Sunday, March 16, 2014

Kenapa Ulama Syafi'iyyah Berpendapat Adanya Bid'ah Hasanah?

Telah kita ketahui bersama bahwa saudara kita dari kalangan Nahdhiyyin membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah karena mengikuti penggunaan istilah sebagian ulama Syafi’iyyah. Barangkali ada sebagian kita yang bingung, bukankah semua bid’ah adalah dholalah sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:


إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

“Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” [HR. Abu Dawud no. 4607, At-Tirmidzi no. 2676, Ahmad, 4/46-47 dan Ibnu Majah no. 42, 43, 44, dari Sahabat ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, hasan shahih]

Kenapa ada dari sebagian ulama Syafi’iyyah yang menyatakan adanya bid’ah hasanah??

Jawabnya, karena para ulama tersebut memiliki definisi bid'ah yang sedikit berbeda dengan definisi ulama Wahhabi. Saya akan menyebutkan perbedaan definisi tersebut,

Al-Imam Al-‘Izz bin Abdissalam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

البدعة: هي فعل ما لم يعهد في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم

”Bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada pada masa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam” [Qawa’id Al-Ahkaam, 2/113]

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

والبدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Bid’ah dengan ba’ yang dikasrah dalam syariat adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” [Tahdziib Al-Asmaa’ wal Lughaat, 2/22]

Jika kita menggunakan definisi bid’ah yang dipakai Al-‘Izz bin Abdissalam dan An-Nawawi, maka segala sesuatu yang diada-adakan sepeninggal nabi adalah bid’ah. Berangkat dari definisi ini, maka mempelajari ilmu Nahwu adalah bid’ah, belajar ilmu Ushul Fiqh adalah bid’ah, Shalat Tarawih secara berjama’ah di Masjid sebulan penuh adalah bid’ah, penggunaan komputer, mobil, pesawat adalah bid’ah, pembukuan Al-Qur’an di masa khalifah Abu Bakar adalah bid’ah, dan masih banyak contoh lain. Seluruhnya tergolong bid’ah menurut definisi ini, karena memang tidak ada pada masa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh karena itu, sebagian ulama Syafi’iyyah membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah mamduuhah (baik) dan bid’ah madzmuumah (buruk), atau sebagian yang lain membagi bid’ah menjadi lima yaitu bid’ah wajibah (wajib), bid’ah mustahabbah (sunah), bid’ah mubahah (boleh), bid’ah makruuhah (makruh) dan bid’ah muharramah (haram). Definisi mereka berbeda dengan definisi bid’ah menurut ulama Wahhabi,

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

والبدعة: ما خالف الكتاب والسنة وإجماع سلف الأمة من الاعتقادات والعبادات

“Bid’ah adalah perkara yang menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ salaful ummah dalam aqidah dan ibadah” [Majmuu’ Al-Fatawa, 18/346]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

التعبد للّه بما لم يشرعه اللّه أو : التعبد للّه بما ليس عليه النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ولا خلفاؤه الراشدون

“Bid’ah adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah atau beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak pula dilakukan oleh Al-Khulafa’ Ar-Rasyiduun” [Majmuu Fatawaa Ibnu Utsaimin, 2/292]

Sebagai tambahan faidah, kenapa saya menyatakan “sebagian ulama Syafi’iyyah”? karena sebagian ulama Syafi’iyyah yang lain mendefinisikan bid’ah semakna dengan definisi ulama Wahhabi.

Al-Imam As-Suyuuthi rahimahullah berkata:

والبدعة عبارة عن فعلة تصادم الشريعة بالمخالفة، أو توجب التعاطي عليها بزيادة أو نقصان

“Bid’ah adalah ungkapan dari suatu perbuatan yang meruntuhkan syariat dengan melakukan penyelisihan atau melazimkan adanya tambahan dan pengurangan dalam agama” [Al-Amr bil Ittiba' hal. 5]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata:

ما أحدث وليس له أصل في الشرع ويسمى في عرف الشرع بدعة وما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة

