“Yang
diwajibkan taat kepada pemimpin pada suatu daerah hanyalah penduduk daerah
tersebut. Adapun warga dari luar daerah tersebut tidaklah diharuskan untuk taat
kepada pemimpin tersebut, tidak secara sya’i tidak pula secara undang-undang.
Semua warga hanyalah diwajibkan taat kepada pemerintah yang tertinggi, yaitu
Presiden. Oleh karena itu, apabila ada warga dari luar daerah pemerintah
tersebut membicarakan pemerintah itu, maka itu tidak menjadi masalah”
[Cetak tebal dan garis miring dari saya]
Saya
akan memberikan contoh agar permasalahannya lebih jelas, misalkan Ali adalah
seorang warga Jawa Timur, karena ia hanya diwajibkan taat kepada Gubernur Jawa
Timur beserta jajaran Pemerintah Daerahnya, lalu ia membicarakan aib Gubernur
Jogjakarta, lalu mengeksposnya di khalayak umum. Ia menganggap perbuatan itu
boleh-boleh saja dan tidak menyalahi syariat…
Benarkah ungkapan di atas?
Nash-nash
dalam hadits dan perkataan ulama salaf terkait larangan membicarakan penguasa
berlaku umum, baik penguasa di wilayahnya maupun penguasa di wilayah lain.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
السُّلْطَانُ
ظِلُّ اللهِ فِي الْأَرْضِ، فَمَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ اللهُ، وَمَنْ أَهَانَهُ
أَهَانَهُ اللهُ
“Penguasa
adalah naungan Allah di muka bumi. Barangsiapa yang memuliakan penguasa,
niscaya Allah akan memuliakannya, dan barangsiapa yang menghinakan penguasa,
niscaya Allah akan menghinakannya” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim no. 1024, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/17)
no. 7373 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Dzilal Al-Jannah (2/224)
no. 1024]
Al-Imam
Al-Khaththabi rahimahullah berkata:
ان المراد
بأئمة المسلمين الخلفاء وغيرهم ممن يقوم بأمور المسملين من اصحاب الولايات
“Yang
dimaksud dengan para imam kaum muslimin adalah khalifah dan orang-orang yang
menguasai suatu wilayah serta memegang urusan kaum muslimin” [Syarh Shahih
Muslim, 2/38]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وهو أن
النبي صلى الله عليه و سلم أمر بطاعة الأئمة الموجودين المعلومين الذين لهم سلطان
يقدرون به على سياسة الناس لا بطاعة معدوم ولا مجهول ولا من ليس له سلطان ولا قدرة
على شيء أصلا
“Dalam
hadits tersebut, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk
taat kepada para penguasa yang ada dan diketahui memiliki kekuasaan yaitu
penguasa yang memiliki wewenang mengatur manusia. Ketaatan itu tidaklah diberikan pada
penguasa yang tidak nyata, tidak pula penguasa yang tidak dikenal memiliki
wilayah kekuasaan dan tidak memiliki kemampuan sedikitpun” [Minhajus Sunnah,
1/115]
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata:
قوله عن الطاعة أي طاعة الخليفة الذي وقع الاجتماع عليه وكأن المراد خليفة أي قطر من الأقطار إذ لم يجمع الناس على خليفة في جميع البلاد الإسلامية
“Perkataan nabi: “keluar dari ketaatan” maknanya adalah ketaatan kepada khalifah (pemimpin) yang manusia telah berkumpul mentaatinya. Seolah-olah khalifah di sini bermakna pemimpin suatu wilayah negara ketika kaum muslimin di seluruh negeri Islam belum bersepakat menunjuk seorang khalifah” [Subulus Salam, 3/261]
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
ليس من منهج
السلف التشهير بعيوب الولاة وذكر ذلك على المنابر؛ لأن ذلك يفضي إلى الفوضى، وعدم
السمع والطاعة في المعروف، ويفضي إلى الخوض الذي يضر ولا ينفع، ولكن الطريقة
المتبعة عند السلف: النصيحة فيما بينهم وبين السلطان، والكتابة إليه، أو الاتصال
بالعلماء الذين يتصلون به حتى يوجه إلى الخير، وإنكار المنكر يكون من دون ذكر من
فعله، ويكفي إنكار المعاصي والتحذير منها من غير ذكر أن فلانًا يفعلها لا حاكم ولا
غير حاكم،
“Menyebutkan
dan menyebarkan aib-aib penguasa di mimbar-mimbar bukanlah termasuk manhaj
salaf, karena hal itu dapat menimbulkan kekacauan, kemudharatan serta tidak
mendatangkan manfaat. Namun metode yang ditempuh oleh salaf adalah menasehati
penguasa secara rahasia antara ia dan penguasa atau menulis surat kepadanya
atau menghubungi para ulama agar ulama itu menasehati penguasa dan
mengarahkannya pada kebaikan atau mengingkari kemungkaran tanpa menyebutkan
nama penguasa yang terjatuh dalam kemungkaran tersebut.
Cukuplah
kau mengingkari kemaksiatan tanpa menyebutkan nama orangnya, baik ia adalah seorang penguasa
atau bukan… [Mu’amalatul Hukkam fii Dhaw Al-Kitab was-Sunnah hal. 57-58]
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
فالله الله
في فهم منهج السلف الصالح في التعامل مع السلطان، وأن لا يتخذ من أخطاء السلطان
سبيلاً لإثارة الناس وإلى تنفير القلوب عن ولاة الأمور؛ فهذا عين المفسدة، وأحد
الأسس التي تحصل بها الفتنة بين الناس، كما أن ملء القلوب على ولاة الأمر يحدث
الشر والفتنة والفوضى، وكذا ملء القلوب على العلماء يحدث التقليل من شأن العلماء،
وبالتالي التقليل من الشريعة التي يحملونها، فإذا حاول أحد أن يقلل من هيبة
العلماء وهيبة ولاة الأمر؛ ضاع الشرع والأمن؛ لأن الناس إن تكلم العلماء؛ لم يثقوا
بكلامهم، وإن تكلم الأمراء؛ تمردوا على كلامهم، وحصل الشر والفساد، فالواجب أن
ننظر ماذا سلك السلف تجاه ذوي السلطان، وأن يضبط الإنسان نفسه، وأن يعرف العواقب،
وليعلم أن من يثور إنما يخدم أعداء الإسلام ؛ فليست العبرة بالثورة ولا بالانفعال،
بل العبرة بالحكمة، ولست أريد بالحكمة السكوت عن الخطأ، بل معالجة الخطأ ؛ لنصلح
الأوضاع؛ لا لنغير الأوضاع؛ فالناصح هو الذي يتكلم ليصلح الأوضاع لا ليغيرها
“Demi
Allah, berpeganglah kalian dengan manhaj salaf dalam bermuamalah terhadap
penguasa. Janganlah kalian menjadikan kesalahan-kesalahan penguasa sebagai
jalan untuk membuat kekacauan di tengah manusia dan membuat lari hati-hati
manusia dari pemerintah. Hal itu merupakan salah satu sebab terbesar terjadinya
fitnah diantara manusia.
