Saturday, May 3, 2014

6 Perangai Yang Harus Dihindari Para Penuntut Ilmu

Pertama, Tergesa-gesa dalam Men-tahdzir Ulama dan Mengkritik Ijtihad Mereka

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

ثم إن الكبير من أئمة العلم إذا كثر صوابه ، وعلم تحريه للحق ، واتسع علمه ، وظهر ذكاؤه ، وعرف صلاحه وورعه واتباعه يغفر له زللة ، ولا نضلله ونطرحه وننسى محاسنه ، نعم : لانقتدي به في بدعته وخطئه ونرجو له التوبة من ذلك

“Kemudian para ulama kibar dari imam para ahli imu, jika mereka memiliki kebenaran yang banyak, diketahui ketundukannya pada kebenaran, luas ilmunya, nampak kecerdasannya, diketahui kebaikan dan sifat wara’-nya, serta ittiba’-nya pada sunnah, maka dimaafkan kesalahan-kesalahannya. Kami tidak menyesatkan mereka, tidak pula membuang mereka. Kami tidak melupakan kebaikan-kebaikannya. Iya, kami tidak mengikuti bid’ah dan kesalahannya. Kami berharap agar ia bertaubat dari kesalahannya.” [Siyar Al-A’lam An-Nubalaa’, 5/271]

Adz-Dzahabi rahimahullah juga berkata:

مازال الأئمة يخالف بعضهم بعضاً، ويرد هذا على هذا ، ولسنا ممن يذم العالم بالهوى والجهل

“Para ulama senantiasa berselisih dan saling menulis bantahan satu sama lain, kita bukanlah termasuk orang-orang yang mencela ulama dengan hawa nafsu dan kejahilan” [Siyar Al-A’lam An-Nubalaa’,19/342]

An-Nawawi rahimahullah berkata:

اعلم أنه ينبغي لكل مكلف أن يحفظ لسانه عن جميع الكلام إلا كلاما تظهر مصلحة فيه

“Ketahuilah bahwa wajib bagi setiap mukallaf (baligh dan berakal) untuk menjaga lisannya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang mengandung maslahat” [Al-Adzkar hal. 528]

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

وإنما يمدح العالم بكثرة ماله من الفضائل ، فلا تدفن المحاسن لورطةٍ، ولعله رجع عنها . وقد يغفر له في استفراغه الوسع في طلب الحق ولاحول ولا قوة إلا بالله

“Sesungguhnya seorang ulama dipuji hanyalah karena memiliki keutamaan yang banyak. Janganlah engkau mengubur kebaikan-kebaikannya dengan kesalahannya, barangkali ia akan rujuk dari kesalahannya, atau barangkali kesalahannya telah diampuni berkat jerih payahnya dalam mencari kebenaran. Tidak ada upaya kecuali karena pertolongan Allah” [Siyar Al-A’lam An-Nubalaa’,16/285]

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata:

وإن كان مراد الراد على العالم إظهار عيبه وتنقصه وإظهار قصوره في العلم ونحو ذلك كان محرما

“Jika tujuan dari seorang yang membantah ulama adalah menampakkan aibnya, meremehkannya, menampakkan kebodohan ilmu seorang ulama dan alasan lain yang semisal, maka hukumnya haram” [Al-Farq Baina An-Nashihah wat Ta’yiir hal. 25]

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata:

وليس أحد من أفراد العلماء إلا وله نادرة ينبغي أن تغمر في جنب فضله وتجتنب

“Tidak ada seorang pun dari ulama, kecuali memiliki kesalahan yang jarang terjadi. Kita wajib melihat sisi keutamaannya dan menjauhi (tidak mencela mereka –pen)” [Subulus Salaam, 1/168]

Kedua, Berambisi Meraih Kepemimpinan dan Kekuasaan

Allah ta’ala berfirman:

تِلْكَ الدَّارُ الآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الأَرْضِ وَلا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [QS. Al-Qashash: 83]

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:

