Di zaman kita ini muncul sekelompok manusia yang menyatakan bahwa
menggunakan istilah As-Salafiy atau Al-Atsariy di akhir nama mereka atau
mengaku dengan lisannya, “Aku adalah salafi, kami adalah salafiyyun”
adalah perkara yang terlarang.
Si pelarang itu mengajukan “hujjah” bahwa tidak boleh menggunakan
istilah seperti itu, sebab itu adalah salah satu bentuk tazkiyah
(penyucian diri), atau dikhawatirkan ia tak sesuai pengakuannya, yakni
hanya sekedar pengakuan lisan, namun prakteknya menyalahi lisannya. [1]
Mereka juga menyatakan bahwa menggunakan istilah “salafiy” akan
mengantarkan kepada tafriq (pemecahbelahan) di antara kaum muslimin,
atau ia adalah bentuk tashnif (pengelompokan)[2], dan hizbiyyah!! [3]
Semua ini adalah alasan-alasan yang bisa kita sanggah dengan mudah
–Insya Allah-. Semua ini hanyalah hujjah yang lemah, selemah sarang
laba-laba.
Terkadang mereka (si pelarang) membawakan fatwa sebagian ulama,
seperti fatwa Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan yang menyatakan bahwa
tidak perlu memakai nama As-Salafiy atau Al-Atsariy, karena beliau
khawatir pengakuan itu tidak sesuai dengan perbuatan dan aqidah seorang
muslim. Tapi apakah Syaikh melarang secara mutlak? Tentunya tidak !!
Bagi orang yang memiliki aqidah dan manhaj sesuai dengan salaf, maka tak
apa baginya untuk menamakan diri dengan As-Salafiy atau Al-Atsariy.
Karenanya Syaikh Al-Fauzan sendiri pernah berfatwa saat ditanya, “Apakah
menggunakan nama As-Salafiy dianggap membuat kelompok (hizbiyyah)?”
Syaikh Al-Fauzan -hafizhahullah- menjawab, “Menggunakan nama As-Salafiy
–jika sesuai hakekatnya-, tak mengapa. Adapun jika hanya sekedar
pengakuan, maka tidak boleh baginya menggunakan nama As-Salafiy, sedang
ia bukan di atas manhaj Salaf. Maka orang-orang Al-Asy’ariyyah
-contohnya- berkata, “Kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” Ini tak
benar, karena pemahaman yang mereka pijaki bukanlah manhaj Ahlus Sunnah
wal Jama’ah. Demikian pula orang-orang Mu’tazilah menamai diri mereka
dengan Al-Muwahhidin (orang-orang bertauhid).
كل يدعي وصلا لليلى وليلى لا تقر
لهم بذاكا
لهم بذاكا
"Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila, sedang Laila tidak mengakui hal itu bagi mereka."
Jadi, orang yang mengaku bahwa ia berada di atas madzhab Ahlus Sunnah
wal Jama’ah akan mengikuti jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan
meninggalkan orang-orang yang menyelisihi (madzhab Ahlus Sunnah -pent).
Adapun jika ia mau mengumpulkan antara “biawak dan ikan paus” –menurut
istilah orang-, yakni: mau mengumpulkan hewan daratan dengan hewan laut,
maka ini tak mungkin; atau ia mau mengumpulkan antara api dengan air
dalam suatu daun timbangan. Maka tak akan bersatu ahlus Sunnah wal
Jama’ah dengan madzhabnya orang-orang yang menyelisihi mereka, seperti
Khawarij, Mu’tazilah, dan Hizbiyyun [4] yang disebut orang dengan
“Muslim Masa Kini”, yaitu orang yang mau mengumpulkan
kesesatan-kesesatan orang-orang di zaman ini bersama manhaj salaf. Maka
“Tak akan baik akhir ummat ini kecuali dengan sesuatu yang memperbaiki
awalnya.” Walhasil, harus ada pembedaan dan penyaringan.” [Lihat
Al-Ajwibah Al-Mufidah 'an As'ilah Al-Manahij Al-Jadidah (hal.36-40)
karya Jamal bin Furoihan Al-Haritsiy -hafizhahullah-, cet. Darul Minhaj,
1426 H]
Jadi, menamakan diri dengan As-Salafiy, ini tak apa, jika seorang
berada di atas manhaj dan aqidah salaf. Karenanya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah -rahimahullah- berkata, “Tak ada aibnya orang yang menampakkan
madzhab Salaf dan menisbahkan diri kepadanya, dan mengasalkan diri
kepadanya. Bahkan wajib menerima hal itu darinya menurut kesepakatan
(ulama’), karena madzhab salaf, tidak ada, kecuali benar.” [Lihat Majmu'
Al-Fatawa (4/149)]
Adapun syubhat bahwa memakai istilah salaf adalah tazkiyah yang
tercela, maka untuk membantah dan menyanggah pernyataan ini ada baiknya
kita nukilkan fatwa Syaikh bin Baaz -rahimahullah-.
Namun sebelum kita menukil fatwa beliau, maka perlu kami jelaskan
bahwa menyatakan diri sebagai salafiy atau atsariy, bukanlah penyucian
diri, tapi ia merupakan bentuk tamyiz dan tafriq (pembedaan) jati diri
Ahlus Sunnah dengan ahli bid’ah sebagaimana hal boleh bagi kita
menyatakan bahwa kita adalah muslim dan mukmin, bahkan boleh kita
cantumkan dalam KTP kita. Ini bukan tazkiyah, walapun maknanya muslim
adalah orang yang berserah diri, dan mukmin adalah orang beriman.