Memenuhi
hati manusia dengan kebencian terhadap penguasa akan mendatangkan keburukan,
fitnah dan kekacauan, demikian
pula memenuhi hati manusia dengan kebencian terhadap ulama akan menimbulkan
pelecehan dan perendahan terhadap kedudukan ulama, kemudian ia akan meremehkan
syariat yang dibawa oleh para ulama.
Jika
ada seorang yang berusaha melecehkan kedudukan ulama dan menjatuhkan kewibaan
penguasa, maka syariat ini akan di sia-siakan serta hilanglah keamanan. Wajib
bagi kita untuk memperhatikan metode yang ditempuh salaf dalam bermuamalah
kepada penguasa…” [Al-Fitnah wa Mauqif Al-Muslim minha hal. 174-175]
Asy-Syaikh
Al-Utsaimin rahimahullah juga berkata:
إنَّ بعض
الناس ديدنه في كل مجلس يجلسه الكلام في ولاة الأمور والوقوع في أعراضهم، ونشر
مساوئهم وأخطائهم، معرضاً بذلك عما لهم من محاسن أو صواب. ولا ريب أن سلوك هذا
الطريق، والوقوع في أعراض الولاة لا يزيد الأمر إلا شدة، فإنه لا يحل مشكلة ولا
يرفع مظلمة، وإنما يزيد البلاء بلاءً، ويوجب بغض الولاة وكراهيتهم
“Sungguh
sebagian manusia kegemarannya di setiap majlis adalah membicarakan penguasa,
menjatuhkan kehormatannya, menyebarkan kesalahan dan keburukan-keburukannya,
tanpa mau melihat kebaikan-kebaikan dan kebenaran yang ada pada mereka. Tidak
diragukan lagi bahwa cara ini yaitu menjatuhkan kehormatan penguasa akan
semakin menambah keburukan, perbuatannya itu tidak menyelesaikan masalah, tidak
pula dapat mengangkat kezaliman. Mereka hanyalah menambahkan bencana di atas
bencana. Perbuatan mereka ini akan menumbuhkan kemarahan dan kebencian (rakyat
–pen) kepada penguasa… ” [Al-Fitnah
wa Mauqif Al-Muslim minha hal. 156-157]
Asy-Syaikh
Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata:
أما أننا
نتخذ من العثرات والزلات سبيلاً لتنقُّص ولاة الأمور، أو الكلام فيهم، أو تبغيضهم
إلى الرعية؛ فهذه ليست طريقة السلف أهل السنة والجماعة. أهل السنة والجماعة يحرصون
على طاعة ولاة أمور المسلمين، وعلى تحبيبهم للناس، وعلى جمع الكلمة، هذا هو
المطلوب.
والكلام في
ولاة الأمور من الغيبة والنميمة، وهما من أشد المحرمات بعد الشرك، لا سيما إذا
كانت الغيبة للعلماء ولولاة الأمور فهي أشد، لما يترتب عليها من المفاسد، من:
تفريق الكلمة، وسوء الظن بولاة الأمور، وبعث اليأس في نفوس الناس، والقنوط
“Kami tidak menjadikan kesalahan dan kekeliruan penguasa sebagai jalan untuk
melecehkan mereka atau membicarakan mereka atau membuat rakyat marah kepada
mereka. Perbuatan ini bukanlah termasuk metode salaf ahlus-sunnah wal-jama’ah.
Ahlus-sunnah sangat antusias dalam mentaati pemerintah kaum muslimin, mencintai
mereka, bersemangat dalam mewujudkan persatuan, inilah perkara yang dituntut.
Membicarakan
penguasa termasuk bentuk ghibah dan namimah (mengadu
domba rakyat dan penguasa –pen). Perbuatan ini termasuk keharaman yang paling
berat setelah kesyirikan, karena kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan
darinya berupa perpecahan kaum muslimin, prasangka buruk terhadap penguasa dan
menimbulkan keputus-asaan di hati-hati manusia ” [Al-Ajwibah al-Mufidah no.
37]
Asy-Syaikh
Dr. Khalid Al-‘Anbari hafizhahullah berkata:
أوجب الشارع
الشريف على الأمة توقير الأمراء واحترامهم وتبجيلهم، ونَهى في الوقت نفسه عن سبهم
وانتقاصهم والحط من أقدارهم، وذلك لتقع مهابتهم والرهبة منهم في نفوس الرعية،
فتنكف عن الشر والفساد والبغي والعدوان النفوس الردية
“Syariat
yang mulia ini mewajibkan umat untuk memuliakan, menghormati dan menjaga
wibawa para penguasa. Di saat yang bersamaan syariat ini juga melarang
perbuatan mencela, merendahkan dan menurunkan kewibawaan mereka. Sebab
perbuatan itu akan menghilangkan wibawa mereka di hadapan rakyat yang
berakibat pada keburukan, kerusakan, tindakan melampaui batas, serta permusuhan dalam
jiwa-jiwa yang buruk” [Fiqh As-Siyasah Asy-Syar’iyah hal. 203-204]
[Kedua] Menyampaikan nasehat kepada penguasa di khalayak
umum bukanlah termasuk manhaj salaf, meskipun di sana terdapat maslahat yang
hendak dicapai, bahkan perbuatan itu merupakan ciri khas kelompok Khawarij.
Hadits dan atsar ulama salaf berikut akan menjelaskan kepada kita, bagaimana
metode salaf dalam bermuamalah terhadap penguasa,
Hadits
pertama, Rasulullah shallalalahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إن من أعظم
الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر
“Diantara
jihad yang terbesar adalah mengucapkan kebenaran di sisi penguasa yang
kejam” [HR. At-Tirmidzi (8/83) no. 2100 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih
Sunan At-Tirmidzi]
Hadits
ini sering digunakan hujjah oleh kelompok Ikhwani dan Hizbut Tahriir untuk
melegalkan tindakan mereka mencela penguasa di khalayak umum, padahal hadits
ini justru menunjukkan sebaliknya. Amalan jihad yang terbesar adalah
menyampaikan kebenaran secara langsung di hadapan seorang penguasa
zalim, bukan dengan orasi di jalan-jalan dan berteriak-teriak membuang tenaga.
