Abu Hilal Al-‘Askari rahimahullah berkata:
الاستغفار طلب المغفرة بالدعاء, والتوبة, أو غيرهما من الطاعة
“Istighfar adalah memohon ampun dengan
doa, taubat atau selain keduanya dari amalan ketaatan” [Al-Furuuq fi
Al-Lughah,1/48]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
الاستغفار المفرد كالتوبه بل هو التوبه بعينها مع تضمنه
طلب المغفره من الله وهو محو الذنب وازالة اثره ووقاية شره
“Istighfar jika penyebutannya
disendirikan, maknanya sama dengan taubat yaitu memohon ampun pada Allah untuk
menghapus dosa, menghilangkan pengaruh dosa serta meminta perlidungan dari
kejelekannya” [Madaarijus Salikin, 1/307]
Dari dua perkataan ulama di atas diketahui bahwa
makna istighfar dan taubat adalah satu jika masing-masing disebutkan secara
bersendirian. Namun jika disebutkan secara bersamaan, keduanya memiliki
beberapa perbedaan:
Pertama, Istighfar hanya memohon ampun pada Allah dari
dosa, sedangkan taubat memiliki tambahan syarat yang harus terpenuhi yaitu
tekad kuat untuk tidak mengulangi dosa
Abul-Husain Al-Mubarakfuri rahimahullah
berkata:
التوبة هي: الندم
على ما فرط في الماضي، والعزم على الامتناع منه في المستقبل والاستغفار: طلب
الغفران لما صدر منه، ولا يجب فيه العزم في المستقبل
“Taubat adalah menyesali perbuatan dosa di masa
lalu disertai tekad kuat untuk meninggalkannya di masa mendatang, sedangkan istighfar
adalah memohon ampun atas dosa-dosa yang ia perbuat di masa lalu, tanpa ada
tekad kuat untuk tidak mengulanginya di masa mendatang” [Mura’atul Mafaatih,
8/3]
Kedua, Istighfar hanya memohon ampun atas dosa yang
telah lalu, sedangkan taubat disertai perlindungan dari pengaruh dosa itu di masa
yang akan datang.
Ibnul Qayim rahimahullah berkata:
وأما عند اقتران احدى اللفظتين بالاخرى فالاستغفار
وقاية شر ما يخافه في المستقبل من سيئات أعماله
“Adapun jika keduanya disebutkan bersamaan, maka istighfar
bermakna memohon ampun dari kejelekan dosanya di masa lalu, sedangkan
taubat bermakna rujuk dan memohon perlindungan dari hal yang ditakutkan serta pengaruh
buruk dosanya di masa mendatang” [Madaarijus Salikin, 1/308]
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah
berkata:
فان
اقترن به توبه فهو الاستغفار الكامل الذي رتبت عليه المغفره وان لم
تقترن به التوبه فهو دعاء من العبد لربه أن يغفر له فقد يجاب دعاؤه وقد
لا يجاب
“Jika istighfar disertai dengan
taubat, maka istighfar yang dimaksud adalah istighfar sempurna yang
mendatangkan ampunan. Namun jika istighfar tersebut tidak disertai taubat,
maka maknanya adalah doa seorang hamba pada Rabb-Nya agar ia diampuni. Bisa
jadi doanya dikabulkan, atau bisa jadi doanya tidak terkabul.” [Taisiir
Al-Lathiif Al-Mannan, 2/121]
Beberapa Hukum Yang Berkaitan dengan Taubat dan
Istighfar
1. Allah mencintai orang-orang yang bertaubat
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri” [QS. Al-Baqarah: 222]
2. Taubat hukumnya wajib bagi setiap muslim
Allah ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ
تَوْبَةً نَصُوحًا
“Wahai orang-orang yang beriman, taubatlah
kalian kepada Allah dengan taubat nasuha (taubat yang benar –pen)” [QS.
At-Tahriim: 8]
3. Taubat nasuha dapat menghapuskan
seluruh dosa baik dosa kecil maupun dosa besar, sebesar apapun dosa itu dan
sebanyak apapun dosanya.