“Segala sesuatu yang diada-adakan dan tidak memiliki dalil dalam syariat dinamakan bid’ah menurut ‘urf syar’i. Sedangkan perkara yang memiliki dalil dan ditunjukkan oleh syariat, tidaklah termasuk bid’ah” [Farhul Baari, 13/253]

Apa perbedaan dua definisi di atas? Diantara perbedaannya,

Bid’ah menurut definisi sebagian ulama Syafi’iyyah mencakup bid’ah dalam permasalahan aqidah, ibadah maupun permasalahan dunia, sementara bid’ah menurut ulama wahhabi dan sebagian ulama Syafi’iyyah yang lain hanya terbatas dalam permasalahan aqidah dan ibadah.

Al-Izz bin Abdissalam rahimahullah berkata:

والبدعة الواجبة مثل الاشتغال بالنحو، والبدعة المحرمة مثل الاشتغال بمذهب القدرية والجبرية، والبدعة المندوبة مثل جمع الناس في صلاة التراويح

“Bid’ah yang wajib seperti mempelajari Nahwu, bid’ah yang haram seperti meyakini aqidah Al-Qadariyyah dan Al-Jabriyyah, bid’ah yang sunah seperti mengumpulkan manusia untuk shalat Tarawih..” [Qawa’id Al-Ahkaam]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

والبدعة: ما خالف الكتاب والسنة وإجماع سلف الأمة من الاعتقادات والعبادات: كأقوال الخوارج والروافض، والقدرية، والجهمية

“Bid’ah adalah perkara yang menyelishi Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ salaful ummah dalam aqidah dan ibadah seperti keyakinan Al-Khawarij, Ar-Rawaafidh (Syi’ah), Al-Qadariyyah dan Al-Jahmiyyah.” [Majmuu’ Al-Fatawa, 18/346]

Perhatikan nukilan di atas, ulama Wahhabi dan sebagian ulama Syafi’iyyah sama-sama mengingkari bid’ah dalam permasalahan aqidah seperti keyakinan sesat kelompok Khawarij, Syi’ah, Qadariyyah dan selainnya.

Bid’ah yang haram menurut istilah sebagian ulama Syafi’iyyah adalah bid’ah secara hakiki menurut ulama Wahhabi. Sedangkan bid’ah yang wajib, bid’ah yang sunah ataupun bid’ah yang mubah bukan termasuk bid’ah menurut ulama Wahhabi karena perbedaan definisi antara keduanya.

Al-‘Izz bin Abdissalam rahimahullah berkata:

فالواجبة كالاشتغال بالنحو الذي يفهم به كلام الله ورسوله لأن حفظ الشريعة واجب ولا يتأتى الا بذلك فيكون من مقدمة الواجب وكذا شرح الغريب وتدوين أصول الفقه

“Contoh bid’ah yang wajib seperti mempelajari Nahwu untuk memahami firman Allah dan perkataan Rasul-Nya, karena menjaga syariat adalah sebuah kewajiban. Perkara yang menjadi sarana sesuatu yang wajib juga dihukumi wajib. Begitu pula menjelaskan makna yang ghariib (dalam Al-Qur’an dan hadits –pen) serta penulisan dan pembukuan ilmu Ushul Fiqh” [Qawa’id Al-Ahkaam]

Saya kira tidak ada satu pun dari ulama Wahhabi yang membid’ahkan ilmu Nahwu, Ushul Fiqh, pembukuan Al-Qur’an maupun penjelasan makna-makna yang gharib dalam Al-Qur’an dan hadits. Para ulama telah bersepakat bahwa bid’ah dalam permasalahan aqidah dan ibadah adalah terlarang.

