Friday, February 14, 2014

Adab Malam Pertama

Tanya: 

Fadhilatusy Syaikh, Anda mengetahui -semoga Allah subhanahu wata’ala menjaga Anda- bahwa pernikahan merupakan sarana yang aman untuk memenuhi kebutuhan naluriah antara seorang pria dan wanita. Jika kebutuhan tersebut terpenuhi maka seseorang akan dapat menjaga kehormatan dirinya. Namun jika tidak terpenuhi, maka muncullah kerusakan yang akan menyebabkan hancurnya umat ini. Apakah nasehat Anda bagi mereka yang ingin menikah? Apakah yang seharusnya dilakukan oleh suami dan istri pada malam pengantin?

Jawab:

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab,

“Nasehatku bagi yang ingin menikah adalah hendaklah ia memilih wanita yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewasiatkan kalian untuk menikahi mereka,  beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Nikahilah wanita yang penyayang dan subur.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
seorang wanita dinikahi karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya dan agamanya. Maka carilah wanita yang memiliki agama.”
Hendaklah seorang wanita memilih pria yang memiliki akhlak dan agama berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
Jika datang kepada kalian, seorang pria yang kalian pandang baik agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia.”
Seorang wanita pun hendaknya betul-betul bersikap teliti dan tidak boleh tergesa-gesa untuk menerima pinangan, sampai ia mencari tahu perihal pria yang meminangnya, agar ia tidak menyesal di kemudian hari.
Di antara hal yang harus diperhatikan pada saat malam pengantin, hendaklah sang suami masuk menemui istrinya dengan wajah cerah dan berseri-seri, agar istrinya merasa nyaman. Karena pada saat itu sang istri akan merasa sedikit takut, sungkan dan cemas.
Lalu sang suami memegang ubun-ubun istrinya sambil mengucapkan doa yang telah populer:
Allohumma inni as-aluka khoiroha wa khoira maa jabaltahaa ‘alaihi, wa a’uudzubika min syarriha wa syarri maa jabaltahaa ‘alaih.” (Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan watak yang telah Engkau jadikan padanya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan watak yang telah Engkau jadikan padanya)
Doa ini diucapkan dengan bersuara kecuali jika sang suami khawatir istrinya akan merasa cemas dan tidak suka. Jika khawatir demikian, ia cukup meletakkan tangannya di atas ubun-ubun sang istri dan membaca doa ini tanpa bersuara.
Ketika seseorang ingin melakukan hubungan badan dengan istrinya, hendaklah ia mengucapkan hal-hal yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Ketika salah seorang dari kalian mendatangi istrinya, hendaklah ia mengucapkan, “bismillahi jannibnasy-syaithoona wa jannibisy-syaithoona maa rozaqtanaa” (Dengan nama Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah ia dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami).
Jika ditakdirkan dari keduanya akan lahir seorang anak, maka setan tidak akan dapat membahayakan anak tersebut.”
Hal ini termasuk salah satu sebab keshalehan anak. Ini sangat mudah dilakukan. Demikian juga di antara hal yang harus diketahui, jika terjadi hubungan badan, maka keduanya diwajibkan untuk mandi meskipun tidak terjadi ejakulasi. Sebagian orang mengira bahwa mandi itu tidak wajib kecuali ketika terjadi ejakulasi. Ini adalah pemahaman yang keliru. Mandi tetap diwajibkan ketika kemaluan suami masuk ke dalam kemaluan istri, meskipun tidak sampai ejakulasi, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jika seorang pria duduk di antara cabang tubuh istrinya yang empat (dua tangan dan kaki -pen), kemudian ia mengerahkan tenaga (untuk menyetubuhinya) maka ia telah diwajibkan mandi, meskipun belum keluar”
Oleh karena itu, mandi dihukumi wajib dengan salah satu dari dua hal:
1.  `Ketika terjadi ejakulasi baik disebabkan oleh ciuman, pelukan atau melihat dengan syahwat maupun ejakulasi hanya sekedar berbincang-bincang
2.    ketika keduanya bersetubuh (masuknya kemaluan suami –pen) meskipun tidak keluar
Dan termasuk hal yang perlu disinggung adalah bahwa sebagian suami -semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan hidayah pada mereka- tidak memperhatikan pelaksanaan shalat shubuh di pagi harinya. Mereka melakukan shalat Subuh di akhir waktu tanpa berjamaah bahkan terkadang mereka tidak shakat, kecuali setelah matahari terbit. Ini termasuk kebiasaan buruk yang tidak mencerminkan rasa syukur atas nikmat Allah subhanahu wata’ala, karena mensyukuri nikmat Allah subhanahu wata’ala adalah dengan melakukan ketaatan kepada-Nya.
Tanya (2):
Semoga Allah subhanahu wata’ala menjaga Anda, apa pendapat Anda tentang perkataan sebagian ulama “seorang pengantin pria diberikan uzur meninggalkan shalat berjamaah ketika menunggu kedatangan pengantin wanita”?
Jawab:

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Pendapat kami, perkataan-perkataan ulama terkadang keliru dan terkadang benar. Kewajiban kita adalah mengembalikan hal ini kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Para ulama yang menyatakan ini, mereka berbicara tidak lain tentang keadaan di zaman mereka, ketika itu sang suamilah yang menyambut kedatangan istrinya, bukan sang istri yang menyambut kedatangan suaminya. Sang suami yang berada di rumah, sedangkan istri yang datang kepadanya.
Dalam keadaan ini, pengantin pria diberikan udzur meninggalkan shalat berjamaah, karena jika ia pergi ke masjid menunaikan shalat berjamaah, perasaan di hatinya tidak menentu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Tidak ada shalat ketika ada makanan yang dihidangkan.”
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar imam membaca suratan (saat shalat berjamaah), namun beliau tetap melanjutkan makan malamnya. Beliau tidak bangkit melaksanakan shalat hingga beliau selesai makan. Jika seseorang diberikan uzur meninggalkan shalat berjamaah dalam keadaan ini, maka pengantin pria yang menunggu kedatangan pengantin wanita, ia lebih pantas diberikan udzur karena keadaan hatinya yang tidak menentu.
Namun adat kebanyakan manusia sekarang adalah kebalikannya, suamilah yang datang ke tempat istrinya, ia pula yang menentukan kapan waktu yang tepat, sehingga dalam keadaan ini ia tidak diberi uzur meninggalkan shalat berjamaah.”
Tanya (3): 

Fadhilatusy Syaikh, telah populer di kalangan masyarakat, apabila seorang pengantin pria masuk menemui pengantin wanita, hendaklah keduanya melakukan shalat dua rakaat bersama. Namun terjadi pada sebagian orang, ketika ia baru masuk menemui istrinya, ia langsung melakukan shalat, meskipun ia belum berbincang-bincang dengan istrinya. Apakah hal ini disunahkan?

Jawab:

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab
“Mengenai hal ini, terdapat beberapa atsar dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum. Apabila seorang pria masuk menemui istrinya (untuk yang pertama kali), maka hal pertama yang ia lakukan adalah shalat dua rakaat, meskipun tidak ada riwayat yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai hal tersebut. Melakukan shalat dua raka’at maupun meninggalkannya tidak apa menurutku.” [Majmu'ah As'ilah Tahummul Usrah Al-Muslimah]

Sumber: Majalah Akhwat vol. 4/1431/2010, hal. 89-92 via http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/07/15/tanya-jawab-seputar-pengantin-baru/

No comments:

Post a Comment