Allah ta’ala berfirman:
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى
أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ
الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah wahai hamba-hamba-Ku yang
melampaui batas kepada diri-diri mereka, janganlah kalian berputus asa dari
rahmat Allah. Sungguh Allah mengampuni seluruh dosa. Sesungguhnya Dia Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Az-Zumar: ]
4. Taubat merupakan sebab keberuntungan dan
kebahagiaan seorang hamba di dunia dan akhirat
Allah ta’ala berfirman:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا
الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Bertaubatlah kalian pada Allah seluruhnya
wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung” [QS. An-Nuur: 31]
5. Pintu taubat selalu terbuka hingga nyawa belum
sampai tenggorokan dan senantiasa terbuka hingga matahari terbit dari arah
barat
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu,
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ
لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ
اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla
membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk menerima taubat orang-orang
yang berbuat dosa di siang hari, Dia juga membentangkan tangan-Nya di waktu
siang untuk menerima taubat orang-orang yang berbuat dosa di malam hari. Hal
itu terus-menerus berlangsung hingga matahari terbit dari arah baratnya” [HR. Muslim
no. 2759]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ
اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يقبل توبة العبد ما
لم يغرغر
“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla menerima
taubat seorang hamba selama nyawa belum sampai tenggorokan” [HR. At-Tirmidzi no.
3537, Ibnu Majah no. 4253, Ahmad no. 6165 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih At-Tirmidzi, 8/37]
6. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam satu hari membaca istighfar dan bertaubat sebanyak 100 kali. Padahal
seluruh dosa beliau baik di masa lalu maupun di masa mendatang telah diampuni
oleh Allah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
والله إني لأستغفر
الله وأتوب إليه في اليوم أكثر من سبعين مرة
“Demi Allah sungguh aku membaca istighfar
dan bertaubat pada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali” [HR. Al-Bukhari no.
6307]
Dalam riwayat yang lain disebutkan,
فإني أتوب في اليوم
مائة مرة
“Sungguh aku bertaubat dalam sehari 100
kali” [HR. Muslim no. 2702]
Berapa kali Anda membaca istighfar dan bartaubat
dalam sehari?
7. Diharamkan memintakan ampun untuk orang-orang
yang mati dalam keadaan kafir
Allah ta’ala berfirman:
مَا كَانَ
لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ
كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ
الْجَحِيمِ
“Tidak
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada
Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah
penghuni (neraka) Jahim.” [QS. At-Taubah: 113]
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
وأما الصلاة على الكافر والدعاء له بالمغفرة فحرام بنص القرآن والإجماع
“Adapun melakukan shalat untuk orang kafir dan
mendoakan ampunan untuknya, maka hukumnya haram berdasarkan nash Al-Qur’an dan
ijma’ ” [Al-Majmuu', 5/120]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata:
إن الاستغفار للكفار لا يجوز بالكتاب والسنَّة والإجماع
“Sesungguhnya memintakan ampun untuk orang-orang
kafir tidak diperbolehkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ “ [Majmuu’
Al-Fatawa,12/489]
8. Diperbolehkan memintakan ampun untuk
orang-orang kafir yang masih hidup
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala:
مَا كَانَ
لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ
كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ
الْجَحِيمِ
“Tidak
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada
Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik
itu adalah penghuni (neraka) Jahim.” [QS. At-Taubah: 113]
Seorang kafir yang masih hidup belum diketahui
dengan jelas bagaimanakah akhir kehidupan mereka, bisa jadi di akhir hayatnya
ia mendapatkan hidayah lalu masuk Islam. Sehingga larangan dalam ayat di atas
tidak berlaku karena keadaan mereka belum jelas. Belum ada kepastian bahwa
mereka adalah penghuni neraka Jahim ketika mereka masih hidup di dunia.
