَمَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ اللهُ، وَمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ اللهُ

“Penguasa adalah naungan Allah di muka bumi. Barangsiapa yang memuliakan penguasa, niscaya Allah akan memuliakannya, dan barangsiapa yang menghinakan penguasa, niscaya Allah akan menghinakannya” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim no. 1024,  Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/17) no. 7373 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Dzilal Al-Jannah (2/224) no. 1024]

Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullah berkata:

ان المراد بأئمة المسلمين الخلفاء وغيرهم ممن يقوم بأمور المسملين من اصحاب الولايات

“Yang dimaksud dengan para imam kaum muslimin adalah khalifah dan orang-orang yang menguasai suatu wilayah serta memegang urusan kaum muslimin” [Syarh Shahih Muslim, 2/38]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وهو أن النبي صلى الله عليه و سلم أمر بطاعة الأئمة الموجودين المعلومين الذين لهم سلطان يقدرون به على سياسة الناس لا بطاعة معدوم ولا مجهول ولا من ليس له سلطان ولا قدرة على شيء أصلا

“Dalam hadits tersebut, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk taat kepada para penguasa yang ada dan diketahui memiliki kekuasaan yaitu penguasa yang memiliki wewenang mengatur manusia. Ketaatan itu tidaklah diberikan pada penguasa yang tidak nyata, tidak pula penguasa yang tidak dikenal memiliki wilayah kekuasaan dan tidak memiliki kemampuan sedikitpun” [Minhajus Sunnah, 1/115]

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata:

قوله عن الطاعة أي طاعة الخليفة الذي وقع الاجتماع عليه وكأن المراد خليفة أي قطر من الأقطار إذ لم يجمع الناس على خليفة في جميع البلاد الإسلامية

“Perkataan nabi: “keluar dari ketaatan” maknanya adalah ketaatan kepada khalifah (pemimpin) yang manusia telah berkumpul mentaatinya. Seolah-olah khalifah di sini bermakna pemimpin suatu wilayah negara ketika kaum muslimin di seluruh negeri Islam belum bersepakat menunjuk seorang khalifah” [Subulus Salam, 3/261]

Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:

ليس من منهج السلف التشهير بعيوب الولاة وذكر ذلك على المنابر؛ لأن ذلك يفضي إلى الفوضى، وعدم السمع والطاعة في المعروف، ويفضي إلى الخوض الذي يضر ولا ينفع، ولكن الطريقة المتبعة عند السلف: النصيحة فيما بينهم وبين السلطان، والكتابة إليه، أو الاتصال بالعلماء الذين يتصلون به حتى يوجه إلى الخير، وإنكار المنكر يكون من دون ذكر من فعله، ويكفي إنكار المعاصي والتحذير منها من غير ذكر أن فلانًا يفعلها لا حاكم ولا غير حاكم،

“Menyebutkan dan menyebarkan aib-aib penguasa di mimbar-mimbar bukanlah termasuk manhaj salaf, karena hal itu dapat menimbulkan kekacauan, kemudharatan serta tidak mendatangkan manfaat. Namun metode yang ditempuh oleh salaf adalah menasehati penguasa secara rahasia antara ia dan penguasa atau menulis surat kepadanya atau menghubungi para ulama agar ulama itu menasehati penguasa dan mengarahkannya pada kebaikan atau mengingkari kemungkaran tanpa menyebutkan nama penguasa yang terjatuh dalam kemungkaran tersebut.

Cukuplah kau mengingkari kemaksiatan tanpa menyebutkan nama orangnya, baik ia adalah seorang penguasa atau bukan… [Mu’amalatul Hukkam fii Dhaw Al-Kitab was-Sunnah hal. 57-58]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

فالله الله في فهم منهج السلف الصالح في التعامل مع السلطان، وأن لا يتخذ من أخطاء السلطان سبيلاً لإثارة الناس وإلى تنفير القلوب عن ولاة الأمور؛ فهذا عين المفسدة، وأحد الأسس التي تحصل بها الفتنة بين الناس، كما أن ملء القلوب على ولاة الأمر يحدث الشر والفتنة والفوضى، وكذا ملء القلوب على العلماء يحدث التقليل من شأن العلماء، وبالتالي التقليل من الشريعة التي يحملونها، فإذا حاول أحد أن يقلل من هيبة العلماء وهيبة ولاة الأمر؛ ضاع الشرع والأمن؛ لأن الناس إن تكلم العلماء؛ لم يثقوا بكلامهم، وإن تكلم الأمراء؛ تمردوا على كلامهم، وحصل الشر والفساد، فالواجب أن ننظر ماذا سلك السلف تجاه ذوي السلطان، وأن يضبط الإنسان نفسه، وأن يعرف العواقب، وليعلم أن من يثور إنما يخدم أعداء الإسلام ؛ فليست العبرة بالثورة ولا بالانفعال، بل العبرة بالحكمة، ولست أريد بالحكمة السكوت عن الخطأ، بل معالجة الخطأ ؛ لنصلح الأوضاع؛ لا لنغير الأوضاع؛ فالناصح هو الذي يتكلم ليصلح الأوضاع لا ليغيرها

“Demi Allah, berpeganglah kalian dengan manhaj salaf dalam bermuamalah terhadap penguasa. Janganlah kalian menjadikan kesalahan-kesalahan penguasa sebagai jalan untuk membuat kekacauan di tengah manusia dan membuat lari hati-hati manusia dari pemerintah. Hal itu merupakan salah satu sebab terbesar terjadinya fitnah diantara manusia.