ما من أحد أحب الرياسة إلا حسد وبغى وتتبع عيوب الناس وكره أن يذكر أحد بخير

“Tidaklah seseorang mencintai kepemimpinan kecuali ia akan hasad, berbuat zalim, mencari-cari aib manusia dan tidak suka jika kebaikan orang lain disebutkan” [Jami’ Al-Bayan no. 971]

Adz-Dzahabi rahimahullah memperingatkan dari sifat ini,

فهذا داء خفي سار في نفوس الفقهاء

“Ini adalah penyakit samar yang terdapat dalam jiwa-jiwa para fuqahaa” [As-Siyar, 18/192]

Malik bin Dinar rahimahullah berkata:

من تعلم العلم للعمل كسره ومن تعلمه لغير العمل زاده فخرا

“Barangsiapa yang mempelajari ilmu untuk diamalkan, maka ilmu itu akan membuatnya tawadhu'. Barangsiapa yang mempelajari ilmu tidak untuk diamalkan, maka ilmu itu akan menambahkan kesombongan dalam dirinya” [Jami’ Al-Bayan no. 987, Iqtidha’ Al-‘Ilmi wal ‘Amal hal. 22-23 dengan sanad yang hasan]

Sikap yang mencerminkan akhlak seorang penuntut ilmu adalah tawadhu’ (rendah hati), alangkah indahnya jika setiap penuntut ilmu memiliki sifat ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

Sedekah tidak akan mengurangi harta. Tidak ada seorang pun yang memaafkan (kesalahan orang lain –pen), melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Tidak ada seorang pun yang bersikap tawadhu’ (rendah hati) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” [HR. Muslim no. 2588]

Dari Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ

“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling bersikap tawadhu’, agar tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain dan agar tidak ada seorang pun yang berbuat zhalim pada yang lain.” [HR. Muslim no. 2865]

Ibrahim bin Al-Asy’ats berkata: “Aku bertanya pada Al-Fudhail bin ‘Iyadh tentang makna tawadhu’ ”. Beliau menjawab:

أن تخضع للحق وتنقاد له ممن سمعته ولو كان أجهل الناس لزمك أن تقبله منه

“Engkau tunduk kepada kebenaran, merendahkan diri di hadapannya, serta menerima kebenaran yang engkau dengar meskipun berasal dari orang yang paling bodoh sekalipun. Engkau wajib menerima kebenaran darinya.” [Jami’ Al-Bayan no. 964, Al-Hilyah (8/91), shahih]

Abdullah bin Al-Mu’taz rahimahullah berkata:

المتواضع في طلاب العلم أكثرهم علما كما أن المكان المنخفض أكثر البقاع ماء

“Penuntut ilmu yang memiliki sifat tawadhu’ adalah yang paling berilmu diantara mereka, sebagaimana tempat yang rendah lebih banyak menyimpan air (dari tempat yang tinggi -pen)” [Al-Jami’ Liakhlaq Ar-Rawi no. 345 (1/198)]

Ketiga, Mendebat Semua Orang yang Menyelisihinya Tanpa Ilmu dan Tanpa Tujuan Mencari Kebenaran (Debat Kusir)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjanjikan surga bagi orang-orang yang meninggalkan perdebatan karena Allah, meskipun ia berada di pihak yang benar.

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

Aku akan menjamin sebuah rumah di tepi surga bagi siapa yang meninggalkan perdebatan, meskipun ia berada di atas kebenaran. Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi siapa yang meninggalkan kedustaan, meskipun ia hanya bergurau. Aku juga menjamin rumah di surga yang paling tinggi bagi siapa yang memiliki akhlak yang baik. [HR. Abu Daud no. 4800 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1464]

Sebaliknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan ancaman bagi orang-orang yang kegemarannya berdebat tanpa didasari ilmu dan tanpa ada tujuan mencari kebenaran

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

Tidaklah suatu kaum tersesat setelah dahulu berada di atas petunjuk kecuali setelah didatangkan perdebatan diantara mereka, kemudian beliau membaca ayat ini,

مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ

“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud berdebat saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” [HR. At-Tirmizi no. 3253, Ibnu Majah no. 47, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5633]

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ

Sesungguhnya orang yang paling dimurkai Allah adalah orang yang paling keras permusuhannya lagi suka berdebat”. [HR. Al-Bukhari no. 2457 dan Muslim no. 2668)

Para ulama pun telah memperingatkan dari model debat semacam ini,

Al-Auza’i rahimahullah berkata:

إذا أراد الله بقوم شرا ألزمهم الجدل ومنعهم العمل

“Jika Allah menginginkan kejelekan pada suatu kaum, maka Allah akan membiasakan mereka untuk berdebat dan menghalangi mereka dalam beramal” [Jami’ Al-Bayan no. 1777 (2/934), Syarh Ushul Al-‘Itiqad no. 296]

Ada seorang laki-laki bertanya pada Al-Hakam bin ‘Utaibah:

ما حمل أهل الأهواء على هذا؟

“Apa yang membuat ahlul-bid’ah berada di atas kesesatannya?”

Ia menjawab:

الخصومة

“Perdebatan” [As-Sunnah (2/137), Asy-Syari’ah no. 121 dan Dzammul Al-Kalam (5/62)]

Yahya bin Ayyub rahimahullah berkata:

إذا أراد الله أن لا يعلم عبده أشغله بالأغاليط

“Jika Allah menginginkan untuk menjauhkan ilmu dari hamba-Nya, maka Allah akan menyibukannya dengan perdebatan” [Al-Muwafaqaat, 4/311]

Mu’awiyah bin Qurrah rahimahullah berkata:

الخصومة في الدين تحبط الأعمال

"Perdebatan dalam agama menghapuskan amal” [Syarh Ushul I’tiqad no. 221, As-Sunnah no. 98 dan Asy-Syari’ah no. 121]

Muslim bin Yasaar rahimahullah berkata:

إياكم والمراء فإنه ساعة جهل العالم وبها يبتغي الشيطان زلته

“Berhati-hatilah kalian dari perdebatan, karena itu adalah saat-saat nampaknya kebodohan seorang yang berilmu. Dengan perdebatan, setan berusaha menggelincirkan seorang yang berilmu” [Asy-Syari’ah no. 118]

Abdul Kariim Al-Jazariy rahimahullah berkata:

ما خاصم ورع قط في الدين

“Tidak ada seorang wara’ pun yang suka berdebat dalam permasalahan agama” [Asy-Syari’ah no. 129 dan Al-Ibanah Al-Kubraa no.123]

Rabi’ Al-Madkhali hafizhahullah berkata:

إن من يتحدث عن الفرق على خلاف منهج أهل الحديث في الجرح والتعديل لا بد أن يتحدث بحكم الظن والهوى لأنه لا منهج لديه يثبت به ما يدين به

“Sesungguhnya barangsiapa yang berbicara tentang kelompok-kelompok dengan menyelisihi manhaj ahlul-hadits dalam al-jarh dan at-ta’dil, maka ia pasti memberikan hukum berdasarkan persangkaan dan hawa nafsu. Sebab ia tidak memiliki manhaj yang kokoh dalam beragama” [Al-Majmu’ Al-Waadhih hal. 189]

Keempat, Membicarakan Permasalahan Fitnah di Tengah Orang-orang Awam dan Orang yang Baru Mengenal Dakwah

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:

حدثوا الناس بما يعرفون أتريدون أن يكذب الله ورسوله

“Berbicaralah kepada manusia dengan bahasa yang dapat mereka pahami. Apakah kalian suka jika Allah dan Rasul-Nya didustakan?” [HR. Al-Bukhari no. 127]

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:

إن شرار عباد الله الذين يجيؤون بشرار المسائل يفتنون بها عباد الله

“Sesungguhnya hamba-hamba Allah yang paling buruk adalah orang-orang yang datang membawa permasalahan yang paling buruk untuk melakukan fitnah terhadap hamba-hamba Allah” [Al-Ibanah hal. 154]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

