Telah kita
ketahui bersama bahwa saudara kita dari kalangan Nahdhiyyin membagi bid’ah
menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah karena mengikuti
penggunaan istilah sebagian ulama Syafi’iyyah. Barangkali ada sebagian kita
yang bingung, bukankah semua bid’ah adalah dholalah sebagaimana disebutkan
dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Hati-hatilah kalian
terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” [HR. Abu Dawud no. 4607,
At-Tirmidzi no. 2676, Ahmad, 4/46-47 dan Ibnu Majah no. 42, 43, 44, dari
Sahabat ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, hasan shahih]
Kenapa ada
dari sebagian ulama Syafi’iyyah yang menyatakan adanya bid’ah hasanah??
Jawabnya,
karena para ulama tersebut memiliki definisi bid'ah yang sedikit berbeda dengan
definisi ulama Wahhabi. Saya akan menyebutkan perbedaan definisi tersebut,
Al-Imam
Al-‘Izz bin Abdissalam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
البدعة:
هي فعل ما لم يعهد في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم
”Bid’ah adalah
perbuatan yang tidak ada pada masa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam” [Qawa’id
Al-Ahkaam, 2/113]
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata:
والبدعة
بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Bid’ah dengan
ba’ yang dikasrah dalam syariat adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada
pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” [Tahdziib
Al-Asmaa’ wal Lughaat, 2/22]
Jika kita
menggunakan definisi bid’ah yang dipakai Al-‘Izz bin Abdissalam dan An-Nawawi,
maka segala sesuatu yang diada-adakan sepeninggal nabi adalah bid’ah. Berangkat
dari definisi ini, maka mempelajari ilmu Nahwu adalah bid’ah, belajar ilmu
Ushul Fiqh adalah bid’ah, Shalat Tarawih secara berjama’ah di Masjid sebulan
penuh adalah bid’ah, penggunaan komputer, mobil, pesawat adalah bid’ah,
pembukuan Al-Qur’an di masa khalifah Abu Bakar adalah bid’ah, dan masih banyak
contoh lain. Seluruhnya tergolong bid’ah menurut definisi ini, karena memang
tidak ada pada masa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karena
itu, sebagian ulama Syafi’iyyah membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah
mamduuhah (baik) dan bid’ah madzmuumah (buruk), atau sebagian yang
lain membagi bid’ah menjadi lima yaitu bid’ah wajibah (wajib), bid’ah
mustahabbah (sunah), bid’ah mubahah (boleh), bid’ah makruuhah
(makruh) dan bid’ah muharramah (haram). Definisi mereka berbeda dengan
definisi bid’ah menurut ulama Wahhabi,
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
والبدعة:
ما خالف الكتاب والسنة وإجماع سلف الأمة من الاعتقادات والعبادات
“Bid’ah adalah
perkara yang menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ salaful ummah dalam aqidah
dan ibadah” [Majmuu’ Al-Fatawa, 18/346]
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
التعبد
للّه بما لم يشرعه اللّه أو : التعبد للّه بما ليس عليه النبي صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم ولا خلفاؤه الراشدون
“Bid’ah adalah
beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah
atau beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak dilakukan nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, tidak pula dilakukan oleh Al-Khulafa’ Ar-Rasyiduun”
[Majmuu Fatawaa Ibnu Utsaimin, 2/292]
Sebagai
tambahan faidah, kenapa saya menyatakan “sebagian ulama Syafi’iyyah”?
karena sebagian ulama Syafi’iyyah yang lain mendefinisikan bid’ah semakna dengan definisi ulama Wahhabi.
Al-Imam
As-Suyuuthi rahimahullah berkata:
والبدعة عبارة عن فعلة تصادم
الشريعة بالمخالفة، أو توجب التعاطي عليها بزيادة أو نقصان
“Bid’ah adalah
ungkapan dari suatu perbuatan yang meruntuhkan syariat dengan melakukan
penyelisihan atau melazimkan adanya tambahan dan pengurangan dalam agama” [Al-Amr bil Ittiba' hal. 5]
Al-Hafizh Ibnu
Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata:
ما
أحدث وليس له أصل في الشرع ويسمى في عرف الشرع بدعة وما كان له أصل يدل عليه الشرع
فليس ببدعة
“Segala
sesuatu yang diada-adakan dan tidak memiliki dalil dalam syariat dinamakan
bid’ah menurut ‘urf syar’i. Sedangkan perkara yang memiliki dalil dan
ditunjukkan oleh syariat, tidaklah termasuk bid’ah” [Farhul Baari,
13/253]
Apa perbedaan
dua definisi di atas? Diantara perbedaannya,
Bid’ah menurut
definisi sebagian ulama Syafi’iyyah mencakup bid’ah dalam permasalahan
aqidah, ibadah maupun permasalahan dunia, sementara bid’ah menurut ulama
wahhabi dan sebagian ulama Syafi’iyyah yang lain hanya terbatas dalam
permasalahan aqidah dan ibadah.