Memenuhi hati manusia dengan kebencian terhadap penguasa akan mendatangkan keburukan, fitnah dan kekacauan, demikian pula memenuhi hati manusia dengan kebencian terhadap ulama akan menimbulkan pelecehan dan perendahan terhadap kedudukan ulama, kemudian ia akan meremehkan syariat yang dibawa oleh para ulama.

Jika ada seorang yang berusaha melecehkan kedudukan ulama dan menjatuhkan kewibaan penguasa, maka syariat ini akan di sia-siakan serta hilanglah keamanan. Wajib bagi kita untuk memperhatikan metode yang ditempuh salaf dalam bermuamalah kepada penguasa…” [Al-Fitnah wa Mauqif Al-Muslim minha hal. 174-175]

Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah juga berkata:

إنَّ بعض الناس ديدنه في كل مجلس يجلسه الكلام في ولاة الأمور والوقوع في أعراضهم، ونشر مساوئهم وأخطائهم، معرضاً بذلك عما لهم من محاسن أو صواب. ولا ريب أن سلوك هذا الطريق، والوقوع في أعراض الولاة لا يزيد الأمر إلا شدة، فإنه لا يحل مشكلة ولا يرفع مظلمة، وإنما يزيد البلاء بلاءً، ويوجب بغض الولاة وكراهيتهم

“Sungguh sebagian manusia kegemarannya di setiap majlis adalah membicarakan penguasa, menjatuhkan kehormatannya, menyebarkan kesalahan dan keburukan-keburukannya, tanpa mau melihat kebaikan-kebaikan dan kebenaran yang ada pada mereka. Tidak diragukan lagi bahwa cara ini yaitu menjatuhkan kehormatan penguasa akan semakin menambah keburukan, perbuatannya itu tidak menyelesaikan masalah, tidak pula dapat mengangkat kezaliman. Mereka hanyalah menambahkan bencana di atas bencana. Perbuatan mereka ini akan menumbuhkan kemarahan dan kebencian (rakyat –pen) kepada penguasa…  ” [Al-Fitnah wa Mauqif Al-Muslim minha hal. 156-157]

Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata:

أما أننا نتخذ من العثرات والزلات سبيلاً لتنقُّص ولاة الأمور، أو الكلام فيهم، أو تبغيضهم إلى الرعية؛ فهذه ليست طريقة السلف أهل السنة والجماعة. أهل السنة والجماعة يحرصون على طاعة ولاة أمور المسلمين، وعلى تحبيبهم للناس، وعلى جمع الكلمة، هذا هو المطلوب.

والكلام في ولاة الأمور من الغيبة والنميمة، وهما من أشد المحرمات بعد الشرك، لا سيما إذا كانت الغيبة للعلماء ولولاة الأمور فهي أشد، لما يترتب عليها من المفاسد، من: تفريق الكلمة، وسوء الظن بولاة الأمور، وبعث اليأس في نفوس الناس، والقنوط

“Kami tidak menjadikan kesalahan dan kekeliruan penguasa sebagai jalan untuk melecehkan mereka atau membicarakan mereka atau membuat rakyat marah kepada mereka. Perbuatan ini bukanlah termasuk metode salaf ahlus-sunnah wal-jama’ah. Ahlus-sunnah sangat antusias dalam mentaati pemerintah kaum muslimin, mencintai mereka, bersemangat dalam mewujudkan persatuan, inilah perkara yang dituntut.

Membicarakan penguasa termasuk bentuk ghibah dan namimah (mengadu domba rakyat dan penguasa –pen). Perbuatan ini termasuk keharaman yang paling berat setelah kesyirikan, karena kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan darinya berupa perpecahan kaum muslimin, prasangka buruk terhadap penguasa dan menimbulkan keputus-asaan di hati-hati manusia ” [Al-Ajwibah al-Mufidah no. 37]

Asy-Syaikh Dr. Khalid Al-‘Anbari hafizhahullah berkata:

أوجب الشارع الشريف على الأمة توقير الأمراء واحترامهم وتبجيلهم، ونَهى في الوقت نفسه عن سبهم وانتقاصهم والحط من أقدارهم، وذلك لتقع مهابتهم والرهبة منهم في نفوس الرعية، فتنكف عن الشر والفساد والبغي والعدوان النفوس الردية

“Syariat yang mulia ini mewajibkan umat untuk memuliakan, menghormati dan menjaga wibawa para penguasa. Di saat yang bersamaan syariat ini juga melarang perbuatan mencela, merendahkan dan menurunkan kewibawaan mereka. Sebab perbuatan itu akan menghilangkan wibawa mereka di hadapan rakyat yang berakibat pada keburukan, kerusakan, tindakan melampaui batas, serta permusuhan dalam jiwa-jiwa yang buruk” [Fiqh As-Siyasah Asy-Syar’iyah hal. 203-204]

[Kedua] Menyampaikan nasehat kepada penguasa di khalayak umum bukanlah termasuk manhaj salaf, meskipun di sana terdapat maslahat yang hendak dicapai, bahkan perbuatan itu merupakan ciri khas kelompok Khawarij. Hadits dan atsar ulama salaf berikut akan menjelaskan kepada kita, bagaimana metode salaf dalam bermuamalah terhadap penguasa,

Hadits pertama, Rasulullah shallalalahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن من أعظم الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر

“Diantara jihad yang terbesar adalah mengucapkan kebenaran di sisi penguasa yang kejam” [HR. At-Tirmidzi (8/83) no. 2100 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi]

Hadits ini sering digunakan hujjah oleh kelompok Ikhwani dan Hizbut Tahriir untuk melegalkan tindakan mereka mencela penguasa di khalayak umum, padahal hadits ini justru menunjukkan sebaliknya. Amalan jihad yang terbesar adalah menyampaikan kebenaran secara langsung di hadapan seorang penguasa zalim, bukan dengan orasi di jalan-jalan dan berteriak-teriak membuang tenaga. Kenapa demikian? Karena menyuarakan kebenaran di hadapan seorang penguasa zalim mendatangkan resiko besar pada dirinya, mungkin ia akan dibunuh atau dipenjarakan dengan sebab nasehat yang ia sampaikan.

