Suatu saat ada sebuah pertanyaan kepada
sang ustadz ;
Apakah maslahat dan mafsadah berpolitik
bisa dilaksanakan? Mengingat kita negara parlemen, kalau tidak berpolitik suara
kita tidak tersalurkan atau tidak terwakili.
Dan beliau menjawab dengan lisan beliau sbb ;
“Kaedah maslahat dan mafsadah
dibawahnya banyak puluhan kaedah. Diantara kaedah maslahat dan mafsadah itu ada
namanya ; dar’ul mafasid
muqoddamun ala jalbil masholih, menolak mafsadah / menolak
kerugian lebih dahulu daripada mengambil maslahat. Jadi itu kaedah yang juga
penting bahwa menolak kerugian lebih penting dari pada mengambil maslahat.
Maksudnya apa? Kita berpolitik itu mengambil maslahat, akan tetapi di dalam
politik itu ada mafsadah. Maka kaedah ini masuk, yaitu apa? Menolak mafsadah yg
ada lebih dahulu daripada mengambil maslahat itu berpolitik. Jadi menolak
mafsadah yang ada itu supaya jangan jatuh kita ke dalam dosa maka kita tolak,
kita tidak ambil daripada kita masuk kedalam maslahat yaitu masuk ke politik.
Dan juga di dalam maslahat dan mafsadat ada beberapa kaedah diantara kaedahnya lagi bahwa maslahat di dalam kita masuk dalam berpolitik ini seharusnya tujuannya adalah untuk menegakkan islam dan tidak bisa menegakkan islam dengan cara yg haram. Diantara kaidah ini adalah ; al-wasail laha ahkamul maqashid, sarana hukumnya sama dengan tujuan. Jika seandainya tujuan kita ini halal maka wajib juga sarana tujuan ini harus halal. Tidak boleh didalam syariat tujuan yang halal ini dikotori dengan sarana yg haram.
Nah… jika seandainya sarana tujuan kita
ini yaitu menegakkan islam ada sarana dengan cara yang halal untuk mencapai
tujuan ini, maka wajib kita tegakkan, wajib kita masuk ke dalamnya. Akan tetapi
tujuan yang halal ini hanya ada caranya yaitu dengan yang haram
(berpolitik -red) , maka diharamkan kita masuk di dalamnya. Karena kita tidak
menggunakan kaidah kapitalisme yang mengatakan ; al-ghayah tubarriru al-washilah, bahwa
tujuan menghalalkan segala cara. Tidak, tidak ada kaedah seperti ini (dalam
islam-red).
Dan kita sangat yakin dengan masuknya
kaum muslimin ke politik maka mereka akan terjerembab masuk kedalam
kesalahan-kesalahan dan maksiat-maksiat yang bukan hanya maksiat kecil akan
tetapi juga besar. Dan kita juga tahu, apalagi kita juga sangat tahu bahwa dari
sepanjang perjalanan kaum muslimin di dalam berpolitik maka mereka tidak pernah
menang selama-lamanya. Dan ini sunnah kauniyyah Allah, tidak pernah menang.
Sudah dimulai semenjak runtuhnya Khilafah Islamiyyah tahun 1924, dan telah
ditegakkan oleh orang pertama kalinya yaitu Hasan Al-Banna rahimahullahu ta’ala, mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Apa yang terjadi? Semua yang
membangun itu dibantai semua oleh musuh-musuh politiknya.
Berarti harus cara lain, harus dengan
cara lain. Sudah hampir atau lebih 100 tahun. Jika seandainya cara ini sangat
manjur, maka niscaya telah menghasilkan. Maka yang jelas dari sepanjang sejarah
yang ada keberhasilan dakwah adalah dakwah yang telah dibangun oleh para nabi
dan para rasul. Dakwah yang ditegakkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang
ditegakkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu ta’ala, yang
ditegakkan oleh kaum Paderi di Sumatra Barat, yang ditegakkan oleh Kyai Haji
Ahmad Dahlan dan semacamnya. Begitu cara berdakwah yang harus. Kenapa kita harus
terjun ke dalam masalah-masalah yang nanti malah menghancurkan umat? Dan mereka
berhasil, mereka berhasil. Dakwah yang ini yang harus.