Al-Izz bin
Abdissalam rahimahullah berkata:
والبدعة
الواجبة مثل الاشتغال بالنحو، والبدعة المحرمة مثل الاشتغال بمذهب القدرية
والجبرية، والبدعة المندوبة مثل جمع الناس في صلاة التراويح
“Bid’ah yang
wajib seperti mempelajari Nahwu, bid’ah yang haram seperti meyakini aqidah Al-Qadariyyah
dan Al-Jabriyyah, bid’ah yang sunah seperti mengumpulkan manusia untuk
shalat Tarawih..” [Qawa’id Al-Ahkaam]
Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
والبدعة:
ما خالف الكتاب والسنة وإجماع سلف الأمة من الاعتقادات والعبادات: كأقوال الخوارج
والروافض، والقدرية، والجهمية
“Bid’ah adalah
perkara yang menyelishi Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ salaful ummah dalam aqidah
dan ibadah seperti keyakinan Al-Khawarij, Ar-Rawaafidh (Syi’ah), Al-Qadariyyah
dan Al-Jahmiyyah.” [Majmuu’ Al-Fatawa, 18/346]
Perhatikan
nukilan di atas, ulama Wahhabi dan sebagian ulama Syafi’iyyah sama-sama
mengingkari bid’ah dalam permasalahan aqidah seperti keyakinan sesat kelompok
Khawarij, Syi’ah, Qadariyyah dan selainnya.
Bid’ah yang
haram menurut istilah sebagian ulama Syafi’iyyah adalah bid’ah secara hakiki menurut
ulama Wahhabi.
Sedangkan bid’ah yang wajib, bid’ah yang sunah ataupun bid’ah yang mubah
bukan termasuk bid’ah menurut ulama Wahhabi karena perbedaan definisi
antara keduanya.
Al-‘Izz bin
Abdissalam rahimahullah berkata:
فالواجبة
كالاشتغال بالنحو الذي يفهم به كلام الله ورسوله لأن حفظ الشريعة واجب ولا يتأتى
الا بذلك فيكون من مقدمة الواجب وكذا شرح الغريب وتدوين أصول الفقه
“Contoh bid’ah
yang wajib seperti mempelajari Nahwu untuk memahami firman Allah dan perkataan
Rasul-Nya, karena menjaga syariat adalah sebuah kewajiban. Perkara yang menjadi
sarana sesuatu yang wajib juga dihukumi wajib. Begitu pula menjelaskan makna
yang ghariib (dalam Al-Qur’an dan hadits –pen) serta penulisan dan
pembukuan ilmu Ushul Fiqh” [Qawa’id Al-Ahkaam]
Saya kira
tidak ada satu pun dari ulama Wahhabi yang membid’ahkan ilmu Nahwu, Ushul Fiqh,
pembukuan Al-Qur’an maupun penjelasan makna-makna yang gharib dalam Al-Qur’an
dan hadits. Para ulama telah bersepakat bahwa bid’ah dalam permasalahan
aqidah dan ibadah adalah terlarang.
Para ulama
berselisih tentang bid’ah dalam permasalahan dunia, ulama Wahhabi menyatakan
itu bukan bid’ah, sementara sebagian ulama Syafi’iyyah menyatakan termasuk
bid’ah, namun tergolong bid’ah yang mubah. Pada hakikatnya, perbedaan diantara
mereka hanya dalam definisi dan istilah saja!! Saya akan menyebutkan beberapa
buktinya,
Contoh
pertama, bid’ahnya
menabuh rebana, bernyanyi dan menari di Masjid
As-Suyuuthi
menukil perkataan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahumallah
berikut:
خلفت
بالعراق شيئاً أحدثه الزنادقة يسمى التغيير يشغلون به الناس عن القرآن
“Aku
meninggalkan Iraq dalam keadaan di sana terdapat orang-orang zindiq
mengada-adakan nyanyian yang dinamakan At-Taghbiir. Nyanyian itu
melalaikan manusia dari Al-Qur’an” [Al-Amr bil Ittiba’ hal. 8]
As-Suyuthi
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
ومن ذلك الرقص، والغناء في المساجد، وضرب الدف أو الرباب، أو
غير ذلك من آلات الطرب.