Para ulama berselisih tentang bid’ah dalam permasalahan dunia, ulama Wahhabi menyatakan itu bukan bid’ah, sementara sebagian ulama Syafi’iyyah menyatakan termasuk bid’ah, namun tergolong bid’ah yang mubah. Pada hakikatnya, perbedaan diantara mereka hanya dalam definisi dan istilah saja!! Saya akan menyebutkan beberapa buktinya,

Contoh pertama, bid’ahnya menabuh rebana, bernyanyi dan menari di Masjid

As-Suyuuthi menukil perkataan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahumallah berikut:

خلفت بالعراق شيئاً أحدثه الزنادقة يسمى التغيير يشغلون به الناس عن القرآن

“Aku meninggalkan Iraq dalam keadaan di sana terdapat orang-orang zindiq mengada-adakan nyanyian yang dinamakan At-Taghbiir. Nyanyian itu melalaikan manusia dari Al-Qur’an” [Al-Amr bil Ittiba’ hal. 8]

As-Suyuthi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو غير ذلك من آلات الطرب.
فمن فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف بما أمر الله بتعظيمه
قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع " أي تعظم " ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم، والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال مضل، مستحق للعقوبة.

“Diantara (contoh bid’ah yang haram –pen) adalah menari-nari dan bernyanyi di masjid, menabuh rebana, atau alat-alat musik yang lain. Barangsiapa yang melakukan hal itu di masjid, maka ia adalah seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat. Ia berhak diusir dan dipukul karena ia telah meremehkan perintah Allah yaitu (menghinakan masjid –pen) yang seharusnya diagungkan.

Allah ta’ala berfirman:

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ

Bertasbih kepada Allah di rumah-rumah yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya” [QS. An-Nuur: 36]

Maksudnya dibacakan Al-Qur’an di dalamnya. Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, Allah ta’ala memerintahkan kita untuk mengagungkannya, menjaganya dari najis, kotoran, anak kecil, ingus, bawang merah, bawang putih, tidak menyenandungkan syair, nyanyian dan tarian di dalamnya. Barangsiapa yang bernyangi atau menari di dalam masjid, maka ia adalah mubtadi’ yang sesat dan menyesatkan. Ia berhak memperoleh hukuman.” [Al-Amr bil Ittibaa’ hal. 30]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

والبدعة: ما خالف الكتاب والسنة وإجماع سلف الأمة من الاعتقادات والعبادات: كأقوال الخوارج والروافض، والقدرية، والجهمية وكالذين يتعبدون بالرقص، والغناء في المساجد

“Bid’ah adalah perkara yang menyelishi Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ salaful ummah dalam aqidah dan ibadah seperti keyakinan Al-Khawarij, Ar-Rawaafidh (Syi’ah), Al-Qadariyyah dan Al-Jahmiyyah. Demikian pula (termasuk bid’ah –pen) adalah beribadah kepada Allah dengan cara menari dan bernyanyi di masjid-masjid” [Majmuu’ Al-Fatawa, 18/346]

Contoh kedua, bid’ahnya shalat Ar-Ragha’ib

Syihabuddin Abu Syamah Asy-Syafi’i menukil perkataan Abu ‘Amr Ibnu Ash-Shalah rahimahumallah berikut:

أما الصلاة المعروفه في ليلة الرغائب فهي بدعة وحديثها المروي موضوع وما حدثت إلا بعد أربعمائة سنة من الهجرة وليس لليلتها تفضيل على أشباهها من ليالي

“Adapun shalat yang dikenal pada malam Ar-Raghaib adalah bid’ah. Hadits yang diriwayatkan dalam permasalahan ini maudhu’. Perbuatan bid’ah ini tidaklah ada kecuali setelah tahun 400  Hijriyyah. Malam itu tidaklah memiliki keutamaan, sama seperti malam-malam yang lain” [Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ hal. 44]

An-Nawawi rahimahullah berkata:

واحتج به العلماء على كراهة هذه الصلاة المبتدعة التي تسمى الرغائب قاتل الله واضعها ومخترعها فانها بدعة منكرة من البدع التي هي ضلالة وجهالة وفيها منكرات ظاهرة وقد صنف جماعة من الأئمة مصنفات نفيسة في تقبيحها وتضليل مصليها ومبتدعها ودلائل قبحها وبطلانها وتضلل فاعلها أكثر من أن تحصر والله أعلم

“Para ulama berhujjah tentang dibencinya shalat bid’ah ini yaitu yang dinamakan Shalat Ar-Raghaib. Semoga Allah membinasakan orang yang pertama kali mengamalkan dan mengada-adakannya, karena shalat itu adalah bid’ah yang munkar. Perbuatan itu termasuk bid’ah yang merupakan kesesatan dan kebodohan.