Metode dakwah ini sangat banyak, akan
tetapi yang diperbolehkan yang halalnya saja, yang diharamkan maka dia haram. Dan
dakwah masuk politik tidak pernah sejarahnya
umat islam menang, tidak pernah ada sejarahnya. Lihatlah dari barat sampai ke
timur. Anda ingin belajar dari Aljazair? Maka bacalah sejarahnya. Anda ingin
belajar dari kisah Mesir? Anda belajar dari kegagalan Masyumi (partai
islam-red) dan semacamnya? Lihatlah, kegagalan-kegagalannya semacamnya,
lihatlah. Bagaimana kita jadi pecundang-pecundang. Bagaimana kita diakali dan
diakali, bagaimana kita menjadi objek dan tidak pernah selama-lamanya menjadi
subjek.
Kegagalan itu yang memberi perhatian
besar Muhammad Natsir untuk memutar haluannya dari berpolitik sampai pada
tingkat perdana menteri akhirnya dia mengetahui bahwa jalan satunya untuk
kebaikan umat indonesia adalah terjun ke dakwah. Akhirnya beliau dirikan Dewan Dakwah (Dewan Dakwah Indonesia-red)
itu. Menunjukkan beliau paham, yakin bahwa tidak dengan berpolitik umat islam
bisa jaya, setelah beliau sampai pada puncaknya.
Kenapa kita tidak mengambil pelajaran
dari orang-orang tua kita? Nenek moyang kita yang jauh lebih ikhlas, yang tidak
tamak. Bapak Muhammad Natsir itu tidak tamak dia. Satu hari datang padanya
tamu, kemudian dia katakan; “maaf pak saya tidak bisa membawa bapak dengan
mobil dinas ini, akan tetapi bapak naiklah kendaraan di luar”. Coba bayangkan,
itu orangnya. Mana orang-orang yang seperti ini pada zaman sekarang?
Subhanallah, yang dahulunya naik sepeda sekarang kita sudah lihat mereka naik
Land Cruiser dan Terrano, makan harta rakyat dan semacamnya. Itu yang akan kita
harapkan bisa menegakkan Islam? Dengan itu kita harapkan islam akan tegak?
Subhanallah, saya yakin ada satu-dua, akan tetapi mereka hanya semut di
gerombolan gajah yang memang sudah….(?). Semut aja.
Lihatlah!! Tanyalah orang-orang yang sudah masuk
di dalamnya, bagaimana mereka bisa merubah? Tidak akan bisa merubah, tidak akan
mudah untuk merubahnya, kalau tidak pula mereka merubahnya. Bahkan yang sering
kita lihat awal seseorang masuk ke dalam politik yang Masya Allah mempunyai
wajah yang islami, pakaian yang islami. Setelah beberapa minggu dia masuk ke
dalam itu tidak lagi islami, tidak lagi islami. Wajahnya sudah bersih seperti
bersihnya padang pasir di Arab Saudi, pakaiannya sudah tidak lagi kita kenal gamis, koko dan semacamnya yang
kita kenal dari seorang muslim yang baik. Akan tetapi sudah berubah,
sebagaimana berubahnya niatnya.
Tidak zaman kita saja, mulai zaman….( ?). Zaman Nabi Adam ‘alaihisalam ya… ikhwan. Telah berlangsung kediktatoran ratusan, ribuan orang diktator di dunia ini. Dan tidak pernah Allah subhanahu wata’ala mengajarkan kita untuk bercampur dengan mereka. Semuanya para Nabi dan Rasul yang jumlah mereka ribuan berdakwah dengan satu metode yaitu memulai dakwah dengan tauhid. Nah… kenapa muncul setelah ribuan tahun bumi ini ada, setelah ribuan tahun ada manusia.
Zaman sekarang baru ada orang-orang
muslikhun, orang-orang yang menganggap dirinya akan memperbaiki umat, terjun ke
politik yang tidak pernah disaksikan di sepanjang zaman mulai zaman nabi Adam
sampai nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam. Tidak ada... sebutkan kepada
sejarah bahwa ada orang muslikh pada kaum Tsamud, kaum Hud, kaum ‘Aad masuk ke
dalam politik tersebut? Sebutkan pada kita. Tidak ada! Semuanya membangun umat
mereka dengan tauhid, dengan tauhid, yaitu memberikan / menyampaikan kebenaran,
norma-norma ketaqwaan kepada seluruh lapisan. Dia tidak mempunyai musuh. Yang
memusuhinya adalah ahlul batil, hanya kelompok syaiton, dia tidak memiliki
lawan politik, rival dan semacamnya, yang lawannya adalah kelompok syaiton itu
saja. Akan tetapi dia tidak memiliki kepentingan, kepentingan hanya apa? Hanya
agar tegak agama Allah 'azza wajalla. Itu saja. Dan ini yang harus kita
terapkan.