Kata
mukmin dan muslim, jika kita salah pahami, maka boleh saja bermakna
tazkiyah. Tapi tentunya tidak demikian, sebab seorang tak boleh men-jazm
(memastikan) dirinya sebagai penduduk surga. Maka analogikan juga
dengan istilah salafiy dan atsariy. Kata salafiy atau atsariy, jika
digunakan sebagaimana kata muslim dan mukmin, bukan untuk men-jazm, maka
boleh. Adapun jika tujuannya untuk men-jazm (memastikan) diri sebagai
penduduk surga dengan kedua kata itu, maka tentunya tercela. Ini yang
perlu kalian pahami agar syubhat itu hilang.
Jadi, istilah salafiy dan atsariy bukanlah tazkiyah. Kalau kita
anggap sebagai tazkiyah, maka ia bukan tazkiyah yang tercela sebagaimana
yang dikatakan oleh Syaikh bin Baaz dalam fatwanya berikut:
Al-Allamah Syaikh Abdul bin Baz -rahimahullah- pernah ditanya,
“Bagaimana pandangan anda tentang orang yang menamakan diri dengan
As-Salafiy atau Al-Atsariy; apakah itu tazkiyah (penyucian diri)?”
Syaikh bin Baz menjawab dalam sebuah ceramah [5] beliau “Haqqul
Muslim”, “Jika ia benar bahwa ia adalah atsariy atau ia salafiy, maka
tak mengapa, seperti para salaf dahulu berkata, “fulan salafiy, fulan
atsariy”. Ini adalah tazkiyah yang harus ada, tazkiyah yang wajib.”
[Lihat Al-Ajwibah Al-Mufidah (38-39), karya Jamal bin Furoihan
Al-Haritsiy, cet. Darul Minhaj, 1426 H; Irsyad Al-Bariyyah ilaa
Syar'iyyah Al-Intisab li As-Salafiyyah wa Dahdusy Syubah Al-Bid'iyyah
(hal.21), karya Abu Abdis Salam Hasan bin Qosim Ar-Roimiy As-Salafiy,
cet. Darul Atsar, 1421 H; Al-Azhar Al-Mantsuroh fi Tabyin anna Ahlal
Hadits Hum Al-Firqoh An-Najiyah wa Ath-Tho'ifah Al-Manshuroh (hal. 27),
karya Fauzi Ibnu Abdillah Al-Atsariy, cet. Maktabah Al-Furqon, UEA, 1422
H]
Fatwa Syaikh bin Baaz -rahimahullah- di atas merobohkan ucapan
Penulis ketika ia berkata, “Sebenarnya menisbatkan diri kepada
julukan-julukan seperti ini (salafi, atsari) bukan termasuk simbol
syariat, bukan mengaku semaunya atau hanya klaim. Itu saja tak cukup.
Akan tetapi, pengakuan itu butuh kepada realisasi dan bukti amal
perbuatan. Merealisasikan sifat-sifatnya yang telah diperintahkan dan
melaksanakan kewajiban-kewajiban merupakan tuntutan penisbatan diri
kepada julukan-julukan tersebut.” [Lihat BSDS (hal.74-75)] [6]
Penamaan As-Salafiy, bukan hanya Syaikh bin Baz saja yang
membolehkannya, bahkan Syaikh Bakr Ibnu Abdillah Abu Zaid sendiri
membolehkannya ketika Syaikh Bakr -rahimahullah- berkata, “Jika
dikatakan, As-Salaf atau As-Salafiyyun atau bagi jalan mereka (disebut)
As-Salafiyyah, maka itu adalah penisbahan diri kepada As-Salaf
Ash-Sholih, yaitu seluruh sahabat -radhiyallahu ‘anhum- lalu orang-orang
yang mengikuti mereka dalam kebaikan, tanpa orang-orang yang diseret
oleh al-ahwa’ [7] ..Orang-orang yang tegar di atas manhaj kenabian, maka
mereka dinisbahkan kepada salaf mereka yang sholih dalam hal itu.
Maka dikatakan bagi mereka, “As-Salaf”, ” As-Salafiyyun”. Sedang
nisbah kepada mereka adalah “salafi”. Berdasarkan hal ini, maka kata
“salaf” maksudnya adalah As-Salaf Ash-Sholih. Kata ini secara mutlak
maksudnya adalah setiap orang yang berjalan dalam meneladani para
sahabat -radhiyallahu ‘anhum- sehingga walau ia berada di zaman kita.
Demikianlah halnya; berdasarkan inilah komentar para ulama’. Maka dia
(kata As-salaf atau As-Salafiy) merupakan penisbahan diri yang tak
memiliki tanda yang keluar konsekuensi Al-Kitab dan As-Sunnah. Dia
adalah penisbahan diri yang tak pernah lepas dalam sekejap apapun dari
generasi pertama (sahabat), bahkan mereka berasal dari mereka, dan
kembali kepada mereka. Adapun orang yang menyelisihi mereka dengan nama
atau simbol, maka ia bukan termasuk darinya, sekalipun ia hidup diantara
mereka, dan sezaman dengan mereka.” [Lihat Hukm Al-Intima' (hal. 46)
karya Syaikh Bakr Abu Zaid]
Tidak cukup sampai disini, bahkan Syaikh Bakr Abu Zaid menganjurkan
kita agar menjadi salafiy [8] ketika beliau berkata dalam Hilyah Tholib
Al-’Ilm (hal.8), “Jadilah salafiy di atas kesungguhan.”