Kenapa demikian? Karena menyuarakan kebenaran di hadapan seorang penguasa zalim
mendatangkan resiko besar pada dirinya, mungkin ia akan dibunuh atau
dipenjarakan dengan sebab nasehat yang ia sampaikan.
Sa’id bin Jubair rahimahullah pernah bertanya pada Ibnu Abbas: “Bagaimana aku melakukan amar ma’ruf kepada pemimpinku?”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab:
إن خشيت أن
يقتلك فلا فإن كنت فاعلا ففيما بينك وبينه
“Jika
kau khawatir penguasa itu akan membunuhmu, maka jangan kau menasehatinya. Jika
kau benar-benar mau melakukannya, nasehatilah (secara rahasia) antara dirimu
dan dirinya” [HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/96) no. 7592, Ibnu
Abi Syaibah (15/74) no. 38462]
Abdullah
bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu berkata:
عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ وَإِلَّا فَدَعْهُ فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ
“Engkau
wajib bersama As-Sawad Al-A’zham, engkau wajib bersama As-Sawad
Al-A’zham. Jika penguasa mau mendengarkan nasehatmu, maka datangilah ia di
rumahnya, kabarkanlah apa yang kau ketahui. Jika ia menerima nasehatmu, (maka
itulah yang diharapkan -pen). Jika tidak, maka tinggalkanlah ia, karena kau
tidak lebih tahu darinya” [HR. Ahmad (32/157) no. 19415 dan dihasankan oleh
Al-Albani dalam Dzilal Al-Jannah, 2/143, no. 905]
Imam
Ibnul Atsir rahimahullah berkata:
وفيه [
عليكم بالسَّوادِ الأعْظَم ] أي جُمْلة النَّاس ومُعْظَمهم الذين يجتمعون على طاعة
السُّلطان وسُلُوك النَّهج المُسْتقيم
“Engkau wajib bersama As-Sawad Al-A’zham, maknanya adalah sekelompok mayoritas manusia
yang berkumpul di atas ketaatan kepada penguasa dan orang-orang yang menempuh
manhaj yang lurus” [An-Nihayah fii Gharib Al-Hadiits, 2/1029]
Hadits
kedua, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً
وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ
وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa
yang ingin menyampaikan suatu nasehat kepada penguasa, janganlah ia
menampakannya secara terang-terangan. Namun peganglah tangannya, temuilah ia
secara empat mata, jika nasehat itu diterima maka itulah yang diharapkan, dan
jika nasehat itu ditolak maka ia telah menunaikan kewajibannya pada penguasa”
[HR. Ahmad (24/48-49) no. 14792, Ibnu Abi ‘Ashim (3/102) no. 910 dan
dishahihkan oleh Al-Albani dalam Dzilal Al-Jannah no. 1096]
Umar
bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata:
أيتها
الرعية إن لنا عليكم حقا النصيحة بالغيب، والمعاونة على الخير
“Wahai
rakyatku, sungguh kami memiliki hak atas kalian yaitu nasehat secara rahasia
dan tolong-menolong dalam kebaikan” [Az-Zuhd, 2/602]
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ قِيلَ لَهُ أَلَا تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ فَقَالَ أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ وَاللَّهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya: “Kenapa kau tidak masuk menemui Utsman dan menasehatinya?”
Usamah
menjawab: “Apakah kalian mengira aku tidak menasehatinya, haruskah aku
memberitahukannya pada kalian?. Demi Alah, sungguh aku telah menasehatinya
(secara rahasia) antara diriku dan dirinya tanpa membuka satu pintu. Aku tidak
suka menjadi orang pertama yang membuka pintu itu” [HR. Al-Bukhari (11/46) no.
3027, Muslim (14/261) no. 5305]
Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
فقال أسامة
قد كلمته سرا دون أن أفتح بابا أي باب الإنكار على الأئمة علانية خشية ان تفترق
الكلمة
“Perkataan
Usamah “Sungguh aku telah menasehatinya secara rahasia tanpa membuka satu
pintu” maknanya tanpa membuka pintu pengingkaran kepada para penguasa secara
terang-terangan, karena khawatir jika persatuan kaum muslimin akan terpecah...”
[Fathul Bari, 13/52]
Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata:
مراد أسامة:
أنه لا يفتح باب المجاهرة بالنكير على الإمام؛ لما يخشى من عاقبة ذلك، بل يتلطّف
به، وينصحه سرًا، فذلك أجدر بالقبول
“Makna
perkataan Usamah bahwa ia tidak ingin membuka pintu pengingkaran secara
terang-terangan kepada imam, karena khawatir terhadap akibat buruk yang
ditimbulkan, bahkan ia menasehatinya secara rahasia dengan kelembutan, nasehat
semacam ini lebih layak untuk diterima” [Fathul Bari, 13/52]
Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
من وعظ أخاه
سرا فقد نصحه وزانه ومن وعظه علانية فقد فضحه وشأنه
“Barangsiapa
yang menasehati saudaranya secara rahasia, sungguh ia telah menasehatinya dan
berbuat baik padanya. Barangsiapa yang menasehatinya secara terang-terangan,
sungguh ia sedang membongkar aib dan melecehkannya” [Al-Majmu’ Syarh
al-Muhadzdzab, 1/13]
Asy-Syaikh
Al-Allamah As-Sindi rahimahullah berkata:
أي نصيحة
السلطان ينبغي أن تكونَ في السِّرِّ
“yaitu
menasehati seorang penguasa sepantasnya dilakukan secara rahasia.” [Tahqiq
Musnad Ahmad, 24/50]
Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullah berkata:
ولكنه ينبغي
لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس
الأشهاد بل كما ورد في الحديث أنه يأخذ بيده
“Hal
yang sepantasnya dilakukan saat mengetahui kekeliruan penguasa dalam sebagian
permasalahan adalah menyampaikan nasehat tanpa menyebutkan celaan, tidak pula
menampakannya di depan khalayak umum, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
hendaklah ia memegang tangannya… ” [As-Sailul Jarrar, 1/965]
Al-Imam
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
المؤمن يستر
وينصح والفاجر يهتك ويعير
“Seorang
muslim selalu menutup aib dan menyampaikan nasehat, sedangkan seorang yang jahat suka mencela dan membongkar aib” [Jami’ Al-‘Ulum wal-Hikam hal.
