Tanya:
Fadhilatusy
Syaikh, Anda
mengetahui -semoga Allah subhanahu wata’ala menjaga Anda- bahwa pernikahan
merupakan sarana yang aman untuk memenuhi kebutuhan naluriah antara seorang pria
dan wanita. Jika kebutuhan tersebut terpenuhi maka seseorang akan dapat menjaga
kehormatan dirinya. Namun jika tidak terpenuhi, maka muncullah kerusakan yang
akan menyebabkan hancurnya umat ini. Apakah nasehat Anda bagi mereka yang ingin
menikah? Apakah yang seharusnya dilakukan oleh suami dan istri pada malam
pengantin?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
menjawab,
“Nasehatku bagi yang ingin menikah
adalah hendaklah ia memilih wanita yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam telah mewasiatkan kalian untuk menikahi mereka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Nikahilah wanita yang penyayang dan
subur.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
juga bersabda:
“seorang wanita dinikahi karena
hartanya, kedudukannya, kecantikannya dan agamanya. Maka carilah wanita yang
memiliki agama.”
Hendaklah seorang wanita memilih pria
yang memiliki akhlak dan agama berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam:
“Jika datang kepada kalian, seorang
pria yang kalian pandang baik agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia.”
Seorang wanita pun hendaknya
betul-betul bersikap teliti dan tidak boleh tergesa-gesa untuk menerima
pinangan, sampai ia mencari tahu perihal pria yang meminangnya, agar ia tidak
menyesal di kemudian hari.
Di antara hal yang harus diperhatikan
pada saat malam pengantin, hendaklah sang suami masuk menemui istrinya dengan
wajah cerah dan berseri-seri, agar istrinya merasa nyaman. Karena pada saat itu
sang istri akan merasa sedikit takut, sungkan dan cemas.
Lalu sang suami memegang ubun-ubun
istrinya sambil mengucapkan doa yang telah populer:
“Allohumma inni as-aluka khoiroha wa
khoira maa jabaltahaa ‘alaihi, wa a’uudzubika min syarriha wa syarri maa
jabaltahaa ‘alaih.” (Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu
kebaikannya dan kebaikan watak yang telah Engkau jadikan padanya. Dan aku
berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan watak yang telah Engkau
jadikan padanya)
Doa ini diucapkan dengan bersuara
kecuali jika sang suami khawatir istrinya akan merasa cemas dan tidak suka.
Jika khawatir demikian, ia cukup meletakkan tangannya di atas ubun-ubun sang
istri dan membaca doa ini tanpa bersuara.
Ketika seseorang ingin melakukan
hubungan badan dengan istrinya, hendaklah ia mengucapkan hal-hal yang
dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Ketika salah seorang dari kalian
mendatangi istrinya, hendaklah ia mengucapkan, “bismillahi
jannibnasy-syaithoona wa jannibisy-syaithoona maa rozaqtanaa” (Dengan nama
Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah ia dari apa yang Engkau
karuniakan kepada kami).
Jika ditakdirkan dari keduanya akan
lahir seorang anak, maka setan tidak akan dapat membahayakan anak tersebut.”
Hal ini termasuk salah satu sebab
keshalehan anak. Ini sangat mudah dilakukan. Demikian juga di antara hal yang harus diketahui, jika terjadi
hubungan badan, maka keduanya diwajibkan untuk mandi meskipun tidak terjadi ejakulasi.