Sekali lagi, menamakan diri dengan As-Salafiy atau Al-Atsariy, ini
tak apa, jika seorang berada di atas manhaj dan aqidah salaf. Karenanya,
penggunaan nama Al-Atsariy atau As-Salafiy di akhir nama, atau dalam
menyifati seseorang sudah menjadi perkara yang masyhur di kalangan
salaf. Kali ini kami akan nukilkan sebagian –bukan semuanya- beberapa
tokoh yang dikenal dengan Al-Atsariy atau As-Salafiy. [9]
- Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah- berkata, “Syu’bah bin Abdullah
bin Ali Abu Bakr Ath-Thusiy Al-Atsariy.” [Lihat Tarikh Al-Islam
(1/3421)]
- Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah- berkata, “Al-Husain bin Abdil
Malik bin Al-Husain bin Muhammad bin Ali Asy-Syaikh Abu Abdillah
Al-Ashbahaniy Al-Khollal Al-Adib An-Nahwiy Al-Bari’ Al-Muhaddits
Al-Atsariy.” [Lihat Tarikh Al-Islam (1/3673)]
- Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata, “Muhammad bin Ahmad bin Kholaf bin
Biisy Abu Abdillah Al-Abdariy Al-Andalusiy Al-Atsariy.” [Lihat Tarikh
Al-Islam (1/3758)]
- Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata ketika menyebutkan orang-orang yang
lahir sekitar tahun 593 H, “…dan Az-Zahid Ahmad bin Ali Al-Atsariy.”
[Lihat Tarikh Al-Islam (1/4234)]
- Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata ketika menyebutkan murid-murid Ibnul
‘Uwais, “…dan Ash-Sholih Abdul Karim bin Manshur Al-Atsariy.” [Lihat
Tarikh Al-Islam (1/4524)]
- Ash-Shofadiy -rahimahullah- berkata, “Muhammad bin Musa bin
Al-Mutsanna Al-Faqih Al-Baghdadiy Al-Atsariy Ad-Dawudiy Azh-Zhohiriy.
Dia adalah seorang ahli fiqih yang cerdas; meninggal tahun 385 H.”
[Lihat Al-Wafi fil Wafayat (1/4524)]
- Ash-Shofadiy -rahimahullah- berkata, “Abdur Rahim bin Muhammad bin
Ahmad bin Faris Asy-Syaikh Ash-Sholih Abu Muhammad Ibnul Zajjaj
Afifuddin Al-Altsiy Al-Baghdadiy Al-Hambaliy Al-Atsariy; lahir 612 H,
dan meninggal tahun 685 H.” [Lihat Al-Wafi fil Wafayat (1/2647)]
Al-’Iroqiy berkata tentang dirinya di awal manzhumah alfiyyah-nya,
يقول راجي ربه المقتدر … عبد
الرحيم بن الحسين الأثري
الرحيم بن الحسين الأثري
“Orang yang berharap kepada Robb-nya Yang Maha Kuasa… Abdur Rahim bin Al-Husain Al-Atsariy.” [10]
Al-Allamah As-Sakhowiy -rahimahullah- berkata saat menjelaskan makna
kata “Al-Atsariy”, “Al-Atsariy (dengan men-fathah hamzah-nya dan
tsa’-nya) merupakan nisbah kepada atsar. Sedang dia (kata atsar) secara
bahasa adalah jejak; menurut istilah (atsar) adalah hadits-hadits yang
marfu’ atau mauquf menurut pendapat yang dijadikan standar.” [Lihat Fath
Al-Mughits (1/7), cet. Darul Kutub Al-'Ilmiyyah, 1403 H]
- Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Abu Isma’il Al-Harowiy
(Penulis Dzammul Kalam), “Dahulu Syaikhul Islam (Al-Harowiy) adalah
seorang atsariy sejati; ia biasa mendapatkan celaan dari para ahli
kalam.” [Lihat Siyar A'lam An-Nubala' (18/506)]
- Al-Imam Adz-Dzahabiy -rahimahullah- berkata tentang Yusuf bin
Muhammad Al-Hauroniy, “Dia adalah syaikh yang mulia, sunniy, atsariy,
sholih, qona’ah, dan menjaga kesucian diri.” [Lihat Mu'jam Al-Mukhtash
bi Al-Muhadditsin (hal.19)]
As-Sam’aniy -rahimahullah- berkata dalam Al-Ansab (1/84), “Al-Atsariy
(dengan men-fathah alif-nya dan tsa’nya, diakhirnya ada ro’), nisbah
ini kepada atsar, yakni hadits, pencarian hadits, dan pengikutnya. Telah
masyhur dengan nisbah seperti ini Abu Bakr Sa’d bin Abdillah Al-Atsariy
Ath-Thusiy.”
- Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Ad-Daruquthniy, “Orang
ini (yaitu, Ad-Daruquthniy) tak pernah masuk ke dalam ilmu kalam dan perdebatan, dan tidak pula terjun ke dalamnya, bahkan ia adalah salafiy.”