Sa’id bin Jubair rahimahullah pernah bertanya pada Ibnu Abbas: “Bagaimana aku melakukan amar ma’ruf kepada pemimpinku?

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab:

إن خشيت أن يقتلك فلا فإن كنت فاعلا ففيما بينك وبينه

“Jika kau khawatir penguasa itu akan membunuhmu, maka jangan kau menasehatinya. Jika kau benar-benar mau melakukannya, nasehatilah (secara rahasia) antara dirimu dan dirinya” [HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/96) no. 7592, Ibnu Abi Syaibah (15/74) no. 38462]

Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu berkata:

عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلَّا فَدَعْهُ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ

“Engkau wajib bersama As-Sawad Al-A’zham, engkau wajib bersama As-Sawad Al-A’zham. Jika penguasa mau mendengarkan nasehatmu, maka datangilah ia di rumahnya, kabarkanlah apa yang kau ketahui. Jika ia menerima nasehatmu, (maka itulah yang diharapkan -pen). Jika tidak, maka tinggalkanlah ia, karena kau tidak lebih tahu darinya” [HR. Ahmad (32/157) no. 19415 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Dzilal Al-Jannah, 2/143, no. 905]

Imam Ibnul Atsir rahimahullah berkata:

وفيه [ عليكم بالسَّوادِ الأعْظَم ] أي جُمْلة النَّاس ومُعْظَمهم الذين يجتمعون على طاعة السُّلطان وسُلُوك النَّهج المُسْتقيم

“Engkau wajib bersama As-Sawad Al-A’zham, maknanya adalah sekelompok mayoritas manusia yang berkumpul di atas ketaatan kepada penguasa dan orang-orang yang menempuh manhaj yang lurus” [An-Nihayah fii Gharib Al-Hadiits, 2/1029]

Hadits kedua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

“Barangsiapa yang ingin menyampaikan suatu nasehat kepada penguasa, janganlah ia menampakannya secara terang-terangan. Namun peganglah tangannya, temuilah ia secara empat mata, jika nasehat itu diterima maka itulah yang diharapkan, dan jika nasehat itu ditolak maka ia telah menunaikan kewajibannya pada penguasa” [HR. Ahmad (24/48-49) no. 14792, Ibnu Abi ‘Ashim (3/102) no. 910 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Dzilal Al-Jannah no. 1096]

Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata:

أيتها الرعية إن لنا عليكم حقا النصيحة بالغيب، والمعاونة على الخير

“Wahai rakyatku, sungguh kami memiliki hak atas kalian yaitu nasehat secara rahasia dan tolong-menolong dalam kebaikan” [Az-Zuhd, 2/602]

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ قِيلَ لَهُ أَلَا تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ فَقَالَ أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ وَاللَّهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ

Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya: “Kenapa kau tidak masuk menemui Utsman dan menasehatinya?”

Usamah menjawab: “Apakah kalian mengira aku tidak menasehatinya, haruskah aku memberitahukannya pada kalian?. Demi Alah, sungguh aku telah menasehatinya (secara rahasia) antara diriku dan dirinya tanpa membuka satu pintu. Aku tidak suka menjadi orang pertama yang membuka pintu itu” [HR. Al-Bukhari (11/46) no. 3027, Muslim (14/261) no. 5305]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

فقال أسامة قد كلمته سرا دون أن أفتح بابا أي باب الإنكار على الأئمة علانية خشية ان تفترق الكلمة

“Perkataan Usamah “Sungguh aku telah menasehatinya secara rahasia tanpa membuka satu pintu” maknanya tanpa membuka pintu pengingkaran kepada para penguasa secara terang-terangan, karena khawatir jika persatuan kaum muslimin akan terpecah...” [Fathul Bari, 13/52]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata:

مراد أسامة: أنه لا يفتح باب المجاهرة بالنكير على الإمام؛ لما يخشى من عاقبة ذلك، بل يتلطّف به، وينصحه سرًا، فذلك أجدر بالقبول

“Makna perkataan Usamah bahwa ia tidak ingin membuka pintu pengingkaran secara terang-terangan kepada imam, karena khawatir terhadap akibat buruk yang ditimbulkan, bahkan ia menasehatinya secara rahasia dengan kelembutan, nasehat semacam ini lebih layak untuk diterima” [Fathul Bari, 13/52]

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

من وعظ أخاه سرا فقد نصحه وزانه ومن وعظه علانية فقد فضحه وشأنه

“Barangsiapa yang menasehati saudaranya secara rahasia, sungguh ia telah menasehatinya dan berbuat baik padanya. Barangsiapa yang menasehatinya secara terang-terangan, sungguh ia sedang membongkar aib dan melecehkannya” [Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 1/13]

Asy-Syaikh Al-Allamah As-Sindi rahimahullah berkata:

أي نصيحة السلطان ينبغي أن تكونَ في السِّرِّ

“yaitu menasehati seorang penguasa sepantasnya dilakukan secara rahasia.” [Tahqiq Musnad Ahmad, 24/50]

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata:

ولكنه ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد بل كما ورد في الحديث أنه يأخذ بيده

