PENGANTAR PENERBIT
الحَمدُ لله ربِّ العاَلمين، والصَّلاةُ والسَّلامُ على أشْرفِ
الأنبيَاءِ والمرُسَلين، سيّدِنا ومَولانا محمَّدٍ وعلى آلهِ وصَحْبهِ
أجمَعين. أما بعد:
Buku yang kami terbitkan ini adalah kumpulan dari dua makalah KH.
Abdul Hamid Baidlowi yang disampaikan pada acara pertemuan Ulama dan
Habaib di Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah Jakarta pada tanggal 14 Rojab
1416 H/ 7 Desember 1995 M. yang berjudul: “Kritik Terhadap Gus Dur dan Sa’id Aqil” dan makalah beliau yang berjudul: “Menyiasati Bahaya Syi’ah di Kalangan Nahdlatul Ulama di penghujung Abad Ini” yang disampaikan pada acara sarasehan IPNU-IPPNU cabang Jombang pada tanggal 1 Shafar 1417 H/ 17 Juni 1996 M.
Makalah tersebut hadir disaat umat Islam mulai resah atas bahaya
pemikiran Gus-Dur yang pada saat itu berkapasitas sebagai Ketua Umum
organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan membongkar
kerancauan ideologi Syi’ah Rafidloh yang dipasarkan lewat pemikiran Said
Aqil Siradj yang pada saat itu menjabat Katib Am Nahdlatul Ulama.
Mereka mencoba menyesatkan umat Islam dari ajaran yang benar, ajaran
yang bertentangan dengan nash-nash al-Quran, Sunnah Rasul dan
ajaran-ajaran Salafussholih.
Semoga dengan hadirnya buku ini, dapat memberikan manfaat untuk kita
dalam rangka ikut andil membentengi aqidah umat Islam dari faham-faham
sesat dan dari segala bentuk kesesatan berfikir yang berupaya
menghancurkan agama Islam. Semoga Allah SWT selalu melindungi kita,
amin.
KRITIK TERHADAP SA’ID AQIL
Segala puji bagi Allah SWT, semoga kita dalam rahmat dan
lindungan-Nya, shalawat dan salam semoga bertaburan di pusara Nabi
Muhammad SAW dan berhembus kepada keluarga dan shahabat Nabi.
Yang terhomat shahibul bait KH Thohir Rokhili, pengasuh Pondok Pesantren at-Thohiriyyah Jakarta.
Yang terhomat KH. Yusuf Hasyim.
Yang terhomat para ulama dan pejabat pemerintah sipil maupun militer .
Serta hadirin semua yang saya hormati.
Sesungguhnya kritikan, kecaman, penghinaan terhadap Khalifah Utsman
RA itu semenjak dulu sudah dilakukan oleh golongan Saba’iyah di bawah
pimpinan Abdullah bin Saba’ dan golongan Syi’ah. Apalagi Sa’id Aqil
mengatakan dalam makalahnya: bahwa Abdullah bin Saba’ adalah tidak hanya
dibuat kambing hitam oleh sejarah atas dasar keterangan dari Dr. Thoha
Husain dll-nya.
Padahal sebenarnya pegingkaran terhadap keberadaan Abdullah bin Saba’
tak ubahnya sama dengan mengingkari wujudnya matahari, tak seorangpun
ahli sejarah masa lalu baik dari kalangan Syi’ah atau Ahlussunnah wal
Jama’ah mengingkari kehadiran Abdullah bin Saba’ dalam proses sejarah
yang panjang. Siapakah yang lebih tahu tentang hakikat keberadan Ibnu
Saba’, apakah ulama masa lalu atau masa kini yang lebih tahu? Bukankah
ulama’ Syi’ah sendiri yang namanya Abu Ishaq bin Muhammad Ats-tsaqofi
Al-kufi telah mengakui adanya Abdullah bin Saba’, sebagaimana dijelaskan
dalam kitabnya al-Ghaarat jilid 1 halaman 302-303, kitab ini ditulis pada tahun 250 H dan an-Naubakhti wafat tahun 288 H dalam kitabnya Firoqus Syi’ah, kemudian disusul oleh Ibnu Abil Khadid dalam Nahjul Balaqhoh-nya dan al-Hulli dalam Khulashohnya dan kitab-kitab yang lain, demikian pula dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah diantaranya adalah ath-Thobari,
Ibnul Atsir, Ibnu Katsir, Ibnu Kholdun dan banyak lagi yang lain. Paham
pengingkaran atas adanya Ibnu Saba’ adalah upaya jaringan-jaringan
Yahudi dalam rangka melepaskan diri dari keterlibatannya sebagai pelopor
penghancuran terhadap Islam dan umat Islam.
