Sebagian Thariqah
Shufiyyah meyakini bahwa derajat wali lebih tinggi dari derajat nabi. Mereka
berdalil dengan firman Allah ta’ala,
فَوَجَدَا عَبْداً مِنْ عِبَادِنَا
آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْماً
“Maka mereka
berdua bertemu seorang hamba dari hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan
rahmat dari sisi Kami. Dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami”[Al-Kahfi
: 65]
Sisi pendalilan
mereka “Allah ta’ala dalam Al-Qur’an memerintahkan nabi Musa untuk melakukan
perjalanan untuk bertemu Khidir demi menuntut ilmu. Padahal Khidir bukan
nabi, hanya sekedar wali. Setelah bertemu Khidir, Nabi Musa berguru
kepadanya selang beberapa waktu. Tentu keadaan seorang guru lebih mulia
dibanding muridnya. Kisah ini menunjukkan bahwa derajat Khidir yang hanya
seorang wali lebih tinggi dari derajat Musa yang merupakan nabi!!”
Benarkah sisi
pendalilan mereka terhadap ayat tersebut??
Memang para ulama
berbeda pendapat apakah Khidir adalah seorang wali atau nabi, namun pendapat
ulama yang menyatakan Khidir adalah seorang nabi lebih mendekati kebenaran
ditinjau dari beberapa sisi:
1. Firman Allah [آتَيْنَاهُ رَحْمَةً] yang artinya “Kami telah
memberikan rahmat padanya”.
Dalam ayat yang
lain, Allah ta’ala sering menggunakan lafadz “rahmat” untuk memberikan
isyarat kenabian, sebagaimana dalam firman-Nya,
وَقَالُوا لَوْلا نُزِّلَ هَذَا
الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ * أَهُمْ يَقْسِمُونَ
رَحْمَتَ رَبِّكَ
“Mereka (kaum
musyrikin –pen-) berkata: ‘Mengapa Al-Qur’an ini tidak diturunkan pada seorang
pembesar dari dua kota ini’. Apakah mereka yang (berhak –pen-) membagikan rahmat
Tuhanmu?”[Az-Zukhruf : 31-32]
وَمَا كُنْتَ تَرْجُو أَنْ يُلْقَى
إِلَيْكَ الْكِتَابُ إِلَّا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ
“Dan engkau tidak pernah berharap
Al-Qur’an ini diturunkan padamu, kecuali ia merupakan rahmat dari
Tuhanmu”[Al-Qashash : 86]
2. Firman Allah [وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ
لَدُنَّا عِلْماً] yang artinya “Kami
ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami”. Dalam ayat yang mulia ini,
Allah melebihkan keutamaan para nabi dengan ilmu yang telah Allah ajarkan pada
mereka. Ayat yang semakna dengan ayat ini adalah firman Allah,
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
“Allah telah menurunkan padamu
Al-Qur’an dan Al-Hikmah. Lalu mengajarkan padamu ilmu yang belum engkau
ketahui”[An-Nisaa’ : 113]
3. Allah ta’ala berfirman
dalam ayat setelahnya tatkala menghikayatkan ucapan Khidir [وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ
أَمْرِي] artinya “Tidaklah
aku melakukan itu semua karena kemauanku sendiri”.