Di dalamnya terdapat berbagai kemungkaran yang sangat jelas. Sekumpulan para ulama telah menulis kitab-kitab yang bagus untuk menjelaskan keburukan dan kesesatan orang yang melakukan shalat ini. Dalam kitab itu disebutkan keburukan, kebatilan dan kesesatan pelakunya dengan bilangan yang tidak terhitung jumlahnya. Allahua’lam” [Syarh Shahih Muslim, 8/20]  

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وأما صلاة الرغائب فلا أصل لها ، بل هي محدثة ، فلا تستحب لا جماعة ولا فراداى

“Adapun Shalat Ar-Raghaib, maka shalat ini tidak ada asalnya, bahkan termasuk perkara yang diada-adakan, tidak disunahkan melakukan shalat tersebut baik secara jama’ah maupun sendirian” [Majmuu’ Al-Fatawa, 23/132]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata:

صلاة الرغائب بدعة باتفاق أئمة الدين ، لم يسنها رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا أحد من خلفائه، ولا استحبها أحد من أئمة الدين كمالك ، والشافعي ، وأحمد ، وأبي حنيفة ،-رحمهم الله- والثوري ، والأوزاعي، والليث وغيرهم ، والحديث المروي فيها كذب بإجماع أهل المعرفة بالحديث

“Shalat Ar-Raghaib termasuk bid’ah dengan kesepakatan ulama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mencontohkannya, tidak pula salah seorang dari Al-Khulafa Ar-Rasyidin, tidak pula ada dari salah seorang imam yang menyatakan sunahnya seperti Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Laits dan selain mereka. Hadits yang diriwayatkan dalam permasalahan ini adalah dusta dengan kesepakatan para ulama yang memiliki ma’rifah dalam hadits” [Majmuu’ Al-Fatawaa, 23/134]

Contoh ketiga, bid'ahnya membaca Al-Qur’an saat membawa jenazah serta tidak mempercepat dalam berjalan

As-Suyuuthi rahimahullah berkata:

ومن البدع ما يفعل في الجنائز من ترك الإسراع، والقرب منها، والإنصات فيها، وقراءة القرآن معها بالألحان، وعدم التفكر فيما هم صائرون إليه، بل يتكلمون باللغو، وحديث الدنيا

“Diantara perbuatan bid’ah adalah apa yang dilakukan saat membawa jenazah yaitu tidak mempercepat (dalam berjalan –pen), berdekatan, tidak diam, membaca Al-Qur’an dengan dilagu-lagukan, tidak mengambil pelajaran dari apa yang akan mereka lalui (berupa kematian –pen), bahkan mereka memperbincangkan dunia dan percakapan yang sia-sia” [Al-Amr bil Ittiba’ hal. 28]

Contoh keempat, bid'ahnya mencari berkah (tabarruk) dari kuburan nabi dan kuburan orang-orang shalih

Al-Imam Al-Ghazzali Asy-Syafi’i rahimahullah ketika menjelaskan adab-adab ziarah ke makam nabi berkata:

ثم يأتي قبر النبي صلى الله عليه و سلم فيقف عند وجهه وذلك بأن يستدبر القبلة ويستقبل جدار القبر على نحو من أربعة أذرع من السارية التي في زاوية جدار القبر ويجعل القنديل على رأسه وليس من السنة أن يمس الجدار ولا أن يقبله بل الوقوف من بعد أقرب للاحترام فيقف ويقول السلام عليك يا رسول الله

“Kemudian mendatangi kubur nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berdiri di sisinya dengan posisi membelakangi kiblat dan menghadap dinding kubur dengan jarak sekitar empat hasta dari sudut tiang makam, lalu ia meletakkan lampu penerangan di atas kepalanya. Mengusap dan mencium dinding kubur bukan termasuk sunah nabi. Bahkan yang seharusnya ia lakukan adalah berdiri mendekat sebagai penghormatan pada beliau. Ia berdiri lalu mengucapkan “Assalamu ‘alaika ya Rasulallah...” [Ihya ‘Ulumuddin, 1/259]