Para ulama dan hadirin yang saya hormati, karena waktu sangat
terbatas, kiranya tidak patut jika saya memperpanjang pembahasan pokok
makalah, tetapi hanya sebagian yang penting yang insya Allah akan saya
sampaikan, maka saya akan mencoba menolak fitnah yang dialamatkan kepada
sayyidina Utsman dan shahabat Marwan bin Hakam dan Amar bin Yasir.
Marilah kita simak bersama, apakah kecaman dan hinaan terhadap
khalifah Utsman itu benar? Apakah benar khalifah Utsman membagi-bagikan
pengurusan wilayah-wilayah kepada keluarganya? Ataukah tuduhan dan
kecaman itu sekedar buatan kaum Saba’iyah yang mereka ada-adakan guna
mendorong orang lain untuk beroposisi yang kemudian memberontak dan
selanjutnya membunuh khalifah?
Ahli sejarah kaum Syi’ah al-Ya’qubi menyatakan: bahwa khalifah Utsman
dibenci orang adalah karena mengutamakan keluarga dalam pengangkatan
Gubenur wilayah, kemudian Al-Ya’qubi sendiri membuat perincian
wilayah-wilayah dengan Gubenur masing-masing, dan ternyata dapat kita
lihat bahwa sebagian besar yang diangkat oleh khalifah Utsman adalah
bukan dari keluarga khalifah Utsman, maka marilah kita lihat keterangan
Al-Ya’qubi di bawah ini sebagai berikut:
- Ya’la bin Mun-yah at-Tamimi untuk Yaman.
- Abdullah bin Amr al-Hadlromi untuk Makkah .
- Jarir bin Abdullah al-Bajali untuk Hamdan .
- Al-Qosim bin Robi’ah ats-Tsaqofi untuk Thoif.
- Abu Musa al-Asy’ari untuk Kufah.
- Abdullah bin ‘Amir bin Kariz untuk Bashrah.
- Abdullah bin Sa’ad bin Abi Saroh untuk Mesir.
- Mu’awiyyah bin Abi Sofyan di Syam.
Sejarawan terkenal ath-Thobari dan Ibnul Atsir menambahkan nama-nama
Gubernur untuk daerah lainnya serta para pemangku jabatan tinggi Negara
yang diangkat oleh khalifah Utsman RA sebagai berikut:
- Untuk Hims Abdurrahman bin Kholid bin Walid.
- Untuk Qinnasrin Habib bin Maslamah.
- Untuk Palestina ‘Alqomah bin Hakim al-Kanani
- Untuk Yordania Abul A’war as-Salami.
- Untuk Laut Merah Utara Abdullah bin Qois al-Fazari.
- Untuk Azerbajian al-Asy’ats bin Qois al-Kindi.
- Untuk Hulwan Utaibah bin an-Nahhas.
- Untuk Mah Malik bin Habib.
- Untuk Roy Sa’id bin Qois.
- Untuk Asbahan as-Saib bin Aqra’.
- Untuk Masabdzan Hubaisy.
- Untuk Qorqisia Jarir bin Abdullah.
Kemudian jabatan tinggi Negara yang lain adalah:
- Pengadilan: Zaid bin Tsabit
- Baitul mal : ‘Uqbah bin Amir
- Urusan jizyah dan pajak: Jabir bin Fulan al-Mazani
- Pertahanan dan peperangan: al-Qo’qo’ bin ‘Amr
- Pimpinan haji : Abdullah bin Abbas.
- Kepala polisi : Abdullah Qunfudz
Jadi hanya tiga keluarga Utsman yang menjadi Gubernur dari 20
Gubernur dan 6 jabatan tinggi Negara, itu saja hanya dua Gubernur yang
dilantik oleh khalifah Utsman, yaitu yang untuk Bashroh dan Mesir,
sedang yang satu yaitu untuk Muawiyyah di Syam dilantik oleh khalifah
sebelum Sayyidina Utsman menjabat sebagai khalifah.