Sebagian orang mengira bahwa mandi itu tidak wajib kecuali ketika terjadi
ejakulasi. Ini adalah pemahaman yang keliru. Mandi tetap diwajibkan ketika
kemaluan suami masuk ke dalam kemaluan istri, meskipun tidak sampai ejakulasi,
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jika seorang pria duduk di antara
cabang tubuh istrinya yang empat (dua tangan dan kaki -pen), kemudian ia mengerahkan
tenaga (untuk menyetubuhinya) maka ia telah diwajibkan mandi, meskipun belum
keluar”
Oleh karena itu, mandi dihukumi wajib
dengan salah satu dari dua hal:
1. `Ketika terjadi ejakulasi baik disebabkan oleh ciuman, pelukan atau
melihat dengan syahwat maupun ejakulasi hanya sekedar berbincang-bincang
2.
ketika keduanya bersetubuh (masuknya kemaluan suami –pen) meskipun
tidak keluar
Dan termasuk hal yang perlu disinggung
adalah bahwa sebagian suami -semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan hidayah
pada mereka- tidak memperhatikan pelaksanaan shalat shubuh di pagi harinya. Mereka
melakukan shalat Subuh di akhir waktu tanpa berjamaah bahkan terkadang mereka
tidak shakat, kecuali setelah matahari terbit. Ini termasuk kebiasaan buruk
yang tidak mencerminkan rasa syukur atas nikmat Allah subhanahu wata’ala, karena
mensyukuri nikmat Allah subhanahu wata’ala adalah dengan melakukan ketaatan
kepada-Nya.
Tanya
(2):
Semoga Allah subhanahu wata’ala menjaga
Anda, apa pendapat Anda tentang perkataan sebagian ulama “seorang pengantin
pria diberikan uzur meninggalkan shalat berjamaah ketika menunggu
kedatangan pengantin wanita”?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
menjawab,
“Pendapat kami, perkataan-perkataan
ulama terkadang keliru dan terkadang benar. Kewajiban kita adalah mengembalikan
hal ini kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Para ulama yang menyatakan ini, mereka
berbicara tidak lain tentang keadaan di zaman mereka, ketika itu sang suamilah yang
menyambut kedatangan istrinya, bukan sang istri yang menyambut kedatangan
suaminya. Sang suami yang berada di rumah, sedangkan istri yang
datang kepadanya.
Dalam keadaan ini, pengantin pria diberikan
udzur meninggalkan shalat berjamaah, karena jika ia pergi ke masjid menunaikan
shalat berjamaah, perasaan di hatinya tidak menentu. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak ada shalat ketika ada makanan
yang dihidangkan.”
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
pernah mendengar imam membaca suratan (saat shalat berjamaah), namun beliau
tetap melanjutkan makan malamnya. Beliau tidak bangkit melaksanakan shalat
hingga beliau selesai makan. Jika seseorang diberikan uzur meninggalkan shalat
berjamaah dalam keadaan ini, maka pengantin pria yang menunggu kedatangan
pengantin wanita, ia lebih pantas diberikan udzur karena keadaan hatinya yang
tidak menentu.
Namun adat kebanyakan manusia sekarang
adalah kebalikannya, suamilah yang datang ke tempat istrinya, ia pula yang
menentukan kapan waktu yang tepat, sehingga dalam keadaan ini ia tidak diberi
uzur meninggalkan shalat berjamaah.”
Tanya
(3):
Fadhilatusy Syaikh, telah populer di kalangan
masyarakat, apabila seorang pengantin pria masuk menemui pengantin wanita,
hendaklah keduanya melakukan shalat dua rakaat bersama. Namun terjadi pada
sebagian orang, ketika ia baru masuk menemui istrinya, ia langsung melakukan shalat,
meskipun ia belum berbincang-bincang dengan istrinya. Apakah hal ini disunahkan?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
menjawab
“Mengenai hal ini, terdapat beberapa
atsar dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum. Apabila seorang pria
masuk menemui istrinya (untuk yang pertama kali), maka hal pertama yang ia
lakukan adalah shalat dua rakaat, meskipun tidak ada riwayat yang shahih dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai hal tersebut. Melakukan
shalat dua raka’at maupun meninggalkannya tidak apa menurutku.” [Majmu'ah
As'ilah Tahummul Usrah Al-Muslimah]
Sumber: Majalah Akhwat vol. 4/1431/2010, hal. 89-92
via http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/07/15/tanya-jawab-seputar-pengantin-baru/
No comments:
Post a Comment