والواجب أمر العامة بالجمل الثابتة بالنص والإجماع ومنعهم من الخوض في التفصيل الذي يوقع بينهم الفرقة والإختلاف فإن الفرقة والإختلاف من أعظم ما نهى الله ورسوله

“Wajib untuk menyampaikan ungkapan-ungkapan shahih yang berasal dari nash dan ijma’ kepada orang-orang awam, kemudian melarang mereka agar tidak berlebihan dalam mengetahui rincian permasalahan (fitnah –pen) yang dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan diantara mereka. Sebab perpecahan dan perselisihan adalah perkara terbesar yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya” [Majmuu’ Al-Fatawa, 12/237]

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata:

وفيه التنبيه أن العلم لا يودع عند غير أهلها ولا يحدث به إلا من يعقله ولا يحدث القليل الفهم بما لا يحتمله

“Dalam hadits ini terdapat peringatan agar tidak menyampaikan permasalahan (fitnah –pen) selain kepada ahlinya, tidak membicarakannya kecuali pada orang-orang yang dapat memahaminya, serta tidak menyampaikannya pada orang-orang yang kurang pemahamannya” [Fathul Baari, 12/154]

Kelima, Memaksakan Pendapat Dalam Permalasahan Ijtihadiyyah

Sulaiman bin Musa Al-Asydaq rahimahullah berkata:

يجلس إلى العالم ثلاثة : رجل ياخذ كل ما يسمع ورجل لا يحفظ شيئا وهو جليس العالم ورجل ينتقي وهو خيرهم

“Ada tiga golongan manusia yang duduk di sisi seorang ulama: pertama, seorang yang mengambil seluruh apa yang ia dengar. Kedua, seorang yang tidak menghafal sedikitpun. Ketiga, seorang yang dapat memilah-milah, ia lah yang terbaik diantara mereka” [Jamii’ Al-Bayan no. 1548, At-Tamhiid (1/79) dan Al-Jami’ Liakhlaq Ar-Rawi no. 1470, shahih]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

نوالي علماء المسلمين ونتخير من أقوالهم ما وافق الكتاب والسنة ونزنها بهما لا نزنهما بقول أحد كائنا من كان ولا نتخذ من دون الله ورسوله رجلا يصيب ويخطئ فنتبعه في كل ما قال

“Kami mencintai para ulama muslimin, kami memilih perkataan mereka yang lebih mencocoki Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kami menimbang perkataan mereka dengan keduanya, namun kami tidak menimbang Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan perkataan seorang pun dari mereka. Kami tidak menjadikan seseorang yang terkadang benar dan terkadang keliru sebagai sekutu bagi Allah dan rasul-Nya, tidak pula kami mengikuti seluruh apa yang ia katakan” [Al-Furusiyyah hal. 343]

"Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikan masalah ijtihadiyyah adalah perkara yang tidak ada kejelasan dalilnya. [I’lamul Muwaqi’in, 3/287]

Ketahuilah bahwa masalah khilafiyyah itu bertingkat-tingkat. Ada ikhtilaf yang disebabkan karena perbedaan makna kalimat-kalimatnya saja, ada pula ikthtilaf yang disebabkan oleh jelasnya kelemahan salah satu pendapat. Dalam khilafiyyah yang seperti ini, kita wajib mengingkari pendapat yang lemah, bahkan pengingkaran ini dapat membatalkan keputusan seorang hakim.

Namun di antara masalah khilafiyyah ada perkara-perkara yang rumit, dalil dari kedua belah pihak sangat kuat, pendapat-pendapat mereka saling berdekatan, dasar dari masing-masing pendapat adalah perbedaan pemahaman dalam pengambilan hukum syar’i. Inilah yang disebut masalah ijtihadiyyah. [Dharurarul Ihtimam hal. 100]

Bagaimana kita menyikapinya?