Kemudian apakah pengangkatan dua Gubernur itu cukup menjadi alasan
untuk mencela dan mengecam kepada khalifah Utsman? Sebagaimana dilakukan
oleh golongan Saba’iyah, Syi’ah, dan Sa’id Aqil serta orang yang
mengikutinya, mengekor mereka. Apakah haram menurut syari’ah seorang
khalifah mengangkat salah satu keluarga yang dipandang ahli dalam
jabatannya, hanya karena ia salah satu dari keluarganya? Jawabanya
hanyalah satu, “tidak haram”.
Jika hal itu dapat dijadikan alasan untuk mengecam khalifah Utsman,
mengapa kaum Syi’ah dan penulis makalah diam membisu tanpa komentar
apalagi mengecam ketika khalifah Ali mengangkat Qustam bin Abbas (pernah
menjabat pimpinan haji tahun 37 H) sebagai Gubernur di Makkah, dan
mengangkat Abdullah bin Abbas sebagai Gubernur di Yaman (al-Ya’qubi juz 2
halaman 179), dan Muhammad bin Abu Bakar (anak tiri Sayyidina Ali)
untuk Mesir, Ya’ad Ibnu Hubairoh (putra saudara perempuan sayyidina Ali
bin Abi Thalib yang bernama Ummu Hani’) sebagai Gubernur di Kharasa, dan
mengangkat Muhammad Ibnu Hanafiyah sebagai panglima. Mengapa kalian
diam membisu, padahal khalifah Ali banyak mengangkat keluarganya?.
….Sa’id Aqil gegabah menuduh shahabat Ammar bin Yasir rodliallahu ‘anhuma sebagai pemompa semangat memberontak. Sungguh tuduhan ini palsu dan penuh kebohongan. Bukankah Allah SWT dengan firman-Nya yang indah telah berjanji memberikan pahala yang baik terhadap mereka yang dalam kategori shahabat?….
Dengan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, maka keterangan dan
memutarbalikkan fakta yang dipropagandakan lingkaran setan yang dibuat
oleh mereka, mereka adalah bohong dan dusta serta merupakan fitnah yang
keji terhadap khalifah Utsman RA.
Marwan bin Hakam RA: ia adalah sasaran kecaman dan pusat caci maki
yang dilontarkan oleh golongan Saba’iyah dan Syi’ah. Tuduhan dan kecaman
yang paling bayak dilontarkan kepadanya antara lain: diangkatnya Marwan
bin Hakam oleh khalifah Utsman sebagai sekretarisnya, penguasa
seperlima harta rampasan perang di Afrika, surat Marwan bin Hakam yang
isinya perintah untuk membunuh pemberontak yang dari Mesir, dan
dikembalikannya Marwan bin Hakam ke Madinah dari tempat pembuangan di
Thoif oleh khalifah Utsman.
Saya insya Allah dalam pertemuan hari ini akan memberikan jawaban
satu persatu berdasarkan dari keterangan-keterangan ulama: tentang
perizinan bagi Marwan bin Hakam meninggalkan tempat pembuangannya di
Thoif, kemudian pindah ke Madinah. Maka hal itu sepanjang kenyataanya:
bahwa Nabi Muhammad SAW pada saat-saat terakhir telah mengizinkan
kembalinya shahabat Marwan ke Madinah atas usul permohonan sayyidina
Utsman, namun beliau mendadak wafat sebelum terlaksana pemindahan Marwan
ke Madinah. Perizinan itu didengar dan diterima langsung oleh sayyidina
Utsman.
Jikalau pada saat sayyidina Abu Bakar menjadi khalifah menolak
kembalinya Marwan ke Madinah demikian pula khalifah Umar, maka hal itu
sesuai dengan ketentuan syariat Islam: bahwa kesaksian satu orang itu
tidak diterima. Tetapi pada saat sayyidina Utsman menjabat sebagai
khalifah dan beliau yakin sepenuhnya bahwa perizinan itu sungguh telah
diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, maka khalifah Utsman melaksanakan
(artinya beliau tidak salah), (dari kitab ath-Thobari fi Manaqibil
‘Asyroh).
