Friday, April 12, 2013

Hukum Memakai Celana Pantalon (Celana Panjang Ketat)

Tanya:

"Apakah ketika sholat harus mengeluarkan bajunya atau melapisinya dengan kain sarung? Karena sebagian teman ngaji sangat keras dalam hal ini sampai mencibir mereka yang shalat dengan pakaian kerja tapi tidak melapisinya dengan sarung dengan berkata "yang penting shalat tapi tidak mempedulikan sunnah"!!!

Mohon dibahas Ustadz. Semoga Alah memberkahi Ustadz”

Jawab:

Berikut beberapa fatwa ulama yang saya nukilkan dari sebagian tulisan asatidzah hafidzahumullah,

Fatwa Syaikh Al-Albani

Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Pada celana pantalon terdapat dua musibah:

[Musibah pertama] Orang yang memakai celana ini telah menyerupai orang kafir, karena kaum muslimin dulunya memakai sirwal yang lapang dan longgar. Celana sirwal ini masih terus dipakai di Suriah dan Lebanon. Kaum muslimin tidak mengenal celana pantalon kecuali setelah mereka dijajah oleh orang-orang kafir. Kemudian ketika para penjajah ini telah pergi, mereka meninggalkan pengaruhnya yang buruk dan kemudian diikuti oleh kaum muslimin karena kebodohan mereka.

[Musibah kedua] Celana pantalon ini bila dikenakan akan membentuk aurat, sementara aurat laki-laki antara lutut dan pusar. Orang yang sedang shalat wajib baginya menjauhi perbuatan maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, karena ia hendak bersujud kepada-Nya. Lalu bagaimana kiranya bila ia sujud dalam keadaan kedua belah pantatnya membentuk di balik celana pantalonnya, bahkan engkau melihat kemaluannya juga membentuk!! Bagaimana orang yang seperti ini shalat dan berdiri di hadapan Rabbul ‘Alamin?

Yang aneh, kebanyakan pemuda muslim mengingkari pakaian ketat yang dikenakan wanita karena memperlihatkan bentuk tubuh mereka, namun ia melupakan dirinya sendiri. Justru ia terjatuh dalam perbuatan yang ia ingkari. Tidak ada perbedaan antara wanita yang memakai pakaian ketat hingga menampakkan lekuk tubuhnya dengan pria yang mengenakan celana pantalon yang juga membentuk pantatnya. Pantat laki-laki dan perempuan sama-sama aurat.” [Al-Qaulul Mubin fi Aktha’il Mushallin, hal. 22-23]

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:

“Adapun bila pantalon itu lebar, tidak ketat dan tidak tipis sehingga orang yang di belakangnya tidak dapat melihat lekuk tubuhnya, maka shalatnya sah. Dan yang lebih utama bila di luar celana pantalon itu dilapisi gamis/jubah (baju panjang) yang menutupi antara pusar sampai lutut dan panjangnya sampai setengah betis atau sampai di atas mata kaki. Karena yang demikian itu lebih sempurna dalam menutup aurat.

Namun apabila celana tersebut tipis sehingga orang yang di belakangnya dapat melihat warna kulitnya (transparan -ed-), maka shalatnya tidak sah. Apabila hanya membentuk kemaluannya saja, maka shalatnya makruh, kecuali bila ia tidak mendapatkan pakaian yang lainnya. [Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/414 dan jawaban Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta’ no. 2003]

Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin

Tanya:

“Syaikh yang mulia, mayoritas manusia memakai celana pentalon terutama di pasar-pasar. Apakah wanita boleh memakainya di rumah, di depan suaminya, di depan wanita yang lain dan di pasar? Ketika wanita memakai celana pantalon, apakah merupakan bentuk penyerupaan (tasyabbuh) terhadap laki-laki? Semoga Allah memberi taufiq kepada anda.

