Para ulama memiliki dua pendapat yang masyhur dalam
permasalahan ini,
Pertama, tidak diperbolehkan menyentuh mushaf
Al-Qur’an dalam keadaan berhadats, baik hadats besar maupun hadats kecil
Pendapat ini dipegang oleh Asy-Syafi’i, Ahmad, Malik, Abu
Hanifah, Al-Hasan, ‘Atha, Thawus, Asy-Sya’bi, dan lainnya. Mereka berdalil
dengan ayat dan hadits berikut:
Allah ta’ala berfirman:
لا يمسه
إلا المطهرون
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”
[QS. Al-Waqi’ah: 79]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا يمس
القرآن إلا طاهر
“Tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” [HR.
Malik (1/199), An-Nasa’i (8/57) dan Ibnu Hibban no. 6559 dari Abdullah bin Abu
Bakr, hasan lighairihi]
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
ولا
نعلم لهم مخالفا إلا داود فإنه أباح مسه
“Kami tidak mengetahui adanya pendapat yang menyelisihi mereka (jumhur ulama –pen) kecuali Dawud, ia membolehkan menyentuh mushaf
(dalam keadaan berhadats –pen)” [Al-Mughni, 1/202]
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
berkata:
لا يَجُوز للمسلم مَسُّ المُصْحَفِ وهو على غير وُضُوءٍ ، عند
جمهور أهل العلم ، وهو الذي عليه الأئمة الأربعة رضي الله عنهم ، وهو الذي كان
يُفْتِي به أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم
“Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim menyentuh mushaf
dalam keadaan tidak berwudhu. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, imam yang
empat, serta pendapat yang difatwakan oleh para sahabat nabi shallallahu
‘alaihi wasallam” [Majmuu’ Fatawa Ibnu Baz, 10/150]
Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin[1], Asy-Syaikh Shalih
Al-Fauzan dan lainnya rahimahumullah.
Kedua, diperbolehkan menyentuh mushaf dalam
keadaan berhadats, namun disunahkan jika dalam keadaan berwudhu
Pendapat ini dipegang oleh Dawud Azh-Zhahiri, Ibnu Sirin
dan Abu Raziin. [Al-Ausath, 2/101].
Mereka berdalil dengan hadits nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam:
إن
المؤمن لا ينجس
“Sesungguhnya seorang mukmin tidaklah najis” [HR. Al-Bukhari
no. 276 dan Muslim no. 556]
Hadits ini menjelaskan bahwa larangan menyentuh mushaf
dalam riwayat “tidak menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” adalah khusus
bagi orang-orang kafir dan musyrik, karena seorang muslim itu suci baik semasa
hidupnya maupun setelah wafatnya.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
هذا الحديث أصل عظيم في طهارة المسلم حياً وميتاً ، قال : فإذا
ثَبَتَتْ طهارته ، فَعَرَقُه ولُعَابُه ودَمْعُه طاهرات سواء كان مُحْدِثا أو
جُنُباً أو حَائِضاً أو نُفَسَاء
“Hadits ini merupakan pokok agung yang menunjukkan
sucinya seorang muslim, baik dalam keadaan hidup maupun setelah wafatnya. Jika
diketahui bahwa seorang mukmin itu suci, maka keringat, air liur dan air
matanya juga suci, baik dalam keadaan junub, haid maupun nifas” [Syarh
Shahih Muslim]
Pendapat ini dirajihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dan
Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahumallah.
Saya pribadi lebih condong pada pendapat kedua karena
adanya penjelasan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam riwayat
berikut,
إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلاةِ
“Aku hanyalah diperintahkan berwudhu jika hendak
melakukan shalat” [HR. At-Tirmidzi no. 1770 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1506]
Riwayat di atas memberikan isyarat bahwa berwudhu sebelum
membaca Al-Qur’an bukan merupakan keharusan, namun hanya sebatas anjuran,
sebagaimana dalil ayat dan hadits yang dibawakan oleh pendapat pertama.
Adapun pendalilan jumhur dengan ayat “tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” [
لا يمسه
إلا المطهرون], maka ini kurang tepat ditinjau dari beberapa sisi:
1. Makna [المطهرون] “orang-orang yang disucikan” dalam
ayat tersebut adalah para malaikat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat yang
lain.
Allah ta’ala befirman:
فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ .
مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ . بِأَيْدِي سَفَرَةٍ . كِرَامٍ بَرَرَةٍ
“Di dalam shuhuf yang dimuliakan, yang ditinggikan
lagi disucikan, di tangan para malaikat yang mulia lagi berbakti” [QS.
‘Abasa: 13-16]
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
والصحيح في الآية أن المراد
به الصحف التي بأيدي الملائكة
“Tafsir yang benar terhadap ayat ini adalah shuhuf
yang berada di tangan para malaikat” [Madarij As-Salikin, 2/147]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
عن ابن عباس: { [ لا يَمَسُّهُ ]
إِلا الْمُطَهَّرُونَ } يعني: الملائكة. وكذا قال أنس، ومجاهد، وعِكْرِمَة، وسعيد
بن جُبَيْر، والضحاك، وأبو الشعثاء جابر بن زيد، وأبو نَهِيك، والسُّدِّيّ، وعبد
الرحمن بن زيد بن أسلم، وغيرهم.
“Dari Ibnu Abbas; “tidak menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan” yaitu para malaikat. Demikian yang dinyatakan
oleh Anas, Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh-Dhahak, Abu Asy-Sya’tsa’
Jabir bin Zaid, Abi Nahiik, As-Suddiy, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan selain
mereka” [Tafsir Ibnu Katsir, 7/544]
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
قوله تعالى : { لا يمسه إلا
المطهرون } من قال : إنَّه اللوح المحفوظ . فالمطهرون عنده : الملائكة ، وهذا قول
ابن عباس ، وعكرمة ، ومجاهد ، وسعيد بن جبير . فعلى هذا يكون الكلام خبراً
“Firman Allah ta’ala “tidak menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan”, barangsiapa yang menafsirkannya dengan Al-Lauh
Al-Mahfuzh, maka makna [المطهرون]
menurutnya adalah para malaikat. Ini merupakan pendapat yang dipegang oleh Ibnu
Abbas, Ikrimah, Mujahid dan Sa’id bin Jubair. Berangkat dari pendapat ini, maka
kalimat ini hanya bermakna khabar (bukan perintah –pen)” [Zaadul
Masiir, 5/480]
2. Seandainya tafsir [المطهرون] yang dimaksud dalam ayat adalah
orang-orang beriman yang suci dari hadats, tentu pilihan
lafadz yang digunakan adalah [المتطهرين], sebagaimana disebutkan dalam firman
Allah ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersuci” [QS. Al-Baqarah:
222]
3. Dalam ayat sebelumnya Allah ta’ala berfirman:
فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا
يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79)
“Di dalam kitab yang terjaga. Tidak menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan” [QS. Al-Waqi’ah: 78-79]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata:
والمكنون : المصون المحرر الذي لا
تناله أيدي المضلين ؛ فهذه صفة اللوح المحفوظ
“[المكنون] “yang
terjaga” maknanya adalah dilindungi dan dijaga dari tangan-tangan yang
menyesatkan. Ini merupakan sifat dari Al-Lauh Al-Mahfuzh” [Syarh Al-‘Umdah,
1/384]
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
وفي «المكنون» قولان .
أحدهما : مستور عن الخلق ، قاله
مقاتل ، وهذا على القول الأول .
والثاني : مصون ، قاله الزجاج
“Terdapat dua penafsiran terhadap makna [المكنون] “yang terjaga”:
- Tertutup dari
makhluk, ini merupakan pendapat Muqatil
- Terjaga, ini
merupakan pendapat Az-Zujaaj” [Zaadul Masiir, 5/480]
Sedangkan mushaf Al-Qur’an yang berada di tangan manusia
tidaklah tertutup dari makhluk, namun senantiasa terbaca di setiap tempat dan
waktu.
4. Ayat ini termasuk
dari surat Makkiyyah. Kebanyakan ayat-ayat makkiyyah berisi tentang
tauhid, sanggahan terhadap syubhat yang dilontarkan orang-orang kafir,
penjelasan tentang janji surga serta ancaman neraka bagi mereka yang tidak
beriman. Adapun ayat yang berisi perincian ahkaam syari’ah seperti
wudhu, tayammum, zakat, dan lainnya turun setelah nabi shallallahu
‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah.
Allahua’lam
Sumber: Fathul ‘Allam, 1/246-248
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 20 Jumadil Ulaa 1435
No comments:
Post a Comment