Tuesday, January 28, 2014

2 Perbedaan Taubat dan Istighfar, Bolehkah Memintakan Ampun Untuk Orang Kafir yang Masih Hidup?

Abu Hilal Al-‘Askari rahimahullah berkata:

الاستغفار طلب المغفرة بالدعاء, والتوبة, أو غيرهما من الطاعة

“Istighfar adalah memohon ampun dengan doa, taubat atau selain keduanya dari amalan ketaatan” [Al-Furuuq fi Al-Lughah,1/48]

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

الاستغفار المفرد كالتوبه بل هو التوبه بعينها مع تضمنه طلب المغفره من الله وهو محو الذنب وازالة اثره ووقاية شره

“Istighfar jika penyebutannya disendirikan, maknanya sama dengan taubat yaitu memohon ampun pada Allah untuk menghapus dosa, menghilangkan pengaruh dosa serta meminta perlidungan dari kejelekannya” [Madaarijus Salikin, 1/307]

Dari dua perkataan ulama di atas diketahui bahwa makna istighfar dan taubat adalah satu jika masing-masing disebutkan secara bersendirian. Namun jika disebutkan secara bersamaan, keduanya memiliki beberapa perbedaan:

Pertama, Istighfar hanya memohon ampun pada Allah dari dosa, sedangkan taubat memiliki tambahan syarat yang harus terpenuhi yaitu tekad kuat untuk tidak mengulangi dosa

Abul-Husain Al-Mubarakfuri rahimahullah berkata:

التوبة هي: الندم على ما فرط في الماضي، والعزم على الامتناع منه في المستقبل والاستغفار: طلب الغفران لما صدر منه، ولا يجب فيه العزم في المستقبل

“Taubat adalah menyesali perbuatan dosa di masa lalu disertai tekad kuat untuk meninggalkannya di masa mendatang, sedangkan istighfar adalah memohon ampun atas dosa-dosa yang ia perbuat di masa lalu, tanpa ada tekad kuat untuk tidak mengulanginya di masa mendatang” [Mura’atul Mafaatih, 8/3]

Kedua, Istighfar hanya memohon ampun atas dosa yang telah lalu, sedangkan taubat disertai perlindungan dari pengaruh dosa itu di masa yang akan datang.

Ibnul Qayim rahimahullah berkata:

وأما عند اقتران احدى اللفظتين بالاخرى فالاستغفار
وقاية شر ما يخافه في المستقبل من سيئات أعماله

“Adapun jika keduanya disebutkan bersamaan, maka istighfar bermakna memohon ampun dari kejelekan dosanya di masa lalu, sedangkan taubat bermakna rujuk dan memohon perlindungan dari hal yang ditakutkan serta pengaruh buruk dosanya di masa mendatang” [Madaarijus Salikin, 1/308]

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:


فان اقترن به توبه فهو الاستغفار الكامل الذي رتبت عليه المغفره وان لم
تقترن به التوبه فهو دعاء من العبد لربه أن يغفر له فقد يجاب دعاؤه وقد لا يجاب

“Jika istighfar disertai dengan taubat, maka istighfar yang dimaksud adalah istighfar sempurna yang mendatangkan ampunan. Namun jika istighfar tersebut tidak disertai taubat, maka maknanya adalah doa seorang hamba pada Rabb-Nya agar ia diampuni. Bisa jadi doanya dikabulkan, atau bisa jadi doanya tidak terkabul.” [Taisiir Al-Lathiif Al-Mannan, 2/121]

Beberapa Hukum Yang Berkaitan dengan Taubat dan Istighfar

1. Allah mencintai orang-orang yang bertaubat

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri” [QS. Al-Baqarah: 222]

2. Taubat hukumnya wajib bagi setiap muslim

Allah ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Wahai orang-orang yang beriman, taubatlah kalian kepada Allah dengan taubat nasuha (taubat yang benar –pen)” [QS. At-Tahriim: 8]

3. Taubat nasuha dapat menghapuskan seluruh dosa baik dosa kecil maupun dosa besar, sebesar apapun dosa itu dan sebanyak apapun dosanya.