Hal yang wajib ditempuh:

1. Perlu adanya saling nasehat-menasehati antara kedua orang yang berbeda pendapat dengan cara diskusi ilmiah yang membuahkan kebenaran dengan menjelaskan sisi pendalilan atau sudut pandang dan dalil dari masing-masing pendapat.

2. Jika salah satunya tidak puas dengan apa yang dikemukakan oleh saudaranya, maka jangan sampai berbuah pada kekerasan, pengingkaran dan perpecahan.

3. Jika ketidak-puasannya tidak dibangun di atas hujjah, namun karena ta’ashub madzhab, hawa nafsu dan sejenisnya, maka perselisihan semacam ini boleh diingkari, karena yang menjadi ukuran adalah penyelisihannya terhadap dalil. [Dharuratul Ihtimam, hal. 101]

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyeru para shahabatnya ketika selesai Perang Ahzab dengan kemenangan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يُصَلِّيَنَ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ.

“Jangan sekali-kali salah seorang kalian shalat ashar, kecuali di tempat Bani Quraidhah!!

Namun ketika manusia khawatir kehilangan waktu ashar, sebagian mereka ada yang shalat di tengah jalan sebelum sampai ke tempat Bani Quraidhah, sedangkan sebagian lainnya berkata: “Tidak, kami tidak akan shalat, kecuali di tempat yang telah diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kami, walaupun telah lewat waktu”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak menyalahkan kedua belah pihak. [Fathul Bari, 7/3407 dan Syarh An-Nawawi, 12/97]

Demikianlah masing-masing para shahabat mengerjakan apa yang benar menurut keyakinannya, sahabat yang satu tidak menyalahkan yang lainnya.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata: 

“Jika engkau melihat seseorang beramal dengan satu amal ibadah yang masih diperselisihkan, sedangkan engkau berpendapat lain, maka jangan engkau melarangnya” [Al-Faqiih wal Mutafaqqih, 2/69]

Ungkapan-ungkapan semisal ini tentunya diterapkan dalam konteks masalah ijtihadiyyah, bukan dalam semua masalah khilafiyyah.

Yahya bin Sa’id al-Anshari rahimahullah berkata: 

“Para ahli fatwa masih terus mengeluarkan fatwa mereka. Sebagian menyatakan halal dan sebagian lainnya menyatakan haram (dengan ijtihad mereka -pen). Ulama yang menghalalkan tidaklah menyatakan bahwa ulama yang mengharamkan akan binasa. Demikian pula sebaliknya, tidaklah ulama yang mengharamkan menyatakan bahwa ulama yang menghalalkan akan binasa.” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, lihat Dharuratul Ihtimam hal. 102]

Seluruh ungkapan di atas berlaku dalam masalah ijtihadiyyah yang muncul dari para ulama yang memang layak untuk berijtihad. Dalam masalah-masalah seperti ini tidak ada pengingkaran, kecuali hanya sekedar diskusi dan saling menasehati. [Dharuratul Ihtimam hal. 102]” (Ditulis oleh Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed hafizhahullah dalam Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 136/Th. III 18 Rabi’ul Awwal 1428 H/06 April 2007 M)

Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata:

ومما ينافي الأدب ما تراه من بعض طلبة العلم أنه حال الإختلاف يأتي إلى أخيه من طلاب العلم والدعاة وربما إلى من هو أعلم منه ويقول له : ماذا تقول في مسالة كذا وكذا ؟ من مسائل يسع فيه الخلاف بل بعضهم يتجرا فيقول : أخرج ما في قلبك أنت خبيث ما دمت لا تصرح !! فهؤلاء الذين يخشى عليهم في المستقبل

“Diantara hal yang meniadakan adab adalah saat engkau melihat sebagian penuntut ilmu berselisih, lalu ia mendatangi saudaranya dari para penuntut ilmu dan da’i, bahkan ia datang kepada orang yang lebih berilmu darinya, kemudian berkata: “Apa pendapatmu tentang masalah ini dan itu?” (dari permasalahan ijtihadiyyah).

