Wednesday, January 16, 2013

Menjawab Syubhat Seputar Hadits "Belum Pernah Beramal Kebaikan Sedikitpun"


Penulis kitab Dhabtud Dhawabit fil Iman wa Nawaqidhihi pada hal. 65 berdalil dengan hadits “lam ya’malu khairan qath” untuk menyimpulkan bahwa jinsul a’maal jawarih hanya merupakan kamalul iman atau syarthul kamal atau silahkan memberi penamaan dengan istilah-istilah lain. 

Intinya, iman sah hanya dengan keyakinan hati dan ucapan lisan menurut mereka.

Hadits “lam ya’malu khairan qath” diriwayatkan dari Abu Sa’id Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

حَتَّى إِذَا خَلَصَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ النَّارِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً لِلَّهِ فِي اسْتِقْصَاءِ الْحَقِّ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمْ الَّذِينَ فِي النَّارِ يَقُولُونَ رَبَّنَا كَانُوا يَصُومُونَ مَعَنَا وَيُصَلُّونَ وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَخْرِجُوا مَنْ عَرَفْتُمْ فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا قَدْ أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا مَا بَقِيَ فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا أَحَدًا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا خَيْرًا وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ يَقُولُ إِنْ لَمْ تُصَدِّقُونِي بِهَذَا الْحَدِيثِ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا } فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتْ الْمَلَائِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا فَيُلْقِيهِمْ فِي نَهَرٍ فِي أَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ نَهَرُ الْحَيَاةِ فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ أَلَا تَرَوْنَهَا تَكُونُ إِلَى الْحَجَرِ أَوْ إِلَى الشَّجَرِ مَا يَكُونُ إِلَى الشَّمْسِ أُصَيْفِرُ وَأُخَيْضِرُ وَمَا يَكُونُ مِنْهَا إِلَى الظِّلِّ يَكُونُ أَبْيَضَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّكَ كُنْتَ تَرْعَى بِالْبَادِيَةِ قَالَ فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي رِقَابِهِمْ الْخَوَاتِمُ يَعْرِفُهُمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ اللَّهِ الَّذِينَ أَدْخَلَهُمْ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُ ثُمَّ يَقُولُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَمَا رَأَيْتُمُوهُ فَهُوَ لَكُمْ فَيَقُولُونَ رَبَّنَا أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُونَ يَا رَبَّنَا أَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُ رِضَايَ فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا

Sehingga ketika orang-orang mukmin terbebas dari neraka, maka demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian yang begitu gigih memohon kepada Allah di dalam menuntut al-haq pada hari kiamat untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka. Mereka berseru : ‘Wahai Rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama kami, shalat bersama kami, dan berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada mereka : “Keluarkanlah orang-orang yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk mereka hitam kelam karena terpanggang api neraka, kemudian mereka mengeluarkan begitu banyak orang yang telah dimakan neraka sampai pada pertengahan betisnya dan sampai kedua lututnya. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, tidak tersisa lagi seseorang pun yang telah engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dinar, maka keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan jumlah yang begitu banyak, kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak meninggalkan di dalamnya seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah dia’. Maka mereka pun mengeluarkan jumlah yang banyak. Kemudian mereka berkata lagi : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya seorang pun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka siapa saja yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dzarrah, keluarkanlah’. Maka merekapun kembali mengeluarkan jumlah yang begitu banyak. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya kebaikan sama sekali”. Abu Sa'iid Al-Khudriy berkata : "Jika kalian tidak mempercayai hadits ini silahkan kalian baca ayat :‘Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’ (QS. An-Nisaa’ : 40). 

Allah lalu berfirman : ‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah memberi syafa’at. Sekarang yang belum memberikan syafa’at adalah Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. Allah kemudian melemparkan mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut dengan sungai kehidupan. Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji yang tumbuh di aliran sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di bebatuan atau pepohonan mengejar (sinar) matahari. Kemudian mereka (yang tumbuh layaknya biji) ada yang berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang berada di bawah bayangan akan berwarna putih". Para sahabat kemudian bertanya : "Seakan-akan engkau sedang menggembala di daerah orang-orang badui ?”. Beliau melanjutkan :"Mereka kemudian keluar seperti mutiara, sementara di lutut-lutut mereka terdapat cincin yang bisa diketahui oleh penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang Allah merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa amalan yang pernah mereka amalkan dan kebaikan yang mereka lakukan. Allah kemudian berfirman : ‘Masuklah kalian ke dalam surga. Apa yang kalian lihat maka itu akan kalian miliki’. Mereka pun menjawab : ‘Wahai Rabb kami, sungguh Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari penduduk bumi’. Allah kemudian berfirman : ‘(Bahkan) apa yang telah Kami siapkan untuk kalian lebih baik dari ini semua’. Mereka kembali berkata : ‘Wahai Rabb, apa yang lebih baik dari ini semua!’. Allah menjawab : "Ridla-Ku, selamanya Aku tidak akan pernah murka kepada kalian”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 183]

