Wednesday, January 29, 2014

Meninggalkan Amal Karena Manusia yang Tidak Termasuk Riya

Tanya:

Di kantor ketika berhadapan atasan, kita hendak melakukan kebaikan dengan cara menyampaikan dalil (hadits). namun tidak jadi kita lakukan karena kita malu kepada atasan apabila nanti dibilang sok alim. apakah ini termasuk syirik karena kita membatalkan amal baik karena malu pada manusia (malu dibilang sok alim)

Jawab:

Ternukil dari Al-Imam Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah perkataan berikut

ترك العمل من أجل الناس رياء، والعمل من أجل الناس شرك

Meninggalkan amal karena manusia termasuk riya, sedangkan beramal karena manusia merupakan kesyirikan”

Namun apakah hal itu berlaku secara mutlak? sedangkan diriwayatkan juga dari ulama salaf bahwa mereka terkadang menyembunyikan amal shalih di hadapan manusia.

Budak perempuan Ar-Rabii’ bin Khutsaim berkata: “Ar-Rabii’ suka beramal secara sembunyi-sembunyi. Ketika ada orang datang menemuinya, ia segera menutup mushafnya yang sedang ia buka.”

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Ibrahim An-Nakha’i ketika membaca mushaf, lalu ada orang yang masuk menemuinya, maka ia menutup mushafnya.”


Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah yang beranggotakan Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud dan Asy-Syaikh Abdurrazaq ‘Afifi rahimahumullah berkata:

أما قوله: إن العمل من أجل الناس شرك, فهو صحيح؛ لأن الأدلة من الكتاب والسنة تدل على وجوب إخلاص العبادة لله وحده, وتحريم الرياء، وقد سماه النبي صلى الله عليه وسلم: الشرك الأصغر، وذكر أنه أخوف ما يخاف على أمته عليه الصلاة والسلام.

وأما قوله: إن ترك العمل من أجل الناس رياء فليس على إطلاقه، بل فيه تفصيل، والمعول في ذلك على النية؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى» مع العناية بتحري موافقة الشريعة في جميع الأعمال؛ لقوله عليه الصلاة والسلام: «من عمل عملًا ليس عليه أمرنا فهو رد» فإذا وقع للإنسان حالة ترك فيها العمل الذي لا يجب عليه؛ لئلا يظن به ما يضره فليس هذا الرياء، بل هو من السياسة الشرعية، وهكذا لو ترك بعض النوافل عند بعض الناس خشية أن يمدحوه بما يضره أو يخشى الفتنة به، أما الواجب فليس له أن يتركه إلا لعذر شرعي.

“Adapun perkataan "beramal karena manusia adalah syirik", maka itu benar, karena dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan wajibnya ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan mengharamkan riya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menamakan riya sebagai syirik kecil. Beliau menyebutkan bahwa syirik kecil ini adalah hal yang paling beliau khawatirkan terjadi pada umat beliau shallallahu 'alaihi wasallam.

Adapun perkataan "meninggalkan amal karena manusia adalah riya", ini tidak berlaku secara mutlak, namun terdapat perincian serta tergantung pada niatnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan”. Di samping itu ia juga harus berusaha agar seluruh amalnya sesuai dengan syariat, berdasarkan sabda Nabi ‘alaihis shalatu wassalam: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak”.

Jika seseorang meninggalkan amal yang hukumnya tidak wajib demi menghindari hal yang membahayakannya, maka ini tidak termasuk riya. Hal itu tergolong siyasah syar'iyyah (politik syar’i). Demikian pula tidak termasuk riya ketika ia meninggalkan sebagian amalan sunah di hadapan manusia, karena khawatir mereka memujinya hingga dapat memudharatkannya atau khawatir terjadi fitnah. Adapun amalan yang wajib, ia tidak boleh meninggalkannya, kecuali karena alasan yang syar'i.” [Fatawaa Al-Lajnah Ad-Da’imah no. 3419]

Penulis kitab Ruhul Bayan rahimahullah berkata:

إذا كان الشخص يعلم أنه متى فعل الطاعة بحضرة الناس آذوه واغتابوه, فإن الترك من أجلهم لا يكون رياء, بل شفقة عليه ورحمة, كما في فتح القريب

“Jika seseorang tahu ketika ia melakukan ketaatan di hadapan manusia, mereka akan mengganggunya dan berbuat ghibah (menggunjing)nya. Dalam keadaan ini, meninggalkan amal tidak termasuk riya, bahkan hal itu termasuk sifat lemah lembut dan kasih sayang pada mereka, sebagaimana disebutkan dalam Fathul Qariib


Allahua’lam

3 comments:

  1. ustadz, jadi kalau melihat pertanyaan di awal artikel apakah tindakan tersebut termasuk riya (syirik kecil)?
    karena saya masih bingung apakah tindakan menyampaikan dalil (hadits) kepada atasan termasuk WAJIB.

    ReplyDelete
  2. pertanyaan 2)
    ketika kita sedang berbicara dengan seseorang. kita terlanjur mengucap "TERSERAH KEPADA KAMU". padahal kita tahu bahwa ucapan ini tidak benar. yang benar adalah ucapan "TERSERAH KEPADA ALLAH". kita ingin meralat ucapan itu namun malu kepada orang karena nanti dibilang sok alim.
    Apakah tindakan kita membatalkan amal ini (meralat perkataan salah) termasuk riya (syirik kecil)?

    ReplyDelete
  3. Tindakan tersebut tidak termasuk riya' menurut apa yang saya ketahui. Memberikan nasehat tidaklah wajib, kecuali jika ia dimintai nasehat oleh saudaranya sesama muslim, dalam keadaan ini hukumnya terkadang bisa wajib. Terdapat pula adab-adab yang perlu diperhatikan dalam memberikan nasehat.

    Jika seseorang memberikan nasehat tanpa ilmu, justru ia dikhawatirkan terjatuh dalam dosa besar. Kenapa demikian? karena ia menyandarkan pada Allah suatu hukum secara dusta, sebagai contoh ketika Allah menghalalkan transaksi jual-beli, lalu ia berkata "jual beli itu haram dalam Islam" atau sebaliknya ketika Allah menharamkan riba, lalu ia berkata "riba itu halal". Tidak boleh berbicara tentang permasalan agama kecuali orang-orang yang berilmu. Biarkanlah orang-orang yang lebih berilmu dari kita yang memberikan nasehat.

    Sebelum mengingkari kemungkaran, kita harus memastikan bahwa apa yang kita ingkari benar-benar perbuatan mungkar. Karena terkadang kita mengingkari sesuatu yang hukumnya mubah karena keterbatasan ilmu kita. Nasehat saya, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar'i, kemudian jangan terlalu membahas permasalahan-permasalahan yang rumit.

    Ungkapan "terserah kamu" tidak ada masalah. Yang terlarang adalah ungkapan ما شاء الله وشاء فلان (karena kehendak Allah dan kehendak fulan), atau ungkapan ما شاء الله وشئت (karena kehendak Allah dan kehendakmu). Lafadz tersebut tergolong syirik kecil karena terdapat penyamaan antara al-khaliq dan makhluk. Sedangkan ungkapan "terserah kamu" tidak termasuk dalam larangan tersebut.

    Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

    لا تقولوا ما شاء الله وشاء فلان، ولكن قولوا ما شاء الله ثم شاء فلان

    "Janganlah kalian mengatakan "karena kehendak Allah dan kehendak fulan", akan tetapi katakanlah "karena kehendak Allah kemudian kehendak fulan".[HR. Abu Daud no. 4980 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]

    Perhatikan, dalam hadit di atas Rasul tidak melarang ungkapan tersebut secara mutlak. Beliau hanya melarang ungkapan tersebut jika digandengkan sebelumnya dengan "kehendak Allah" lalu dipisahkan dengan huruf wawu. Karena huruf wawu dalam bahasa arab mengandung makna penyamaan dua hal yang digandengkan dalam satu kalimat. Penyamaan al-khaliq dan makhluk termasuk kesyirikan

    Allahua'lam

    ReplyDelete