Jawab:

”Demi Allah permasalahan ini menjadi rumit, saya berpendapat agar perempuan dilarang mengenakan celana pentalon meskipun di depan suaminya, karena padanya terdapat tasyabbuh dan bahaya yang patut dikhawatirkan dikemudian hari. Bisa jadi suatu hari perempuan akan mengenakan pentalon yang ketat, kemudian dari pentalon ketat berlanjut memakai pentalon yang berwarna kulit, apabila celana itu sudah ketat disertai dengan warna kulit, jadilah ia bagaikan wanita yang telanjang. [Liqa' Al-Babul Maftuuh]

Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan

Tanya:

“Dewasa ini telah tersebar di kalangan para wanita sebuah mede pakaian yang berasal dari negeri barat, yaitu memakai celana pentalon yang sempit. Mode pakaian ini telah mendapat sambutan baik dari mereka, apakah hukumnya?”

Jawab:

“Tidak boleh bagi seorang wanita memakai pakaian yang menyerupai laki-laki atau wanita-wanita kafir. Demikian pula tidak diperbolehkan baginya memakai pakaian sempit yang menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya karena hal tersebut dapat menimbulkan fitnah. Pada celana pentalon terdapat semua larangan ini, maka ia tidak boleh memakainya. [Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan, 61/2-3].

Pembahasan dari Al-Akh Yulian Purnama

Tanya:

“Apa hukumnya shalat memakai celana panjang tanpa memakai jubah/gamis/sarung? Apakah shalatnya tetap sah? Adakah batasan hukum celana yang sehari-hari kita pakai selain membuang isbal? Jazakumullahu khairan katsira.

Abu Dzar
Alamat: Tangerang
Email: ibnustaxxxx@gmail.com

Al-Akh Yulian Purnama hafidzahullah menjawab:

”Pada asalnya hukum memakai pakaian apapun dibolehkan dalam Islam, kecuali pakaian-pakaian tertentu yang termasuk dalam dalil-dalil yang menunjukkan pelarangan. Selain itu Islam tidak menetapkan model pakaian tertentu untuk shalat. Selama pakaian tersebut memenuhi syarat maka boleh dipakai untuk shalat, apapun modelnya.

Dengan demikian, yang perlu kita pegang adalah bahwa hukum asal memakai celana panjang adalah mubah. Namun para ulama memang membahas keabsahan shalat orang yang saat shalat dengan memakai celana panjang pada 2 keadaan berikut:

1. Celana panjang yang dipakai masih menampakkan warna kulit dan menampakkan bentuk tubuh (ketat)

Pada kondisi ini para ulama ijma (bersepakat) bahwa hukumnya haram dan shalatnya tidak sah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An Nawawi, ulama besar mahdzab Syafi’i, beliau berkata:

لو ستر بعض عورته بشيء من زجاج بحيث ترى البشرة منه لم تصح صلاته بلا خلاف

“Jika sebagian aurat sudah tertutupi dengan sesuatu yang berbahan kaca, sehingga masih terlihat warna kulitnya, maka tidak sah shalatnya tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama” [Al-Majmu’, 3/173]

Bahkan jika warna kulit hanya terlihat dengan samar, tetap tidak sah shalatnya. Dijelaskan oleh Ibnu Qudamah, ulama besar mahdzab Hambali, beliau berkata:

والواجب الستر بما يستر لون البشرة فإن كان خفيفا يبين لون الجلد من ورائه فيعلم بياضه أو حمرته لم تجز الصلاة فيه لأن الستر لا يحصل بذلك

“Menutup aurat sampai warna kulit tertutupi secara sempurna, hukumnya wajib. Jika warna kulit masih tampak oleh orang dibelakangnya namun samar, yaitu masih bisa diketahui warna kulitnya putih atau merah, maka tidak sah shalatnya. Karena pada kondisi demikian belum dikatakan telah menutupi aurat” [Al-Mughni, 1/651)]

2. Celana panjang yang dipakai telah menutupi warna kulit secara sempurna namun masih menampakkan bentuk tubuh (ketat)

Pada kondisi ini terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama. Sebagian ulama mengatakan shalatnya tidak sah. Diantaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama besar mahdzab Syafi’i, beliau berkata:

عن أشهب، فيمن اقتصر على الصلاة في السراويل مع القدرة: يعيد في الوقت، إلا إن كان صفيقاً

“Aku mendengar ini dari Asyhab, bahwa orang yang mencukupkan diri shalat dengan memakai celana panjang padahal ia sanggup memakai pakaian yang tidak ketat, ia wajib mengulang shalatnya pada saat itu juga, kecuali jika ia tidak tahu malu” [Fathul Bari, 1/476]