Tentang harta rampasan perang di Afrika yang dikatakan dijual dengan
harga tidak layak kepada shahabat Marwan bin Hakam yakni sejumlah
500.000 dinar, maka sebenarnya adalah sebagai berikut: Dari rampasan
perang yang bersifat emas, perak, mata uang, panglima Abdullah bin Abi
Saroh mengeluarkan khumus (seperlima) yaitu sebesar 500.000 dinar, karena khumus
merupakan hak baitul mal, maka jumlah itu dikirimkan panglima kepada
khalifah Utsman di Madinah. Kemudian khalifah menyerahkan kepada baitul
mal. Masih adalagi khumus dari harta rampasan perang yakni seperlima
dari peralatan dan seperlima dari jumlah ternak hewan. Maka jumlah
seperlima dari jumlah benda dan ternak itu sulit diangkut karena jauhnya
jarak, maka jumlah itulah yang dijual pada shahabat Marwan bin Hakam
dengan harga 100.000 dirham, dan merupakan hak baitul mal di Madinah,
kemudian empat seperlima dari harta rampasan perang itu dibagi-bagikan
kepada anggota pasukan yang ikut dalam perang, karena itu adalah hak
mereka.
….Mengapa Sa’id Aqil dengan lancang menghina shahabat Utsman dan shahabat Ammar, padahal Rasulullah SAW bersabda: Jangan kalian mencaci-maki Shahabat-Shahabatku….
Tentang surat Ibnu Khaldun mengatakan, mereka (kaum pemberontak dari
Kufah, Bashrah, Mesir) berangkat meninggalkan Madinah tetapi tidak lama
kemudian mereka kembali lagi dengan membawa surat yang dipalsukan yang
mereka katakan: bahwa mereka mendapatkannya dari tangan pembawanya untuk
di sampaikan kepada Gubernur Mesir, sedang surat itu berisikan perintah
membunuh pemberontak. Khalifah Utsman bersumpah ia tidak tahu-menahu
tentang surat yang dimaksud, mereka berkata kepada khalifah: berilah
kuasa kepada kami untuk bertindak terhadap Marwan bin Hakam, sebab ia
adalah sekretaris Anda. Tetapi Marwan bersumpah bahwa ia tidak
melakukannya, ia berkata: tidak ada dalam hukum Lebih dari pada ucapan
saya (Ibnu Khaldun hal 135).
Jauh sebelum itu, sayyidina Ali telah mengatakan: bahwa surat itu
hanya karangan belaka yang diada-adakan, beliau mengatakan: bagaimana
kalian wahai ahli Kufah dan ahli Basroh dapat mengetahui apa yang
dialami ahli Mesir, padahal kalian telah menempuh jarak beberapa
marhalah dalam perjalanan pulang, tetapi kemudian kalian berbalik menuju
Madinah, demi Allah persengkokolan ini diputuskan di Madinah, mereka
menjawab: terserah bagaimana kalian menanggapi, kami tidak membutuhkan
orang itu biarkanlah ia meninggalkan kami (Ath-Thabari juz 11 hal 150).
Sedangkan analisisnya apakah mungkin orang seperti shahabat Marwan
bin Hakam menjadi sekretaris khalifah Utsman jika dianggap orang yang
tidak baik tanpa mendapat reaksi tokoh-tokoh shahabat, seperti sayyidina
Ali bin Abi Tholib pahlawan perang Khaibar, Sa’ad bin Abi Waqqos,
penakluk Persia termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga, Tolhah
Ibnu Ubaidillah yang menjadi perisai Rasulullah SAW di perang Uhud dan
lain-lainnya, jawabannya: tidak mungkin. Padahal kenyataan sejarah
membuktikan mereka tokoh-tokoh shahabat sama sekali tidak memberikan
reaksi bahkan tidak protes sama sekali.
Oleh karena itu cerita buruk tentang shahabat Marwan bin Hakam adalah
Isu, fitnah yang di hembuskan oleh kaum Saba’iyah dan Syi’ah. Bukankah
Romlah bin Ali dikawinkan mendapatkan anak shahabat Marwan bin Hakam
yang bernama Muawiyyah bin Marwan bin Hakam, bukankah putra Hasan yang
kedua (Hasan bin Hasan bin Ali) telah dikawinkan mendapat cucu Marwan
bin Hakam yaitu Walid bin Abdul malik bin Marwan, seandainya Marwan bin
Hakam betul-betul orang jelek, saya kira tidak bakal terjadi hubungan
kekeluargaan (besanan) antara sayyidina Ali dengan shahabat Marwan.
