Friday, March 21, 2014

Hukum Menyentuh Mushaf Al-Qur’an Dalam Keadaan Berhadats (Tidak Suci)

Para ulama memiliki dua pendapat yang masyhur dalam permasalahan ini,

Pertama, tidak diperbolehkan menyentuh mushaf Al-Qur’an dalam keadaan berhadats, baik hadats besar maupun hadats kecil

Pendapat ini dipegang oleh Asy-Syafi’i, Ahmad, Malik, Abu Hanifah, Al-Hasan, ‘Atha, Thawus, Asy-Sya’bi, dan lainnya. Mereka berdalil dengan ayat dan hadits berikut:

Allah ta’ala berfirman:

لا يمسه إلا المطهرون

Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” [QS. Al-Waqi’ah: 79]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يمس القرآن إلا طاهر

“Tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” [HR. Malik (1/199), An-Nasa’i (8/57) dan Ibnu Hibban no. 6559 dari Abdullah bin Abu Bakr, hasan lighairihi]

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

ولا نعلم لهم مخالفا إلا داود فإنه أباح مسه

“Kami tidak mengetahui adanya pendapat yang menyelisihi mereka (jumhur ulama –pen) kecuali Dawud, ia membolehkan menyentuh mushaf (dalam keadaan berhadats –pen)” [Al-Mughni, 1/202]

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:

لا يَجُوز للمسلم مَسُّ المُصْحَفِ وهو على غير وُضُوءٍ ، عند جمهور أهل العلم ، وهو الذي عليه الأئمة الأربعة رضي الله عنهم ، وهو الذي كان يُفْتِي به أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم 

“Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim menyentuh mushaf dalam keadaan tidak berwudhu. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, imam yang empat, serta pendapat yang difatwakan oleh para sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam” [Majmuu’ Fatawa Ibnu Baz, 10/150]

Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin[1], Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan lainnya rahimahumullah.

Kedua, diperbolehkan menyentuh mushaf dalam keadaan berhadats, namun disunahkan jika dalam keadaan berwudhu

Pendapat ini dipegang oleh Dawud Azh-Zhahiri, Ibnu Sirin dan Abu Raziin. [Al-Ausath, 2/101].

Mereka berdalil dengan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

إن المؤمن لا ينجس

“Sesungguhnya seorang mukmin tidaklah najis” [HR. Al-Bukhari no. 276 dan Muslim no. 556]

Hadits ini menjelaskan bahwa larangan menyentuh mushaf dalam riwayat “tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” adalah khusus bagi orang-orang kafir dan musyrik, karena seorang muslim itu suci baik semasa hidupnya maupun setelah wafatnya.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

هذا الحديث أصل عظيم في طهارة المسلم حياً وميتاً ، قال : فإذا ثَبَتَتْ طهارته ، فَعَرَقُه ولُعَابُه ودَمْعُه طاهرات سواء كان مُحْدِثا أو جُنُباً أو حَائِضاً أو نُفَسَاء

“Hadits ini merupakan pokok agung yang menunjukkan sucinya seorang muslim, baik dalam keadaan hidup maupun setelah wafatnya. Jika diketahui bahwa seorang mukmin itu suci, maka keringat, air liur dan air matanya juga suci, baik dalam keadaan junub, haid maupun nifas” [Syarh Shahih Muslim]

Pendapat ini dirajihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahumallah.

Saya pribadi lebih condong pada pendapat kedua karena adanya penjelasan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam riwayat berikut,

إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلاةِ

“Aku hanyalah diperintahkan berwudhu jika hendak melakukan shalat” [HR. At-Tirmidzi no. 1770 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1506]

Riwayat di atas memberikan isyarat bahwa berwudhu sebelum membaca Al-Qur’an bukan merupakan keharusan, namun hanya sebatas anjuran, sebagaimana dalil ayat dan hadits yang dibawakan oleh pendapat pertama.

Adapun pendalilan jumhur dengan ayat “tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” [
لا يمسه إلا المطهرون], maka ini kurang tepat ditinjau dari beberapa sisi:

1. Makna [المطهرون] “orang-orang yang disucikan” dalam ayat tersebut adalah para malaikat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat yang lain.