[Lihat Siyar A'lam An-Nubala' (16/457)]
- Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Muhammad bin Muhammad
Al-Bahroniy, “Dia adalah seorang yang taat beragama, orangnya baik lagi
salafiy.” [Lihat Mu'jam Asy-Syuyukh (2/280)]
- Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Sholahuddin Abdur
Rahman bin Utsman bin Musa Al-Kurdiy Asy-Syafi’iy, “Dia adalah seorang
salafiy bagus aqidahnya.” [Lihat Tadzkiroh Al-Huffazh (4/1431)]
- Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Abdullah Ibnul
Muzhoffar bin Abi Nashr bin Hibatillah, “Dia adalah seorang yang tsiqoh
(terpercaya), sholeh, lagi salafiy.” [Lihat Tarikh Al-Islam (1/4236)]
- Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Al-Qodhi Abul Hasan
Umar bin Ali Al-Qurosyiy Abil Barokat Ad-Dimasyqiy, “Dia adalah seorang
yang waro’, sholeh, beragama, lagi salafiy.” [Lihat Tarikh Al-Islam
(1/4849)]
- Al-Imam Adz-Dzahabiy berkata tentang Al-Imam Abdur Rahman bin
Al-Khodhir bin Al-Hasan bin Abdan Al-Azdiy, “Dia adalah seorang sunniy,
salafiy, lagi atsariy –semoga Allah merahmatinya-.” [Lihat Tarikh
Al-Islam (1/4861)]
- Al-Imam Ash-Shofadiy berkata tentang Al-Imam Tajuddin At-Tibriziy
Asy-Syafi’iy, “Dia adalah seorang salafiy, lagi tegas menyatakan
kebenaran.” [Lihat Al-Wafi fil Wafayat (1/2603)]
- Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi -rahimahullah- berkata tentang Gurunya,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Beliau senantiasa di atas hal itu (sibuk
dengan ilmu) sebagai generasi penerus yang sholeh lagi salafiy.” [Lihat
Al-'Uqud Ad-Durriyyah (hal.21)]
Inilah beberapa nukilan dan pernyataan ulama-ulama tentang bolehnya
seseorang menamakan diri dengan salafiy atau atsariy, jika pengakuannya
sesuai dengan realita dirinya. Adapun jika tak sesuai, maka kami juga
tahu bahwa itu tak boleh, seperti pengakuan sebagian hizbiyyun pada hari
ini bahwa mereka juga bermanhaj salaf alias salafiy. Walaupun ia
malu-malu dan enggan menyebut dirinya sebagai “salafiy”.
Seorang menamai dirinya sebagai salafiy, ini bukan berarti ia keluar
dari nama yang syar’iy, yaitu Islam. Bahkan nama salafiy adalah Islam
itu sendiri, seperti halnya kata “Ahlus Sunnah wal Jama’ah”,
Ath-Tho’ifah Al-Manshuroh, Al-Firqoh An-Najiyah, Ahlul Atsar
(Al-Atsariyyah), Ahlul Hadits, Sunniy, Salaf (salafiyyah/salafiyyun).
Semua ini adalah nama-nama bagi seorang yang berada di atas Al-Kitab dan
sunnah berdasarkan pemahaman salaf. Sedang orang yang demikian disebut
muslim yang hakiki. Salafiyyun memiliki nama yang banyak, namun
nama-nama itu bermuara dalam satu makna, yaitu Islam hakiki, Islam yang
belum dinodai oleh bid’ah, Islam yang pernah diajarkan oleh Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam-; diyakini, dan diamalkan oleh para
sahabat -radhiyallahu ‘anhum-.
Syaikh Ibrahin bin Amir Ar-Ruhailiy -hafizhahullah- [11] telah
menyebutkan beberapa nama bagi Ahlus sunnah setelah menjelaskan bahwa
Ahlus Sunnah tidak memiliki nama, dan gelar yang masyhur baginya, selain
Islam. Tapi kenapa Ahlus Sunnah memiliki nama-nama, apakah nama-nama
itu keluar dari makna dan kandungan Islam?
Menjawab hal ini, Syaikh Ibrahin bin Amir Ar-Ruhailiy -hafizhahullah-
berkata, “Tatkala telah muncul bid’ah dalam Islam, kelompok-kelompok
sesat berbilang, dan semuanya mengajak kepada bid’ahnya –disamping
mereka menisbahkan kepada Islam pada lahiriahnya-, maka para pengikut
kebenaran, dan pemilik aqidah yang benar, yang Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wa sallam- meninggalkan ummat di atasnya, tanpa dikotori oleh suatu
noda, atau disusupi oleh sesuatu berupa hawa dan bid’ah; ketika itu
mereka (Ahlus Sunnah) haruslah dikenal dengan nama-nama yang membedakan
mereka dari para pelaku bid’ah, dan penyimpangan dalam aqidah ini.
Maka ketika itu muncullah nama-nama mereka yang syar’iy dan bersumber
dari Islam. Maka di antara nama mereka: Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
Al-Firqoh An-Najiyah, Ath-Tho’ifah Al-Manshuroh, dan As-Salaf. Apa yang
masyhur berupa nama-nama ini, ini tidaklah menyelisihi sesuatu yang
telah lewat penetapannya bahwa mereka (Ahlus Sunnah) tidak memiliki nama
dan gelar yang mereka dikenal dengannya, selain Islam, karena nama-nama
ini menunjukkan Islam. Namun tatkala orang yang tidak menerapkan Islam
dengan sebenarnya dari kalangan ahli bid’ah menisbahkan diri kepada
Islam, maka muncullah nama-nama ini untuk membedakan antara orang-orang
yang menerapkan Islam dengan benar –dan mereka adalah Ahlus Sunnah-, dan
antara orang-orang yang menyimpang darinya.