Syubhat mereka dapat dijawab dari beberapa sisi:

[Pertama] Lafadz [لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ] tidak mesti menafikan seluruh amal jawarih secara mutlak. Hal ini ditunjukkan dalam hadits-hadits lain, misalkan:

1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن رجلا لم يعمل خيرا قط وكان يداين الناس فيقول لرسوله : خذ ما يسر واترك ما عسر ، وتجاوز لعل الله يتجاوز عنا . فلما هلك قال الله : هل عملت خيرا قط ؟ قال لا ، إلا أنه كان لي غلام فكنت أداين الناس

“Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang belum pernah beramal kebaikan sedikitpun selain memberi pinjaman hutang pada manusia. Ia mengatakan pada pekerjanya: “ambillah jika orang yang ditagih memiliki kelapangan, biarkan dan tinggalkanlah jika ia masih dalam kesempitan, mudah-mudahan Allah mengampuni kita”. Setelah ia wafat, Allah berfirman padanya: “Apakah kau pernah beramal kebaikan?”. Ia menjawab: “tidak pernah, selain aku memiliki anak dan memberi pinjaman hutang pada manusia…”[HR. Al-Bukhari no. 3480 dan Muslim no. 2930]

Bukankah memberi pinjaman hutang termasuk amal jawarih?? namun ia menyatakan belum pernah beramal kebaikan sedikitpun.

2. Hadits riwayat Al-Bukhari tentang kisah taubat pembunuh 100 jiwa. Di tengah perjalanan menuju negeri yang baik untuk berhijrah, pembunuh tersebut mati, lalu Malaikat Azab dan Malaikat Rahmat berdebat siapakah diantara mereka yang lebih berhak membawa ruh tersebut. Malaikat Azab berkata :

إنه لم يعمل خيراً قط بعد

“Ia belum pernah beramal kebaikan sedikitpun setelah (bertaubat –pen-)”

Bukankah hijrah fi sabilillah termasuk amal jawarih??

[Kedua] Lafadz [لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ] dalam lisan arab juga dapat diartikan “tidak beramal kebaikan secara sempurna” atau masih terdapat kekurangan dalam amalnya.

Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata:

هذه اللفظة : ( لم يعملوا خيرا قط ) من الجنس الذي يقول العرب ، ينفي الاسم عن الشيء لنقصه عن الكمال والتمام ، فمعنى هذه اللفظة على هذا الأصل : لم يعملوا خيرا قط على التمام والكمال ، لا على ما أوجب عليه وأمر به ، وقد بينت هذا المعنى في مواضع من كتبي

“Lafadz “tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun” termasuk dalam perkataan yang sering diungkapkan orang arab untuk menafikan penamaan sesuatu yang tidak sempurna. Maka makna lafadz ini pada asalnya adalah “tidak pernah beramal kebaikan dengan sempurna”. Tidak sesuai dengan apa yang diwajibkan dan diperintahkan padanya. Aku telah menjelaskan makna ini dalam beberapa tempat dalam kitab-kitabku.”[Kitab At-Tauhiid, 2/732]

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:

أن قوله في هذا الحديث : ( لم يعمل حسنة قط ) ، أو ( لم يعمل خيرا قط لم يعذبه ) إلا ما عدا التوحيد من الحسنات والخير ، وهذا سائغ في لسان العرب جائز في لغتها ، أن يؤتى بلفظ الكل والمراد البعض

“Perkataan nabi dalam hadits “tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun” atau “tidak pernah beramal kebaikan lalu ia tidak diazab” kecuali tauhid. Ungkapan semisal ini diperbolehkan dalam lisan arab dan bahasa mereka, ketika seorang menyatakan lafadz yang menafikan keseluruhan namun yang dimaksudkan hanya menafikan sebagian.[At-Tamhiid, 18/40]

Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam rahimahullah berkata:

كلام العرب المستفيض عندنا غير مستنكر في إزالة العمل عن عامله إذا عمله على غير حقيقة، ألا ترى أنهم يقولون للصانع إذا كان ليس بمحكم لعمله: ما صنعت شيئاً و لا عملت شيئاً، و إنما وقع معناه هاهنا على نفي التجويد لا على الصنعة نفسها، فهو عامل عندهم بالاسم، و غير عامل بالإتقان