Allah ta’ala berfirman:

قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas kepada diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh Allah mengampuni seluruh dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Az-Zumar: ]

4. Taubat merupakan sebab keberuntungan dan kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat

Allah ta’ala berfirman:

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Bertaubatlah kalian pada Allah seluruhnya wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung” [QS. An-Nuur: 31]

5. Pintu taubat selalu terbuka hingga nyawa belum sampai tenggorokan dan senantiasa terbuka hingga matahari terbit dari arah barat

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk menerima taubat orang-orang yang berbuat dosa di siang hari, Dia juga membentangkan tangan-Nya di waktu siang untuk menerima taubat orang-orang yang berbuat dosa di malam hari. Hal itu terus-menerus berlangsung hingga matahari terbit dari arah baratnya” [HR. Muslim no. 2759]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يقبل توبة العبد ما لم يغرغر

“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla menerima taubat seorang hamba selama nyawa belum sampai tenggorokan” [HR. At-Tirmidzi no. 3537, Ibnu Majah no. 4253, Ahmad no. 6165 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi, 8/37]

6. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam satu hari membaca istighfar dan bertaubat sebanyak 100 kali. Padahal seluruh dosa beliau baik di masa lalu maupun di masa mendatang telah diampuni oleh Allah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

والله إني لأستغفر الله وأتوب إليه في اليوم أكثر من سبعين مرة

“Demi Allah sungguh aku membaca istighfar dan bertaubat pada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali” [HR. Al-Bukhari no. 6307]

Dalam riwayat yang lain disebutkan,

فإني أتوب في اليوم مائة مرة

“Sungguh aku bertaubat dalam sehari 100 kali” [HR. Muslim no. 2702]

Berapa kali Anda membaca istighfar dan bartaubat dalam sehari?

7. Diharamkan memintakan ampun untuk orang-orang yang mati dalam keadaan kafir

Allah ta’ala berfirman:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) Jahim.” [QS. At-Taubah: 113]

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

وأما الصلاة على الكافر والدعاء له بالمغفرة فحرام بنص القرآن والإجماع

“Adapun melakukan shalat untuk orang kafir dan mendoakan ampunan untuknya, maka hukumnya haram berdasarkan nash Al-Qur’an dan ijma’ ” [Al-Majmuu', 5/120]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

إن الاستغفار للكفار لا يجوز بالكتاب والسنَّة والإجماع

“Sesungguhnya memintakan ampun untuk orang-orang kafir tidak diperbolehkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ “ [Majmuu’ Al-Fatawa,12/489]

8. Diperbolehkan memintakan ampun untuk orang-orang kafir yang masih hidup

Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) Jahim.” [QS. At-Taubah: 113]

Seorang kafir yang masih hidup belum diketahui dengan jelas bagaimanakah akhir kehidupan mereka, bisa jadi di akhir hayatnya ia mendapatkan hidayah lalu masuk Islam. Sehingga larangan dalam ayat di atas tidak berlaku karena keadaan mereka belum jelas. Belum ada kepastian bahwa mereka adalah penghuni neraka Jahim ketika mereka masih hidup di dunia.

Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata:

ذلك لا يتبينه أحد إلا بأن يموت على كفره، وأما هو حي فلا سبيل إلى علم ذلك، فللمؤمنين أن يستغفروا لهم

Karena tidak ada yang dapat memastikan (bahwa ia merupakan penghuni neraka -pen), kecuali setelah ia mati dalam kekafirannya. Adapun saat ia masih hidup, maka tidak ada yang bisa mengetahui hal itu, sehingga diperbolehkan bagi kaum mukminin untuk memintakan ampun bagi mereka. [Tafsir Ath-Thabari, 12/26]

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كَانُوا يَسْتَغْفِرُونَ لِمَوْتَاهُمْ فَنَزَلَتْ فَأَمْسَكُوا عَنِ الِاسْتِغْفَارِ وَلَمْ يَنْهَهُمْ أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْأَحْيَاءِ حَتَّى يَمُوتُوا

Ibnu Abbas mengatakan: “Dahulu orang-orang memintakan ampun untuk orang-orang mati mereka, lalu turunlah ayat, maka mereka berhenti memintakan ampun. Namun mereka tidak dilarang untuk memintakan ampun bagi orang-orang yg masih hidup hingga mereka meninggal”. [Jaami’ Ahkaam Al-Qur’an, 10/400]