Barang siapa yang yang mau merenungi nama-nama ini (nama-nama Ahlus
Sunnah), maka akan nampak baginya bahwa nama-nama itu seluruhnya
menunjukkan Islam. Sebagian nama-nama itu tsabit (ada) berdasarkan nash
dari Rasul -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan sebagiannya hanyalah
terjadi bagi mereka karena keutamaan mereka menerapkan Islam dengan
benar.” [Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama'ah min Ahli Al-Ahwa' wal
Bida' (1/44-45), cet. Maktabah Al-Ghuroba' Al-Atsariyyah !]
Adapun fatwa yang dinukil oleh Penulis Beda Salaf Dengan Salafi
(hal.14-15) dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahullah-
yang berbunyi, “Apabila di tubuh umat ini banyak muncul apa yang disebut
hizb, maka kamu jangan bergabung dengan kelompok tersebut. Pada zaman
dahulu beberapa kelompok tersebut telah muncul, seperti Khawarij,
Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Rafidhah. Kemudian pada periode akhir-akhir
ini muncul kelompok yang disebut Ikhwaniyyun, Salafiyyun, Tablighiyyun,
dan beberapa kelompok yang serupa. Tanggalkanlah semua kelompok ini di
sisi kirimu dan ikutilah imam, yaitu apa-apa yang disebutkan oleh Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits:
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء
الراشدين
الراشدين
“Berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk.”
Tidak diragukan lagi bahwa tugas wajib seluruh kaum muslimin adalah
menganut madzhab generasi salaf, bukan bergabung kepada hizb tertentu
yang disebut salafiyyun. Umat Islam menganut madzhab Salafus Shalih,
bukan menganut kelompok yang disebut Salafiyyun. Kenapa? Karena disana
ada jalan salaf, dan disana ada hizb yang disebut As-Salafiyyun, yang
harus dianut adalah mengikuti jalan generasi salaf.” [12]
Jika kita mau merenungi dan memikirkan secara mendalam, serta
mendudukkannya pada tempatnya, maka fatwa ini tidak menunjukkan apa yang
diinginkan oleh Penulis BSDS bahwa seorang dilarang menyatakan dirinya
salafiy, jika ditinjau dari beberapa segi berikut:
- Siapa yang dimaksudkan oleh Syaikh Al-Utsaimin dengan Salafiyyun yang harus ditanggalkan?
- Apakah Salafiyyun adalah mereka yang berada di atas jalannya para salaf, ataukah mereka yang memiliki aqidah dan manhaj yang menyelisihi aqidah dan manhaj salaf, tapi mereka menisbahkan diri kepada salaf secara dengan menamakan dirinya dengan “Salafiyyun” secara dusta dan zholim?
Yang dimaksudkan oleh Syaikh tentunya disini adalah orang-orang yang
mengaku sebagai Salafiyyun secara dusta dan zholim dari kalangan
hizbiyyun dan ahli bid’ah. [13] Pada hari ini banyak sekali hizbiyyun
yang mau menipu umat dengan beraninya memakai baju Salafiyyah. Tak segan
mereka melantik dirinya sebagai salafiyyun, padahal aqidah dan
manhajnya menyelisihi manhaj salaf !!
Sebagai contoh, di Kuwait ada perkumpulan yang mengaku sebagai
salafiyyun; mereka menamakan dirinya At-Tajammu’ Al-Islamiy As-Salafiy
(Perkumpulan Islamiy Salafiy). Apa kerja mereka?! Kerja mereka ini
dicatat oleh Majalah Al-Furqon (Edisi 299/10 Jumadil Ula/1425 H= 28 Juni
2004 M). Majalah Al-Furqon memberitakan pekerjaan kelompok yang mengaku
salafiy ini pada rubrik “Al-Furqon Al-Mahalli” (hal. 9), “At-Tajammu’
Al-Islamiy As-Salafiy (Perkumpulan Islamiy Salafiy) membantah apa yang
ditegaskan oleh Seorang anggota dewan (di Kuwait, -pent), Jamal Al-’Umar
karena kritikan-kritikannya kepada Menteri Keadilan, Ahmad Baqir dalam
keadaan mereka (Perkumpulan itu) menegaskan bahwa mereka menguatkan
dukungannya kepada Baqir.
Perkumpulan itu menyatakan dalam liputan berita koran yang
dilangsungkan oleh Kholid Sulthon Al-’Isiy, “Yang menyedihkan kami, apa
yang dinyatakan oleh Jamal Al-’Umar berupa kata-kata yang tak pantas
tentang diri Menteri Ahmad Baqir Al-Abdullah.” [14]
Perhatikan sikap perkumpulan yang mengaku dirinya salafiy, mereka
menasihati pemerintahnya di depan publik, tentu ini salah dan
menyelisihi manhaj salaf dalam menasihati penguasa. [15] Menasihati
penguasa harus dengan secara tersembunyi, halus, ikhlash, dan beradab.
Bukan di depan publik!!
Perkumpulan seperti inilah yang diingkari oleh Syaikh Al-Utsaimin
dalam fatwa di atas !! Bukan salafiyyun yang bersih dari hal seperti
itu. Contoh lain, di sebagian negeri atau tempat ada sebagian hizbiyyun
yang membuat partai dalam memecah belah umat, sedangkan mereka mengaku
sebagai Salafiyyun. Ini tentunya salah !! Inilah yang diingkari oleh
Syaikh Al-Utsaimin dalam fatwa di atas !! Bukan salafiyyun yang jauh
dari penyebab perpecahan (baca: partai).