Bahkan sebagian mereka berbuat tidak santun sambil berkata: “keluarkanlah apa yang ada dalam hatimu, engkau adalah seorang yang jelek, jika engkau tidak mau tegas (mengambil sikap –pen)”. Mereka adalah orang-orang yang dikhawatirkan (keadaannya –pen) di masa mendatang” [Al-Ibanah hal. 165]

Keenam, Tidak Mengetahui Perbedaan dalam Menyikapi “Penyimpangan” dan “Kesalahan” Seorang Ulama atau Penuntut Ilmu

Berikut beberapa perbedaan antara “Kesalahan” dan “Penyimpangan”:

1. Tidak ada seorang ulama pun yang selamat dari kesalahan.

2. Kesalahan itu tidak akan mengurangi kemuliaan seorang ulama

3. Kesalahan itu diberikan udzur

4. Ulama atau penuntut ilmu yang terjatuh dalam kesalahan dinasehati dengan lembut dan menggunakan metode yang baik

5. Memperingatkan kaum muslimin agar tidak mengambil kekeliruan pendapatnya [Al-Ibanah hal. 142]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

فإذا لم يحصل النور الصافي بأن لم يوجد إلا النور الذي ليس بصاف وإلا بقي الإنسان في الظلمة فلا ينبغي

“Jika tidak ada cahaya yang sempurna dan murni, namun yang ada hanyalah cahaya yang tidak sempurna, (maka hal itu tidaklah mengapa –pen). Jika tidak demikian, maka manusia akan tetap berada dalam kegelapan, ini tidak semestinya terjadi” [Majmuu’ Al-Fatawa, 10/364]

Abu Hilal Al-‘Askari rahimahullah berkata:

فإنه لم يعر من الخطأ إلا من عصم الله جل ذكره . وقد قالت الحكماء : الفاضل من عُدت سقطاته ، وليتنا أدركنا بعض صوابهم أو كنا ممن يميز خطأهم

"Tidak seorang pun yang terbebas dari kesalahan kecuali orang-orang yang diberikan ke-makshum-an oleh Allah jalla dzikruhu. Para ahli hikmah berkata: “Orang yang memiliki keutamaan adalah seorang yang bisa dihitung kesalahannya.” Duhai seandainya kita mau melihat kebenaran-kebenaran yang ada pada mereka atau kita termasuk orang-orang yang mampu memilah-milah kesalahan mereka” [Syarh Ma Yaqa’u fihit Tashiif hal. 6]

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:

ولو أنا كلما أخطأ إمام في اجتهاده في آحاد المسائل خطأ مغفوراً له ، قمنا عليه ، وبدعناه وهجرناه لما سلم معنا لا ابن نصر ولا ابن منده ، ولا من هو أكبر منهما ، والله هو هادي الخلق إلى الحق ، وهو أرحم الراحمين ، فنعوذ بالله من الهوى والفظاظة

“Seandainya setiap ulama yang berijtihad, kemudian keliru dalam suatu permasalahan, kita sikapi, kita vonis mubtadi’ dan kita boikot (hajr), niscaya tidak ada seorang pun ulama yang akan selamat, tidak Ibnu Nashr, tidak Ibnu Mandah, tidak pula ulama yang lebih tinggi kedudukannya dari keduanya. Allah lah yang memberikan hidayah manusia pada kebenaran, Dialah adalah dzat yang paling penyayang diantara orang-orang yang memiliki kasih sayang. Kita berlindung pada Allah dari hawa nafsu dan sikap keras” [Siyar Al-A’lam An-Nubalaa’,14/40]

ولو أن كل من أخطأ في اجتهاده - مع صحة إيمانه وتوخيه لاتباع الحق - أهدرناه وبدعناه ، لقل من يسلم من الأئمة معنا

“Seandainya setiap ulama yang keliru dalam ijtihadnya, bersamaan dengan keimanannya yang benar dan ketundukkannya dalam mengikuti kebenaran, lalu kita boikot dan divonis mubtadi’, sungguh sedikit dari para ulama kita yang akan selamat” [Siyar Al-A’lam An-Nubalaa’,14/374]

