Sunday, March 23, 2014

Meniatkan Mandi Junub Untuk Mandi Jum’at Sekaligus, Bolehkah?

Misalkan seseorang tertimpa junub pada hari Jum’at, apakah ia diharuskan mandi dua kali yaitu mandi janabah dan mandi Jum’at ataukah ia cukup mandi sekali dengan meniatkan dua mandi sekaligus?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من غسل واغتسل وغدا وابتكر ودنا من الإمام ولم يلغ كان له بكل خطوة عمل سنة صيامها وقيامها

“Barangsiapa yang bersetubuh (dengan istrinya –pen) lalu mandi, berangkat di waktu pagi dan bergegas, lalu (duduk –pen) dekat dengan imam tanpa melakukan perbuatan sia-sia, maka setiap langkahnya bernilai amalan setahun, puasanya dan shalatnya” [HR. At-Tirmidzi no. 496, An-Nasa’i no. 1381 (4/25), Ibnu Majah no. 1087 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6405 dan Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 693 dan 712]

Dalam riwayat di atas, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutkan sekali mandi bagi seorang yang junub pada hari Jum’at. Hal ini merupakan isyarat dari beliau bahwa mandi janabah telah mencukupi dari mandi Jum’at.

Abu Bakr bin Abi Syaibah rahimahullah berkata: menceritakan padaku Jarir[1], dari Laits[2], dari Nafi’[3], dari Ibnu Umar[4] radhiyallahu ‘anhu

أَنَّهُ كَانَ يَغْتَسِلُ لِلْجَنَابَةِ وَالْجُمُعَةِ غُسْلاً وَاحِدًا

“bahwa beliau mandi sekali untuk janabah dan Jum’at” [Al-Mushannaf no. 5095, 2/100, sanadnya shahih]

Abdurrazaq rahimahullah berkata: dari Fudhail bin ‘Iyadh[5], dari Laits, dari Nafi’:

أن بن عمر كان يغتسل للجنابة والجمعة غسلا واحدا

“bahwa Ibnu Umar mandi sekali untuk janabah dan Jum’at” [Al-Mushannaf no. 5317, 3/200]

Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:

أرجو أن يجزئه

“Aku berharap hal itu mencukupinya” [Al-Isyraaf, 2/92]

Abu Bakr Ibnul Mundzir rahimahullah berkata:

أكثر من نحفظ عنه من أهل العلم يقولون: يجزئ غسلاً واحداً، للجنابة والجمعة، روينا هذا القول عن ابن عمر، ومجاهد، ومكحول، ومالك بن أنس، والثوري، والأوزاعي، والشافعي، وأبو ثور،

“Mayoritas para ulama yang kami hafal berkata: cukup seseorang mandi sekali untuk janabah dan Jum’at. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Mujahid, Makhul, Malik bin Anas, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i dan Abu Tsaur.” [Al-Ausath, 4/43]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

فَإِنْ اغْتَسَلَ لِلْجُمُعَةِ وَالْجَنَابَةِ غُسْلًا وَاحِدًا وَنَوَاهُمَا ، أَجْزَأَهُ ، وَلَا نَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا

“Jika ia mandi untuk Jum’at dan janabah dengan sekali mandi serta meniatkan keduanya sekaligus, maka hal itu mencukupinya. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam permasalahan ini” [Al-Mughnii, 4/191]

Ibnu Qudamah rahimahullah juga berkata:

وإن اغتسل للجمعة والجنابة غسلا واحدا ونواهما أجزأه بغير خلاف علمناه لانهما غسلان اجتمعا فأشبها غسل الحيض والجنابة، وإن اغتسل للجنابة ولم ينو غسل الجمعة ففيه وجهان أحدهما لا يحزيه لقول النبي صلى الله عليه وسلم " وانما لامرئ ما نوى " وروي عن ابن لابي قتادة انه دخل عليه يوم الجمعة مغتسلا فقال للجمعة اغتسلت؟ قال لا ولكن للجنابة.
قال فأعد غسل الجمعة.