Tidak sahnya shalat orang yang memakai pakaian ketat juga merupakan pendapat Syaikh Ibnu Baz, mantan ketua Komite Fatwa Saudi Arabia, ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab:

“Jika celana pantalon ini menutupi aurat dari pusar sampai seluruh paha laki-laki, longgar dan tidak ketat, maka sah shalatnya. Namun lebih baik lagi jika di atasnya dipakai gamis yang dapat menutupi hingga seluruh pahanya, atau lebih baik lagi sampai setengah betis, karena yang demikian lebih sempurna dalam menutupi aurat. Shalat memakai sarung lebih baik daripada memakai celana panjang jika tidak ditambah gamis. Karena sarung lebih sempurna dalam menutupi aurat” [Majmu’ Fatawa Ibnu Baz , 1/68-69]

Dalam penjelasan Syaikh Ibnu Baz ini juga ditegaskan bolehnya shalat dengan memakai celana panjang tanpa ditambah gamis atau sarung, asalkan tidak ketat.

Namun sebagian ulama berpendapat shalatnya tetap sah jika ia telah menutupi warna kulit dengan sempurna walaupun bentuk tubuh masih terlihat (ketat). Sebagaimana pendapat Imam An Nawawi, bahkan beliau membantah ulama yang berpendapat shalatnya tidak sah:

فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة كالركبة والألية ونحوهما صحت الصلاة فيه لوجود الستر ، وحكى الدارمي وصاحب البيان وجها أنه لا يصح إذا وصف الحجم ، وهو غلط ظاهر

“Jika warna kulit telah tertutupi secara sempurna dan bentuk tubuh semisal paha dan daging betis atau semacamnya masih nampak, shalatnya sah karena aurat telah tertutupi. Memang Ad Darimi dan penulis kitab Al Bayan menyampaikan argumen yang menyatakan tidak sahnya shalat memakai pakaian yang masih menampakkan bentuk tubuh. Namun pendapat ini jelas-jelas sebuah kesalahan” [Al-Majmu’, 3/173]

Demikian juga pendapat Ibnu Qudamah, beliau menyatakan sahnya shalat memakai pakaian yang ketat namun beliau tidak menyukai orang yang melakukan hal tersebut:

وأن كان يستر لونها ويصف الخلقة جازت الصلاة لأن هذا لا يمكن التحرز منه وإن كان الساتر صفيقا

“Jika warna kulit sudah tertutupi dan bentuk tubuh masih nampak, shalatnya sah. Karena hal tersebut tidak mungkin dihindari (secara sempurna). Namun orang yang shalat memakai pakaian ketat adalah orang yang tidak tahu malu” [Al-Mughni, 1/651]

Sebagian ulama juga berpendapat shalatnya sah namun pelakunya berdosa dikarenakan memakai baju ketat. Sebagaimana pendapat Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, ulama besar di Saudi Arabia saat ini, beliau berkata:

“Baju ketat yang masih menampakkan bentuk tubuh wanita, baju yang tipis dan terpotong pada beberapa bagian, tidak boleh memakainya. Baju ketat tidak boleh digunakan oleh laki-laki maupun wanita, terutama bagi wanita, karena fitnah wanita lebih dahsyat. Adapun keabsahan shalatnya tergantung bagaimana pakaiannya. Jika pakaian ketat ini dipakai seseorang untuk shalat, dan telah cukup untuk menutupi auratnya, maka shalatnya sah karena aurat telah tertutup.

Namun ia berdosa karena memakai pakaian ketat. Sebab pertama, karena dengan pakaian ketatnya, ia telah meninggalkan hal yang disyariatkan dalam shalat, ini terlarang. Sebab kedua, memakai baju ketat dapat mengundang fitnah karena membuat orang lain memalingkan pandangan kepadanya, apalagi wanita.” [Muntaqa Fatawa Shalih Fauzan, 3/308-309]

Dari beberapa penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa letak perbedaan pendapat di antara para ulama adalah dalam memutuskan apakah memakai pakaian ketat dalam shalat itu sudah termasuk menutup aurat atau tidak. Dengan demikian ini adalah perkara khilafiyyah ijtihadiyyah, yang masing-masing pendapat dari ulama tersebut harus dihormati.