Demikian pula, di Makassar ada kelompok da’wah yang mulai mengaku
sebagai Salafiyyun pernah mengadakan demonstrasi dalam menuntut
pemerintah setempat. Mereka keluar ke jalan-jalan menuntut sesuatu yang
mereka maukan, tanpa malu dan tanpa memperhatikan aqidah dan manhaj
salaf dalam bermu’amalah dengan penguasa, serta tidak lagi memperhatikan
adab dan akhlak islami.
Apakah mereka ini layak disebut Salafiyyun? Tentunya tidak !! Karena
tak ada seorang yang dikatakan salafiy yang mau melakukan demo, sebab
itu adalah jalan da’wahnya kaum Khawarij dan para pejuang demokrasi yang
jauh dari tuntunan Allah -Ta’ala-. [16] Kelompok seperti inilah yang
diingkari oleh Syaikh Al-Utsaimin dalam fatwa di atas !! Bukan
salafiyyun yang bersih dari hal seperti itu.
Lebih dari itu, ada di antara mereka menceburkan diri ke dalam kancah
politik dengan memberikan dukungan kepada salah satu kandidat dalam
PILGUB sebagai “Tim Sukses”. [17] Kelompok seperti inilah yang diingkari
oleh Syaikh Al-Utsaimin dalam fatwa di atas !! Bukan salafiyyun yang
bersih dari hal seperti itu.
Jadi Syaikh Al-Utsaimin pada dasarnya tidaklah mengingkari
orang-orang yang mengaku sebagai Salafiyyun, jika manhaj dan aqidah
mereka sesuai tuntunan salaf. Adapun jika menyelisihi manhaj dan aqidah
salaf, maka ini adalah salafiy gadungan yang diingkari oleh beliau!!
Anggaplah –tapi ini jauh kemungkinannya- bahwa Syaikh Al-Utsaimin
-rahimahullah- mengingkari secara mutlak semua orang-orang yang menamai
dirinya sebagai Salafiyyun atau menisbahkan diri kepada Salaf, maka kita
tidak begitu saja menerima fatwa beliau, sebab ada ulama’-ulama’ yang
menyelisihi beliau, sedang dalil-dalil mereka lebih jelas dan kuat.
Kemudian mengingkari penggunaan istilah salaf merupakan pengingkaran
atas salaf yang sudah lama memakai dan menggunakan istilah tersebut bagi
para Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy Al-Atsariy -rahimahullah-
berkata saat mengingkari sebagian orang yang melarang penisbahan diri
kepada Salafiy, “Akan tetapi di sana ada orang yang mengaku berilmu
mengingkari penisbahan ini (yaitu, salafiyyah/salafiyyun) dengan
menyangka bahwa hal itu tak ada dasarnya seraya berkata, “Tak boleh
seorang muslim berkata, (“Saya adalah salafiy”)”. Seakan orang ini
berkata, “Tidak boleh seorang muslim berkata, (“Aku adalah orang yang
mengikuti As-Salaf Ash-Sholih dalam perkara yang mereka di atasnya
berupa aqidah, ibadah, dan suluk”).”
Tidak ragu lagi bahwa pengingkaran seperti ini –andaikan
pengingkarnya sadar- maka mengharuskan ia berlepas diri dari Islam yang
benar yang telah dipijaki oleh Salaf kita yang sholih –utamanya Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- — sebagaimana yang telah diisyaratkan
oleh hadits yang mutawatir dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
yang terdapat dalam Ash-Shohihain, dan selainnya dari beliau
-Shollallahu ‘alaihi wasallam-,
خير الناس قرني ثم الذين يلونهم
ثم الذين يلونهم
ثم الذين يلونهم
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang berikutnya, lalu yang berikutnya.” [18]
Tidak boleh seorang muslim berlepas diri dari menisbahkan diri kepada
As-Salaf Ash-Sholih. Andaikan ia berlepas diri dari penisbahan lain,
maka tak mungkin bagi seorang ulama’ menisbahkannya kepada kepada
kekafiran atau kefasiqan… Adapun orang yang dinisbahkan kepada As-Salaf
Ash-Sholih, maka sungguh ia telah menisbahkan diri kepada kepada sesuatu
yang ma’shum –secara umum-.
Sungguh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyebutkan
tanda-tanda bagi Al-Firqoh An-Najiyah (golongan/kelompok yang selamat)
bahwa kelompok ini berpegang teguh dengan sesuatu yang dipijaki oleh
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya.
Barang siapa yang berpegang teguh dengan hal itu, maka ia –dengan
yakin- berada di atas petunjuk dari Robb-nya… Tak ragu lagi bahwa
penamaan yang jelas, gamblang, membedakan lagi terang kalau kita
katakan, “Aku adalah seorang muslim berdasarkan Al-Kitab dan Sunnah,
serta manhaj As-Salaf Ash-Sholih”; yaitu Anda katakan dengan ringkas,
(“Aku adalah salafiy”)”.
[Lihat Majalah Al-Asholah (edisi ke-9/15
Sya'ban 1416 H), dan Irsyad Al-Bariyyah (hal.20-21) karya Syaikh Hasan
bin Qosim Ar-Roimiy As-Salafiy]
Tapi yang menguatkan bahwa Syaikh Al-Utsaimin memaksudkan dengan
Salafiyyun di sini adalah hizbiyyun, dan ahli bid’ah yang mengaku-aku
sebagai salafiy.
