Tanya:
"Katanya mati bunuh diri itu mati sebelum waktunya dan bukan karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu apakah berarti yang mencabut nyawa bukan
malaikat Izrail?"
Jawab:
Ustadz As-Sarbini Al-Makassari hafidzahullah menjawab,
"Anggapan bahwa orang yang mati bunuh diri mati sebelum waktunya dan
bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah aqidah yang batil. Ini
adalah aqidah kaum Mu’tazilah yang sesat, yang mengingkari takdir Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa orang yang
mati terbunuh atau bunuh diri, adalah mati sebelum ajal yang diketahui,
dikehendaki dan ditetapkan dalam Kitab Lauhul Mahfuzh oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Artinya mati di luar takdir Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Kalau seandainya dia tidak terbunuh atau bunuh diri, dia akan
hidup hingga ajal yang ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi
menurut mereka, orang yang mati terbunuh punya dua ajal.
Yang benar menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang sesuai dengan
dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ salaf, bahwa orang yang
mati terbunuh atau bunuh diri adalah mati sesuai ajal yang ditakdirkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Orang yang mati
terbunuh sama halnya dengan orang mati lainnya. Tidak ada seorang pun
yang kematiannya mundur dari ajalnya. Sebab ajal setiap sesuatu adalah
batas akhir umurnya, dan umurnya adalah jangka waktu kehidupannya (di
dunia). Jadi umur adalah jangka waktu kehidupan (di dunia) dan ajal
adalah berakhirnya batas umur/kehidupannya.”
Syaikhul Islam juga berkata:
“Allah Maha Mengetahui segala sesuatu
sebelum terjadinya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menulisnya. Jadi
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengetahui bahwa orang ini akan mati
dengan sebab penyakit perut, radang selaput dada, tertimpa reruntuhan,
tenggelam dalam air, atau sebab-sebab lainnya. Demikian pula, Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah mengetahui bahwa orang ini akan mati terbunuh,
apakah dengan pedang, batu, atau dengan sebab lain yang menjadikan
terbunuhnya seseorang.”
Jadi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menakdirkan kematiannya dengan sebab itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tidaklah suatu jiwa akan meninggal kecuali dengan seizin Allah
(takdir Allah), Allah telah menulis ajal kematian setiap.” [Ali ‘Imran:
145]
As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan berkata:
“Kemudian
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa seluruh jiwa tergantung
ajalnya dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, takdir dan ketetapan-Nya.
Siapa saja yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan kematian atasnya
dengan takdir-Nya, niscaya dia akan mati meskipun tanpa sebab.
Sebaliknya, siapa saja yang dikehendaki-Nya tetap hidup, maka meskipun
seluruh sebab yang ada telah mengenainya, hal itu tidak akan
memudharatkannya sebelum ajalnya tiba. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menetapkan, menakdirkan dan menulis hidupnya hingga ajal yang
ditentukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka jika ajal mereka telah datang, mereka tidak mampu
mengundurkannya sesaat pun dan mereka tidak mampu memajukannya (sesaat
pun).” [Al-A’raf: 34]
Sebaliknya, kaum yang menafikan dan menolak adanya sebab musabab
dalam terjadinya sestatu yang ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengatakan bahwa seandainya dia tidak terbunuh, maka dia tetap akan
mati saat itu.
Maka hal ini juga batil, dan dibantan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah
dengan mengatakan: “Kalau seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengetahui bahwa orang tersebut tidak akan mati terbunuh, maka ada
kemungkinan Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan kematiannya pada saat
itu dan ada kemungkinan Allah Subhanahu wa Ta’ala menakdirkan tetap
hidupnya dia hingga waktu yang akan datang.
Maka penetapan salah satu
dari dua kemungkinan tersebut atas takdir yang belum terjadi adalah
kejahilan. Hal ini seperti perkataan seseorang: ‘Kalau orang ini tidak
makan rezeki yang ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya, maka
mungkin saja dia akan mati atau dia diberi rezeki yang lain’.”
[Majmu’
Al-Fatawa, 8/303-304 cet. Darul Wafa’, Syarhu Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah
karya Ibnu Abil ‘Izz hal. 143, cet. Al-Maktab Al-Islami, Taisir
Al-Karim Ar-Rahman]
Yang mencabut nyawa orang yang mati bunuh diri juga malaikat pencabut
nyawa, yaitu Malakul Maut. Adapun penamaan malaikat Izrail, maka
penamaan ini tidak tsabit (shahih) dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh
karena itu, penamaan ini diingkari oleh para ulama.
Al-Imam Al-Muhaddits Al-Albani dalam Syarhu wa Ta’liq Al-Aqidah
Ath-Thahawiyyah (hal. 84, cet. Maktabah Al-Ma’arif) ketika menjelaskan
perkataan Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah:
“Kita juga
beriman dengan Malakul Maut yang diperwakilkan untuk mencabut ruh-ruh
alam.” Al-Albani berkata dalam syarahnya: “Inilah namanya dalam
Al-Qur’an. Adapun penamaan Izrail sebagaimana yang tersebar di kalangan
manusia, tidak ada dalil (dasar)nya. Hanyalah sesungguhnya hal itu
berasal dari cerita Al-Isra’iliyat (cerita Bani Isra’il).”
Al-Imam Al-Faqih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarhu
Al-Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 46, cet. Daruts Tsurayyah lin Nasyr):
“Demikian pula kita mengetahui bahwa di antara para malaikat ada yang
diperwakilkan untuk mencabut ruh-ruh Bani Adam atau ruh-ruh setiap
makhluk yang bernyawa. Mereka adalah Malakul Maut dan rekan-rekan
malaikat yang membantunya. Malakul Maut tidak bernama Izrail, karena
penamaan tersebut tidak tsabit (tetap) dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam.”
Wallahu a’lam."
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 59/V/1431 H/2010, hal. 71, 72 dan 76 via fadhlihsan.wordpress.com
No comments:
Post a Comment