82]
Al-Imam
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata:
وكان السلف
إذا أرادوا نصيحة أحد وعظوه سرا حتى قال بعضهم من وعظ أخاه فيما بينه وبينه فهي
نصيحة ومن وعظه على رؤوس الناس فإنما وبخه
“Dahulu
salaf apabila ingin menyampaikan nasehat pada seseorang, mereka menasehatinya
secara rahasia sehingga sebagian mereka menyatakan “Barangsiapa yang menasehati
saudaranya antara ia dan saudaranya, maka itulah nasehat. Barangsiapa yang
menasehatinya di depan kerumunan manusia, maka ia sedang melecehkannya” [Jami’
Al-‘Ulum wal-Hikam hal. 82]
Hadits
ketiga, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
من خرج عن
الطاعة وفارق الجماعة ومات فميتته ميتة جاهلية
“Barangsiapa
yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin
–pen), lalu ia mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah” [HR. Muslim]
Al-Imam
Al-Barbahari rahimahullah berkata:
ومن خرج على
إمام من أئمة المسلمين فهو خارجي قد شق عصا المسلمين وخالف الآثار وميتته ميتة
جاهلية ولا يحل قتال السلطان ولا الخروج عليه وإن جار وذلك
“Barangsiapa
yang keluar dari ketaatan penguasa kaum muslimin, maka ia adalah seorang
Khawarij. Ia telah mematahkan tongkat persatuan kaum muslimin dan menyelisihi
atsar. Jika mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah. Tidak halal
melakukan peperangan dan memberontak pada penguasa, meskipun penguasa itu
berbuat zalim” [Syarhus Sunnah no. 33]
Ash-Shan’ani
rahimahullah berkata:
دلت هذه
الألفاظ على أن من خرج على إمام قد اجتمعت عليه كلمة المسلمين والمراد أهل قطر كما
قلناه فإنه قد استحق القتل لإدخاله الضرر على العباد وظاهره سواء كان جائرا أو
عادلا
“Lafadz-lafadz
ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang keluar dari ketaatan seorang pemimpin
yang telah disepakati oleh kaum muslimin, pemimpin yang dimaksud adalah
pemimpin suatu wilayah sebagaimana telah kami jelaskan, maka ia berhak
mendapatkan hukuman bunuh, karena ia telah memancing kemudharatan dan kekacauan
dalam masyarakat, ancaman ini berlaku saat ia keluar dari ketaatan pemimpin
yang zalim maupun pemimpin yang adil” [Subulus Salam, 3/261]
Hadits
keempat, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا
الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ
بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ
يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Sesungguhnya
penguasa adalah perisai, (rakyat –pen) berperang di belakangnya serta
berlindung padanya. Jika ia memerintahkan untuk bertakwa pada Allah ‘azza
wajalla dan berbuat adil, maka ia memperoleh pahala. Jika ia memerintahkan
selainnya (berbuat maksiat –pen), maka ia pun akan memperoleh balasannya” [HR.
Muslim (9/376) no. 3428]
Al-Hafizh
An-Nawawi rahimahullah berkata:
أي كالستر
لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين ويمنع الناس بعضهم من بعض
“Maknanya
adalah penutup, karena penguasa melindungi kaum muslimin dari gangguan musuh
dan mencegah manusia berbuat zalim satu sama lain…” [Syarh Shahih Muslim,
12/230]
A-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
والسمع
لأولي الأمر ما داموا يصلون والموالاة لهم، ولا يخرج عليهم بالسيف
“Ketaatan
dan kecintaan pada penguasa terus menerus ada selama mereka masih menegakkan
shalat, tidak diperbolehkan melawan mereka dengan pedang” [Al-Amru bil Ittiba’
wan Nahi ‘anil Ibtida’ hal. 313]
Al-Hasan
Al-Bashri rahimahullah berkata:
هم يلون من
أمورنا خمساً: الجمعة، والجماعة، والعيد، والثغور، والحدود. والله لا يستقيم الدين
إلا بهم، وإن جاروا وظلموا والله لما يصلح الله بهم أكثر مما يفسدون، مع أن طاعتهم
– والله – لغبطة وأن فرقتهم لكفر
“Mereka
(para penguasa) mengurusi lima urusan kita: jum’at, jama’ah, ‘ied, perbatasan
wilayah negeri dan penerapan hukum had. Demi Allah agama ini tidak akan tegak
tanpa mereka. Jika mereka berbuat jahat dan zalim, maka kebaikan yang Allah
anugrahkan melalui tangan mereka lebih banyak dari keburukan yang mereka
timbulkan. Demi Allah, ketaatan pada mereka adalah keimanan, sedangkan
memisahkan diri dari mereka adalah kekufuran” [Adab al-Hasan al-Bashri
hal. 121 karya Ibnul Jauzi dan Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam hal. 262]
Hadits
kelima, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
الدِّينُ
النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ
وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama
adalah nasihat”. Kami berkata: “Untuk siapa?”
Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat secara umum” [HR. Muslim (1/182) no. 82]
Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat secara umum” [HR. Muslim (1/182) no. 82]
Al-Imam
Al-Baihaqi rahimahullah berkata:
و إياك أن
تدعو عليهم باللعنة فيزدادوا شرا و يزداد البلاء على المسلمين و لكن ادع لهم
بالتوبة فيتركة الشر فيرتفع البلاء عن المؤمنين
“Janganlah
kalian mendoakan mereka dengan laknat sehingga kejelekan dan musibah bagi kaum
muslimin akan bertambah. Namun doakanlah agar mereka taubat, sehingga keburukan dan
musibah ini terangkat dari kaum muslimin” [Syu’abul Iman (6/26) no.