“Hal yang sepantasnya dilakukan saat mengetahui kekeliruan penguasa dalam sebagian permasalahan adalah menyampaikan nasehat tanpa menyebutkan celaan, tidak pula menampakannya di depan khalayak umum, sebagaimana disebutkan dalam hadits, hendaklah ia memegang tangannya… ” [As-Sailul Jarrar, 1/965]

Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
                            
المؤمن يستر وينصح والفاجر يهتك ويعير

“Seorang muslim selalu menutup aib dan menyampaikan nasehat, sedangkan seorang yang jahat suka mencela dan membongkar aib” [Jami’ Al-‘Ulum wal-Hikam hal. 82]

Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata:

وكان السلف إذا أرادوا نصيحة أحد وعظوه سرا حتى قال بعضهم من وعظ أخاه فيما بينه وبينه فهي نصيحة ومن وعظه على رؤوس الناس فإنما وبخه

“Dahulu salaf apabila ingin menyampaikan nasehat pada seseorang, mereka menasehatinya secara rahasia sehingga sebagian mereka menyatakan “Barangsiapa yang menasehati saudaranya antara ia dan saudaranya, maka itulah nasehat. Barangsiapa yang menasehatinya di depan kerumunan manusia, maka ia sedang melecehkannya” [Jami’ Al-‘Ulum wal-Hikam hal. 82]

Hadits ketiga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من خرج عن الطاعة وفارق الجماعة ومات فميتته ميتة جاهلية

“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin –pen), lalu ia mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah” [HR. Muslim]

Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata:

ومن خرج على إمام من أئمة المسلمين فهو خارجي قد شق عصا المسلمين وخالف الآثار وميتته ميتة جاهلية ولا يحل قتال السلطان ولا الخروج عليه وإن جار وذلك

“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan penguasa kaum muslimin, maka ia adalah seorang Khawarij. Ia telah mematahkan tongkat persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar. Jika mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah. Tidak halal melakukan peperangan dan memberontak pada penguasa, meskipun penguasa itu berbuat zalim” [Syarhus Sunnah no. 33]

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata:

دلت هذه الألفاظ على أن من خرج على إمام قد اجتمعت عليه كلمة المسلمين والمراد أهل قطر كما قلناه فإنه قد استحق القتل لإدخاله الضرر على العباد وظاهره سواء كان جائرا أو عادلا

“Lafadz-lafadz ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang keluar dari ketaatan seorang pemimpin yang telah disepakati oleh kaum muslimin, pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin suatu wilayah sebagaimana telah kami jelaskan, maka ia berhak mendapatkan hukuman bunuh, karena ia telah memancing kemudharatan dan kekacauan dalam masyarakat, ancaman ini berlaku saat ia keluar dari ketaatan pemimpin yang zalim maupun pemimpin yang adil” [Subulus Salam, 3/261]

Hadits keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ

“Sesungguhnya penguasa adalah perisai, (rakyat –pen) berperang di belakangnya serta berlindung padanya. Jika ia memerintahkan untuk bertakwa pada Allah ‘azza wajalla dan berbuat adil, maka ia memperoleh pahala. Jika ia memerintahkan selainnya (berbuat maksiat –pen), maka ia pun akan memperoleh balasannya” [HR. Muslim (9/376) no. 3428]

Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah berkata:

أي كالستر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين ويمنع الناس بعضهم من بعض

“Maknanya adalah penutup, karena penguasa melindungi kaum muslimin dari gangguan musuh dan mencegah manusia berbuat zalim satu sama lain…” [Syarh Shahih Muslim, 12/230]

A-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

والسمع لأولي الأمر ما داموا يصلون والموالاة لهم، ولا يخرج عليهم بالسيف

“Ketaatan dan kecintaan pada penguasa terus menerus ada selama mereka masih menegakkan shalat, tidak diperbolehkan melawan mereka dengan pedang” [Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahi ‘anil Ibtida’ hal. 313]

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:

هم يلون من أمورنا خمساً: الجمعة، والجماعة، والعيد، والثغور، والحدود. والله لا يستقيم الدين إلا بهم، وإن جاروا وظلموا والله لما يصلح الله بهم أكثر مما يفسدون، مع أن طاعتهم – والله – لغبطة وأن فرقتهم لكفر

“Mereka (para penguasa) mengurusi lima urusan kita: jum’at, jama’ah, ‘ied, perbatasan wilayah negeri dan penerapan hukum had. Demi Allah agama ini tidak akan tegak tanpa mereka. Jika mereka berbuat jahat dan zalim, maka kebaikan yang Allah anugrahkan melalui tangan mereka lebih banyak dari keburukan yang mereka timbulkan. Demi Allah, ketaatan pada mereka adalah keimanan, sedangkan memisahkan diri dari mereka adalah kekufuran” [Adab al-Hasan al-Bashri hal. 121 karya Ibnul Jauzi dan Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam hal. 262]

Hadits kelima, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasihat”. Kami berkata: “Untuk siapa?”

Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat secara umum” [HR. Muslim (1/182) no. 82]

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah berkata:

و إياك أن تدعو عليهم باللعنة فيزدادوا شرا و يزداد البلاء على المسلمين و لكن ادع لهم بالتوبة فيتركة الشر فيرتفع البلاء عن المؤمنين

“Janganlah kalian mendoakan mereka dengan laknat sehingga kejelekan dan musibah bagi kaum muslimin akan bertambah. Namun doakanlah agar mereka taubat, sehingga keburukan dan musibah ini terangkat dari kaum muslimin” [Syu’abul Iman (6/26) no. 7401]

Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata:

لا يأمر السلطان بالمعروف إلا رجل عالم بِما يأمر وينهى، رفيق بِما يأمر وينهى، عدل

“Tidak boleh amar ma’ruf kepada penguasa kecuali seorang yang berilmu dengan apa yang ia perintahkan dan apa yang ia larang, juga seorang yang bersikap lembut dan adil saat memberikan perintah dan melarang” [Syarhus Sunnah, 10/54]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

وذكروا أن رجلا من الخوارج الذين خرجوا على علي بن أبي طالب جاءوا إلى علي فقال له يا علي ما بال الناس قد تغيروا عليك ولم يتغيروا على أبي بكر وعمر؟ قال لأن رجال أبي بكر وعمر أنا وأمثالي ورجالي أنت وأمثالك

“Para ulama menyebutkan bahwa adalah ada seorang laki-laki berpaham Khawarij datang menemui Ali bin Abi Thalib seraya berkata: “Wahai Ali, kenapa manusia membencimu, padahal dahulu mereka tidak membenci Abu Bakar dan Umar?”

Ali menjawab: “Sebab rakyat yang berada di bawah pemerintahan Abu Bakar dan Umar adalah aku dan orang-orang yang semisal denganku, sedangkan rakyat dibawah pemerintahanku adalah kau dan orang-orang yang semisal denganmu” [Syarh Riyadhus Shalihin, 1/220]

Khalifah Abdul Malik bin Marwan berkata:

ما أنصفتمونا يا معشر الرعية، تريدون منا سيرة أبي بكر وعمر ولا تسيرون فينا ولا في أنفسكم بسيرتهما

“Wahai rakyatku, apakah kalian menginginkan pemeritahanku berjalan seperti pemerintahan Abu Bakar dan Umar, namun kalian sendiri tidak menempuh jalan yang ditempuh keduanya? ” [Siraj Al-Muluk, 1/94]

[Ketiga] Membicarakan aib penguasa di khalayak umum dapat memancing kerusuhan, menghilangkan kewibawaan penguasa di hati rakyatnya dan merupakan tindakan provokasi terhadap masyarakat di wilayah tersebut.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

نَهانا كبراؤنا من أصحاب رسول الله، قالوا: لا تسبوا أمراءكم، ولا تغشوهم، ولا تبغضوهم، واتقوا الله، واصبروا؛ فإن الأمر قريب

“Para pembesar dari sahabat Rasulllah melarang kami dengan menyatakan: “janganlah kalian mencela para penguasa kalian, janganlah menipu mereka, janganlah kalian membenci mereka, bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya pertolongan itu dekat” [HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/69) no. 7523 dan dihasankan sanadnya oleh Al-Albani dalam Dzilal al-Jannah (2/217) no. 1015]

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:

يعني أنه كان يجتنب كلامه بحضرة الناس، ويكلمه إذا خلا به، وهكذا يجب أن يعاتب الكبراء والرؤساء، يعظمون في الملأ، إبقاء لحرمتهم، وينصحون في الخلاء أداء لما يجب من نصحهم

وقوله: "لقد كلمته فيما بيني وبينه" يعني أنه كلمه مشافهة، كلام لطيف؛ لأنه أتقى ما يكون عن المجاهرة بالإنكار والقيام على الأئمة، لعظيم ما يطرأ بسبب ذلك من الفتن والمفاسد

“Ia tidak boleh menasehati penguasa di hadapan manusia, menasehatinya jika telah berada bersamanya. Demikianlah, wajib untuk memelihara kewibawaan para pembesar dan penguasa, serta memuliakan mereka di hadapan khalayak umum agar kehormatan mereka tetap terjaga. Hendaklah menyampaikan nasehat pada mereka secara rahasia demi menunaikan kewajiban dalam memberikan nasehat” [Al-Mufhim, 21/143-144]

Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah berkata:

وأما النصيحة لأئمة المسلمين فمعاونتهم على الحق وطاعتهم فيه وأمرهم به وتنبيهم وتذكيرهم برفق ولطف واعلامهم بما غفلوا عنه ولم يبلغهم من حقوق المسلمين وترك الخروج عليهم وتألف قلوب الناس لطاعتهم

“Adapun memberikan nasehat dan pertolongan kepada para pemimin kaum muslimin di atas kebenaran adalah dengan mentaati perintah mereka, memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka dengan kelembutan, mengingatkan mereka saat mereka lupa terhadap hak-hak kaum muslimin yang belum ditunaikan, tidak melakukan pemberontakan pada mereka dan mengumpulkan hati-hati manusia untuk taat pada mereka” [Syarh Shahih Muslim, 2/38]

Ibnu An-Nuhas rahimahullah berkata:

فإن كان السلطان - فليس لأحد منعه بالقهر باليد، ولا أن يشهر عليه سلاحاً، أو يجمع عليه أواناً لأن في ذلك تحريكاً للفتن وتهييجاً للشر، وإذهاباً لهيبة السلطان من قلوب الرعية وربما أدي ذلك إلي تجريهم على الخروج عليه وتخريب البلاد، وغير ذلك مما لا يخفي

“Tidak diperbolehkan bagi seorang pun untuk melarang penguasa menggunakan tangannya, menggunakan senjata, maupun dengan mengumpulkan massa, karena hal itu akan memicu fitnah, membuka peluang keburukan, menghilangkan kewibawaan penguasa di hati-hati rakyat, bahkan terkadang dapat menyebabkan mereka melakukan pemberontakan, serta melakukan kerusakan di suatu negeri, dan akibat-akibat buruk lain yang tidak tersamarkan lagi” [Tanbihul Ghafilin hal. 46]

Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata:

وأما النصيحة لأئمة المسلمين فحب صلاحهم ورشدهم وعدلهم وحب اجتماع الأمة عليهم وكراهة افتراق الأمة عليهم والتدين بطاعتهم في طاعة الله عز و جل والبغض لمن رأى الخروج عليهم وحب إعزازهم في طاعة الله عز و جل

والنصيحة لأئمة المسلمين معاونتهم على الحق وطاعتهم فيه وتذكيرهم به وتنبيههم في رفق ولطف ومجانبة الوثوب عليهم والدعاء لهم بالتوفيق

“Adapun memberikan nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin ditempuh dengan mencintai kebaikan dan keadilan mereka, mempersatukan umat dan mencegah perpecahan diantara rakyat dan para pemimpin, menganggap ketaatan pada mereka dalam perkara ma’ruf sebagai bentuk ketaatan pada Allah, membenci tindakan pemberontakan pada mereka, memuliakan mereka sebagai bentuk ketaatan pada Allah.

Nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin juga ditempuh dengan menolong mereka di atas kebenaran, mentaati mereka, menyampaikan peringatan dan nasehat dengan kelembutan, menjauhi sikap kasar, serta mendoakan taufiq untuk mereka” [Jami’ Al-‘Ulum wal-Hikam hal. 79]

Allah subhanahu wata’ala telah menjanjikan kekuasan di muka bumi bagi orang-orang yang bertauhid dan beramal shalih. Diantara bentuk amal shalih adalah menempuh metode salaf dalam menasehati penguasa.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shalih bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dia akan mengokohkan agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan menggantikan keamanan bagi mereka, setelah sebelumnya mereka dalam ketakutan. Mereka beribadah kepada-Ku tanpa menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Barangsiapa yang kufur setelah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” [QS. An-Nuur: 55]

[Keempat] Para ulama ahlus-sunnah telah memberikan fatwa terkait permasalahan ini, maka kewajiban kita sebagai penuntut ilmu  adalah menerimanya dengan lapang dada, serta rujuk dari kekeliruannya, jika ia masih menganggap fatwa para ulama tersebut adalah sebuah kebenaran. Inilah sikap yang bijak dari penuntut ilmu, bukan malah mencari-cari celah dan mencari pembenaran.

Berikut fatwa para ulama yang saya maksud:

Fatwa pertama, Asy-Syaikh Al-Allamah Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah pernah ditanya:

أحسن الله إليكم وبارك الله فيكم، يقول السائل: بعض الشباب يتكلمون في الحكام الذين ليسوا حكامهم - من دولٍ أخرى -، وإذا نصحتهم قالوا هؤلاء ليسوا حكامًا علينا فكيف نرد عليهم؟

Ahsanallah ilaikum, semoga Allah memberkahi Anda, sebagian pemuda mencela pemerintah yang tidak berkuasa di wilayahnya, yaitu dari negara lain. Jika aku menasehatinya, mereka membantah dengan berkata: “mereka bukan pemerintah kita”. Bagaimana menjawab perkataan ini?

Beliau hafizhahullah menjawab:

أنا سمعتها قبل أشهر منسوبة إلى أخٍ لنا في نجد، وأنا في الحقيقة لم أتتبعها، وسواءً صحَّت عنه أو لم تصح؛ هذا خطأ في هذا العصر، لأنَّه ما من بلدٍ إلَّا فيه من الهمج الرعاع الذين تأخذهم الحَمِيَّة, ولهذا لا أرى جوازها لِمَا يترتب عليها من مفاسد، فإِذَا مثلًا سببنا أو عيَّرنا حاكمًا في غير بلدنا فلا يتورَّع سفيهٌ غشومٌ أعوج أهوج أن يسبَّ حكَّامنا ويحرِّض عليهم وقد يدخل مع الخوارج في خططهم, ودرء المفاسد قاعدة شرعية، وقد فصَّلنا القول في هذه المسألة في عدة مجالس، ومنها [تيسير الإله بشرحِ أدلة شروط لا إله إلا اللهوغيره.

“Aku telah mendengarnya beberapa bulan yang lalu, perkataan ini berasal dari salah seorang di wilayah Najd, namum aku tidak menelitinya. Terlepas apakah penisbatan perkataan ini benar atau tidak pada pemiliknya, ungkapan itu merupakan kekeliruan pada masa ini. Sebab tidak ada suatu wilayah negeri pun, kecuali di sana terdapat orang-orang yang mudah diprovokasi dan tersulut emosi.

Oleh karena itu, aku berpendapat bahwa perbuatan itu tidak diperbolehkan, karena dapat menimbulkan berbagai macam kerusakan. Misalkan, jika kita mencela dan mencaci pemimpin di luar negeri kita, orang-orang bodoh, para provokator dan orang yang rendah akalnya akan berbalik mencela pemimpin kita dan melakukan provokasi, bahkan sangat mungkin mereka akan bergabung dengan para Khawarij dalam misi-misinya.

Mencegah kerusakan merupakan salah satu kaidah syar’iyyah. Kita telah merinci permasalahan ini dalam banyak majelis, diantaranya dalam pelajaran Taisir Al-Ilah bi Syarh Adillati Syuruth La-ilaaha illallah dan pelajaran yang lain.” [http://ar.miraath.net/fatwah/5526]

Fatwa kedua, Fadhilatus Asy-Syaikh Sulaiman Ar-Ruhailiy hafizhahullah berkata:

الأصل الشَّرعيّ أنَّ مَن ولِيَ أمراً مِن أُمور المُسلِمِين الوِلايةَ العامة يجبُ أنْ يُكفَّ اللِّسان عنه، هذا الأصل.
فمَن كان وليًّا لأمرِ بلدٍ مِن بلاد المُسلِمين فإنَّه يجبُ كفُّ اللِّسان عنه.