Namun yang paling baik adalah menghindari hal yang diperselisihkan dan mengamalkan hal yang sudah jelas bolehnya. Sehingga memakai pakaian yang longgar dan lebar hingga tidak menampakkan warna kulit dan tidak menampakkan bentuk tubuh adalah lebih utama.

Kemudian perlu digarisbawahi, seluruh penjelasan di atas berlaku bagi setiap orang yang memiliki kemampuan dalam pakaian, ia berkecukupan dalam berpakaian dan mampu mengusahakan untuk memiliki pakaian yang longgar dan tidak ketat. Adapun orang yang tidak berkemampuan untuk berpakaian yang longgar, misalnya orang miskin yang hanya memiliki sebuah pakaian saja, atau orang yang berada dalam kondisi darurat sehingga tidak mendapatkan pakaian yang longgar, maka shalatnya sah dan ia tidak berdosa. Berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdillah yang menceritakan dirinya ketika hanya memiliki sehelai kain untuk shalat, maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعاً فَالْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقاً فَأتَّزِرْ بِهِ

“Jika kainnya lebar maka gunakanlah seperti selimut, jika kainnya sempit maka gunakanlah sebagai sarung” [HR. Al-Bukhari no.361]

Allah ta’ala juga berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertakwalah kalian semampu kalian” [At-Taghabun: 16]

Demikian penjelasan kami. Wallahu’alam.”


Dinukil oleh Abul-Harits dari tulisan Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim, Al-Akh Yulian Purnama dan Al-Akh Shidiq hafidzahumullah dengan sedikit perubahan

3 comments:

  1. saya mau bertanya, aurat laki laki itu kan diantara lutut dan pusar, jadi jika pakaian yang ketat pada bagian dada dan lengan. atau bahkan tellanjang dada, bukankan masih sah solat? mohon jawabannya, terimakasih

    ReplyDelete
  2. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

    لا يصلي أحدكم في الثوب الواحد على عاتقه شيئ
    “Janganlah salah seorang dari kamu shalat dengan memakai sehelai kain tanpa ada sesuatu yang menutupi kedua pundaknya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

    Kandungan Bab:

    1. Barangsaiapa shalat dengan mengenakan sehelai kain, maka menurut sunah hendaklah ia meletakkan salah satu dari ujung kainnya di atas pundak. Agar terpenuhi syarat menutup salah satu dari bagian atas tubuhnya. Hal itu bila kain tersebut luas. Jika ternyata sempit, maka sunnahnya adalah menjadikannya sarung dan mengikatkannya pada pinggang (di atas pusar) seperti yang telah dijelaskan dalam bab larangan isytimaal shamma’ dalam shalat.

    2. Larangan yang disebutkan dalam hadits hukumnya haram.

    3. Tidak diharuskan menutup kdua pundak dalam shalat, namun cukup menutup salah satu dari keduanya dengan kain

    4. Tidak sedikit jama’ah haji dan umrah yang jatuh dalam rangan ini.

    Mereka mengerjakan shalat dengan mengenakan kain ihram sementara kedua pundak mereka terbuka. Syari’at idhthiba’ (yaitu, meletakkan bagian tengah kain ihram di bawah pundak kanan dan menyelempangkan kedua ujung kain ihram pada pundak kiri) hanyalah pada thawaf putaran pertama saat mengerjakan haji . adapun shalat, keharusannya adalah menutup aurat.

    5. Shalat dengan mengenakan kaos yang bertali tipis diatas pundak (kaos singlet) dan biasanya tidak menutup sebagian besar pundak tidaklah mengeluarkannya dari larangan tersebut. karena perintah meletakkan sesuatu di atas pundak tujuannya adalah untuk menutupinya. Tidak bisa hanya dengan meletakkan wali atau benang. Dan juga tidak bisa dsebut telah menutupinya, wallahu a’lam.

    Sumber: Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Syekh Salim bin ‘Ied Al-Hilali,Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jilid I, Hal: 551

    ReplyDelete
  3. Assalamualaikum..
    saya mau bertanya, apakah wanita yang memakai celana gombrong/longgar itu boleh? misalkan olahraga di sekolah atau memakai celana olahraga untuk keluar. terima kasih..

    ReplyDelete