7401]
Al-Imam
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata:
لا يأمر
السلطان بالمعروف إلا رجل عالم بِما يأمر وينهى، رفيق بِما يأمر وينهى، عدل
“Tidak
boleh amar ma’ruf kepada penguasa kecuali seorang yang berilmu dengan apa yang
ia perintahkan dan apa yang ia larang, juga seorang yang bersikap lembut dan adil saat
memberikan perintah dan melarang” [Syarhus Sunnah, 10/54]
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
وذكروا أن
رجلا من الخوارج الذين خرجوا على علي بن أبي طالب جاءوا إلى علي فقال له يا علي ما
بال الناس قد تغيروا عليك ولم يتغيروا على أبي بكر وعمر؟ قال لأن رجال أبي بكر
وعمر أنا وأمثالي ورجالي أنت وأمثالك
“Para
ulama menyebutkan bahwa adalah ada seorang laki-laki berpaham Khawarij datang
menemui Ali bin Abi Thalib seraya berkata: “Wahai Ali, kenapa manusia
membencimu, padahal dahulu mereka tidak membenci Abu Bakar dan Umar?”
Ali
menjawab: “Sebab rakyat yang berada di bawah pemerintahan Abu Bakar dan Umar
adalah aku dan orang-orang yang semisal denganku, sedangkan rakyat dibawah
pemerintahanku adalah kau dan orang-orang yang semisal denganmu” [Syarh Riyadhus
Shalihin, 1/220]
Khalifah Abdul Malik bin Marwan berkata:
ما أنصفتمونا يا معشر الرعية، تريدون منا سيرة أبي بكر وعمر ولا تسيرون فينا ولا في أنفسكم بسيرتهما
“Wahai rakyatku, apakah kalian menginginkan pemeritahanku berjalan seperti pemerintahan Abu Bakar dan Umar, namun kalian sendiri tidak menempuh jalan yang ditempuh keduanya? ” [Siraj Al-Muluk, 1/94]
[Ketiga] Membicarakan aib penguasa di khalayak umum dapat memancing kerusuhan, menghilangkan kewibawaan penguasa di hati rakyatnya dan merupakan tindakan provokasi terhadap masyarakat di wilayah tersebut.
Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
نَهانا
كبراؤنا من أصحاب رسول الله، قالوا: لا تسبوا أمراءكم، ولا تغشوهم، ولا تبغضوهم،
واتقوا الله، واصبروا؛ فإن الأمر قريب
“Para
pembesar dari sahabat Rasulllah melarang kami dengan menyatakan: “janganlah
kalian mencela para penguasa kalian, janganlah menipu mereka, janganlah kalian
membenci mereka, bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, sesungguhnya
pertolongan itu dekat” [HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/69)
no. 7523 dan dihasankan sanadnya oleh Al-Albani dalam Dzilal al-Jannah (2/217)
no. 1015]
Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
يعني أنه
كان يجتنب كلامه بحضرة الناس، ويكلمه إذا خلا به، وهكذا يجب أن يعاتب الكبراء
والرؤساء، يعظمون في الملأ، إبقاء لحرمتهم، وينصحون في الخلاء أداء لما يجب من
نصحهم
وقوله: "لقد كلمته فيما بيني وبينه" يعني أنه كلمه مشافهة، كلام لطيف؛ لأنه أتقى ما يكون عن المجاهرة بالإنكار والقيام على الأئمة، لعظيم ما يطرأ بسبب ذلك من الفتن والمفاسد
“Ia
tidak boleh menasehati penguasa di hadapan manusia, menasehatinya jika telah
berada bersamanya. Demikianlah, wajib untuk memelihara kewibawaan para
pembesar dan penguasa, serta memuliakan mereka di hadapan khalayak umum agar
kehormatan mereka tetap terjaga. Hendaklah menyampaikan nasehat pada mereka
secara rahasia demi menunaikan kewajiban dalam memberikan nasehat” [Al-Mufhim,
21/143-144]
Al-Hafizh
An-Nawawi rahimahullah berkata:
وأما
النصيحة لأئمة المسلمين فمعاونتهم على الحق وطاعتهم فيه وأمرهم به وتنبيهم
وتذكيرهم برفق ولطف واعلامهم بما غفلوا عنه ولم يبلغهم من حقوق المسلمين وترك
الخروج عليهم وتألف قلوب الناس لطاعتهم
“Adapun
memberikan nasehat dan pertolongan kepada para pemimin kaum muslimin di atas
kebenaran adalah dengan mentaati perintah mereka, memberikan nasehat dan
peringatan kepada mereka dengan kelembutan, mengingatkan mereka saat mereka
lupa terhadap hak-hak kaum muslimin yang belum ditunaikan, tidak melakukan pemberontakan
pada mereka dan mengumpulkan hati-hati manusia untuk taat pada mereka” [Syarh
Shahih Muslim, 2/38]
Ibnu
An-Nuhas rahimahullah berkata:
فإن كان
السلطان - فليس لأحد منعه بالقهر باليد، ولا أن يشهر عليه سلاحاً، أو يجمع عليه
أواناً لأن في ذلك تحريكاً للفتن وتهييجاً للشر، وإذهاباً لهيبة السلطان من قلوب
الرعية وربما أدي ذلك إلي تجريهم على الخروج عليه وتخريب البلاد، وغير ذلك مما لا
يخفي
“Tidak
diperbolehkan bagi seorang pun untuk melarang penguasa menggunakan tangannya,
menggunakan senjata, maupun dengan mengumpulkan massa, karena hal itu akan
memicu fitnah, membuka peluang keburukan, menghilangkan kewibawaan penguasa
di hati-hati rakyat, bahkan terkadang dapat menyebabkan mereka melakukan
pemberontakan, serta melakukan kerusakan di suatu negeri, dan akibat-akibat
buruk lain yang tidak tersamarkan lagi” [Tanbihul Ghafilin hal. 46]
Al-Imam
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata:
وأما
النصيحة لأئمة المسلمين فحب صلاحهم ورشدهم وعدلهم وحب اجتماع الأمة عليهم وكراهة
افتراق الأمة عليهم والتدين بطاعتهم في طاعة الله عز و جل والبغض لمن رأى الخروج
عليهم وحب إعزازهم في طاعة الله عز و جل
“والنصيحة لأئمة المسلمين معاونتهم على الحق وطاعتهم فيه وتذكيرهم به
وتنبيههم في رفق ولطف ومجانبة الوثوب عليهم والدعاء لهم بالتوفيق
“Adapun
memberikan nasehat kepada para pemimpin kaum muslimin ditempuh dengan mencintai
kebaikan dan keadilan mereka, mempersatukan umat dan mencegah perpecahan
diantara rakyat dan para pemimpin, menganggap ketaatan pada mereka dalam
perkara ma’ruf sebagai bentuk ketaatan pada Allah, membenci tindakan
pemberontakan pada mereka, memuliakan mereka sebagai bentuk ketaatan pada
Allah.