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah
berkata:
يقول: وما فعلتُ يا موسى جميع الذي
رأيتني فعلته عن رأي، ومن تلقاء نفسي، وإنما فعلتُه عن أمر الله تعالى إياي به
“Khidir berkata: “Wahai Musa,
tidaklah aku melakukan semua apa yang engkau lihat berdasarkan pendapat
pribadiku, bukan pula berasal dari diriku. Apa yang telah aku lakukan hanyalah
menuruti apa yang diperintahkan Allah padaku.”[Tafsir Ath-Thabari,
8/270]
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah
berkata:
وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي أي:
لكني أٌمِرتُ به ووقفت عليه، وفيه دلالة لمن قال بنبوة الخضر عليه السلام
“Tidaklah aku melakukan itu
semua karena kemauanku sendiri” maknanya aku hanya melakukan apa yang
diperintahkan dan dititahkan padaku. Dalam ayat ini terdapat dalil bagi ulama
yang berpendapat tentang kenabian Khidir ‘alaihissalaam.”[Tafsir Ibnu
Katsir, 3/162]
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:
يدل - أي قول الخضر عليه السلام:
((وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي)) - على نبوته وأنه يوحى إليه بالتكاليف والأحكام،
كما أُوحي إلي الأنبياء عليه السلام غير أنه ليس برسول
“Perkataan Khidir [وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ
أَمْرِي] menunjukkan
bahwa ia adalah seorang nabi yang mendapatkan wahyu berupa hukum-hukum syariat,
sebagaimana diwahyukan pada para nabi (yang lain –pen-). Hanya saja ia bukan
rasul.”[Tafsir Al-Qurthubi, 11/39]
Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata:
فدل على أنه نبي أوحى إليه
“Ayat ini menunjukkan bahwa Khidir
adalah seorang nabi yang diberikan wahyu”[Syarh Shahih Muslim, 15/197]
Syaikh Muhammad Al-Amin
Asy-Syinqithy rahimahullah berkata:
وبهذا كله تعلم أن قتل الخضر
للغلام، وخرقه للسفينة، وقوله: ((وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي)) دليل ظاهر على
نبوته
“Dari penjelasan ini, engkau dapat
mengetahui bahwa tatkala Khidir membunuh seorang anak, melubangi kapal lalu ia berkata
“tidaklah aku melakukan ini semua karena kemauanku” merupakan dalil yang
dzahir tentang kenabian beliau.”[Adhwa’ul Bayan, 4/177]
4. Mustahil jika ada “nabi” yang
menjadi pengikut seorang yang “bukan nabi”. Karena derajat kenabian merupakan
kedudukan yang paling tinggi dan tidak dapat dicapai oleh seorangpun sebesar
apapun usaha yang ia lakukan demi meraih kedudukan tersebut.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
berkata:
فكيف يكون النبي تابعاً لغير نبي؟
مهما كان قدره عند الله
“Bagaimana mungkin ada “nabi” yang
menjadi pengikut seorang yang “bukan nabi”? Meski setinggi apapun kedudukannya
di sisi Allah.”[Al-Ishabah, 2/116]
5. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah menceritakan tentang kisah Musa dan Khidir ‘alaihimassalam:
فأوحى الله إليه
أن عبداً من عبادي بمجمع البحرين هو أعلم منك
“Maka Allah mewahyukan pada Musa
bahwa ada seorang hamba dari hamba-hambaKu yang lebih berilmu darimu. Ia berada
di pertemuan antara dua laut.”[HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Mustahil pula ada seorang yang “bukan
nabi” lebih berilmu dari seorang nabi. Padahal para nabi diberikan keistimewaan
berupa wahyu dari Allah yang tidak diberikan pada selain mereka.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
berkata;
وأيضاً فكيف يكون غير النبي أعلم
من النبي؟
“Bagaimana mungkin pula seorang
yang “bukan nabi” lebih berilmu dari seorang nabi?”[Az-Zuhar, hal. 23]
5. Seandainya apa yang telah
dilakukan Khidir merupakan ijtihad pribadinya (bukan wahyu dari Allah), tentu
ia akan dikenakan hukuman qishash tatkala ia membunuh seorang anak dan merusak
kapal yang bukan miliknya. Namun Allah ta’ala tidak menyebutkan
kewajiban qishah bagi Khidir dalam ayat-Nya yang mulia. Hal ini menunjukkan
bahwa apa yang telah ia lakukan berasal dari wahyu Allah, zat yang memiliki
hikmah yang agung.
Dari penjelasan di atas
terjawablah kekeliruan pendalilan mereka terhadap ayat tersebut. Allahua’lam.
Disarikan oleh Abul-Harits dari
risalah “Itsbat Nubuwwatil Khadir” di Madinah, 25 Rabi’ul Awwal 1434 H
No comments:
Post a Comment