Apa yang menguatkannya? Jawab: Ucapan beliau di dalam fatwa di atas
yang berbunyi, “Tidak diragukan lagi bahwa tugas wajib seluruh kaum
muslimin adalah menganut madzhab generasi salaf, bukan bergabung kepada
hizb tertentu yang disebut Salafiyyun. Umat Islam menganut madzhab
Salafus Shalih, bukan menganut kelompok yang disebut Salafiyyun. Kenapa?
Karena di sana ada jalan salaf, dan di sana ada hizb yang disebut
As-Salafiyyun, yang harus dianut adalah mengikuti jalan generasi salaf.”
[Lihat BSDS (hal.15)]
Tidak mungkin beliau -rahimahullah- melarang kita menisbahkan diri
kepada salaf dengan menyebut diri dengan Salafiyyun, sebab beliau adalah
orang yang paling paham bahwa Salafiyyun artinya: orang-orang yang
menisbahkan diri dalam hal aqidah, ibadah dan suluk kepada generasi
salaf; orang-orang yang mau mengikuti Islam yang shohih dan kaffah
sebagaimana yang pernah diamalkan dan diyakini oleh generasi salaf.
Namun yang beliau larang untuk diikuti adalah para hizbiyyun alias
salafiyyun gadungan yang mengaku dan berkedok serta berlindung dengan
baju Salafiyyah atau Salafiyyun secara dusta dan zholim !! Fa’tabiruu ya
ulil albab.
Jadi, pengakuan seseorang sebagai salafiy bukanlah merupakan bentuk
tahazzub (pengelompokan diri) yang tercela alias hizbiyyah. Tapi ia
adalah wujud Islam murni yang dahulu diyakini dan diamalkan oleh Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para salaf sebagaimana akan datang
penjelasannya
============
Footnote
=============
Footnote
=============
[1] Kalau prakteknya sesuai pengakuan lisannya –sebagaimana pada salafiyyun-, maka tentunya boleh. Sebaliknya, ya pikir sendiri.
[2] Padahal Wahdah Islamiyah sendiri telah telah melakukan tashnif
(pengelompokan dan penggolongan) terhadap salafiyyun. Karenanya, mereka
membagi salafiyyun secara batil menjadi dua: Salafi Yamani, dan Salafi
Haraki !!
[3] Di antara orang yang menganggap tidak bolehnya menggunakan
istilah salafiy atau atsariy adalah seorang yang melantik dan
men-tazkiyah dirinya sebagai “Pengamat Dakwah”, ia dilahirkan dengan
Muhammad Ihsan Zainuddin, dan Penulis majhul risalah “Silsilah Pembelaan
Ulama dan Du’at”. Demikian pula jama’ah yang ia bela, yakni Wahdah
Islamiyah juga berpandangan sama. [Lihat Gerakan Salafi Modern di
Indonesia, oleh Muhammad Ihsan Zainuddin. Tulisan ini dimuat di website
resmi WI]
[4] Benar sekali apa yang dinyatakan oleh beliau!! Tak mungkin Ahlus
Sunnah (baca: Salafiyyun) akan bergabung dengan Khawarij, yaitu
orang-orang yang senang memberontak kepada pemerintahnya, baik berupa
demo, celaan terhadap pemerintah, perlawanan bersenjata di hadapan
penguasa. Tak mungkin Salafiyyun akan bersatu dengan Tablighi yang
gandrung sufiyyah, atau HTI, YWI, At-Turots dan IM yang senang mencela
pemerintah, dan mendemo mereka.
[5] Direkam dalam sebuah kaset ketika beliau menyampaikan ceramah di Tho’if, tertanggal 16/1/1413 H.
[6] Alhamdulillah, Salafiyyun telah mengamalkan semua yang diajarkan
oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sesuai dengan kemampuan
mereka. Salafiyyun tak perlu diajari bahwa jika mengaku salafi, ya harus
beramal. Memang harus beramal sesuai tuntutan manhaj dan aqidah salaf.
Siapa yang tak beramal, kalian wahai hizbiyyun, atau kah salafiyyun yang
difitnah?? Nampaknya Penulis buta karena sikap salafiyyun yang selalu
mengingkari dan menasihati ummat dari bahaya penyimpangan para ahli
bid’ah khususnya, Sayyid Quthb, Hasan Al-Banna, dan Salman, Cs. Apakah
mengingkari kemungkaran dianggap dosa, dan kejahatan salafiyyun??!
Sebagaimana yang dikatakan oleh Penulis dalam BSDS (hal.75).
[7] Faedah : Jika dikatakan al-ahwa’, maka yang dimaksud adalah bid’ah. Karenanya, ahli bid’ah biasa disebut ahlul ahwa’.
[8] Wahai Penulis dan orang-orang yang tertipu dengannya, ketika
Syaikh Bakr menganjurkan kita jadi salafi, berarti di sana ada kelompok
lain yang bukan salafi. Nah, apakah Syaikh Bakr dalam kondisi seperti
ini tidak dikatakan men-tashnif !! Fa’tabiru ya ulil abshor.
[9] Ketika ulama-ulama itu menggunakan istilah As-Salafiy atau
Al-Atsariy, maka tak ada di antara mereka yang menyalahkannya. Bahkan
istilah itu terus digunakan sampai zaman Al-Imam Adz-Dzahabi dan
seterusnya. Tapi anehnya, muncul sekelompok manusia yang mengusung
pemikiran ganjil mengingkari pemakaian istilah itu, walaupun digunakan
dengan benar.