فمن
فعل ذلك في المسجد، فهو مبتدع، ضال، مستحق للطرد والضرب؛ لأنه استخف بما أمر الله
بتعظيمه
قال الله تعالى: (في بيوت أذن الله أن ترفع " أي تعظم
" ويذكر فيها اسمه)، أي يتلى فيها كتابه. وبيوت الله هي المساجد؛ وقد أمر
الله بتعظيمها، وصيانتها عن الأقذار، والأوساخ، والصبيان، والمخاط، والثوم،
والبصل، وإنشاد الشعر فيها، والغناء والرقص؛ فمن غنى فيها أو رقص فهو مبتدع، ضال
مضل، مستحق للعقوبة.
“Diantara
(contoh bid’ah yang haram –pen) adalah menari-nari dan bernyanyi di masjid,
menabuh rebana, atau alat-alat musik yang lain. Barangsiapa yang melakukan hal
itu di masjid, maka ia adalah seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat.
Ia berhak diusir dan dipukul karena ia telah meremehkan perintah Allah yaitu
(menghinakan masjid –pen) yang seharusnya diagungkan.
Allah ta’ala
berfirman:
فِي
بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ
“Bertasbih
kepada Allah di rumah-rumah yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan
disebut nama-Nya di dalamnya” [QS. An-Nuur: 36]
Maksudnya
dibacakan Al-Qur’an
di dalamnya. Rumah-rumah Allah adalah masjid-masjid, Allah ta’ala
memerintahkan kita untuk mengagungkannya, menjaganya dari najis, kotoran, anak
kecil, ingus, bawang merah, bawang putih, tidak menyenandungkan syair,
nyanyian dan tarian di dalamnya. Barangsiapa yang bernyangi atau menari di
dalam masjid, maka ia adalah mubtadi’ yang sesat dan menyesatkan. Ia
berhak memperoleh hukuman.” [Al-Amr bil Ittibaa’ hal. 30]
Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
والبدعة:
ما خالف الكتاب والسنة وإجماع سلف الأمة من الاعتقادات والعبادات: كأقوال الخوارج
والروافض، والقدرية، والجهمية وكالذين يتعبدون بالرقص، والغناء في المساجد
“Bid’ah adalah
perkara yang menyelishi Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ salaful ummah dalam aqidah
dan ibadah seperti keyakinan Al-Khawarij, Ar-Rawaafidh
(Syi’ah), Al-Qadariyyah dan Al-Jahmiyyah. Demikian pula (termasuk
bid’ah –pen) adalah beribadah kepada Allah dengan cara menari dan bernyanyi
di masjid-masjid” [Majmuu’ Al-Fatawa, 18/346]
Contoh
kedua, bid’ahnya shalat
Ar-Ragha’ib
Syihabuddin
Abu Syamah Asy-Syafi’i menukil perkataan Abu ‘Amr Ibnu Ash-Shalah rahimahumallah
berikut:
أما
الصلاة المعروفه في ليلة الرغائب فهي بدعة وحديثها المروي موضوع وما حدثت إلا بعد
أربعمائة سنة من الهجرة وليس لليلتها تفضيل على أشباهها من ليالي
“Adapun shalat
yang dikenal pada malam Ar-Raghaib adalah bid’ah. Hadits yang
diriwayatkan dalam permasalahan ini maudhu’. Perbuatan bid’ah ini tidaklah ada
kecuali setelah tahun 400 Hijriyyah.
Malam itu tidaklah memiliki keutamaan, sama seperti malam-malam yang lain” [Al-Ba’its
‘ala Inkaril Bida’ hal. 44]
An-Nawawi rahimahullah
berkata:
واحتج
به العلماء على كراهة هذه الصلاة المبتدعة التي تسمى الرغائب قاتل الله واضعها
ومخترعها فانها بدعة منكرة من البدع التي هي ضلالة وجهالة وفيها منكرات ظاهرة وقد
صنف جماعة من الأئمة مصنفات نفيسة في تقبيحها وتضليل مصليها ومبتدعها ودلائل قبحها
وبطلانها وتضلل فاعلها أكثر من أن تحصر والله أعلم
“Para ulama
berhujjah tentang dibencinya shalat bid’ah ini yaitu yang dinamakan Shalat Ar-Raghaib.