Oleh karena itu, Ibnul Arobi, Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyah, adz-Dzahabi
dan lain-lainnya mengata-kan: Bahwa riwayat-riwayat tentang
peristiwa-peristiwa itu saling bertentangan dan sedikitpun tidak dapat
dipakai sebagai dalil yang sohih (al-Awashim hal 100, as-Shawa’iq hal
68, Minhajus Sunnah juz III hal 192)
Sehubungan dengan itu, para ulama hadits ketika membaca riwayat palsu
menjelaskan bahwa kebanyakan riwayat mengenai kecaman terhadap shahabat
Mu’awiyah, Amr Ibnul ‘Ash dan Bani Umayyah, begitu pula kecaman
terhadap Walid bin Uqbah dan Marwan bin Hakam, adalah riwayat palsu dan
dusta yang dibuat serta yang diada-adakan oleh golongan pendusta yang
menjadi kebohongan dan kedustaan sebagai agama mereka. Demikian menurut
Ibnul Qoyyum dan lain-lainnya.
Tentang Ammar bin Yasir yang dituduh menghembuskan sikap anti
khalifah, memompakan semangat memberontak oleh Said Aqil. Jawabannya:
sungguh saya amat sangat terkejut pada saat saya membacanya, sungguh
kejam apa yang dituduhkan kepadanya, bukankah dia putra Yasir? Bukankah
Nabi Muhammad SAW telah memberikan jaminan sebagai penghuni surga kepada
Yasir dan keluarganya? (shobron yaa ala Yasir inna mau’idakum al-jannah) Artinya: sabarlah wahai keluarga Yasir sesungguhnya janji kalian di surga.
Memang telah terjadi perselisihan antara Ammar dengan khalifah Utsman
akan tetapi perselisihannya tidak sampai memompakan semangat
memberontak. Buktinya, pada saat pembangkang bersenjata mengepung rumah
khalifah Utsman dan mereka menghalang-halangi masuknya air dirumah
Khalifah, maka marahnya Ammar dan berteriak sambil berkata: maha suci
Allah, akankah kalian menghalangi air kepada orang yang membeli sumur
Raumah dan memberikannya kepada kaum muslimin.
Kemudian Ammar membawa air itu sendiri tanpa mendapat halangan dari
mereka, karena mereka takut, segan dengan sebab kebesarannya. Jadi
perselisihan tokoh-tokoh shahabat terhadap sayyidina Utsman tidak bakal
mendorong mereka untuk berontak sebab mereka telah mewarisi ukhuwwah
Islamiyah yang ditanamkan Nabi Muhammad SAW kepada mereka. Sa’id Aqil
gegabah menuduh shahabat Ammar bin Yasir rodliallahuanhuma
sebagai pemompa semangat memberontak, bahkan melakukan penghinaan
terhadap shahabat Utsman RA. Lebih jauh Said Aqil menuduh bahwa
runtuhnya khalifah Utsman dan akhirnya menjadi bencana bagi Islam adalah
disebabkan adanya kelompok-kelompok munafiqin yang sebagian besar dari
Bani Umayyah. Sungguh semua tuduhan tersebut adalah palsu dan penuh
kebohongan terhadap mereka. Pernahkah Allah SWT dan Rasul-Nya serta
tokoh-tokoh shahabat menuduh mereka seperti yang dilakukan oleh Said
Aqil? Bukankah Allah SWT dengan firman-Nya yang indah telah berjanji
memberikan pahala yang baik terhadap mereka yang dalam kategori shahabat
serta yang lain jika perilakunya sama dengan shahabat-shahabat Nabi
Muhammad SAW.
“Tidak sama diantara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan
berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tingi derajatnya
daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah
itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih
baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q. Al-Hadid: 10 )
Bahwa ayat ini adalah sekaligus menolak tuduhan palsu Saudara Sa’id
Aqil kepada penduduk Makkah (bukan karena Allah), tapi karena slogan
yang digunakan oleh Abu Bakar di Bani Tsaqifah al-Aimmatu Min Quraisy
(halaman tiga makalah Sa’id Aqil).