وما من شرط العالم أنه لا يخطئ

“Bukanlah termasuk syarat ulama, ia tidak terjatuh dalam kesalahan” [Siyar Al-A’lam An-Nubalaa’,19/339]

أخطأ ابن خزيمة في حديث الصورة ، ولا يطعن عليه بذلك بل لا يؤخذ عنه هذا

“Ibnu Khuzaimah telah keliru dalam menafsirkan hadits “Ash-Shurah”. Tidak boleh mencela beliau dengan sebab ini, bahkan beliau tidak pantas dicela” [Siyar Al-A’lam An-Nubalaa’,20/88]

Diantara hal yang perlu diperhatikan sebelum memvonis kesalahan pada seorang ulama atau penuntut ilmu adalah tatsabbut (teliti) dalam menerima berita.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

ومن أراد أن ينقل مقالة عن طائفة فليسم القائل والناقل وإلا فكل أحد يقدر على الكذب فقد تبين كذبه فيما نقله عن أهل السنة

“Barangsiapa yang ingin menukil perkataan suatu kaum, hendaklah ia menyebutkan nama orang yang berkata serta orang yang menukil. Jika tidak demikian, sungguh setiap orang mampu untuk berdusta. Bahkan telah nampak kedustaannya saat ia menukil dari ahlus-sunnah” [Minhaajus Sunnah, 2/518]

Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah berkata:

وعليهم إيرادها بنصها وذكرمصدرها وليتحروا فيما إذا كان قد تراجع القائل عن مقالته فلا تدخل في النقد ولا يحمل الكلام ما لا يتحمله

“Mereka (orang yang menulis bantahan –pen) wajib menyebutkan nash dan sumber perkataannya, berhati-hatilah jika orang yang dibantah telah rujuk dari kesalahannya. Janganlah engkau melanjutkan bantahan, jangan pula memahami perkataannya dengan pemahaman yang tidak sesuai dengan apa yang ia maksudkan” [Al-Ibanah hal. 148]

Sedangkan penyimpangan seorang ulama atau penuntut ilmu dapat diketahui dengan beberapa hal:

1. Melakukan kesengajaan dalam menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah

2. Bersikukuh di atas penyimpangannya

3. Membangun kecintaan dan permusuhan (al-wala’ dan al-baraa’) di atasnya

4. Mendakwahkan penyimpangannya pada kaum muslimin

Bagaimanakah metode dalam menyikapi para ulama yang terjatuh dalam penyimpangan?

1. Wajib men-tahdzir (memperingatkan) manusia dari penyimpangannnya dengan memperhatikan maslahat dan mafsadah,

2. Di-hajr (boikot), jika maslahat mengharuskan demikian

3. Turun derajatnya dari tingkatan ulama, serta dihukumi sebagai ahlul-bid’ah dan hizbiyyun

4. Tidak dijadikan tempat sandaran dalam menuntut ilmu, meminta fatwa dan meminta nasehat. [Al-Ibanah hal. 142]

Penting untuk diketahui, ijtihad dalam memvonis "ahlul-bid'ah" terhadap seorang ulama atau penuntut ilmu dikembalikan kepada para ulama kibar. Para penuntut ilmu tidak memiliki hak sedikitpun untuk berijtihad dalam permasalahan ini.

Allahua’lam, semoga bermanfaat...

Sumber: Kitab Al-Ibanah 'an Kaifiyyah At-Ta'amul Ma'al Khilaf baina Ahlis-Sunnah wal Jama'ah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 4 Rajab 1435

2 comments:

  1. Alhamdulillah, nasehat yang sangat indah. Barokallahu fikum.

    ReplyDelete
  2. Semoga aja para da'i dan penuntut ilmu berusaha menjauhi akhlak yg jelek ini agar dakwah salafiyah bisa lbh baik.

    ReplyDelete