“Perkataan orang-orang arab yang menafikan amal bagi para pekerjanya ketika mereka tidak melaksanakan tugas dengan baik, tidaklah diingkari menurut kami. Bukankah kau sering melihat mereka berkata pada seorang yang pekerjaanya tidak beres “kamu belum melakukan apa-apa, kamu belum beramal (bekerja –pen-) sama sekali”. Perkataan mereka hanya menafikan kesempurnaan, tidak menafikan pekerjaan yang telah mereka lakukan. Mereka telah beramal di satu sisi, namun belum menyempurnakan amalnya di sisi lain.”[Kitab Al-Iman hal. 41]

Dalilnya adalah hadits Asma’ bin Yazid Al-Anshariyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berwasiat pada para wanita:

لَعَلَّ إِحْدَاكُنَّ تَطُولُ أَيْمَتُهَا مِنْ أَبَوَيْهَا، ثُمَّ يَرْزُقُهَا اللَّهُ زَوْجًا، وَيَرْزُقُهَا مِنْهُ وَلَدًا، فَتَغْضَبُ الْغَضْبَةَ فَتَكْفُرُ فَتَقُولُ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ 

“Mungkin ada salah seorang diantara kalian yang telah lama menyendiri (melajang) bersama orang tuanya, lalu Allah memberinya rizki berupa seorang suami dan memberinya anak dari suaminya itu. Namun ketika ia marah kepada suaminya ia berbuat kufur dengan mengatakan: “Aku tidak pernah melihat kebaikan darimu.”[HR. Al-Bukhori dalam Al-Adabul Mufrod no. 1048, dan dishohihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 823]

[Ketiga] Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,

حتى إذا فرغ الله من القضاء بين عباده، وأراد أن يخرج من النار من أراد أن يخرج ممن كان يشهد أن لا إله إلا الله أمر الملائكة أن يخرجوهم؛ فيعرفونهم بعلامة آثار السُّجُود

“Hingga ketika Allah membuat keputusan di antara hamba-hambaNya dan ingin mengeluarkan seorang yang masih bersyahadat Lailaha illallah dari neraka. Lalu Allah memerintahkan para malaikat untuk mengeluarkan mereka, maka tanda-tanda mereka diketahui dari bekas sujud.”

Dari riwayat ini, Rasulullah menjelaskan bahwa suatu kaum yang masih memiliki iman dan syahadat tersebut adalah orang-orang yang mengerjakan shalat. Merekalah yang akan dikeluarkan dari neraka. Bukan orang kafir, bukan pula orang-orang yang tidak mau sujud kepada Allah di dunia. Lalu bagaimana dengan seorang yang tidak shalat, tidak zakat, tidak puasa, tidak haji dan tidak pula memiliki amal kebaikan sedikitpun??

[Keempat] Rasulullah menyebutkan hadits dengan lafadz [فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًا لَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّا] artinya “lalu dikeluarkan dari neraka suatu kaum yang belum pernah beramal kebaikan sedikitpun”. Sehingga hadits ini tidak berlaku umum, namun hanya berlaku bagi orang-orang tertentu yang Allah kehendaki. Karena Rasulullah tidak menyatakan “lalu dikeluarkan dari neraka setiap orang yang tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun”.

Dalam kaidah ushul fiqh dinyatakan bahwa “waqi’atul ‘ain laa tufiidul ‘umuum” artinya peristiwa/kejadian tertentu yang disebutkan dalam hadits tidak memberikan hukum umum. Silahkan buka kitab-kitab ushul fiqh tentang “ungkapan-ungkapan dalam syariat yang memberikan hukum umum”.

[Kelima] Pemahaman “iman sah hanya dengan keyakinan hati dan ucapan lisan” berdalil dengan hadits tersebut menyelisihi ijma’ para ulama yang dinukilkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Kitab Al-Iman. Nukilan ijma’ tersebut telah saya sebutkan dalam artikel sebelumnya “Sahkah Iman Tanpa Amal” di sini

[Keenam] Sebagian ulama menganggap hadits “lam ya’malu khairan qath” termasuk hadits yang mutasyabih. Bahkan sebagian kelompok sesat berdalil dengan hadits ini untuk berkesimpulan bahwa orang kafir pun akan dikeluarkan dari neraka.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وتمسك به بعضهم في تجويز إخراج غير المؤمنين من النار ورد بوجهين..