Semoga Allah membinasakan orang yang pertama kali mengamalkan dan mengada-adakannya, karena shalat itu adalah bid’ah yang munkar. Perbuatan itu termasuk bid’ah yang
merupakan kesesatan dan kebodohan.
Di dalamnya
terdapat berbagai kemungkaran yang sangat jelas. Sekumpulan para ulama telah
menulis kitab-kitab yang bagus untuk menjelaskan keburukan dan kesesatan orang
yang melakukan shalat ini. Dalam kitab itu disebutkan keburukan, kebatilan dan
kesesatan pelakunya dengan bilangan yang tidak terhitung jumlahnya.
Allahua’lam” [Syarh Shahih Muslim, 8/20]
Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
وأما
صلاة الرغائب فلا أصل لها ، بل هي محدثة ، فلا تستحب لا جماعة ولا فراداى
“Adapun Shalat
Ar-Raghaib, maka shalat ini tidak ada asalnya, bahkan termasuk perkara
yang diada-adakan, tidak disunahkan melakukan shalat tersebut baik secara jama’ah
maupun sendirian” [Majmuu’ Al-Fatawa, 23/132]
Ibnu Taimiyyah
rahimahullah juga berkata:
صلاة
الرغائب بدعة باتفاق أئمة الدين ، لم يسنها رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا أحد
من خلفائه، ولا استحبها أحد من أئمة الدين كمالك ، والشافعي ، وأحمد ، وأبي حنيفة
،-رحمهم الله- والثوري ، والأوزاعي، والليث وغيرهم ، والحديث المروي فيها كذب
بإجماع أهل المعرفة بالحديث
“Shalat Ar-Raghaib
termasuk bid’ah dengan kesepakatan ulama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak pernah mencontohkannya, tidak pula salah seorang dari
Al-Khulafa Ar-Rasyidin, tidak pula ada dari salah seorang imam yang menyatakan
sunahnya seperti Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Al-Auza’i,
Al-Laits dan selain mereka. Hadits yang diriwayatkan dalam permasalahan ini
adalah dusta dengan kesepakatan para ulama yang memiliki ma’rifah dalam hadits”
[Majmuu’ Al-Fatawaa, 23/134]
Contoh
ketiga, bid'ahnya membaca
Al-Qur’an saat membawa jenazah serta tidak mempercepat dalam berjalan
As-Suyuuthi rahimahullah
berkata:
ومن
البدع ما يفعل في الجنائز من ترك الإسراع، والقرب منها، والإنصات فيها، وقراءة
القرآن معها بالألحان، وعدم التفكر فيما هم صائرون إليه، بل يتكلمون باللغو، وحديث
الدنيا
“Diantara
perbuatan bid’ah adalah apa yang dilakukan saat membawa jenazah yaitu tidak mempercepat
(dalam berjalan –pen), berdekatan, tidak diam, membaca Al-Qur’an dengan
dilagu-lagukan, tidak mengambil pelajaran dari apa yang akan mereka lalui
(berupa kematian –pen), bahkan mereka memperbincangkan dunia dan percakapan
yang sia-sia” [Al-Amr bil Ittiba’ hal. 28]
Contoh
keempat, bid'ahnya mencari
berkah (tabarruk) dari kuburan nabi dan kuburan orang-orang shalih
Al-Imam Al-Ghazzali
Asy-Syafi’i rahimahullah ketika menjelaskan adab-adab ziarah ke
makam nabi berkata:
ثم
يأتي قبر النبي صلى الله عليه و سلم فيقف عند وجهه وذلك بأن يستدبر القبلة ويستقبل
جدار القبر على نحو من أربعة أذرع من السارية التي في زاوية جدار القبر ويجعل
القنديل على رأسه وليس من السنة أن
يمس الجدار ولا أن يقبله بل الوقوف
من بعد أقرب للاحترام فيقف ويقول السلام عليك يا رسول الله…
“Kemudian mendatangi kubur nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
berdiri di sisinya dengan posisi membelakangi kiblat dan menghadap dinding
kubur dengan jarak sekitar empat hasta dari sudut tiang makam, lalu ia
meletakkan lampu penerangan di atas kepalanya. Mengusap dan mencium dinding kubur
bukan termasuk sunah nabi. Bahkan yang seharusnya ia lakukan adalah berdiri
mendekat sebagai penghormatan pada beliau. Ia berdiri lalu mengucapkan “Assalamu