Al-Ghazzali juga berkata:


وأما زيارة رسول الله صلى الله عليه و سلم فينبغي أن تقف بين يديه كما وصفنا وتزوره ميتا كما تزوره حيا ولا تقرب من قبره إلا كما كنت تقرب من شخصه الكريم لو كان حيا
 وكما كنت ترى الحرمة في أن لا تمس شخصه ولا تقبله بل تقف من بعد ماثلا بين يديه فكذلك فافعل فإن المس والتقبيل للمشاهد عادة النصارى واليهود

“Adapun tentang ziarah (makam –pen-) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hendaknya ia berdiri di hadapan makam beliau sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya. Menziarahi beliau setelah wafatnya sama seperti menziarahi beliau semasa hidupnya. Janganlah engkau berdiri terlalu dekat dengan kubur beliau, sebagaimana engkau pun akan melakukan hal yang sama jika beliau masih hidup. Engkau akan melihat kemuliaan dan kewibawaan nabi, hingga engkau merasa tidak pantas untuk menyentuh dan menciumnya. Namun, berdirilah di depan makam sebagaimana engkau berdiri di hadapan beliau ketika masih hidup. Sesungguhnya mengusap dan mencium situs-situs bersejarah termasuk kebiasaan orang-orang Nashrani dan Yahudi.” [Ihya ‘Ulumuddin, 1/271]

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

وقال الفقهاء المتبحرون الخراسانيون المستحب في زيارة القبور أن يقف مستدبر القبلة مستقبلا وجه الميت يسلم ولا يمسح
القبر ولا يقبله ولا يمسه فان ذلك عادة النصارى (قال) وما ذكروه صحيح لانه قد صح النهى عن تعظيم القبور ولانه إذا لم يستحب استلام الركنين الشاميين من اركان الكعبة لكونه لم يسن مع استحباب استلام الركنين الآخرين فلان لا يستحب مس القبور أولي والله أعلم

“Para Fuqaha’ dari Khurasan berkata: “Disunahkan ketika ziarah kubur berdiri membelakangi kiblat dan menghadap wajah mayit. Lalu memberi salam tanpa mengusap, mencium dan menyentuh kuburnya. Karena hal tersebut merupakan kebiasaan orang-orang Nashrani.” An-Nawawi berkata: “Perkataan mereka benar, karena telah shahih (hadits-hadits –pen-) tentang larangan mengagungkan kuburan. Alasan yang lain, ketika seorang tidak disunahkan untuk mencium dua rukun Syam yang merupakan bagian dari rukun Ka’bah, bersamaan dengan disunahkannya mencium dua rukun yang lain. Maka tidak disunahkannya mengusap kuburan lebih utama, Allahua’lam.” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 5/311] 

An-Nawawi rahimahullah juga menukil perkataan sebagian ulama:

اتبع طرق الهدى ولا يضرك قلة السالكين وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين ومن خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ في البركة فهو من جهالته وغفلته لان البركة إنما هي فيما وافق الشرع وكيف ينبغي الفضل في مخالفة الصواب

“Ikutilah jalan-jalan hidayah, meskipun orang-orang yang berada di atas hidayah sangat sedikit. Hal itu tidak akan memberikan mudharat padamu. Waspadalah dari jalan-jalan kesesatan. Janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang binasa. Diantara kesesatan yang berbahaya adalah keyakinan mereka bahwa mengusap (kuburan atau tempat-tempat yang dikeramatkan –pen-) dengan tangan dan semisalnya dapat mendatangkan keberkahan yang lebih banyak. Keyakinan ini disebabkan oleh kebodohan dan kelalaian mereka. Sesungguhnya keberkahan hanyalah diperoleh dalam hal-hal yang sesuai dengan syariat. Bagaimana mungkin mereka mencari keutamaan (berkah –pen-) dalam perkara-perkara yang menyelisihi kebenaran!!” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 8/275]

هذا هو الصواب الذي قاله العلماء وأطبقوا عليه ولا يغتر بمخالفة كثيرين من العوام وفعلهم ذلك.
فان الاقتداء والعمل انما يكون بالاحاديث الصحيحة وأقوال العلماء ولا يلتفت إلى محدثات العوام وغيرهم وجهالاتهم