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah
berkata:
ذلك لا يتبينه أحد إلا بأن يموت على كفره، وأما هو حي فلا سبيل إلى علم
ذلك، فللمؤمنين أن يستغفروا لهم
“Karena tidak ada yang dapat memastikan
(bahwa ia merupakan penghuni neraka -pen), kecuali setelah ia mati dalam
kekafirannya. Adapun saat ia masih hidup,
maka tidak ada yang bisa mengetahui hal itu, sehingga diperbolehkan bagi kaum
mukminin untuk memintakan ampun bagi mereka. [Tafsir Ath-Thabari, 12/26]
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كَانُوا يَسْتَغْفِرُونَ لِمَوْتَاهُمْ فَنَزَلَتْ
فَأَمْسَكُوا عَنِ الِاسْتِغْفَارِ وَلَمْ يَنْهَهُمْ أَنْ يَسْتَغْفِرُوا
لِلْأَحْيَاءِ حَتَّى يَمُوتُوا
“Ibnu Abbas mengatakan: “Dahulu orang-orang
memintakan ampun untuk orang-orang mati mereka, lalu turunlah ayat, maka mereka
berhenti memintakan ampun. Namun mereka tidak dilarang untuk
memintakan ampun bagi orang-orang yg masih hidup hingga mereka meninggal”. [Jaami’ Ahkaam Al-Qur’an, 10/400]
Juga dalam riwayat Sahl bin Sa’ad radhiyallahu
‘anhu, ia bercerita:
شهدت النبي – صلى الله عليه وسلم – حين
كُسِرت رباعِيتُهُ وجُرح وجهه وهُشمت البيضة على رأسه، وإني لأعرف من يغسل الدم عن
وجهه، ومن ينقل عليه الماء، وماذا جعل على جرحه حتى رقأ الدم؛ كانت فاطمة بنت محمد
رسول الله – صلى الله عليه وسلم – له تغسل الدم عن وجهه، وعلي- رضي الله عنه- ينقل
الماء إليها في مِجنَّةٍ، فلما غسلت الدم عن وجه أبيها أحرقت حصيراً، حتى إذا صارت
رماداً أخذت من ذلك الرماد، فوضعته على وجهه حتى رقأ الدم، ثم قال يومئذ: اشتد غضب
الله على قوم كلموا وجه رسول الله – صلى الله عليه وسلم. ثم مكث ساعة، ثم قال:
اللهم! اغفر لقومي؛ فإنهم لا يعلمون
“Aku telah
menyaksikan Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- saat gigi serinya patah, wajahnya terluka, dan
helm perang di kepalanya pecah… sungguh aku juga tahu siapa yg mencuci darah
dari wajahnya, siapa yg mendatangkan air kepadanya, dan apa yg ditempatkan
dilukanya hingga darahnya mampet… Adalah Fatimah putri Muhammad utusan Allah yg
mencuci darah dari wajah, dan Ali -rodliallohu anhu- yg mendatangkan air dalam
perisai… maka ketika Fatimah mencuci darah dari wajah ayahnya, dia membakar
tikar, sehingga ketika telah menjadi abu, ia mengambil abu itu, lalu menaruhnya
di wajah beliau, hingga darahnya mampet… ketika itu beliau mengatakan: “Telah
memuncak kemurkaan Allah atas kaum yg melukai wajah Rosulullah”… lalu beliau
diam sebentar, dan mengatakan: “Ya Allah ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka itu tidak tahu”.
[HR. Ath-Thabarani dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 7/531]
NB: dua point terakhir diringkas dari tulisan
Al-Ustadz Musyaffa, MA hafizhahullah. Wabillahittaufiq
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 27 Rabii’ul
Awwal 1435
Ustadz, berarti perkataan ulama (Al Fudhail bin Iyaadh) mengatakan "istighfar tanpa meninggalkan maksiat adalah taubatnya pendusta".
ReplyDeleteyang dimaksud istighfar oleh beliau adalah istighfar dalam rangka bertaubat ya?
karena kalau istighfar yang tanpa taubat maka meskipun dia tidak meninggalkan maksiat maka dia tidak bisa disebut pendusta. karena memang dia berniat memohon ampun tanpa disertai taubat.
minta penjelasannya ya ustadz..terima kasih
Allahua'lam. Tapi yang jelas istighfar merupakan ibadah yang agung, karena pada asalnya istighfar adalah doa. Istighfar adalah doa kepada Allah dan berharap agar dosa-dosanya diampuni. Yang perlu digaris-bawahi adalah "tidak boleh menganggap remeh suatu dosa, apalagi dosa besar". Ketika kita belum mampu bertaubat, maka perbanyaklah istighfar dan amal shalih, mudah-mudahan dapat menghapus kesalahan-kesalahan kita.
ReplyDeleteAllah ta'ala berfirman:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat" [QS. Hud: 114]
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا
"Beruntunglah orang-orang yang mendapatkan banyak istighfar di catatan amalnya" [HR. Ibnu Majah no. 3816, Al-Bazzar no. 2988, Ath-Thabarani no. 857 dari Abdullah bin Busr radhiyallahu 'anhu]
Dalam hadits lain disebutkan,
اِتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
"Bertakwalah kamu kepada Allah dimana dan kapan saja kamu berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan itu menghapus keburukan itu dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik" [HR At-Tirmidzi, Ahmad, Al-Baihaqi, dari Abu Dzar al-Ghiffari radhiyallahu 'anhu)
At-Tirmidzi menilai hadits tersebut hasan shahih, Al-Hakim menilai "shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim". Penilaian tersebut juga disetujui oleh Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahumullah.
Jazakallah Ustadz atas ilmunya
ReplyDelete