‘alaika ya Rasulallah...” [Ihya ‘Ulumuddin, 1/259]
Al-Ghazzali
juga berkata:
وأما زيارة رسول الله صلى الله عليه و سلم فينبغي أن تقف بين يديه كما وصفنا
وتزوره ميتا كما تزوره حيا ولا تقرب من قبره إلا كما كنت تقرب من شخصه الكريم لو
كان حيا
وكما
كنت ترى الحرمة في أن لا تمس شخصه ولا تقبله بل تقف من بعد ماثلا بين يديه فكذلك
فافعل فإن المس والتقبيل للمشاهد
عادة النصارى واليهود
“Adapun tentang ziarah (makam
–pen-) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, hendaknya ia berdiri di hadapan makam beliau sebagaimana
telah kami jelaskan sebelumnya. Menziarahi beliau setelah wafatnya sama seperti
menziarahi beliau semasa hidupnya. Janganlah engkau berdiri terlalu dekat
dengan kubur beliau, sebagaimana engkau pun akan melakukan hal yang sama jika
beliau masih hidup. Engkau akan melihat kemuliaan dan kewibawaan nabi, hingga
engkau merasa tidak pantas untuk menyentuh dan menciumnya. Namun, berdirilah di
depan makam sebagaimana engkau berdiri di hadapan beliau ketika masih hidup. Sesungguhnya mengusap dan mencium
situs-situs bersejarah termasuk kebiasaan orang-orang Nashrani dan Yahudi.”
[Ihya ‘Ulumuddin, 1/271]
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
وقال
الفقهاء المتبحرون الخراسانيون المستحب في زيارة القبور أن يقف مستدبر القبلة مستقبلا وجه الميت
يسلم ولا يمسح
القبر ولا يقبله ولا يمسه فان ذلك عادة
النصارى (قال) وما ذكروه صحيح لانه قد صح النهى عن تعظيم القبور ولانه إذا لم
يستحب استلام الركنين الشاميين من اركان الكعبة لكونه لم يسن مع استحباب استلام
الركنين الآخرين فلان لا يستحب مس القبور أولي والله أعلم
“Para Fuqaha’ dari Khurasan
berkata: “Disunahkan ketika ziarah kubur berdiri membelakangi kiblat dan
menghadap wajah mayit. Lalu memberi salam tanpa
mengusap, mencium dan menyentuh kuburnya. Karena hal tersebut merupakan
kebiasaan orang-orang Nashrani.” An-Nawawi berkata: “Perkataan mereka
benar, karena telah shahih (hadits-hadits –pen-) tentang larangan mengagungkan
kuburan. Alasan yang lain, ketika seorang tidak disunahkan untuk mencium dua
rukun Syam yang merupakan bagian dari rukun Ka’bah, bersamaan dengan disunahkannya
mencium dua rukun yang lain. Maka tidak disunahkannya mengusap kuburan lebih
utama, Allahua’lam.” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 5/311]
An-Nawawi rahimahullah juga menukil perkataan sebagian ulama:
اتبع
طرق الهدى ولا يضرك قلة السالكين وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين ومن
خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ
في البركة فهو من جهالته وغفلته
لان البركة إنما هي فيما وافق الشرع وكيف ينبغي الفضل في مخالفة الصواب
“Ikutilah jalan-jalan hidayah,
meskipun orang-orang yang berada di atas hidayah sangat sedikit. Hal itu tidak
akan memberikan mudharat padamu. Waspadalah dari jalan-jalan kesesatan.
Janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang binasa. Diantara kesesatan yang
berbahaya adalah keyakinan mereka bahwa mengusap
(kuburan atau tempat-tempat yang dikeramatkan –pen-) dengan tangan dan
semisalnya dapat mendatangkan keberkahan yang lebih banyak. Keyakinan ini
disebabkan oleh kebodohan dan kelalaian mereka. Sesungguhnya keberkahan
hanyalah diperoleh dalam hal-hal yang sesuai dengan syariat. Bagaimana mungkin
mereka mencari keutamaan (berkah –pen-) dalam perkara-perkara yang menyelisihi
kebenaran!!” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 8/275]
هذا
هو الصواب الذي قاله العلماء وأطبقوا عليه ولا يغتر بمخالفة كثيرين من العوام
وفعلهم ذلك.