“Sebagian mereka berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan bahwa selain orang-orang yang beriman (orang kafir –pen-) pun akan dikeluarkan dari neraka. Perkataan mereka dapat dibantah dari dua sisi…”[Fathul Bari, 13/438]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

معنى قوله: ( لم يعملوا خيراً قط ) أنهم ما عملوا أعمالاً صالحة، لكن الإيمان قد وقر في قلوبهم، فإما أن يكون هؤلاء قد ماتوا قبل التمكن من العمل؛ آمنوا ثم ماتوا قبل أن يتمكنوا من العمل، وحينئذ يصدق عليهم أنهم لم يعملوا خيراً قط.

“Makna sabda nabi “tidak pernah beramal sedikitpun” adalah meskipun mereka belum pernah beramal shalih, namun iman dalam hati mereka telah kokoh. Kemungkinan mereka mati sebelum sempat melakukan amal shalih, yakni mereka beriman lalu mati sebelum sempat beramal. Dalam keadaan tersebut maka dibenarkan bahwa mereka belum pernah beramal kebaikan sedikitpun”[Fatawa Al-Aqidah no. 123 cet. Darul Minhaj]

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah pernah ditanya,

هناك بعض الأحاديث التي يستدل بها البعض على أن من ترك جميع الأعمال بالكلية فهو مؤمن ناقص الإيمان .. كحديث ( لم يعملوا خيراً قط ) وحديث البطاقة وغيرها من الأحاديث ؛ فكيف الجواب على ذلك ؟ 

الجواب :

هذا من الاستدلال بالمتشابه ، هذه طريقة أهل الزيغ الذين قال الله سبحانه وتعالى عنهم : ( فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ) ، فيأخذون الأدلة المتشابهة ويتركون الأدلة المحكمة التي تفسرها وتبينها .. فلا بد من رد المتشابهة إلى المحكم، فيقال من ترك العمل لعذر شرعي ولم يتمكن منه حتى مات فهذا معذور ، وعليه تحمل هذه الأحاديث .. لأن هذا رجل نطق بالشهادتين معتقداً لهما مخلصاً لله عز وجل ، ثم مات في الحال أو لم يتمكن من العمل ، لكنه نطق بالشهادتين مع الإخلاص لله والتوحيد كما قال صلى الله عليه وسلم : ( من قال لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله فقد حرم دمه وماله ) .. وقال : ( فإن الله حرم على النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله ) ، هذا لم يتمكن من العمل مع انه نطق بالشهادتين واعتقد معناهما وأخلص لله عز وجل، لكنه لم يبق أمامه فرصة للعمل حتى مات فهذا هو الذي يدخل الجنة بالشهادتين ، وعليه يحمل حديث البطاقة وغيره مما جاء بمعناه ، والذين يُخرجون من النار وهم لم يعملوا خيراً قط لأنهم لم يتمكنوا من العمل مع أنهم نطقوا بالشهادتين ودخلوا في الإسلام، هذا هو الجمع بين الأحاديث.

Tanya :

“Terdapat beberapa hadits yang dijadikan dalil oleh sebagian orang untuk menyatakan bahwa seorang yang meninggalkan seluruh amal (jawarih) secara total maka ia adalah seorang mu’min yang berkurang imannya. Misalkan hadits “lam ya’malu khairan qath”, hadits bithaqah dan selainnya. Bagaimanakah menjawabnya?”

Syaikh rahimahullah menjawab :

“Ini adalah pendalilan dengan hadits mutasyabih yang merupakan cara pendalilan orang-orang yang menyimpang sebagaimana Allah subhanahu wata’ala telah menyatakan tentang keadaan mereka,

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ

Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka lebih mengikuti apa-apa yang mutasyabih”.

Mereka mengambil dalil-dalil yang mutasyabih lalu meninggalkan dalil-dalil muhkam yang menafsirkan dan menjelaskan dalil-dalil mutasyabih tersebut. Wajib bagi kita untuk mengembalikan dalil-dalil mutasyabih kepada yang muhkam.

Barangsiapa yang meninggalkan seluruh amal jawarih disebabkan udzur syar’i yang menghalanginya maka ia mendapatkan udzur (tidak dihukumi kafir –pen-)...karena ia tidak memiliki kesempatan untuk beramal hingga ajal menjemputnya. Tipe orang seperti inilah yang akan dimasukkan ke dalam surga hanya dengan modal syahadatnya. Dan makna inilah yang terkandung dalam hadits bithaqah dan hadits-hadits lain yang serupa…”

[As’ilah wa Ajwibah fi Masaa’il Al-Iman wal Kufr di www.alfawzan.af.org.sa]