“Inilah (aqidah –pen-) yang benar, aqidah yang diyakini oleh para ulama dan apa yang  diterapkan langsung oleh mereka. Janganlah tertipu dengan banyaknya orang-orang awam yang melakukan penyelisihan. Sesungguhnya ittiba’ dan amal hanyalah diambil dari hadits-hadits yang shahih dan perkataan para ulama. Janganlah menoleh pada bid’ah-bid’ah yang dilakukan orang-orang awam dan orang-orang bodoh di kalangan mereka.” [Al-Majmu’, 8/275]

As-Suyuuthi rahimahullah berkata:

فأما إن قصد الإنسان الصلاة عندها، أو الدعاء لنفسه في مهماته وحوائجه متبركاً بها راجياً للإجابة عندها، فهذا عين المحادّة لله ولرسوله، والمخالفة لدينه وشرعه، وابتداع دين لم يأذن به الله ولا رسوله ولا أئمة المسلمين المتبعين آثاره وسننه.
فإن قصد القبور للدعاء رجاء الإجابة فمنهي عنه، وهو إلى التحريم أقرب

“Adapun menyengaja untuk shalat di kuburan atau berdoa meminta kepentingan dan hajat di kuburan sambil mencari berkah, serta berharap agar doanya dikabulkan di kuburan. Hal ini termasuk bentuk permusuhan kepada Allah dan Rasul-Nya yang menyelisihi agama dan syariat-Nya. Ia telah berbuat bid’ah yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, tidak pula diridhai oleh para imam kaum muslimin yang diikuti pendapat dan sunah-sunahnya. Perbuatannya menyengaja ke kuburan untuk berdoa dan berharap agar doanya dikabulkan adalah terlarang. Diharamkannya perbuatan ini lebih dekat (pada kebenaran –pen)” [Al-Amr bil Ittiba’ hal. 12]

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata:


التبرك بآثار الصالحين غير جائز، وإنما يجوز ذلك بالنبي صلى الله عيه وسلم خاصة، لما جعل الله في جسده وما ماسه من البركة، وأما غيره فلا يقاس عليه لوجهين:
أحدهما: أن الصحابة رضي الله عنهم لم يفعلوا ذلك مع غير النبي صلى الله عيه وسلم ، ولو كان خيرا لسبقونا إليه.
الوجه الثاني: سد ذريعة الشرك، لأن جواز التبرك بآثار الصالحين يفضي إلى الغلو فيهم،  وعبادتهم من دون الله، فوجب المنع من ذلك

“Bertabarruk (mencari berkah –ed) dengan bekas-bekas peninggalan orang-orang shalih tidaklah dibolehkan. Hal itu hanya dibolehkan khusus terhadap Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Karena Allah memang telah menjadikan jasad dan kulit beliau mengandung keberkahan. Adapun orang lain tidak bisa diqiyaskan kepada beliau, karena dua alasan:

1. Para sahabat tidak pernah melakukan hal tersebut terhadap orang lain selain Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Andai perbuatan itu baik, tentu para sahabat Nabi lah yang sudah terlebih dahulu melakukannya

2. Menutup jalan menuju kesyirikan, karena bertabarruk kepada bekas-bekas peninggalan orang shalih selan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengantarkan kepada ghuluw dan ibadah kepada selain Allah. Sehingga wajib untuk dicegah.” [Ta’liiq Asy-Syaikh Ibnu Baz terhadap Fathul Baari, 3/130]

Sebenarnya contoh-contoh bid’ah lain yang diingkari para ulama Syafi’iyyah masih banyak, namun saya hanya mencukupkan dengan 4 contoh di atas agar dapat menjadi perbandingan.

Kesimpulannya, para ulama Asy-Syafi’iyyah dan ulama Wahhabi memiliki ushul yang sama dalam pengingkaran terhadap bid’ah, hanya saja mereka berselisih dalam istilah dan definisinya.

Allahua’lam


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 15 Jumadil Ulaa 1435 H

No comments:

Post a Comment