Jika seandainya berkumpul sebagai apa yang kita pahamkan ini yang
dilaksanakan kebanyakan para dai, maka kita yakin tidak berselang 2, 3, 4 tahun
kecuali Indonesia akan baik. Sebagaimana baiknya Jazirah Arab, jazirah Arab itu
tahu bagaimana caranya baik, yaitu dengan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab.
Bagaimana? Dia datangi Muhammad bin Su’ud. Dia dakwahi sehingga dia (Muhammad
Bin Suud) masuk ahlussunah wal jamaah, masuk salaf (melazimi manhaj salaf-red).
Dia datangi pemerintahan tersebut. Ketika paham dia / pemerintahan tersebut,
maka dia pegang tangannya di atas tangan Muhammad bin Su’ud. Apa katanya
(Muhammad bin Su’ud) ; ”Ad-damu bi dam, darah dengan darah. Darah dengan darah
ya imam.. Sesungguhnnya dakwahmu saya sokong dengan kekuasaanku”. Apa kata Muhammad bin Abdul Wahhab? ; “Demi Allah, saya berikan kabar gembira engkau
akan mendapatkan tamkin (kejayaan-red) / kekuasaan di suatu negeri”. Akhirnya
mereka menguasai wilayah yang tidak pernah dikuasai oleh kebanyakan orang dalam
waktu yang sangat singkat. Itu yang namanya dakwah, itu yang namanya dakwah.
Haji miskin di Sumatera Barat pada
tahun 1803 bagaimana dia berdakwah? Dia mulai dakwah pada datuk-datuknya.
Kemudian dia dakwahi, ketika masuk dakwahnya, maka datuk-datuk itu yang
membelanya. “Pak Haji miskin, tuanku haji miskin berdakwahlah. Saya dibelakangmu.
Saya datuk dibelakangmu. Maka mulailah berdakwah”. Maka dikembangkan oleh
Tuanku Nan Renceh sehingga islam sampai ke medan, sampai ke pekan baru, sampai
ke pelosok-pelosok dan semacamnya, semuanya di atas dakwah Islam.
Harus seperti itu islam yang harus
dikembangkan. Kalau seandainya ada yang mengatakan bahwa tidak akan mungkin
cara seperti itu, setiap kali kita bergerak orang akan mengekang kita dan
menghancurkan kita. Subhanallah.. Sangat mudah berdakwah seperti itu. Akan
tetapi jika seandainya kita butuh memiliki kesabaran dakwahi orang-orang
pemimpin tersebut. Sehingga ketika mereka baik, akan baik seluruh umat. Kenapa
pula kita harus jatuhkan dia dulu, kita
bunuh dia dulu, kita hancurkan kursinya dulu sehingga kita yang harus layak
duduk pula diatas sana.
Penguasa, pemimpin tidak akan
membiarkan anda jika seandainya anda berebut dengan dia dalam satu kekuasaan.
Karena kekuasaan itu hanya milik satu. Kalau kursi ini yang anda cari maka
pedang, pistol mereka akan ada. Mereka mempunyai tank dan semacamnya. Anda apa?
Akan tetapi jika seandainya posisi anda seperti Musa kepada Fira’un. Musa
menerangkan, menekankan betul-betul kepada Fira’un ; “Wahai Fira’un sedikitpun
kursi yang engkau duduk tersebut tidak berselera diriku padanya”. Lihat!
Ulama-ulama kita dan dai-dai kita sekarang melihat kursi kekuasaan tersebut, menetes air liurnya. Menetes air liurnya supaya agar dapat dia duduk disana.
Musa ‘alaihisalam tidak pernah mengatakan itu kepada Fir’aun. Dia hanya
mengucapkan sebagaimana yang diucapkan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kepada seluruh penguasa dunia pada zaman itu. Apa katanya; “Peluklah islam, engkau
tetap diatas kekuasaan engkau”.
Mana dia dengan dakwah politik kita
zaman sekarang ini. “Tidak!, engkau tidak bisa saya yang masuk”. Itu yang ada
politik dan itu tidak bisa. Kalau itu yang dilakukan maka inilah yang terjadi.
Telah kita coba ratusan tahun, ratusan tahun…
wallahu ta’ala a'lam, washalallah ‘ala nabiiyina Muhammadin wa‘ala alihi washahbihi wasallam
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarokatuhu”
Sumber : audio kajian (convert from mp3
to text)
No comments:
Post a Comment