[10] Lihat Fathul Mughits (1/6).
[11] Lihat Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah (1/39), cet. Maktabah Al-Ghuroba’ Al-Atsariyyah !
[12] Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah (hadits ke-28).
[13] Semisal Al-Ikhwanul Muslimin, dan semodelnya, serta sebagian ahli bid’ah lainnya.
[14] Ucapan At-Tajammu’ Al-Islamiy As-Salafiy (Perkumpulan Islamiy
Salafiy) ini dimuat oleh Majalah Al-Furqon dalam rubrik Al-Furqon
Al-Mahalli !! Ini menunjukkan penyimpangan manhaj Ihya’ At-Turots
Al-Islamiy, sebab dalam rubrik itu mereka gunakan untuk menasihati
pemerintah, menyebutkan aibnya, menjelekkan pemerintah Kuwait, tempat
terbitnya Majalah Al-Furqon. Apakah ini manhaj salaf ?! Bukankah ini
adalah manhaj Khawarij !! Selain itu, kami pernah membaca kurang lebih
10 atau 11 Majalah Al-Furqon terbitan Ihya’ At-Turots Kuwait, maka kami
tak dapati dari majalah-majalah itu selain celaan, dan “nasihat” kepada
pemerintah Kuwait di depan dalam rubrik Al-Furqon Al-Mahalli. Inikah
jalan salaf?!
[15] Adapun yang dituduhkan oleh WI bahwa salafiyyun pernah
demonstrasi di Senayan, ketika masa Laskar Jihad, maka ini kami jawab:
- Tidak semua salafiyyun ketika itu ikut, bahkan ada yang mengingkarinya, sebab mereka tahu bahwa itu adalah kemungkaran yang menyalahi manhaj salaf. Alhamdulillah, Penulis di antara yang tak setuju dan tak hadir sebagaimana halnya ustadz-ustadz lain, seperti Al-Ustadz Ibnu Yunus, Al-Ustadz Mustamin, dan lainnya.
- Para ustadz yang sempat terjatuh dalam kesalahan itu telah rujuk dan
bertobat. Sedang ini adalah jalannya para salafiyyun, saat ia salah dan
sadar, mereka segera rujuk.
- Rujuknya para salafiyyun telah dipublikasikan lewat internet, buku terjemahan, dan majelis-majelis mereka. Walillahilhamdu.
- Demikian pula semua penyelisihan dalam peristiwa Ambon mereka telah rujuk darinya.
[16] Tentang hukum demonstrasi, Anda bisa lihat pada pembahasan
sebelum ketika kami membantah ceramah Al-Ustadz Jahada Mangka, Lc., dan
tulisan Al-Ustadz Abul Miqdad Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc. Yang pernah
dimuat di majalah Islamy dengan judul “Fenomena Tashnif Di Tengah Para
Pejuang Da’wah”.
[17] Seperti yang dilakukan oleh sebagian tokoh dan pemuka Wahdah
Islamiyah saat terjadinya PILGUB di Sulsel. Terlibatnya mereka sebagai
Tim Sukses dalam acara pesta demokrasi telah mengambil andil dalam
memecah belah umat, bahkan itu merupakan bentuk ketidaktaatan kepada
pemerintah yang menjabat saat itu. Padahal andai kita boleh masuk dalam
pemilu, maka sebenarnya kita harus memilih dan mempertahankan pemerintah
yang berkuasa, dalam hal itu GUBERNUR yang menjabat, sebagai bentuk
ketaatan kita kepada pemerintah muslim.
لكن اجعل لعل عند الثريا
[18] HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (2509, 3451, & 6065), Muslim dalam Shohih-nya (2533).
Assalamu'alaikum. Adakah ulama ahlussunnah yang yang mengatakan bahwa dirinya adalah salafi? Seperti ucapan "ana adalah salafy" dan semacamnya. Karena yang saya baca dari artikel di atas hanyalah penilaian seorang ulama kepada ulama lainnya saja, bukan menilai dirinya sendiri. Yang saya tahu masalah ini (yakni menilai dirinya sendiri) yang sering diperbincangkan. Ujang
ReplyDeleteWa'alaikumussalama warahmatullah..
ReplyDeletePertanyaan antum saya balik ya.
1. Adakah seorang ulama ahlussunnah yang menyatakan bahwa dirinya adalah seorang ulama? Maksud saya ngaku-ngaku ulama, meskipun dia memang layak disebut sebagai ulama.
2. Kita telah sepakat bahwa madzhab ahlussunnah (sunni) merupakan madzhab yang benar tanpa ada keraguan. Belehkah seorang muslim menyatakan bahwa "saya adalah seorang sunni"?
3. Jika kita ditanya oleh non muslim, apa agama Anda? Bukankah kita dengan bangga menjawab "saya adalah seorang muslim". Meskipun kenyataannya akhlak pribadi kita jauh dari nilai-nilai Islam.
Barakallahu fikum
Assalamualaikum saya pernah mendengar perkataan syekh utsaimin bahwa syekh menyebut salafy dengan talafiyyin apakah yang dimaksud oleh syeikh mohon penjelasannya
ReplyDeleteDan bagaimana saya bisa memahami perkataan syeikh utsaimin tadi? Jazakaallah krairan atas jawabannya
ReplyDeleteWa'alaikumussalam warahmatullah, apa yang saya ketahui, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa orang yang menyebut salafy sebagai talafy (perusak), justru ia sendirilah yang merupakan talafy, Allahua'lam
ReplyDelete