Untuk mengetahui kedudukan suatu hadits apakah shahih atau dha’if,
pertama yang harus kita lakukan adalah meneliti keadaan para perawi hadits
tersebut. Jika seluruh perawinya tsiqah maka dzahir sanad haditsnya shahih.
Namun sebaliknya jika terdapat perawi yang mendapatkan jarh (kritikan) oleh
para ulama tentang ketsiqahannya maupun kekuatan hafalannya, maka hadits
tersebut diragukan keshahihannya.
Para ulama jarh dan ta’dil menggunakan berbagai ungkapan untuk
menjelaskan keadaan para perawi hadits, misalkan memberikan istilah tsiqah, shaduuq, la ba’sa bih,
dan ungkapan yang semisal. Sehingga kita sebagai pemula dalam bidang hadits
perlu tahu apa yang mereka maksudkan dengan istilah-istilah tersebut.
Secara ringkas tingkatan ta’dil perawi hadits dalam kutub rijal terbagi menjadi:
Pertama, Sahabat Nabi
Sahabat Nabi menduduki tingkatan tertinggi dalam ta’dil karena mereka adalah suatu kaum yang
telah diridhai Allah dan mendapatkan banyak pujian dalam Al-Qur’an. Para ulama
telah ijma’ (sepakat) bahwa seluruh sahabat nabi adalah adil. Telah disebutkan
nukilan ijma’ permasalahan ini dalam artikel Ijma'
(Kesepakatan) Ulama Ahlus-Sunnah tentang Keadilan Sahabat
Kedua, Ta’dil dengan ungkapan yang mengandung mubalaghah seperti أثبت
الناس -أضبط الناس - لا أحد أثبت منه -من مثل فلان - فلان لا يُسأل عنه dan semisalnya.
Ketiga, Ta’dil dengan pengulangan istilah tautsiq seperti ثقة ثقة - حجة حجة - ثبت ثبت - ثقة ثبت - ثبت حجة - ثقة حجة - ثبت حافظ - ثقة متقنdan semisalnya.
Keempat, Ungkapan ta’dil dengan menyebutkan satu istilah
tautsiq seperti ثقة – حجة – حافظ – ثبت – متقن – إمام dan semisalnya.
Kelima, Ungkapan ta’dil yang lebih rendah kedudukannya dari
tingkatan keempat, seperti
ليس به بأس - لا بأس به - ما أعلم به بأساً – صدوق - محله الصدق - إلى الصدق ما هو - صدوق يهم – مأمون - خيار الخلق – متماسك - فلان وسط - مقارب الحديث.
Keenam, Ungkapan ta’dil yang paling rendah kedudukannya,
seperti
صالح الحديث - صدوق إن شاء الله - أرجو أن لا بأس به – صويلح – مقبول - ليس ببعيد من الصدق - يكتب حديثه –
atau ta’dil dengan menyebutkan keyakinan bid’ah
yang ada pada perawi misal rafidhi, qadari, murji’ah dan firqah bid’ah lainnya.
Perincian hukum hadits tiap tingkatan ta’dil :
- Perawi yang disifati dengan ta’dil point 1-4 haditsnya shahih menurut
kesepakatan ulama ahlul-hadits. Sebagian besarnya adalah para perawi dalam
Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.
- Perawi yang disifat dengan ta’dil point 5 haditsnya hanya berderajat hasan lidzaatihi.
- Perawi yang disifati dengan ta’dil point 6 haditsnya tidak
diterima dan tidak dapat dijadikan hujjah jika ia bersendirian dalam
meriwayatkan. Namun jika terdapat riwayat lain yang menjadi syawahid dan mutaba’ah maka derajatnya bisa naik menjadi hasan lighairihi.
Tingkatan jarh perawi hadits dalam kutub rijal :
Pertama, Ungkapan jarh yang paling ringan, seperti فيه
ضعف - في حديثه ضعف – ضُعِّف - فيه مقال - فيه لين - ليس بذاك - ليس بالقوي - ليس بالمأمون - ليس بحجة - تكلموا فيه - طعنوا فيه dan
semisalnya
Kedua, Ungkapan jarh yang lebih parah dari tingkatan
pertama, seperti لا يُحتج به - مضطرب الحديث - له مناكير - حديثه منكر - ضعيف dan
semisalnya
Ketiga, Ungkapan jarh yang lebih parah dari tingkatan
sebelumnya, seperti رُدَّ حديثه - ضعيف جداً - واهٍ بمرة – طرحوه - مطروح الحديث - ارم به - لا يكتب حديثه - لا تحل الرواية عنه - ليس بشيء - لا يساوي شيئاً - لا يستشهد بحديثه dan semisalnya
Keempat, Ungkapan jarh yang lebih parah dari tingkatan
sebelumnya, seperti متهم بالكذب - يسرق الحديث - متروك الحديث – تركوه - ذاهب الحديث – ساقط – هالك - لا يعتبر به - مُجمعٌ على تركه dan
semisalnya.
Kelima, Ungkapan jarh yang lebih parah dari tingkatan
sebelumnya, seperti فلان كذاب – يكذب – وضاع - وضع حديثاً - دجال dan
semisalnya.
Keenam, Ungkapan jarh yang paling parah, seperti فلان
أكذب الناس - له المنتهى في الكذب - هو ركن الكذب – منبعه - معدنه dan
semisalnya.
Perincian hukum hadits tiap tingkatan jarh:
- Perawi yang disifati dengan jarh point 1 dan 2, haditsnya dapat
dijadikan sebagai syawahid dan mutaba’ah artinya jika terdapat riwayat lain
yang semisal maka derajatnya bisa naik menjadi hasan lighairihi.
- Perawi yang disifati dengan jarh point 3 dan 4, haditsnya tidak dapat
dijadikan hujjah dan tidak dapat dijadikan sebagai syawahid dan mutaba’ah untuk menguatkan riwayat yang lain.
- Perawi yang disifati dengan jarh point 5 dan 6, tidak boleh
meriwayatkan hadits darinya secara mutlak kecuali untuk menjelaskan kelemahan
hadits dan membantahnya.
Allahua’lam.
Disarikan oleh Abul-Harits dari Al-Jarh
wat-Ta’dil bainan-Nadzariyyah wat-Tathbiiq di Madinah, 10 Dzulqa’dah 1433 H
No comments:
Post a Comment