….Sungguh ini adalah su’udhon terburuk terhadap shahabat-shahabat Nabi Muhammad SAW sepanjang sejarah NU dan musibah berat bagi NU, seterusnya akan berubah menjadi malapetaka bagi NU dan warga NU….
Sungguh ini adalah su’udhon terburuk terhadap
shahabat-shahabat Nabi Muhammad SAW sepanjang sejarah NU dan musibah
berat bagi NU, seterusnya akan berubah menjadi malapetaka bagi NU dan
warga NU. Oleh karena itu, semua ini harus dihentikan tidak boleh terus
berkepanjangan.
Bukankah shahabat Utsman RA dan Ammar bin Yasir RA termasuk arti makna kandungan firman Allah:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)
dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya.
Itulah kemenangan yang besar”. (QS. At-Taubah: 100 )
Bukankah beliau (Utsman RA) kawan Nabi Muhammad SAW di surga sebagaimana di sabdakan oleh Nabi Muhammad SAW:
لِكُلِّ نَبِىٍّ رَفِيْقٌ وَرَفِيْقِيْ – يعنى في الجنة – عثمان
Mengapa Sa’id Aqil dengan lancang menghina shahabat Utsman? Dan
secara serampangan menuduh shahabat Ammar sebagai pelopor pemberontakan
terhadap khalifah Utsman.
مَنْ عَادَى عَمَّارًَا عَادَاهُ اْللهُ – وَمَنْ أبْغَضَ عَمَّارًا أبْغَضَهُ اللهُ
“Barangsiapa yang memusuhi Ammar, maka Allah memusuhinya dan barangsiapa yang membenci Ammar, maka Allah membecinya”.
Betapa indahnya Allah menyampaikan perihal mereka dalam Ayat-Ayat
tersebut dan Ayat-Ayat yang lain dan sebaliknya betapa buruknya
kata-kata yang keluar dari mulut Sa’id Aqil terhadap mereka.
Bukankah Nabi Muhammad SAW bersabda :
لاََتََسُبُّوْا أصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ اَحَدَكُمْ اَنْفَقَ مِثلَ اُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ اَحَدِهِمْ
“Jangan kalian mencaci-maki Shahabat-Shahabatku, maka jika
seandainya salah satu orang diantara kalian menginfaqkan emas sebesar
gunung Uhud, maka pahalanya tidak akan sampai satu mud dibanding dengan
pahala mereka”.
….Betapa indahnya Allah menyampaikan perihal mereka dalam ayat-ayat Al-Quran, dan sebaliknya betapa buruknya kata-kata yang keluar dari mulut Sa’id Aqil terhadap mereka….
Betapa besar penghargaan Nabi Muhammad terhadap Ammar dan jasa mereka
dan dalam hadits ini Nabi Muhammad juga secara langsung memperingatkan
dengan keras kepada generasi sesudah shahabat agar mereka hati-hati,
tidak asal bicara, apalagi sampai menuduh, menghina, dan mencaci maki
terhadap shahabat dan Nabi Muhammad SAW.
Disini saya yang dlaif, penuh kekurangan sudah memperingatkan dan
menasehati semua pihak khususnya pada Sa’id Aqil agar jangan gegabah
terhadap shahabat Nabi Muhammad SAW dan jika tidak menghiraukan maka
saya terpaksa mengatakan:
لعْنَةُ اللهِ عَلَى شرِّكُمْ
“Semoga Allah melaknat kejahatan kalian”
Sungguh masih banyak hal-hal yang penting untuk dikemukakan dalam
masalah Gus-Dur dan Sa’id Aqil, tetapi sekali lagi waktu sangat terbatas
sekali. Oleh karena itu penjelasan dan penolakan kami akhiri sekian
saja dan mohon maaf.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
(Disadur dari buku: “Kritik terhadap Gus Dur dan Sa’id Aqil &
Menyiasati Bahaya Syi’ah di Kalangan Nahdlatul Ulama di Penghujung Abad
ini, karya KH. Abdul Hamid Baidlowi, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Wahdah
Sumber Girang Lasem Rembang Jawa Tengah, Penerbit Pondok Pesantren
Al-Wahdah, Rajab 1431/Juni 2010, halaman 13-26).
Dipublikasikan kembali oleh Abul-Harits dari bantahansalafytobat.wordpress
No comments:
Post a Comment