Allah ta’ala befirman:

‏فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ . ‏ ‏مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ . ‏بِأَيْدِي سَفَرَةٍ . ‏كِرَامٍ بَرَرَةٍ

Di dalam shuhuf yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para malaikat yang mulia lagi berbakti” [QS. ‘Abasa: 13-16]

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

 والصحيح في الآية أن المراد به الصحف التي بأيدي الملائكة

“Tafsir yang benar terhadap ayat ini adalah shuhuf yang berada di tangan para malaikat” [Madarij As-Salikin, 2/147]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

عن ابن عباس: { [ لا يَمَسُّهُ ] إِلا الْمُطَهَّرُونَ } يعني: الملائكة. وكذا قال أنس، ومجاهد، وعِكْرِمَة، وسعيد بن جُبَيْر، والضحاك، وأبو الشعثاء جابر بن زيد، وأبو نَهِيك، والسُّدِّيّ، وعبد الرحمن بن زيد بن أسلم، وغيرهم.

“Dari Ibnu Abbas; “tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” yaitu para malaikat. Demikian yang dinyatakan oleh Anas, Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh-Dhahak, Abu Asy-Sya’tsa’ Jabir bin Zaid, Abi Nahiik, As-Suddiy, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan selain mereka” [Tafsir Ibnu Katsir, 7/544]

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:

قوله تعالى : { لا يمسه إلا المطهرون } من قال : إنَّه اللوح المحفوظ . فالمطهرون عنده : الملائكة ، وهذا قول ابن عباس ، وعكرمة ، ومجاهد ، وسعيد بن جبير . فعلى هذا يكون الكلام خبراً

“Firman Allah ta’ala “tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”, barangsiapa yang menafsirkannya dengan Al-Lauh Al-Mahfuzh, maka makna [المطهرون] menurutnya adalah para malaikat. Ini merupakan pendapat yang dipegang oleh Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid dan Sa’id bin Jubair. Berangkat dari pendapat ini, maka kalimat ini hanya bermakna khabar (bukan perintah –pen)” [Zaadul Masiir, 5/480]

2. Seandainya tafsir [المطهرون] yang dimaksud dalam ayat adalah orang-orang  beriman yang suci dari hadats, tentu pilihan lafadz yang digunakan adalah [المتطهرين], sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ta’ala:

 ‏إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci” [QS. Al-Baqarah: 222]

3. Dalam ayat sebelumnya Allah ta’ala berfirman:

فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79)

Di dalam kitab yang terjaga. Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” [QS. Al-Waqi’ah: 78-79]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

والمكنون : المصون المحرر الذي لا تناله أيدي المضلين ؛ فهذه صفة اللوح المحفوظ

“[المكنون] “yang terjaga” maknanya adalah dilindungi dan dijaga dari tangan-tangan yang menyesatkan. Ini merupakan sifat dari Al-Lauh Al-Mahfuzh” [Syarh Al-‘Umdah, 1/384]

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:

وفي «المكنون» قولان .
أحدهما : مستور عن الخلق ، قاله مقاتل ، وهذا على القول الأول .
والثاني : مصون ، قاله الزجاج

“Terdapat dua penafsiran terhadap makna [المكنون] “yang terjaga”:

  1. Tertutup dari makhluk, ini merupakan pendapat Muqatil
  1. Terjaga, ini merupakan pendapat Az-Zujaaj” [Zaadul Masiir, 5/480]
Sedangkan mushaf Al-Qur’an yang berada di tangan manusia tidaklah tertutup dari makhluk, namun senantiasa terbaca di setiap tempat dan waktu.

4. Ayat ini termasuk dari surat Makkiyyah. Kebanyakan ayat-ayat makkiyyah berisi tentang tauhid, sanggahan terhadap syubhat yang dilontarkan orang-orang kafir, penjelasan tentang janji surga serta ancaman neraka bagi mereka yang tidak beriman. Adapun ayat yang berisi perincian ahkaam syari’ah seperti wudhu, tayammum, zakat, dan lainnya turun setelah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah.

Allahua’lam

Sumber: Fathul ‘Allam, 1/246-248


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 20 Jumadil Ulaa 1435



[1] Asy-Syarhul Mumti’, 1/265

No comments:

Post a Comment