Tidak heran jika Al-Lajnah Ad-Daimah yang ketika itu diketuai oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pada akhir tahun 1419 H mencekal kitab “Dhabtud Dhawabith fil Iman wa Nawaqidhihi” karya Syaikh Ahmad Az-Zahrani. Berikut teks fatwanya:

اللجنة الدائمة برئاسة سماحة الشيخ ابن باز رحمه الله في آخره سنة(1419هـ) قائلة: (بيان وتحذير: الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، وبعد : فقد اطلعت اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء على الكتاب الموسوم بـ: (ضبط الضوابط في الإيمان ونواقضه) تأليف المدعو / أحمد بن صالح الزهراني فوجدته كتابا يدعو إلى مذهب الإرجاء المذموم ؛ لأنه لا يعتبر الأعمال الظاهرة داخلة في حقيقة الإيمان ، وهذا خلاف ما عليه أهل السنة والجماعة من أن الإيمان قول باللسان واعتقاد بالقلب وعمل بالجوارح ، يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية. وعليه : فإن هذا الكتاب لا يجوز نشره وترويجه ، ويجب على مؤلفه وناشره التوبة الى الله عز وجل. ونحذر المسلمين مما احتواه هذا الكتاب من المذهب الباطل حماية لعقيدتهم واستبراء لدينهم ، كما نحذر من اتباع زلات العلماء فضلا عن غيرهم من صغار الطلبة الذين لم يأخذوا العلم من أصوله المعتمدة. وفق الله الجميع للعلم النافع والعمل الصالح. وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والافتاء 
عبد العزيز بن باز رحمه الله
عبد العزيز بن عبد الله بن محمد آل الشيخ
عبد الله بن عبد الرحمن الغديان
بكر بن عبد الله ابو زيد
صالح بنفوزان الفوزان


Penjelasan dan Tahdzir terhadap Kitab

Setelah bertahmid dan bershalawat pada nabi, Al-Lajnah berkata :

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts wal ‘Ilmiyyah wal Ifta’ telah menelaah kitab berjudul “Dhabtud Dhawabith fil Iman wa Nawaqidhuhu” yang ditulis oleh Ahmad bin Shalih Az Zahrani. Al-Lajnah mendapati kitab tersebut menyeru kepada madzhab Murji’ah yang tercela. Karena penulisnya tidak menganggap amalan dzahir (jawarih) termasuk dalam hakikat iman. Ini menyelisihi (keyakinan) Ahlus-Sunnah wal Jama’ah bahwa iman adalah ucapan lisan, keyakinan hati dan amalan anggota badan. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.

Maka kitab ini tidak boleh disebarluaskan. Wajib bagi penulis dan orang yang menyebarkannya untuk bertaubat pada Allah. Kami memperingatkan kaum muslimin dari pemahaman-pemahaman batil yang terdapat dalam kitab ini. Hal itu demi menjaga aqidah dan agama mereka, sebagaimana Kami memperingatkan untuk tidak mengikuti ketergelinciran sebagian ulama dan sebagian penuntut ilmu yang tidak mengambil ilmu dari kitab-kitab ushul (pokok) yang pantas dijadikan sandaran.

Semoga Allah memberikan taufik kepada seluruh (kaum muslimin) untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, shalawat Allah tercurah pada nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan seluruh (kaum muslimin).

[Al-Lajnah Ad-Daimah beranggotakan Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Abdul Aziz Alus-Syaikh, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Syaikh Bakr Abu Zaid dan Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahumullah]

Allahua’lam


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 4 Rabi’ul Awwal 1434 H

4 comments:

  1. Bismillah
    ustad, memejamkan mata ketika shalat apakah mmbatalkan shalat? Syukron

    ReplyDelete
  2. Hukumnya makruh dan tidak membatalkan shalat, meskipun dengan memejamkan mata shalatnya lebih khusyu’. Allahua’lam

    Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata:

    ليس ذلك من هدي الصلاة

    “Hal itu bukan termasuk petunjuk (nabi –pen-) dalam shalat”

    Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Zaadul Ma’ad:

    ولم يكن هديه صلى الله عليه وسلم تغميض عينيه في الصلاة

    “Memejamkan mata ketika shalat bukan termasuk petunjuk nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”

    Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulah.

    ReplyDelete
  3. Antum tidak mengikuti para salaf dalam memahami hadits syafa'at tapi menyeret pada pemahaman antum sendiri, padahal para imam salaf telah memahami hadits syafa'at sesuai dzahirnya, yakni tidak tersisa kecuali ashlul imaan saja

    ReplyDelete
  4. lihat penjelasan imam ibnul qayyim, al-hafidz ibnu katsir, mereka menjelaskan tidak seperti penjelasan antum

    ReplyDelete