وهذا القول الَّذي أصبح يُدندنُ به بعضُ النَّاس!
ولأكُنْ صريحاً وواضحاً، بعد أنْ تولَّى الإخوان في مصر! مع أنَّه مِن قبل ما كان أحدٌ يقول هذاوفيه حُكَّام في البُلدان بعضهم سيِّئٌ جداً، لكن كان ينبغي كفُّ الألسنة عن الحُكَّام لِما في ذلك مِن الفساد.
ثُمَّ أصبح بعضُ النَّاس يُدندن على قضيَّة أنَّه إذا لم يكن وليّ أمر في بلادي!
طيَّب، هذا يفتح الذَّريعة للطَّعنِ في ولاة الأمرِ.

أنا في الكويت أُريد أنْ أطعن في وُلاة أمري، أطلبُ مِن ناسٍ في مصر أنْ يطعنوا في وليِّ الأمر، وأنا في السُّعوديَّة أُريد أنْ أطعن في وُلاة أمري، أطلبُ مِن ناسٍ في الكويت أنْ يطعنوا في ولي الأمر، وأقول: هؤلاء ما يحرُمُ عليهم أنْ يطعنوا في وليِّ الأمر!
فهو ذريعة إلى ما حرَّم الله، ومِن جهة أُخرى هو ذريعة إلى نشرِ الضَّغائنِ والحقد بين المُسلِمين.

فإذا تناول أهلُ الكويت وليَّ الأمر في الإمارات، وتناول أهلُ الإمارات وليَّ الأمر في السُّعوديَّة؛ سيتولَّد مِن هذا حقدٌ بين الشُّعوب، ويُصبحون يتبادلون السَّبَّ والشَّتمَ، ثُمَّ ينتقل الأمر إلى سبِّ الشُّعوب بعضها لبعضٍ؛ وفي هذا فسادٌ عظيم.

ولذلك نحن نقول يجبُ علينا أنْ نتمسَّك بالأصلِ الشَّرعيّ، وهو أنَّ مَن ولِيَ أمرً بلدٍ مِن بُلدان المُسلِمِين ينبغي علينا أنْ نكُفَّ عنه الألسِنة، ومَن كان عنده نصيحة فينبغي أنْ يُوصِلها بالأصل الشَّرعي.

طبعاً هُناك فرق بين الكلام على ولِيِّ الأمر والكلام عن جماعة، مثلاً كوْن الإنسان يتكلَّم عن جماعة الإخوان المُسلِمين، ويُبيِّن أخطاء هذه الجماعة ومُخالَفاتِها الكثيرة للأُصول الشَّرعيَّة؛ هذا لا يُمنعُ مِنه.

لكن أنْ يُؤتى بوليِّ الأمر في بلدٍ مِن البُلدان، ويُجعل يُتحدَّثْ فيه؛ لأنَّا لم نرض عن منهجه أو نحو ذلك، لا شكَّ أنَّ هذا مُخالِفٌ للأُصول الشَّرعيَّة، واللهُ أعلم.

“Diantara prinsip dalam syariat adalah kewajiban menahan lisan terhadap pemimpin yang memegang urusan kaum muslimin serta memiliki kekuasaan. Siapa pun yang menjadi pemimpin di suatu negeri muslim, maka wajib untuk menahan lisan darinya.

Adapun pernyataan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian manusia (sebelumnya tidak ada seorang pun yang menyatakan hal ini) yaitu “boleh mencela penguasa, jika penguasa itu bukan berada di wilayah negeriku!!”

Saya akan memberikan sebuah contoh agar permasalahannya lebih jelas, setelah Al-Ikhwan Al-Muslimun menguasai Mesir, sebagian rakyat berpendapat bahwa pemerintahan penguasa ini sangat buruk.

Hal yang harus mereka lakukan adalah menahan lisan, tidak mencela para penguasa, karena hal itu dapat menimbulkan kerusakan.

Hal ini akan membuka pintu yang menyeret kepada celaan terhadap para penguasa yang lain. Misalnya saya tinggal di Kuwait dan saya ingin mencela pemerintah saya, maka saya akan meminta orang-orang di Mesir agar mereka mencela pemerintah saya, atau jika saya tinggal di Arab Saudi dan saya ingin mencela pemerintah saya, maka saya akan meminta orang-orang di Kuwait untuk mencela pemerintah saya, lalu saya berdalih: “mereka tidak diharamkan  mencela pemerintah saya!”

Hal ini merupakan perkara yang akan menyeret kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Dari sisi lain, hal ini juga dapat menjadi pintu yang menyeret kepada tersebarnya dendam dan kedengkian diantara kaum Muslimin.

Misalkan penduduk Kuwait mencela pemerintah Uni Emirat Arab atau penduduk Uni Emirat Arab mencela pemerintah Arab Saudi, maka akan muncul kedengkian diantara penduduk negara-negara tersebut, jadilah mereka saling mencela dan mencerca, kemudian perkaranya merembet hingga negara-negara tersebut saling mencela. Tentunya hal ini dapat menimbulkan kerusakan yang besar.

Oleh karena itu, kami menyatakan, wajib atas kita untuk berpegang teguh dengan prinsip syariat, siapa pun yang menjadi penguasa di sebuah negeri kaum Muslimin, maka kita wajib menahan lisan dan tidak boleh mencelanya. Barangsiapa yang ingin menyampaikan nasehat, hendaklah ia menyampaikannya dengan metode yang dibenarkan oleh syariat.

Tentunya di sana terdapat perbedaan antara mencela pemerintah dengan mencela kelompok. Misalkan seseorang yang mencela kelompok Al-Ikhwan Al-Muslimun dan menjelaskan kesalahan-kesalahan kelompok ini, serta berbagai penyelisihan mereka terhadap prinsip-prinsip syariat, maka hal ini tidak dilarang.