Nasihat
kepada para pemimpin kaum muslimin juga ditempuh dengan menolong mereka di atas
kebenaran, mentaati mereka, menyampaikan peringatan dan nasehat dengan
kelembutan, menjauhi sikap kasar, serta mendoakan taufiq untuk mereka” [Jami’
Al-‘Ulum wal-Hikam hal. 79]
Allah
subhanahu wata’ala telah menjanjikan kekuasan di muka bumi bagi orang-orang
yang bertauhid dan beramal shalih. Diantara bentuk amal shalih adalah menempuh metode salaf dalam menasehati penguasa.
وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ
مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ
كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Allah
telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal
shalih bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi,
sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dia akan
mengokohkan agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan menggantikan
keamanan bagi mereka, setelah sebelumnya mereka dalam ketakutan. Mereka
beribadah kepada-Ku tanpa menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Barangsiapa yang
kufur setelah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” [QS. An-Nuur:
55]
[Keempat] Para ulama ahlus-sunnah telah memberikan fatwa
terkait permasalahan ini, maka kewajiban kita sebagai penuntut ilmu adalah menerimanya dengan lapang dada, serta
rujuk dari kekeliruannya, jika ia masih menganggap fatwa para ulama tersebut
adalah sebuah kebenaran. Inilah sikap yang bijak dari penuntut ilmu, bukan
malah mencari-cari celah dan mencari pembenaran.
Berikut
fatwa para ulama yang saya maksud:
Fatwa
pertama, Asy-Syaikh Al-Allamah
Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah pernah ditanya:
أحسن الله
إليكم وبارك الله فيكم، يقول السائل: بعض الشباب يتكلمون في الحكام الذين ليسوا
حكامهم - من دولٍ أخرى -، وإذا نصحتهم قالوا هؤلاء ليسوا حكامًا علينا فكيف نرد
عليهم؟
“Ahsanallah
ilaikum, semoga Allah memberkahi Anda, sebagian pemuda mencela pemerintah
yang tidak berkuasa di wilayahnya, yaitu dari negara lain. Jika aku menasehatinya,
mereka membantah dengan berkata: “mereka bukan pemerintah kita”.
Bagaimana menjawab perkataan ini?
Beliau
hafizhahullah menjawab:
أنا سمعتها
قبل أشهر منسوبة إلى أخٍ لنا في نجد، وأنا في الحقيقة لم أتتبعها، وسواءً صحَّت
عنه أو لم تصح؛ هذا خطأ في هذا العصر، لأنَّه ما من بلدٍ إلَّا فيه من الهمج
الرعاع الذين تأخذهم الحَمِيَّة, ولهذا لا أرى جوازها لِمَا يترتب عليها من مفاسد،
فإِذَا مثلًا سببنا أو عيَّرنا حاكمًا في غير بلدنا فلا يتورَّع سفيهٌ غشومٌ أعوج
أهوج أن يسبَّ حكَّامنا ويحرِّض عليهم وقد يدخل مع الخوارج في خططهم, ودرء المفاسد
قاعدة شرعية، وقد فصَّلنا القول في هذه المسألة في عدة مجالس، ومنها [تيسير
الإله بشرحِ أدلة شروط لا إله إلا الله] وغيره.
“Aku
telah mendengarnya beberapa bulan yang lalu, perkataan ini berasal dari salah
seorang di wilayah Najd, namum aku tidak menelitinya. Terlepas apakah
penisbatan perkataan ini benar atau tidak pada pemiliknya, ungkapan itu merupakan
kekeliruan pada masa ini. Sebab tidak ada suatu wilayah negeri pun, kecuali di
sana terdapat orang-orang yang mudah diprovokasi dan tersulut emosi.
Oleh
karena itu, aku berpendapat bahwa perbuatan itu tidak diperbolehkan, karena
dapat menimbulkan berbagai macam kerusakan. Misalkan, jika kita mencela dan
mencaci pemimpin di luar negeri kita, orang-orang bodoh, para provokator dan
orang yang rendah akalnya akan berbalik mencela pemimpin kita dan melakukan
provokasi, bahkan sangat mungkin mereka akan bergabung dengan para Khawarij
dalam misi-misinya.
Mencegah
kerusakan merupakan salah satu kaidah syar’iyyah. Kita telah merinci permasalahan
ini dalam banyak majelis, diantaranya dalam pelajaran Taisir Al-Ilah bi
Syarh Adillati Syuruth La-ilaaha illallah dan pelajaran yang lain.” [http://ar.miraath.net/fatwah/5526]
Fatwa
kedua, Fadhilatus Asy-Syaikh
Sulaiman Ar-Ruhailiy hafizhahullah berkata:
الأصل الشَّرعيّ أنَّ مَن ولِيَ أمراً مِن أُمور المُسلِمِين الوِلايةَ
العامة يجبُ أنْ يُكفَّ اللِّسان عنه، هذا الأصل.
فمَن كان وليًّا لأمرِ بلدٍ مِن بلاد المُسلِمين فإنَّه يجبُ كفُّ اللِّسان عنه.
وهذا القول الَّذي أصبح يُدندنُ به بعضُ النَّاس!
ولأكُنْ صريحاً وواضحاً، بعد أنْ تولَّى الإخوان في مصر! مع أنَّه مِن قبل ما كان أحدٌ يقول هذا! وفيه حُكَّام في البُلدان بعضهم سيِّئٌ جداً، لكن كان ينبغي كفُّ الألسنة عن الحُكَّام لِما في ذلك مِن الفساد.
ثُمَّ أصبح بعضُ النَّاس يُدندن على قضيَّة أنَّه إذا لم يكن وليّ أمر في بلادي!
طيَّب، هذا يفتح الذَّريعة للطَّعنِ في ولاة الأمرِ.
فمَن كان وليًّا لأمرِ بلدٍ مِن بلاد المُسلِمين فإنَّه يجبُ كفُّ اللِّسان عنه.
وهذا القول الَّذي أصبح يُدندنُ به بعضُ النَّاس!
ولأكُنْ صريحاً وواضحاً، بعد أنْ تولَّى الإخوان في مصر! مع أنَّه مِن قبل ما كان أحدٌ يقول هذا! وفيه حُكَّام في البُلدان بعضهم سيِّئٌ جداً، لكن كان ينبغي كفُّ الألسنة عن الحُكَّام لِما في ذلك مِن الفساد.
ثُمَّ أصبح بعضُ النَّاس يُدندن على قضيَّة أنَّه إذا لم يكن وليّ أمر في بلادي!