فان
الاقتداء والعمل انما يكون بالاحاديث الصحيحة وأقوال العلماء ولا يلتفت إلى محدثات
العوام وغيرهم وجهالاتهم
“Inilah (aqidah –pen-) yang
benar, aqidah yang diyakini oleh para ulama dan apa yang diterapkan
langsung oleh mereka. Janganlah tertipu dengan banyaknya orang-orang awam yang
melakukan penyelisihan. Sesungguhnya ittiba’ dan amal hanyalah diambil dari
hadits-hadits yang shahih dan perkataan para ulama. Janganlah menoleh pada
bid’ah-bid’ah yang dilakukan orang-orang awam dan orang-orang bodoh di kalangan mereka.” [Al-Majmu’,
8/275]
As-Suyuuthi
rahimahullah berkata:
فأما إن قصد الإنسان الصلاة عندها، أو الدعاء لنفسه في
مهماته وحوائجه متبركاً بها راجياً للإجابة عندها، فهذا عين المحادّة لله ولرسوله،
والمخالفة لدينه وشرعه، وابتداع دين لم يأذن به الله ولا رسوله ولا أئمة المسلمين
المتبعين آثاره وسننه.
فإن
قصد القبور للدعاء رجاء الإجابة فمنهي عنه، وهو إلى التحريم أقرب
“Adapun
menyengaja untuk shalat di kuburan atau berdoa meminta kepentingan dan hajat di
kuburan sambil mencari berkah, serta berharap agar doanya dikabulkan di kuburan.
Hal ini termasuk bentuk permusuhan kepada Allah dan Rasul-Nya yang menyelisihi
agama dan syariat-Nya. Ia telah berbuat bid’ah yang tidak diridhai Allah dan
Rasul-Nya, tidak pula diridhai oleh para imam kaum muslimin yang diikuti
pendapat dan sunah-sunahnya. Perbuatannya menyengaja ke kuburan untuk berdoa
dan berharap agar doanya dikabulkan adalah terlarang. Diharamkannya perbuatan
ini lebih dekat (pada kebenaran –pen)” [Al-Amr bil Ittiba’ hal. 12]
Syaikh Abdul
Aziz bin Baaz rahimahullah berkata:
التبرك بآثار الصالحين غير جائز، وإنما يجوز ذلك بالنبي صلى
الله عيه وسلم خاصة، لما جعل الله في جسده وما ماسه من البركة، وأما غيره فلا
يقاس عليه لوجهين:
أحدهما: أن الصحابة رضي الله
عنهم لم يفعلوا ذلك مع غير النبي صلى الله عيه وسلم ، ولو كان خيرا لسبقونا إليه.
الوجه الثاني: سد ذريعة
الشرك، لأن جواز التبرك بآثار الصالحين يفضي إلى الغلو فيهم، وعبادتهم من
دون الله، فوجب المنع من ذلك
“Bertabarruk
(mencari berkah –ed) dengan bekas-bekas peninggalan orang-orang shalih tidaklah
dibolehkan. Hal itu hanya dibolehkan khusus terhadap Nabi shallallahu ’alaihi
wasallam. Karena Allah memang telah menjadikan jasad dan kulit
beliau mengandung keberkahan. Adapun orang lain tidak bisa diqiyaskan kepada
beliau, karena dua alasan:
1. Para
sahabat tidak pernah melakukan hal tersebut terhadap orang lain selain Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Andai
perbuatan itu baik, tentu para sahabat Nabi lah yang sudah terlebih dahulu
melakukannya
2. Menutup
jalan menuju kesyirikan, karena bertabarruk kepada bekas-bekas peninggalan
orang shalih selan Nabi shallallahu ’alaihi wasallam mengantarkan kepada ghuluw dan ibadah kepada selain Allah.
Sehingga wajib untuk dicegah.” [Ta’liiq Asy-Syaikh Ibnu Baz terhadap Fathul
Baari, 3/130]
Sebenarnya
contoh-contoh bid’ah lain yang diingkari para ulama Syafi’iyyah masih banyak,
namun saya hanya mencukupkan dengan 4 contoh di atas agar dapat menjadi
perbandingan.
Kesimpulannya,
para ulama Asy-Syafi’iyyah dan ulama Wahhabi memiliki ushul yang sama dalam
pengingkaran terhadap bid’ah, hanya saja mereka berselisih dalam istilah dan
definisinya.
Allahua’lam
Ditulis oleh
Abul-Harits di Madinah, 15 Jumadil Ulaa 1435 H
No comments:
Post a Comment