Monday, March 25, 2013

Hukum Menyembelih Binatang dengan Sengatan Listrik

Tanya:
Apakah halal binatang yang disembelih dengan cara disengat aliran listrik? Mohon dijelaskan. (08X649237xxx)
Jawab:
Binatang sembelihan menjadi halal dengan syarat disembelih dengan alat yang tajam sehingga mengalirkan darah, dan harus dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala‏ sebagaimana sabda Rasululloh shallallahu ‘alaihi wasallam‏:‏‎

ﻣَﺎ ﺃَﻧْﻬَﺮَ ﺍﻟﺪَّﻡَ ﻭَﺫُﻛِﺮَ ﺍﺳْﻢُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﻜُﻞْ‏‎ ‎ﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟﺴِّﻦَّ ﻭَﺍﻟﻈُّﻔُﺮَ
“Binatang yang dialirkan darah (dengan alat yang tajam), dan disebutkan nama Alloh atasnya, maka makanlah, dengan syarat (menyembelihnya) bukan dengan gigi dan kuku.” [HR. Al-Bukhori no. 5503 dan Muslim no. 1968]
Adapun menyembelih dengan sengatan listrik, jika binatang tersebut disengat listrik lalu mati dan tidak disembelih lagi secara syar’i, maka binatang itu haram dan menjadi bangkai. Namun jika binatang itu disengat listrik hanya untuk melemahkannya atau mempermudah penyembelihannya, lalu disembelih ketika masih benar-benar hidup dengan cara yang syar’i, maka binatang tersebut halal.
Wallahu A’lam.
[Disalin dari: Majalah Al-Furqon No.99 Ed. 7 Th. Ke-9 1431 H/2010 M, Rubrik Soal-Jawab asuhan Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali AM‏ ‏hafizhahullah‏,‏‎ hal. 5]

2 comments:

  1. Maaf. Bagaimana hukum jual beli saham? Kalau didalamnya ada laba, apa termasuk riba?

    ReplyDelete
  2. Berikut, ringkasan berbagai persyaratan yang telah dijelaskan oleh para ulama bagi orang yang hendak memperjualbelikan saham suatu perusahaan:

    1. Perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut adalah perusahaan yang telah beroperasi, baik perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi, atau jasa atau penambangan atau lainnya. Saham perusahaan semacam ini boleh diperjualbelikan dengan harga yang disepakati antara kedua belah pihak, baik dengan harga yang sama dengan nilai saham yang tertera pada surat saham atau lebih sedikit atau lebih banyak.

    Adapun perusahaan yang sedang dirintis, sehingga perusahaan tersebut belum beroprasi, dan kekayaannya masih dalam wujud dana (uang) yang tersimpan, maka sahamnya tidak boleh diperjualbelikan, kecuali dengan harga yang sama dengan nilai yang tertera pada surat saham tersebut dan dengan pembayaran dilakukan dengan cara kontan.

    Hal ini dikarenakan, setiap surat saham perusahaan jenis ini mewakili sejumlah uang modal yang masih tersimpan, dan bukan aset. Sehingga bila diperjualbelikan lebih mahal dari nilai yang tertera pada surat saham, berati telah terjadi praktek riba.

    2. Perusahaan yang mengeluarkan saham tersebut bergerak dalam usaha yang dihalalkan oleh syariat, dan tidak menjalankan usaha haram walau hanya sebagian kecil dari kegiatan perusahaan. Sebab, pemilik saham -seberapapun besarnya- adalah pemilik perusahaan tersebut, sehingga ia ikut bertanggung jawab atas setiap usaha yang dijalankan oleh perusahan tersebut.

    Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

    وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ. المائدة: 2

    “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Qs. al-Maidah: 2)

    3. Perusahaan tersebut tidak melakukan praktik riba, baik dalam cara pembiayaan atau penyimpanan kekayaannya atau lainnya. Bila suatu perusahaan dalam pembiayaan, atau penyimpanan kekayaannya dengan riba, maka tidak dibenarkan bagi seorang muslim untuk membeli saham perusahaan tersebut. Walaupun kekayaan dan keuntungan perusahaan tersebut diperoleh dari usaha yang halal, akan tetapi telah dicampuri oleh riba yang ia peroleh dari metode pembiayaan atau penyimpanan tersebut.

    Sebagai contoh, misalnya suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi perabotan rumah tangga, akan tetapi kekayaan perusahaan tersebut ditabungkan di bank atau modalnya diperoleh dari berhutang kepada bank dengan bunga tertentu, menjual sebagian saham perusahaannya, maka tidak dibenarkan bagi seorang muslim untuk membeli saham perusahaan tersebut. Hal ini selaras dengan kaidah dalam ilmu fiqih,

    إذا اجتمع الحلال والحرام، غُلِّب الحرام

    “Bila tercampur antara hal yang halal dengan hal yang haram, maka lebih dikuatkan yang haram.” (Al-Mantsur Fi al-Qawa’id oleh Az Zarkasyi, 1/50 dan Al-Asybah wa an-Nazhair oleh Jalaluddin As Suyuthy, 105).

    Dinukil dari sini

    ReplyDelete