طيَّب، هذا يفتح الذَّريعة للطَّعنِ في ولاة الأمرِ.
أنا في الكويت أُريد أنْ أطعن في وُلاة أمري، أطلبُ مِن ناسٍ في مصر أنْ
يطعنوا في وليِّ الأمر، وأنا في السُّعوديَّة أُريد أنْ أطعن في وُلاة أمري، أطلبُ
مِن ناسٍ في الكويت أنْ يطعنوا في ولي الأمر، وأقول: هؤلاء ما يحرُمُ عليهم أنْ
يطعنوا في وليِّ الأمر!
فهو ذريعة إلى ما حرَّم الله، ومِن جهة أُخرى هو ذريعة إلى نشرِ الضَّغائنِ والحقد بين المُسلِمين.
فإذا تناول أهلُ الكويت وليَّ الأمر في الإمارات، وتناول أهلُ الإمارات وليَّ الأمر في السُّعوديَّة؛ سيتولَّد مِن هذا حقدٌ بين الشُّعوب، ويُصبحون يتبادلون السَّبَّ والشَّتمَ، ثُمَّ ينتقل الأمر إلى سبِّ الشُّعوب بعضها لبعضٍ؛ وفي هذا فسادٌ عظيم.
ولذلك نحن نقول يجبُ علينا أنْ نتمسَّك بالأصلِ الشَّرعيّ، وهو أنَّ مَن ولِيَ أمرً بلدٍ مِن بُلدان المُسلِمِين ينبغي علينا أنْ نكُفَّ عنه الألسِنة، ومَن كان عنده نصيحة فينبغي أنْ يُوصِلها بالأصل الشَّرعي.
طبعاً هُناك فرق بين الكلام على ولِيِّ الأمر والكلام عن جماعة، مثلاً كوْن الإنسان يتكلَّم عن جماعة الإخوان المُسلِمين، ويُبيِّن أخطاء هذه الجماعة ومُخالَفاتِها الكثيرة للأُصول الشَّرعيَّة؛ هذا لا يُمنعُ مِنه.
لكن أنْ يُؤتى بوليِّ الأمر في بلدٍ مِن البُلدان، ويُجعل يُتحدَّثْ فيه؛ لأنَّا لم نرض عن منهجه أو نحو ذلك، لا شكَّ أنَّ هذا مُخالِفٌ للأُصول الشَّرعيَّة، واللهُ أعلم.
فهو ذريعة إلى ما حرَّم الله، ومِن جهة أُخرى هو ذريعة إلى نشرِ الضَّغائنِ والحقد بين المُسلِمين.
فإذا تناول أهلُ الكويت وليَّ الأمر في الإمارات، وتناول أهلُ الإمارات وليَّ الأمر في السُّعوديَّة؛ سيتولَّد مِن هذا حقدٌ بين الشُّعوب، ويُصبحون يتبادلون السَّبَّ والشَّتمَ، ثُمَّ ينتقل الأمر إلى سبِّ الشُّعوب بعضها لبعضٍ؛ وفي هذا فسادٌ عظيم.
ولذلك نحن نقول يجبُ علينا أنْ نتمسَّك بالأصلِ الشَّرعيّ، وهو أنَّ مَن ولِيَ أمرً بلدٍ مِن بُلدان المُسلِمِين ينبغي علينا أنْ نكُفَّ عنه الألسِنة، ومَن كان عنده نصيحة فينبغي أنْ يُوصِلها بالأصل الشَّرعي.
طبعاً هُناك فرق بين الكلام على ولِيِّ الأمر والكلام عن جماعة، مثلاً كوْن الإنسان يتكلَّم عن جماعة الإخوان المُسلِمين، ويُبيِّن أخطاء هذه الجماعة ومُخالَفاتِها الكثيرة للأُصول الشَّرعيَّة؛ هذا لا يُمنعُ مِنه.
لكن أنْ يُؤتى بوليِّ الأمر في بلدٍ مِن البُلدان، ويُجعل يُتحدَّثْ فيه؛ لأنَّا لم نرض عن منهجه أو نحو ذلك، لا شكَّ أنَّ هذا مُخالِفٌ للأُصول الشَّرعيَّة، واللهُ أعلم.
“Diantara
prinsip dalam syariat adalah kewajiban menahan lisan terhadap pemimpin yang
memegang urusan kaum muslimin serta memiliki kekuasaan. Siapa pun yang menjadi
pemimpin di suatu negeri muslim, maka wajib untuk menahan lisan darinya.
Adapun
pernyataan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian manusia (sebelumnya
tidak ada seorang pun yang menyatakan hal ini) yaitu “boleh mencela penguasa,
jika penguasa itu bukan berada di wilayah negeriku!!”
Saya
akan memberikan sebuah contoh agar permasalahannya lebih jelas, setelah
Al-Ikhwan Al-Muslimun menguasai Mesir, sebagian rakyat berpendapat bahwa
pemerintahan penguasa ini sangat buruk.
Hal
yang harus mereka lakukan adalah menahan lisan, tidak mencela para penguasa,
karena hal itu dapat menimbulkan kerusakan.
Hal
ini akan membuka pintu yang menyeret kepada celaan terhadap para penguasa yang
lain. Misalnya saya tinggal di Kuwait dan saya ingin mencela pemerintah saya,
maka saya akan meminta orang-orang di Mesir agar mereka mencela pemerintah
saya, atau jika saya tinggal di Arab Saudi dan saya ingin mencela pemerintah
saya, maka saya akan meminta orang-orang di Kuwait untuk mencela pemerintah
saya, lalu saya berdalih: “mereka tidak diharamkan mencela pemerintah saya!”
Hal
ini merupakan perkara yang akan menyeret kepada hal-hal yang diharamkan oleh
Allah. Dari sisi lain, hal ini juga dapat menjadi pintu yang menyeret kepada
tersebarnya dendam dan kedengkian diantara kaum Muslimin.
Misalkan
penduduk Kuwait mencela pemerintah Uni Emirat Arab atau penduduk Uni Emirat
Arab mencela pemerintah Arab Saudi, maka akan muncul kedengkian diantara penduduk
negara-negara tersebut, jadilah mereka saling mencela dan mencerca, kemudian
perkaranya merembet hingga negara-negara tersebut saling mencela. Tentunya hal
ini dapat menimbulkan kerusakan yang besar.