Juga dalam riwayat Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia bercerita:

شهدت النبي – صلى الله عليه وسلم – حين كُسِرت رباعِيتُهُ وجُرح وجهه وهُشمت البيضة على رأسه، وإني لأعرف من يغسل الدم عن وجهه، ومن ينقل عليه الماء، وماذا جعل على جرحه حتى رقأ الدم؛ كانت فاطمة بنت محمد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – له تغسل الدم عن وجهه، وعلي- رضي الله عنه- ينقل الماء إليها في مِجنَّةٍ، فلما غسلت الدم عن وجه أبيها أحرقت حصيراً، حتى إذا صارت رماداً أخذت من ذلك الرماد، فوضعته على وجهه حتى رقأ الدم، ثم قال يومئذ: اشتد غضب الله على قوم كلموا وجه رسول الله – صلى الله عليه وسلم. ثم مكث ساعة، ثم قال: اللهم! اغفر لقومي؛ فإنهم لا يعلمون
“Aku telah menyaksikan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- saat gigi serinya patah, wajahnya terluka, dan helm perang di kepalanya pecah… sungguh aku juga tahu siapa yg mencuci darah dari wajahnya, siapa yg mendatangkan air kepadanya, dan apa yg ditempatkan dilukanya hingga darahnya mampet… Adalah Fatimah putri Muhammad utusan Allah yg mencuci darah dari wajah, dan Ali -rodliallohu anhu- yg mendatangkan air dalam perisai… maka ketika Fatimah mencuci darah dari wajah ayahnya, dia membakar tikar, sehingga ketika telah menjadi abu, ia mengambil abu itu, lalu menaruhnya di wajah beliau, hingga darahnya mampet… ketika itu beliau mengatakan: “Telah memuncak kemurkaan Allah atas kaum yg melukai wajah Rosulullah”… lalu beliau diam sebentar, dan mengatakan: “Ya Allah ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka itu tidak tahu”. [HR. Ath-Thabarani dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 7/531]

NB: dua point terakhir diringkas dari tulisan Al-Ustadz Musyaffa, MA hafizhahullah. Wabillahittaufiq



Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 27 Rabii’ul Awwal 1435

3 comments:

  1. Ustadz, berarti perkataan ulama (Al Fudhail bin Iyaadh) mengatakan "istighfar tanpa meninggalkan maksiat adalah taubatnya pendusta".
    yang dimaksud istighfar oleh beliau adalah istighfar dalam rangka bertaubat ya?

    karena kalau istighfar yang tanpa taubat maka meskipun dia tidak meninggalkan maksiat maka dia tidak bisa disebut pendusta. karena memang dia berniat memohon ampun tanpa disertai taubat.

    minta penjelasannya ya ustadz..terima kasih

    ReplyDelete
  2. Allahua'lam. Tapi yang jelas istighfar merupakan ibadah yang agung, karena pada asalnya istighfar adalah doa. Istighfar adalah doa kepada Allah dan berharap agar dosa-dosanya diampuni. Yang perlu digaris-bawahi adalah "tidak boleh menganggap remeh suatu dosa, apalagi dosa besar". Ketika kita belum mampu bertaubat, maka perbanyaklah istighfar dan amal shalih, mudah-mudahan dapat menghapus kesalahan-kesalahan kita.

    Allah ta'ala berfirman:

    إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ

    "Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat" [QS. Hud: 114]

    Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

    طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا

    "Beruntunglah orang-orang yang mendapatkan banyak istighfar di catatan amalnya" [HR. Ibnu Majah no. 3816, Al-Bazzar no. 2988, Ath-Thabarani no. 857 dari Abdullah bin Busr radhiyallahu 'anhu]

    Dalam hadits lain disebutkan,

    اِتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

    "Bertakwalah kamu kepada Allah dimana dan kapan saja kamu berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan itu menghapus keburukan itu dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik" [HR At-Tirmidzi, Ahmad, Al-Baihaqi, dari Abu Dzar al-Ghiffari radhiyallahu 'anhu)

    At-Tirmidzi menilai hadits tersebut hasan shahih, Al-Hakim menilai "shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim". Penilaian tersebut juga disetujui oleh Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahumullah.

    ReplyDelete