Namun jika yang dijadikan sasaran adalah salah seorang pemimpin di sebuah negeri dengan cara membicarakan kejelekannya dengan alasan tidak ridha terhadap manhajnya atau yang semisalnya, maka tidak diragukan lagi bahwa perbuatan ini menyelisihi prinsip-prinsip syariat, wallahu a’lam.”

[http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=143247]

Fatwa ketiga, Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah berkata:

“Segala puji hanya milik Allah subhanahu wata’ala. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah ta’ala, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau, keluarga, dan para shahabat beliau.

Amma ba’du, telah diketahui bersama bahwa di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat suatu landasan yang sangat agung, yaitu ketaatan kepada pemerintah (muslim). Ketaatan kepada pemerintah tidaklah terbatas kepada pemimpin yang tertinggi dan terbesar. Namun ketaatan kepada pemerintah itu mencakup juga ketaatan kepada pemimpin tertinggi dan para pemimpin di bawahnya yang telah ditunjuk olehnya.

Dalil akan hal ini sangatlah banyak, diantaranya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya serta para pemimpin diantara kalian.” [QS. An Nisa’: 59]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي

“Barang siapa yang taat kepada pemimpinku maka ia telah taat kepadaku, dan barang siapa yang tidak taat kepada pemimpinku maka ia tidak taat kepadaku.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Maka ketaatan kepada pemerintah itu mencakup ketaatan kepada para pemimpin/pejabat yang telah ditunjuk untuk mengurus masyarakat. Prinsip inil telah dipahami oleh masyarakat umum.

Adapun orang ini berkata: ”Tidaklah wajib bagi kita untuk taat kepada pemimpin suatu daerah karena kita warga dari daerah lain.” Sekilas ucapan ini benar, namun dalam ucapan ini terkandung kecenderungan terhadap hizbiyyah, bahkan kecenderungan kepada hal yang lebih berbahaya dari hizbiyyah, berusaha untuk menjatuhkan pemerintah daerah. Sebab prinsip ini akan melegalkan para warga dari luar suatu provinsi, daerah, atau kota tertentu untuk berkumpul menentang suatu pemimpin di daerah tersebut, serta berusaha menjatuhkan pemimpin tersebut dengan berbagai cara. Ini adalah suatu perbuatan yang diharamkan.

Meskipun para pemimpin tersebut memiliki kesalahan dan penyelewengan, kita tetap diwajibkan untuk bermu’amalah dengan mereka sesuai dengan koridor syari’at, bukan dengan cara yang akan menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Beberapa kesalahan memang muncul dari pemerintah, baik dari kalangan atas maupun bawah -kecuali yang dirahmati oleh Allah ‘azza wajalla-. Kesalahan juga timbul dari masyarakat dan warga -kecuali yang dirahmati oleh Allah ‘azza wajalla-.

Kesalahan juga timbul dari para da’i dan ulama yang berloyalitas kepada hizbiyyah, menginginkan revolusi dan pemikiran yang diselubungi oleh syubhat dan keraguan, misalkan berupa perbuatan yang dapat mengganggu keamanan dan ketenangan. Dengan ini mereka akan menanggung dosa yang sangat besar berdasarkan penjelasan yang telah lalu. Misalnya upaya mereka untuk menjatuhkan para pemimpin dan pejabat demi meraih jabatan dan pengaruh di kalangan masyarakat.

Cara-cara (prinsip) ini sangat berbahaya dan merusak. Prinsip tersebut menyelisihi pokok ajaran ahlus sunnah wal jama’ah. Sebab diantara pokok ajaran ahlus sunnah wal jama’ah adalah saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, (bukan dalam membuat kerusakan dan kekacauan), serta bai’at kepada pemerintah (muslim). Tidak ada bai’at kepada selainnya, tidak kepada individu tertentu, pimpinan partai, maupun kelompok.

Hendaklah ia tidak menyusun suatu pemerintahan dalam kondisi pemerintah yang sah masih ada. Sebab menyusun sebuah pemerintahan ketika pemerintah yang sah masih berkuasa termasuk dari kaidah bid’ah. Bai’at kepada selain pemerintah yang sah juga termasuk pokok ajaran hizbiyyah. Demikian pula termasuk dari ajaran bid’ah adalah menyusun suatu organisasi dan gerakan rahasia yang sering kita temui. Hanya kepada Allah ‘azza wajalla kita meminta pertolongan.” [Blog Thalib Makbar, baca teks fatwa beliau di sini]

Allahua’lam, semoga bermanfaat..


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 29 Rajab 1435

5 comments:

  1. Bismillah,
    Afwan,Kok gk ada aplikasi utk berlangganan artikel di blok ini ya? Seperti situs dzulqarnain.net yg kita bisa berlangganan artilel cukup dengan memasukkan alamat e-mail.
    Kalau bisa ditambahkan aplikasi tsb, hehe
    Barakallahu fiikum

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah, Jazakallohu khair wa baarokallohu fiik

    ReplyDelete
  3. Bagaimana dg Ahok pemimpin DKI yg mau membuka toko bir dan melegalkan prostitusi. Apaķah kita juga tidak boleh mengkritiknya dan membetitahu khalayak akan keburukannya agar nanti masyarakat tidak memilihnya lagi..

    ReplyDelete
  4. Artikel di atas hanya berlaku untuk pemimpin muslim

    ReplyDelete
  5. Hmm, apa iya berlaku bagi pemimpin yang melaksanakan hukum cacat (manusia) . Bukan hukum Allah?

    ReplyDelete