“Jika ia mandi untuk Jum’at dan janabah sekali mandi serta meniatkan keduanya sekaligus, maka hal itu mencukupinya tanpa ada perselisihan, menurut apa yang kami ketahui, karena kedua mandi tersebut terkumpul seperti mandi haid dan mandi janabah. Jika ia mandi janabah tanpa meniatkan mandi Jum’at, maka terdapat dua pendapat ulama. Pendapat pertama menyatakan tidak cukup, karena perkataan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

وانما لامرئ ما نوى

“Seseorang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan”

Diriwayatkan dari Abu Qatadah bahwa anaknya masuk menemuinya pada hari Jum’at seusai mandi, Abu Qatadah berkata: ”Apakah kamu mandi Jum’at?”. Ia berkata: “tidak, aku mandi janabah”. Abu Qatadah berkata: “Hendaklah kamu mengulanginya untuk mandi Jum’at” [Asy-Syarhul Kabiir, 2/201]

Allahua’lam


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 22 Jumadil Ulaa 1435



[1] Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Jarir bin Abdil Hamiid bin Qurth Adh-Dhabbiy Al-Kuufiy, menetap di Ar-Raay dan merupakan Qadhi di wilayah itu, tsiqah shahiihul kitaab. Dikatakan bahwa di akhir usianya, hafalannya sering keliru, wafat pada tahun 88 H, berusia 71 tahun, perawi kutubus sittah” [At-Taqriib no. 916]

Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata: “Demikian perkataan Ibnu Hajar, tidak ada keraguan bahwa ini adalah kekeliruan yang tidak dinyatakan seorang pun. Para ulama telah bersepakat bahwa ia wafat pada tahun 188 H, sebagian ulama menyatakan ia lahir pada tahun 107 H, jadi usianya 81 tahun. [At-Tahriir hal. 138]

An-Nasa’i berkata: “tsiqah”. Ibnu Ammar Al-Mushili berkata: “hujjah, kitab-kitabnya shahih”. Abu Khaitsamah berkata: “ia bukanlah seorang mudallis”. Imam Ahmad ditanya: manakah yang lebih kamu sukai, Jarir atau Syarik?”. Beliau menjawab: “Jarir lebih sedikit kesalahannya dari Syariik, Syarik sering keliru”. Al-Ijli berkata: “kuufiy tsiqah, menetap di Ar-Raay”. Abu Hatim berkata: “Jarir tsiqah”. [At-Tahdziib cet. Ar-Risalah, 1/297]

[2] Al-Laits bin Sa’ad bin Abdurahman Al-Fahmi, nama laqabnya Abul-Harits, seorang guru besar di negeri Mesir, dilahirkan di Qarqasyand pada tahun 94 H, ia adalah seorang yang kaya dan dermawan. Al-Bukhari dan Muslim banyak meriwayatkan hadist darinya. Ahmad bin Hanbal, Asy-Syafi’i, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Ijli dan kebanyakan ulama menganggapnya tsiqah.

Asy-Syafi’i berkata: ”Al-Laits lebih alim dari Malik dalam fiqh”. Malik berkata dalam kitabnya berkata: ”Telah menceritakan padaku seorang ulama”. Yang beliau maksud adalah Al-Laits bin Sa’ad. An-Nawawi menyatakan bahwa Al-Laits selalu menjauhi tadlis dalam periwayatannya. Para Ulama telah menetapkan bahwa sanad paling shahih di Mesir adalah periwayatan Al-Laits bin Sa’ad, dari Yazid bin Abi Habib, wafat pada tahun 175 H. [Tadzkiratul Huffazh, 1/207]

[3] Al-Hafizh berkata: “Nafi’ Abu Abdillah Al-Madaniy, maula Ibnu Umar, tsiqah tsabt faqiih masyhur, termasuk thabaqah ketiga,  wafat pada tahun 117 atau setelahnya, perawi kutubus sittah” [At-Taqriib no. 7086]

[4] Al-Hafizh berkata: “Abdullah bin Umar bin Al-Khathhab Al-‘Adawi Abu Abdirrahman, dilahirkan tidak lama setelah nabi diutus, saat perang Uhud ia masih kecil berumur 14 tahun, salah satu sahabat yang paling banyak memiliki riwayat, termasukdari sahabat yang paling bersemangat dalam mengikuti atsar, wafat pada tahun 73 H” [At-Taqriib no. 3490]  

[5] Al-Hafizh berkata: “Fudhail bin ‘Iyadh bin Mas’ud At-Tamimi Abu ‘Aliy, zuhud masyhur, berasal dari Khurasan dan menetap di Makkah, tsiqah ‘abid imam, termasuk thabaqah kedelapan, wafat pada tahun 187 H, dikatakan sebelumnya, perawi Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i” [At-Taqriib no. 5431]

No comments:

Post a Comment