Oleh
karena itu, kami menyatakan, wajib atas kita untuk berpegang teguh dengan
prinsip syariat, siapa pun yang menjadi penguasa di sebuah negeri kaum
Muslimin, maka kita wajib menahan lisan dan tidak boleh mencelanya. Barangsiapa
yang ingin menyampaikan nasehat, hendaklah ia menyampaikannya dengan metode
yang dibenarkan oleh syariat.
Tentunya
di sana terdapat perbedaan antara mencela pemerintah dengan mencela kelompok.
Misalkan seseorang yang mencela kelompok Al-Ikhwan Al-Muslimun dan menjelaskan
kesalahan-kesalahan kelompok ini, serta berbagai penyelisihan mereka terhadap
prinsip-prinsip syariat, maka hal ini tidak dilarang.
Namun jika yang dijadikan
sasaran adalah salah seorang pemimpin di sebuah negeri dengan cara membicarakan
kejelekannya dengan alasan tidak ridha terhadap manhajnya atau yang semisalnya,
maka tidak diragukan lagi bahwa perbuatan ini menyelisihi prinsip-prinsip
syariat, wallahu a’lam.”
[http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=143247]
Fatwa
ketiga, Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdillah Al-Imam hafizhahullah berkata:
“Segala
puji hanya milik Allah subhanahu wata’ala. Aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah ta’ala, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, semoga
shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau, keluarga, dan para
shahabat beliau.
Amma
ba’du, telah diketahui bersama bahwa di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat
suatu landasan yang sangat agung, yaitu ketaatan kepada pemerintah (muslim). Ketaatan
kepada pemerintah tidaklah terbatas kepada pemimpin yang tertinggi dan
terbesar. Namun ketaatan kepada pemerintah itu mencakup juga ketaatan kepada
pemimpin tertinggi dan para pemimpin di bawahnya yang telah ditunjuk olehnya.
Dalil
akan hal ini sangatlah banyak, diantaranya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya serta para
pemimpin diantara kalian.” [QS. An Nisa’: 59]
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Barang
siapa yang taat kepada pemimpinku maka ia telah taat kepadaku, dan barang siapa
yang tidak taat kepada pemimpinku maka ia tidak taat kepadaku.” [HR. Al-Bukhari
dan Muslim, dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
Maka
ketaatan kepada pemerintah itu mencakup ketaatan kepada para pemimpin/pejabat
yang telah ditunjuk untuk mengurus masyarakat. Prinsip inil telah dipahami oleh
masyarakat umum.
Adapun
orang ini berkata: ”Tidaklah wajib bagi kita untuk taat kepada pemimpin
suatu daerah karena kita warga dari daerah lain.” Sekilas ucapan ini
benar, namun dalam ucapan ini terkandung kecenderungan terhadap hizbiyyah, bahkan kecenderungan kepada hal yang
lebih berbahaya dari hizbiyyah, berusaha untuk menjatuhkan pemerintah daerah.
Sebab prinsip ini akan melegalkan para warga dari luar suatu provinsi, daerah,
atau kota tertentu untuk berkumpul menentang suatu pemimpin di daerah tersebut,
serta berusaha menjatuhkan pemimpin tersebut dengan berbagai cara. Ini adalah
suatu perbuatan yang diharamkan.
Meskipun
para pemimpin tersebut memiliki kesalahan dan penyelewengan, kita tetap
diwajibkan untuk bermu’amalah dengan mereka sesuai dengan koridor syari’at, bukan
dengan cara yang akan menimbulkan kekacauan dan kerusakan. Beberapa kesalahan
memang muncul dari pemerintah, baik dari kalangan atas maupun bawah -kecuali
yang dirahmati oleh Allah ‘azza wajalla-. Kesalahan juga timbul dari
masyarakat dan warga -kecuali yang dirahmati oleh Allah ‘azza wajalla-.
Kesalahan
juga timbul dari para da’i dan ulama yang berloyalitas kepada hizbiyyah,
menginginkan revolusi dan pemikiran yang diselubungi oleh syubhat dan keraguan,
misalkan berupa perbuatan yang dapat mengganggu keamanan dan ketenangan. Dengan
ini mereka akan menanggung dosa yang sangat besar berdasarkan penjelasan yang
telah lalu. Misalnya upaya mereka untuk menjatuhkan para pemimpin dan pejabat demi
meraih jabatan dan pengaruh di kalangan masyarakat.
Cara-cara
(prinsip) ini sangat berbahaya dan merusak. Prinsip tersebut menyelisihi pokok
ajaran ahlus sunnah wal jama’ah. Sebab
diantara pokok ajaran ahlus sunnah wal jama’ah adalah saling
tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, (bukan dalam membuat kerusakan
dan kekacauan), serta bai’at kepada pemerintah (muslim). Tidak ada bai’at kepada
selainnya, tidak kepada individu tertentu, pimpinan partai, maupun
kelompok.
Hendaklah
ia tidak menyusun suatu pemerintahan dalam kondisi pemerintah yang sah masih
ada. Sebab menyusun sebuah pemerintahan ketika pemerintah yang sah masih
berkuasa termasuk dari kaidah bid’ah. Bai’at kepada selain pemerintah yang sah juga
termasuk pokok ajaran hizbiyyah. Demikian pula termasuk dari ajaran bid’ah adalah
menyusun suatu organisasi dan gerakan rahasia yang sering kita temui. Hanya
kepada Allah ‘azza wajalla kita meminta pertolongan.” [Blog Thalib
Makbar, baca teks fatwa beliau di sini]
Allahua’lam, semoga bermanfaat..
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 29 Rajab 1435
Bismillah,
ReplyDeleteAfwan,Kok gk ada aplikasi utk berlangganan artikel di blok ini ya? Seperti situs dzulqarnain.net yg kita bisa berlangganan artilel cukup dengan memasukkan alamat e-mail.
Kalau bisa ditambahkan aplikasi tsb, hehe
Barakallahu fiikum
Alhamdulillah, Jazakallohu khair wa baarokallohu fiik
ReplyDeleteBagaimana dg Ahok pemimpin DKI yg mau membuka toko bir dan melegalkan prostitusi. Apaķah kita juga tidak boleh mengkritiknya dan membetitahu khalayak akan keburukannya agar nanti masyarakat tidak memilihnya lagi..
ReplyDeleteArtikel di atas hanya berlaku untuk pemimpin muslim
ReplyDeleteHmm, apa iya berlaku bagi pemimpin yang melaksanakan hukum cacat (manusia) . Bukan hukum Allah?
ReplyDelete